Sabtu, 04 Mei 2024

Menyelidiki Pemimpin Non Korupsi

Keluhan masyarakat pulau terpencil tentu menjadi keprihatinan kita semua, walau sarana fasilitas khususnya untuk angkutan barang dan jasa belum selengkap dikawasan padat. Namun sekiranya uang negara tidak di korupsi secara bebas oleh para pejabat, tentu segalanya bisa mendapatkan anggaran yang cukup untuk membangun kawasan terpencil itu.

Makanya lalainya pemerintah saat ini, khususnya terhadap pemberantasan korupsi, karena tidak ada contoh yang tegas dari pemimpin Indonesia sekarang. Bahkan masyakarat gak bisa berharap jika Jokowi berani memastikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam naiknya angka korupsi dari berbagai pernyataannya yang mampu menggetarkan pejabat negeri ini agar jangan coba-coba mengusik perbuatan yang satu ini.

Semua pejabat termasuk Presiden sekalipun hanya bermain pada tataran statemen yang normatif yang bersifat politis. Sehingga setiap pernyataannya sering bermakna seruan yang dianggap tumpul serta tidak bisa di jadikan acuan yang kuat untuk mengkonfirmasi bahwa pimpinan tertinggi negeri ini tidak didalam wilayah yang abu-abu terhadap hal yang satu ini.

Padahal banyak pemimpin negara lain yang berani menggaransi dirinya untuk tidak berbuat demikian, bahkan sering menghukum mati para pejabatnya yang korup. Namun hal itu tidak terjadi di Indonesia, sehingga banyak pendapat yang beranggapan bahwa semakin besar nilai korupsi yang diperoleh maka semakin ringan hukum yang akan diterimanya. Faktanya, tak sedikit dari koruptor itu yang justru mendapatkan vonis bebas dikarenakan tidak ditemukannya 2 alat bukti setelah berkolusi dengan para penegak hukum kita.

Menjadi maklum jika masyarakat sekarang tidak lagi berani menggaransi siapapun oleh karena belum ada yang nyata-nyata terbukti tidak terlibat dalam pusaran korupsi yang semakin terstruktur, sistematis dan masif sekarang ini. Jadi rakyat hanya menyimpan pujian mereka kepada siapapun sepanjang figur yang di idolakannya belum terbukti bebas dari kejahatan semacam ini.

Apakah pemimpin di Indonesia berani mengumandangkan pernyataan sebagaimana pemimpin negeri Korea dan China. Saya yakin tidak akan, bahkan mereka cenderung masih berpolemik dengan statemennya yang bercabang. Dikarenakan mereka sendiri tidak yakin sekiranya dirinya bersih.Termasuk dugaan publik kepada figur Jokowi sendiri.

Keluhan Masyarakat Pulau Terpencil (Opini)

Keluhan masyarakat pulau terpencil tentu menjadi keprihatinan kita semua, walau sarana fasilitas khususnya untuk angkutan barang dan jasa belum selengkap dikawasan padat. Namun sekiranya uang negara tidak di korupsi secara bebas oleh para pejabat, tentu segalanya bisa mendapatkan anggaran yang cukup untuk membangun kawasan terpencil itu.

Makanya lalainya pemerintah saat ini, khususnya terhadap pemberantasan korupsi, karena tidak ada contoh yang tegas dari pemimpin Indonesia sekarang. Bahkan masyakarat gak bisa berharap jika Jokowi berani memastikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam naiknya angka korupsi dari berbagai pernyataannya yang mampu menggetarkan pejabat negeri ini agar jangan coba-coba mengusik perbuatan yang satu ini.

Semua pejabat termasuk Presiden sekalipun hanya bermain pada tataran statemen yang normatif yang bersifat politis. Sehingga setiap pernyataannya sering bermakna seruan yang dianggap tumpul serta tidak bisa di jadikan acuan yang kuat untuk mengkonfirmasi bahwa pimpinan tertinggi negeri ini tidak didalam wilayah yang abu-abu terhadap hal yang satu ini.

