Tampilkan postingan dengan label pancasila. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pancasila. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Juni 2022

Mengapa Pancasila Semakin Perlu Dibuat Nyata ?

 Pancasila Bukan Sekadar Omongan di Hari Libur

Prof. Franz Magnis Suseno

Mengapa Pancasila Semakin Perlu Dibuat Nyata? *) 

Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang saya hormati. Diminta menyumbang pikiran pada sarasehan peringatan Kelahiran Pancasila ke-77 merupakan suatu kehormatan dan sekaligus tanggungjawab.
Ibu-ibu dan Bapak-bapak, Pancasila sekarang terancam dari tiga sudut. Yang pertama: Ada penganut ideologi-ideologi eksklusif sempit yang mau menggantikan Pancasila dengan ideologi mereka, sering suatu ideologi agamis. Yang kedua: Pancasila jangan sampai dibajak oleh elit politik untuk melindungi privilese-privilese mereka. Dan yang ketiga: Pancasila dianggap omongan orang-orang di atas saja, tanpa relevansi pada kesejahteraan dan keselamatan orang kecil. Kalau Pancasila mau diselamatkan, tiga ancaman ini harus ditanggapi. Saya mulai dengan yang terakhir.
Pancasila: Dasar Persatuan Bangsa Indonesia
Pancasila bukan sekadar omong pada hari libur. Dengan Pancasila bangsa Indonesia mencapai sesuatu yang bagi banyak bangsa di dunia sampai hari ini mengelak. Indonesia adalah bangsa paling majemuk di dunia. Indonesia terdiri atas ratusan komunitas etnik, budaya dan agama. Bahwa ratusan komunitas itu merasa sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia, adalah buah perjuangan bersama melawan penghisapan, penghinaan, dan ketidakadilan penjajahan. Di Batavia, pada tanggal 28 Oktober 1928, ratusan pemuda dari seluruh Nusantara bersumpah akan bersatu dalam memperjuangkan satu bangsa, satu tanah dengan satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Tetapi persatuan kemajemukan Indonesia ini hanya dapat mantap apabila didasarkan pada keyakinan-keyakinan dan cita-cita yang dimiliki bersama. Adalah jasa historis luar biasa Sukarno bahwa ia mengangkat cita-cita yang dimiliki seluruh bangsa dalam lima sila Pancasila, serta bukti visi jernih PPKI yang menempatkan Pancasila dalam bentuk akhir dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia.
Dengan Pancasila Indonesia berhasil mencapai sesuatu yang menjadi dasar kemantapan kebangsaannya: Bahwa orang Indonesia dapat bangga bahwa ia orang Indonesia, tanpa merasa terancam dalam identitas etnik, budaya dan religiusnya. Banyak negara, misalnya di Myanmar, gagal dalam mewujudkan identitas nasional. Lalu identitas suku atau agama mayoritas dijadikan identitas bangsa, dan suku-suku dan umat beragama lain merasa tertindas. Tetapi di Indonesia orang Bugis tidak perlu menyingkirkan ke-Bugisannya, orang Minang tetap boleh bangga bahwa ia orang Minang, dan orang Manggarai tetap membawa identitasnya sebagai orang Manggarai – sebagai orang Indonesia. Begitu pula, mengutip alm. Mgr. Albertus Soegijapranata, orang Katolik dapat seratus persen Katolik dan seratus persen Indonesia, dan orang Islam, dengan menjadi orang Indonesia seratus persen, tidak perlu memotong sedikit pun dari identitas Islaminya.
Satu catatan yang bagi saya, lagi lagi, membuktikan jenialitas Bung Karno. Pancasila adalah nilai-nilai dan cita-cita dalam kehidupan bersama masyarakat di Nusantara sejak ratusan tahun. Pancasila bukan filsafat impor, melainkan berakar dalam khazanah etis dan budaya Nusantara. Akan tetapi, dan itu begitu luar biasa. Pancasila sekaligus mengungkapkan dan menjamin empat keyakinan etis paling dasar yang sekarang diakui resmi oleh umat manusia. Sila pertama Pancasila jelas memuat hak asasi paling dasar, yaitu kebebasan beragama  dan berkeyakinan. Sila kedua mengungkapkan harkat kemanusiaan universal yang terungkap dalam jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan dalam penolakan prinsipiil terhadap penyelesaikan suatu konflik dengan cara kekerasan. Sila keempat mengungkapkan keyakinan bahwa segenap kepemimpinan harus dilegitimasi secara demokratis. Sila kelima secara eksplisit mengungkapkan keyakinan bahwa kehidupan bersama harus berdasarkan keadilan sosial. Sedangkan dalam sila ketiga bangsa Indonesia menyatakan bahwa Republik donesia tidak berdasarkan kesukuan, tradisi feodal atau agama, melainkan merupakan suatu nation-state dalam solidaritas kebangsaan.
Pancasila harus menjadi nyata
Ancaman kedua terhadap Pancasila terwujud apabila Pancasila dianggap sekedar kepentingan elit. Omongan itu amat berbahaya dan tidak dapat dilawan dengan omong saja.  Rakyat Indonesia harus merasakan bahwa dalam Pancasila “segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” merasa “dilindungi” dan maju dalam “kesejahteraan”.
Barangkali yang paling perlu harus dapat dirasakan adalah pewujudan keadilan sosial. Perpecahan bangsa yang paling berbahaya adalah perpecahan vertikal. Kalau 50 persen bangsa yang belum betul-betul sejahtera, dan kita harus ingat, 10 persen bangsa masih hidup dalam kemiskinan absolut, kalau mereka mendapat kesan bahwa Keindonesiaan, pembangunan, kemajuan hanyalah demi kepentingan “mereka yang di atas”, Indonesia berada in deep troubles. Sebaliknya, kalau orang kecil, ya 50 persen bangsa dengan pendapatan paling bawah, mendapat harapan bahwa dalam Indonesia ber-Pancasila ber-demokrasi-pasca-Reformasi anak-anak mereka mempunyai harapan akan masa depan lebih baik, kita tidak perlu khawatir bahwa mereka akan tergoda oleh suatu ideologi anti-Pancasila.

