Jumat, 17 Mei 2024

Pendidikan Menyedihkan

*Nyesel Gak Ganjar Kalah? Logika Kemendikbud Bikin Geleng Kepala*

by *Xhardy*

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) angkat bicara soal Uang Kuliah Tinggal (UKT) yang ramai dikritik mahasiswa di berbagai daerah. Saya pribadi cukup terkejut dengan UKT yang naiknya 30-50 persen. Dampaknya adalah pendidikan tinggi makin tidak terjangkau bagi sebagian orang. Dan kutukan 'Orang tidak mampu dilarang jadi sarjana' seolah mulai muncul.

Kata Kemendikbudristek, biaya ini tetap diatur karena biaya di Perguruan Tinggi tak bisa digratiskan. Yang diprioritaskan hanya terpusat pada program wajib belajar 12 tahun, mulai dari SD, SMP, hingga SMA.

Setelah SMA, namanya pendidikan tersier. Menurut dis, lulusan SMA atau sederajat yang mau masuk ke perguruan tinggi adalah pilihan dari individu yang bersangkutan.

"Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK, itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib. Berbeda dengan wajib belajar yang SD, SMP, begitu, ya," kata Tjitjik.

Ini statement paling tidak nyambung yang pernah saya dengar seumur hidup. Benar, pendidikan tinggi itu tersier, tidak termasuk pendidikan wajib, tapi zaman sekarang kalau tidak kuliah, mau jadi apa? Mau kerja apa? Kerja zaman now dikit-dikit harus lulusan sarjana. Itupun sekarang banyak sarjana yang jadi pengangguran karena kurangnya lapangan kerja. Apalagi kalau cuma lulusan SMA, sudah pasti pekerjaannya bergaji kurang dari layak.

Parahnya lagi, pada Januari 2024 lalu, Jokowi kaget (lagi-lagi kaget) dengan data rasio jumlah lulusan S2 dan S3 Indonesia terhadap penduduk produktif. Indonesia kalah dari Malaysia dan Vietnam.

"Saya kaget Indonesia di angka 0,45 persen. Negara tetangga kita, Vietnam dan Malaysia, sudah di angka 2,43 persen. Negara maju 9,8 persen. Jauh sekali," kata Jokowi.

Kaget? Yau mau gimana, biaya kuliah tinggi, banyak yang tidak sanggup, sehingga lulusan S2 dan S3 cuma sedikit. Yang tingkat S1 saja banyak yang menjerit soal biaya kuliah.

Makanya, program makan siang gratis yang katanya Rp 450 triliun setahun lebih baik dialokasikan untuk masalah ini. Mending uangnya untuk pendidikan tinggi gratis atau setidaknya terjangkau. Lah, gimana Indonesia mau maju kalau rata-rata pendidikan rakyat Indonesia masih banyak yang SMA dan ke bawah.

Dengan mindset kayak begini, kalian masih berharap Indonesia Emas 2045? Katanya mau menguasai teknologi, lah lulusannya kebanyakan cuma SMA ke bawah. Gimana menguasai teknologi?

Kalau pendidikan makin tidak terjangkau, SDM kualitasnya bakal rendah, lama-lama jadi banyak, dan mudah dimanipulasi tiap lima tahun sekali. Sudah sadar belum kenapa banyak yang lebih suka makan gratis ketimbang program satu keluarga satu sarjana? Kebangetan kalau tidak tahu.

Bagaimana menurut Anda?

0 Comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India