Padahal banyak pemimpin negara lain yang berani menggaransi dirinya untuk tidak berbuat demikian, bahkan sering menghukum mati para pejabatnya yang korup. Namun hal itu tidak terjadi di Indonesia, sehingga banyak pendapat yang beranggapan bahwa semakin besar nilai korupsi yang diperoleh maka semakin ringan hukum yang akan diterimanya. Faktanya, tak sedikit dari koruptor itu yang justru mendapatkan vonis bebas dikarenakan tidak ditemukannya 2 alat bukti setelah berkolusi dengan para penegak hukum kita.

Menjadi maklum jika masyarakat sekarang tidak lagi berani menggaransi siapapun oleh karena belum ada yang nyata-nyata terbukti tidak terlibat dalam pusaran korupsi yang semakin terstruktur, sistematis dan masif sekarang ini. Jadi rakyat hanya menyimpan pujian mereka kepada siapapun sepanjang figur yang di idolakannya belum terbukti bebas dari kejahatan semacam ini.

Apakah pemimpin di Indonesia berani mengumandangkan pernyataan sebagaimana pemimpin negeri Korea dan China. Saya yakin tidak akan, bahkan mereka cenderung masih berpolemik dengan statemennya yang bercabang. Dikarenakan mereka sendiri tidak yakin sekiranya dirinya bersih.Termasuk dugaan publik kepada figur Jokowi sendiri.

Indonesia Salah Kelola,Bangga Terima Bansos Hasil Menyedot SDA

*Indonesia Salah Kelola, Bangga Terima Bansos Hasil Menyedot SDA*

by *Dahono Prasetyo*

Tahun 2021 seorang petani di Kabupaten Dompu, NTB tewas usai meminum racun. Korban diduga mengakhiri hidupnya karena tanaman jagung miliknya habis diserang hama tikus hingga babi hutan. Terjerat hutang pupuk yang mahal, harga beli panen jagungnya murah dan sulitnya memberantas hama membuat petani itu mengakhiri hidup dengan menenggak pestisida.

Di Belu NTT pada November 2023 tersiar kabar akhir seorang pedagang nekat bung diri dengan merobek perut dan memotong ususnya kerena himpitan ekonomi. Menjadi buruh serabutan dan ojek dilakukan setelah warungnya bangkrut, bahkan rela mengantri bansos untuk mendapatkan beras. 

Provinsi NTB dan NTB yang sarat potensi sumber daya alam pada kenyataanya tidak memuat warganya sejahtera. Cadangan emas dan tembaga raksasa di wilayah Hu'u, Kabupaten Dompu diperkirakan potensinya 2 kali lipat dari tambang Newmont yang "hanya" sekitar 690 ribu ton  Diperkirakan 1,38 juta ton emas di Dompu akan diolah oleh investor dari Brazil.

Tarik mundur ke belakang, UUD 45 pasal 33 yang mengamanatkan pada 3 ayat :

1. "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan".
2. "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara".
3. "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Yang kemudian terjadi pada tahun 2002 pasal tersebut diamandemen dengan penambahan 2 ayat :
1. Perekonomian nasional di selenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

2 ayat amandemen tersebut ditafsirkan sistem ekonomi Indonesia menjadi liberal kapitalistik pasar. Bahwa sumberdaya alam demi efisiensi boleh dikelola oleh pihak selain pemerintah untuk menjaga perekonomian nasional. Tambang emas tembaga di NTT dan NTB difokuskan untuk ekonomi nasional, sementara ekonomi lokal menjadi prioritas selanjutnya.

Apa yang kita saksikan dalam sejarah eksplorasi SDA, warga lokal tidak pernah ada yang sejahtera. Semua diatur pusat dengan pengaturan undang-undang minerba dan kontrak karya yang menguntungkan investor yang sudah pasti kapitalis. Masyarakat lokal dibiarkan hidup di jaman batu, diberi infrastruktur namun masih kelaparan, miskin dan minim pendidikan. 

Gembar-gembor investasi sebesar-besarnya oleh Jokowi lebih cenderung menjual SDA daripada dikelola bersama. Rakyat hanya diganjar dengan bansos dan subsidi apabila mencukupi. Jika tidak cukup warga merobek perutnya sendiri dan petani menenggak pestisida menjadi berita yang ditulikan pemerintah pusat. Siapa suruh miskin dan bodoh?!