Jadi, Ibu-ibu dan Bapak-bapak, adalah amat penting bahwa penghapusan kemiskinan dan jaminan kesejahtaraan orang kecil menjadi prioritas segala pembangunan. Apakah itu petani kecil, orang yang bekerja di hutan, para nelayan, orang yang jauh dari Jakarta dan dari pulau Jawa: Keterjaminan, keselamatan, kesejahteraan, kemantapan kehidupan, termasuk pendidikan dan kesehatan, harus, saya ulangi harus, menjadi prioritas perpolitikan kita, perpolitikan Anda. Kalau mereka sampai merasa bahwa Indonesia itu milik orang-orang di atas, kita jangan heran apabila mereka membuka diri terhadap ideologi-ideologi yang sangat berbeda dari Pancasila. Maka kalau Pancasila mau kita selamatkan, orang kecil harus dapat  merasakan bahwa dalam negara ber-Pancasila mereka dapat hidup secara terhormat, sejahtera dan adil.
Zero Tolerance terhadap 
Intolerance
Ancaman paling serius terhadap Pancasila adalah ancaman pertama: Ancaman dari ideologi-ideologi eksklusif agamis yang mau menggantikan Pancasila. Ibu-ibu dan Bapak-bapak, menggantikan Pancasila dengan ideologi-ideologi baik agamis maupun bukan agamis, sama dengan menghancurkan kebangsaan Indonesia. Bangsa Indonesia merasa kokoh bersatu sebagai bangsa karena semua bersedia saling menghormati dalam perbedaan. Itulah inti Pancasila. Segenap keagamaan yang benar mengakui bahwa seluruh alam raya oleh Tuhan: Manusia sebagai laki-laki dan perempuan, sebagai makhluk berkeluarga, sebagai makhluk berbudaya, sebagai makhluk berbangsa dan bernegara. Karena itu keagamaan yang benar secara hakiki bersifat moderat. Artinya, agama tidak mau menyingkirkan nilai-nilai budaya dan kebangsaan, melainkansebal;iknya melindungi dan mendukungnya. Karena keagamaan yang sejati sadar bahwa manusia dengan segala dimensi kehidupannya diciptakan oleh Tuhan.  
Sebaliknya, para ideolog agamis-ekstremis tidak menjunjung tinggi keagamaan, melainkan membajak agama. Yang mendorong mereka bukan hormat terhadap Tuhan yang menciptak nmanusia dalam kemajemukannya, napsu hati mereka yang penuh kebencian, iri hati, bahkan napsu membunuh. Tanda bahwa agama telah dibajak adalah bahwa para pembajak itu membawa diri secara biadab.
Karena itu begitu penting Indonesia sebagai negara ber-Pancasila menjunjung tinggi toleransi beragama. Kita jangan memberi ruang pada intoleransi. Zero Tolerance terhadap Intolerance! Intoleransi adalah suatu kelemahan manusia. Perlu Indonesia mewujudkan toleransi secara tegas dan konsisten. Sisa-sisa struktur intoleransi jangan kita biarkan. Setiap kemenangan intoleransi adalah suatu kekalahan bagi Indonesia karena merupakan pelecehan terhadap Pancasila. Siapa pun yang bersedia mendasarkan diri pada Pancasila harus dapat merasa aman di antara kita.
Ibu-ibu dan Bapak-bapak. Perkenankan saya suatu kata terakhir. Di hari-hari terakhir kita membaca tentang rob di pantai Utara Jawa, bahwa India mengalami suhu sampai 50 derajat. Sudah amat mendesak kita mengambil tindakan-tindakan keras untuk mencegah malapetaka kehancuran alam kita. Kemanusiaan yang beradab menuntut agar kita juga bersikap beradab terhadap alam. Kalau kita lalai terus, kita segera akan merasakan akibat-akibatnya.
Terimakasih.