Negara dengan anugerah kekayaan alam yang bikin iri negara lain pada akhirnya membuat seluruh penjuru dunia mentertawakan  karena rakyatnya bangga mendapat hak bansos. Bukan hak hidup sejahtera dan sumber daya alam.

Indonesia salah kelola, kemiskinan dipelihara demi urusan Pemilu yang menghasilkan pemimpin rakus. Buta pada kesenjangan kaya miskin, bodoh pintar, kota metropolitan dan desa metro-polutan. Membangun IKN (Ibu Kota Nepotisme) itu bukan kebanggan, tapi memperpanjang zona nyaman di tengah penderitaan mereka yang baru sekedar hidup untuk makan. 

Strategi Politik Dibalik Eksistensi Tegaknya Hukum

MENELUSURI STRATEGI POLITIK DIBALIK EKSISTENSI TEGAKNYA HUKUM
Penulis : Andi Salim

Fakta pemilu saat ini lebih memperlihatkan celah politiknya untuk mendapatkan kekuasaan melalui sarana pelayanan publik sebagai upaya yang dilakukan pemerintah yang dinilai hanya penerapan lips services semata. Bahkan Pemerintah sering di isukan mulai menggunakan strategi politik untuk menyakiti hati kebanyakan rakyatnya. Hilangnya hati nurani penguasa semakin tampak jelas dari keinginan mereka dalam menyerap inti dari butir-butir sila sebagaimana yang disebutkan dalam ideologi negara yang semestinya dipegang teguh. 

Ada banyak pihak yang merasa perlunya ditingkatkan kesadaran etika dan moralitas pejabat guna mengambil substansi pemahaman yang lebih dalam dan mendasar sehingga bukan sekedar pada kaidah-kaidah pemahamannya secara dangkal. Kemampuan daya pikir masyarakat umum memang masih memiliki relasi yang terbatas terhadap formalitas yang tersedia. Namun apa yang diungkapkan oleh Romo Magnis Soeseno pada persidangan MK beberapa waktu lalu, membuka mata publik bahwa peran hukum memang masih sering mengambil terminologi etika yang dimaknai secara dangkal. 

Padahal dibalik itu masih terdapat pemahamannya yang bisa diambil secara substansial, sehingga hukum menjadi ukuran moralitas yang utuh serta terintegrasi pada kebutuhan penerapannya guna dikembangkan sesuai dengan perkembangan budaya saat ini. Disinilah kita menemukan bahwa apa yang terjadi sekarang, semata-mata hanya menjadikan hukum tersebut terkesan hanya tegak untuk sekedar menampakkan sisi benar dan salah, hingga mengabaikan pranata sosial atas nilai-nilai yang lebih tinggi seperti elok dan agungnya sebuah ketentuan itu diberlakukan.

Citra hukum seolah-olah kehilangan sensornya untuk menghindari negara agar tidak menjadi objek yang terperdaya bagi segelintir pihak, bahkan melalui penyalahgunaan kewenangan pemerintah yang menjadikan hukum sebagai sarana eksploitasi politik tentu bertentangan dengan kehendak mereka. Diserapnya peluang masyarakat untuk bergabung kedalam ASN, pada gilirannya ikut memperkeruh pusaran politik kepentingan guna membentengi kalangan tertentu. Termasuk kelompok swasta yang mengusahakan kepastian hukum agar memperoleh perijinan yang mereka mohonkan semakin tak luput pula dari pengaruh situasi semacam ini.

Tentu ada banyak analisa yang berbeda, khususnya pandangan yang bisa mengungkapkan keadaan hukum dan sistem Konstitusi, baik dari pihak yang ingin merongrong atas lemahnya sistem ketatanegaraan yang dirasakan masih memiliki celah yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak, namun bukan berarti pula sedikit kelompok yang ingin memperkuat legitimasi hukum dan konstitusi negara ini agar yang semakin kokoh guna menutup segala celah yang bisa dimanfaatkan secara negatif. Membahas hal ini tentu menjadi sulit, apalagi mengungkapkan adanya ciri perbedaan yang membutuhkan pengakuan dari sifat-sifat mendasar atas nilai-nilai dan penafsiran dari setiap sektor yang terdapat pada apa yang sedang di perbandingkan. 

Namun jika kita ingin menyederhanakan hal ini, maka ada baiknya kita melihatnya kondisi yang paralel dari keadaan daerah, khususnya melalui lagu-lagu yang berasal dari genre masing-masing lagu dari daerah mana lagu tersebut berasal. maka kita akan merasakan adanya karakteristik yang berbeda namun nyata pada setiap alunan lagu, termasuk iringan musik yang semakin sulit untuk menolak pengakuan atas keberadaan mereka guna dinilai untuk saling mengalahkan antara satu dengan lainnya, sebab mereka duduk pada rasa dan suasana lingkungan yang serba berbeda dan dirasakan memiliki alunan yang merdu namun nikmat untuk didengar.

Kenyataan inilah yang menghiasi instrumen penilaian dari kita semua, bahwa perbedaan memang harus dihormati, namun cara memandangnya sedapat mungkin melalui kerangka persepsi yang sama. Demikian pula hukum dan sistem Konstitusi negara yang berlaku saat ini, bahwa hukum harus memiliki penafsiran tunggal yang tidak boleh terdapat penafsiran yang berbeda / Multi tafsir. Sebab dari celah semacam ini tentu saja bisa menimbulkan adanya penilaian yang berbeda terhadap objek hukum yang sama. Termasuk fakta Dissenting Opinion atas keputusan MK dari sidang sengketa pilpres baru-baru ini.

Bangsa ini memang masih harus terus diuji oleh berbagai faktor, khususnya kesadaran akan peringkat nilai dan sisi kemuliaan yang semestinya bisa diwujudkan. Kesadaran bahwa pemerintah masih belum mampu menemukan bentuk pijakannya dalam hal-hal kedudukannya yang netral, hingga tak jarang menggunakan mekanisme yang dianggap sebagai kecurangan dari strategi kemenangan politik yang terjadi belakangan ini. Hal itu tentu menciderai tujuan demokrasi rakyat sebagaimana yang di harapkan. Sebenarnya kita kurang elok jika mengatakan adanya pihak yang curang oleh karena semuanya pun melakukan hal yang sama, walau pada praktek kecurangan yang dilakukan memiliki derajat yang hampir serupa.

Hanya volume dan intensitas kecurangan mereka saja yang tidak sama, namun sesungguhnya semua peserta pun melakukan kecurangan dalam setiap andil politik sejak pasca pemilihan langsung ini terjadi. Maka, ketika pihak lawan lebih mampu mengolah kecurangan itu secara TSM, tentu saja pihak lain tidak bisa menerima hingga melampiaskan kemarahannya yang tidak lagi mau melihat realitas yang terjadi. Bagaimana pun perbuatan curang tetaplah kecurangan, sehingga kurang elok bagi kita menilai cara-cara negatif semacam itu dengan membandingkan peringkat kecurangannya demi memperoleh pembenaran atas kondisi ini. Apalagi, semakin banyak pula pihak yang memperdebatkan bobot kecurangan itu untuk dipersoalkan.

Keadaan ini sebenarnya merugikan kita semua, betapa kecurangan demi kecurangan itu semakin terlihat lazim dan dianggap wajar. Bahkan pelakunya semakin dikagumi sebagai pihak yang mampu mengambil kesempatan sekaligus membuktikan keberhasilannya untuk mendudukkan jabatan guna memperkuat partainya. Hingga demokrasi rakyat melalui pemilu yang seharusnya Luber dan Jurdil sehingga nampak menjauhi harapan rakyat untuk diwujudkan. Bahkan tak sedikit pula yang secara terang-terangan berani mengaku jika dalam proses kampanye atas kepesertaan pemilunya, telah mengeluarkan begitu banyak uang, padahal fakta itu membuktikan jika dirinya merupakan pelaku money politik tentunya.