*Makalah disampaikan dalam Sarasehan Pancasila bertajuk “Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara dan Relevansinya dalam Kehidupan Bersama” di Gedung Nusantara IV, Kompleks DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/6/2022).

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT
Prof. Franz Magnis Suseno

Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Selasa, 28 September 2021

Siapa Sangka, Kalau Azis Berbuat Seperti Itu, Mari Kita Simak Bersama Kelakua Orang Tersebut Di Bawah Ini.

gambar ilustrasi saja
Siapa Sangka, Kalau Azis Berbuat Seperti Itu, Mari Kita Simak Bersama Kelakua Orang Tersebut Di Bawah Ini.

"Benar kata para bijak: semakin tinggi jabatan dan karir, semakin tinggi pula tempat jatuhnya. Dan dengan itulah, saya dan Anda semua tak perlu silau dengan kegemilangan hidup orang-orang sekeliling"

Azis Syamsuddin dikabarkan jadi tersangka korupsi di KPK. Dan kita pun kembali menambah catatan tentang rontoknya politisi muda di puncak karir di negeri ini.

Saya kerap bertanya -- dalam batin tentunya -- apa yang kurang dari tokoh muda seperti Azis ini? 

Di usia 24 tahun, ia sudah jadi pengacara di sebuah kantor advokat ternama ibukota. Tentu ia sudah kaya raya.

Lalu ia masuk parlemen. Tahun ini, periode ketiga ia di DPR. Bukan anggota biasa, tapi orang nomor dua di lembaga tinggi negara itu. Ia Wakil Ketua DPR RI dari Partai Golkar. Ia mengendarai mobil berpelat nomor Republik Indonesia. Tunjangan tak terbilang, kehormatan tak alang kepalang. Hartanya, yang ia laporkan resmi sebagai pejabat negara, lebih dari Rp100 miliar.

Kata perempuan-perempuan di luar sana, ia pun tampan. Dan di usia 51 tahun, karirnya masih panjang sesungguhnya. Sekarang wakil ketua DPR, besok-besok mungkin jadi menteri, atau ketua DPR, atau .... 

Tapi kehidupan ini sungguhlah semesta misteri. Luas nan tak terperi. Azis rupanya merawat satu sisi gelap yang lambat laun terungkap. Ia tak belajar dari kasus-kasus yang pernah pernah menyerempet namanya: perkara penyelundupan dua kontainer telepon Blackberry bernilai miliaran rupiah di Tanjung Priok atau perkara yang melibatkan  Nazaruddin, bendahara Partai Demokrat, koleganya di DPR dulu. 

Karirnya menanjak cepat. Tapi secepat ia menanjak, secepat itu pula ia menukik sampai ke palung terdalam kehidupan. Hari ini kita mendengar ia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK.

Korupsi, suap-menyuap, kongkalikong dan asyik-masyuk politisi dan kriminal belum bisa sirna di negeri ini. Ia merontokkan begitu banyak politisi muda cemerlang: Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Alifian Mallarangeng, Patrice Rio Capello, Taufan Tiro, dll. Setelah Azis Syamsuddin, entah siapa lagi...