Bagaimana merubah keadaan ini, tentu saja masyarakat yang harus sadar diri untuk membersihkan hal itu agar tidak lagi bersedia dijadikan sarana penyelia politik guna melangsungkan cara-cara kotor agar tidak terus menerus berlangsung. Cara semacam ini sedikitnya membantu membersihkan sistem demokrasi bangsa ini ke arah perbaikan dimasa depan. Sebab hanya cara ini yang dibenarkan untuk mendapatkan hasil pemilu yang baik, Inilah pentingnya kesadaran dan kecerdasan politik yang memiliki kualitas sebagaimana yang diharapkan.

Turbulensi demokrasi yang kita rasakan terhempas, bagaikan siklus engine pesawat yang mengalami perubahan pada kecepatannya. Dimana kejadian semacam ini sering dianggap sangat wajar terjadi pada setiap penerbangan di dunia. Sengaja penulis mengutip istilah turbulensi ini sebagai patron yang ideal dari kelangsungan politik yang kini terjadi. Bahwa keberadaan rakyat sesungguhnya tidak lagi menjadi pelapis akhir dari kekuatan bangsa yang menjadi cadangan bila Indonesia mengalami guncangan atau Turbulensi baik secara ekonomi, politik mau pun budaya. Pemerintahan seolah-olah mampu mengeksekusi berbagai kebijakannya.

Tanpa memandang perlunya eksistensi masyarakat guna menghalau kelompok yang cenderung memperlambat laju penerapan fungsi-fungsi pelaksanaan program dan kebijakan dari dan oleh lembaga manapun demi tujuan kejayaan negara untuk menambatkan tujuan kesejahteraan rakyatnya, hingga mencapai target destinasi sesuai kehendak masyarakat sebagaimana ketentuan yang terdapat pada tujuan Konstitusi serta amanat UUD45 yang berlaku, tentu akan menjadi persoalan tersendiri bagi dominasi penguasa. Artinya walau pemerintah telah merasa memiliki dominasi kekuatan dalam menjaga kedaulatan negara serta mampu memberdayakan aparaturnya sendiri dari kepungan politik saat ini, namun kenyataan yang dihadapinya tidaklah sesederhana itu.

Pemerintah bisa saja mendapatkan legalisasi perolehan kekuasaannya melalui keputusan MK terhadap sengketa pemilu saat ini. Namun catatan demi catatan akan menghiasi legitimasi kekuasaannya untuk tetap dipertanyakan oleh pihak manapun. Kritik yang tetap berjalan melalui logika berpikir menjadi modal utama untuk mendapatkan persepsi keadilan dasar yang sepatutnya didorong, diangkat dan diperjuangkan sebagai ruang-ruang lama yang perlu direbut publik kembali demi mengevakuasi sekaligus mendominasi kanal-kanal kebebasan dan kebahagiaan masyarakat pada umumnya. 

Bagaimanapun logika adalah satu-satunya cara berpikir yang berpotensi untuk mendatangkan kekuatan argumentasi terhadap nilai kebenaran meskipun tanpa didasari oleh fakta dan data. Inilah celah baru dari peran investigasi masyarakat guna memanfaatkan sisi juristic / dugaan untuk mendapatkan relasi penilaian terhadap suatu fakta. Termasuk menggunakan hipotesis serta data-data empiris berdasarkan pengalaman terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan oleh seseorang dengan memaksimalkan kemampuan berpikirnya. Hal mana kesadaran itu demi mendapatkan kemuliaan pada derajat kebenaran yang semestinya bernilai agung.

Bagaimana pun kebenaran itu harus terus dibicarakan guna membuka kesempatan bagi upaya meluruskan suatu persoalan. Oleh karenanya, siapa saja yang berani menyembunyikan, menghalangi munculnya Kebenaran itu, maka sesungguhnya dialah musuh kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Walau sementara waktu, apa-apa yang terdapat didalam ilmu filsafat tentang kebenaran belum sepenuhnya mampu diserap kedalam aspek hukum, sehingga kualitas kebenaran yang sering diadopsi dalam tatanan dan aturan serta perundang-undangan yang berlaku masih dalam nilai-nilai etika yang rendah. Akan tetapi secara lambat laun, reformasi hukum akan mengkoreksi muatannya terhadap eksistensi hukum untuk membuktikan bahwa kebenaran itu memiliki dasar-dasar yang substansial dan berkualitas tinggi tentunya.