Selasa, 07 September 2021

Benarkah Ada Busana Muslim atau Busana Muslimah, Mari Ikuti Narasi Seorang Dosen King Fahd University Arabia,di Middle East Institute

*Benarkah Ada Busana Muslim atau Busana Muslimah*, 
*Mari Ikuti Narasi Seorang Dosen King Fahd University Arabia* 
*di Middle East Institute*

"Menjadi Muslim/ Muslimah tidak harus bercadar, berniqab, berjilbab, berhijab, berkerudung, berabaya, bergamis / berjubah, berkoko dan seterusnya tetapi juga bisa berkebaya, bersarung, berblangkon, berpeci, berjeans, berkemeja, berjas, berjarik dan seterusnya", tutur Sumanto Al Qurtuby,Arabia.
Banyak umat Islam di Indonesia yang mengatakan, menganggap atau mengklaim “busana Muslim/Muslimah”. Padahal sejatinya itu tidak ada... Itu hanya illusi.

Biasanya yang mereka maksud dengan "busana Muslim" itu misalnya "baju koko". Padahal "baju koko" itu kan "busana Tionghoa". Namanya saja "koko". Itu kan panggilan orang-orang Tionghoa kepada kakak laki2 / abang : misal KoKo Ahok , KoKo Aling , KoKo Ping Ho , dll. 

Busana lain yang dianggap "busana Muslim" adalah gamis/ jubah. Padahal jubah itu pakaian etnis mana saja dan pengikut agama apa saja . Jubah juga busana tradisional Tionghoa . Lihat saja Wong Fai Hung , para Biksu (Pendeta Budha) . Pakaian gamis itu dulu diperkenalkan oleh para pengelana dan pedagang Tionghoa ke Timur Tengah lewat Jalur Sutera . 

Di Timur Tengah, gamis juga dipakai oleh kelompok etnis mana saja dari agama/kepercayaan apa saja bukan melulu Arab/Muslim tetapi juga Qashqai, Kurdi, Yazidi, Druze, Assyrian, Mandaean, Shabak, Agama Katholik dlsb. 
Juga Etnis & suku-suku di Afrika Utara & Afrika Barat juga mengenakan jubah . 

Kemudian juga , yang biasanya disebut / dianggap sebagai “busana Muslimah” untuk perempuan yaitu hijab/ jilbab atau minimal kerudung... Padahal jenis pakaian ini juga lebih dulu dipakai oleh kaum perempuan dari berbagai penganut agama lainnya di dunia ini, bukan hanya Muslimah saja. Bahkan cadar (niqab/ burqa) juga lebih dulu dipakai oleh kaum perempuan kelompok ortodoks Yahudi yang mengklaim , "cadar" adalah "syariat/ ajaran Yahudi".

JADI , istilah yg dipakai utk sebutan “busana Muslim/Muslimah dsb” itu tidak lebih sebagai alat kampanye (bagi propaganda politik & propaganda agama saja) dan juga digunakan sebagai gimmick dan bahan promosi dagangan (oleh pedagang2 bakul) supaya dagangan pakaiannya cepat laris saja dibeli oleh konsumen2 yg mau dibohongi oleh pedagang2 tsb.
Begitulah kira2 analisa yg menggunakan akal sehat/ nalar ... Tidak lebih, tidak kurang...

Oleh : Sumanto Al Qurtuby,Direktur Nusantara Institute, Dosen King Fahd University, dan Senior scholar Middle East Institute. Jabal Dhahran, Jazirah Arabia.

Jumat, 16 Juli 2021

Khilafahisme Ambyar Pancasila Menggelegar, Dengarkan Agar Rakyat Indonesia Sadar

Khilafahisme Ambyar Pancasila Menggelegar, 
Dengarkan Agar Rakyat Indonesia Sadar 
ARSIP.TOPsekali.com
KHILAFAHISME AMBYAR PANCASILA MENGGELEGAR
Khilafah sebagai sistem ideologi sebenarnya tidak pernah eksis dalam sejarah. Para pemimpin negara Islam yang menyebut diri khalifah pun sebenarnya tidak lebih dari raja-raja yang menjalankan sistem monarkhi (al-mamlakah).
Di negara-negara teokrasi yang didasarkan atas agama, tak ada jaminan kebebasan beragama. Selalu ada "agama-agama kelas dua" yang disubordinasi di bawah Islam. Kalaupun ada praktek toleransi, itu tergantung siapa khalifah  yang berkuasa. Ada khalifah yang toleran, tetapi banyak pula yang fanatik buta, bahkan ada yang dijuluki si gila. Terlalu banyak bukti sejarah yang menyaksikan hal itu.
Sebaliknya, Pancasila sudah teruji sesuai dengan realitas masyarakat kita yang majemuk, yang ratusan tahun merayakan "Bhinneka Tunggal Ika" 
(Berbeda-beda tetapi satu). (By Bambang Noorsena).

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India