Kesimpulannya, kita memerlukan alat ukur dan parameter untuk menyandingkan antara apa yang menjadi fakta demokrasi versus apa yang diterapkan pemerintah melalui perilaku politiknya saat ini. Entah berdasarkan adanya data dan informasi sebagai alat pembanding, atau dengan logika berpikir guna menjangkau kredibilitas dalam mencapai kualitas kebenaran yang lebih tinggi, hal itu semata-mata demi menjelaskan duduk perkara dari situasi yang belakangan ini berkembang. Persidangan sengketa pemilu hanya urusan formalitas guna mengambil kesimpulan, walau dalam memutuskan perkaranya hanya mengandalkan pada etika hukum yang dangkal, Namun kriteria kebenaran semestinya merupakan ukuran atau dasar penilaian terhadap sesuatu yang terdapat dalam pikiran yang tertuang dalam kenyataan hingga seseorang mampu menemukan cara menilai ukuran kebenaran itu sendiri.

Semoga tulisan ini bermanfaat, Salam Toleransi. #Andisalim #GTI #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share🙏

Rekayasa Pemilu Demokrasi Yang Non Aspiratif

PADA GILIRANNYA RAKYAT AKAN ABSTAIN DARI REKAYASA PEMILU DEMOKRASI YANG NON ASPIRATIF
Penulis : Andi Salim

Sekiranya negeri ini diukur berdasarkan konsistensi pemerintah yang memimpinnya, maka sudah barang tentu setiap warga negaranya hanya bisa menyampaikan keluh kesah dari apa yang menjadi fakta sejarah sejak Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Mulai dari program Landreform yang dicanangkan pada zaman Orde Lama yang mana program Landreform ini diartikan sebagai strategi reformasi agraria dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah yang bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis dalam mewujudkan cita-cita UUPA guna melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada.

Hal ini agar menjadi solusi yang lebih adil dan memenuhi hajat kepentingan rakyat disektor pekerja petani untuk memiliki lahan yang cukup, namun program tersebut hanya tinggal kenangan atas kenyataan sulitnya masyarakat mendapatkan tanah bahkan sekedar tapak rumahnya saja mereka harus mencicilnya dalam masa kredit KPR antara 15 hingga 20 tahun lamanya. Sedangkan dongeng Orde Baru pun tak kalah merdunya ketika program tinggal landas yang dicanangkan pak Harto dimasa itu pun terbukti hanya meninggalkan landasannya yang justru nyaris membuat Indonesia mengalami kebangkrutan di segala lini kehidupan masyarakatnya.

Belum lagi era reformasi yang katanya ingin memperbaiki keadaan masyarakat melalui peran kekuasaan pemerintah agar mendapatkan kesejahteraan, namun buktinya setelah era ini bergulir sejak 26 tahun silam yang dirasakan hanya pejabatnya saja yang makmur, dibalik suburnya korupsi dengan angka kerugian Negera yang terus mengalami kenaikan, bahkan di era SBY proyek-proyek dibiarkan mangkrak serta menjadi program percontohan gagal dengan utang negara yang mengalami trend kenaikan jumlah angka menggunung. Ditambah lagi di era Jokowi dengan program Revolusi Mentalnya hanya ramai dalam tataran wacana semata.

Program Revolusi Mental merupakan suatu tekad politik yang mendasar dengan landasan pemikiran  pada semboyan Trisakti yakni Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, Berkarakter dalam Budaya. Tumpuan keberhasilan revolusi mental berpijak pada integritas, Etos kerja, gotong royong. Melalui tiga prinsip utama yang dikembangkan itu adalah integritas (jujur, dipercaya, berkarakter, tanggung jawab), etos kerja (kerja keras, berdaya saing, optimis, inovatif, dan produktif), dan gotong royong (kerjasama, solidaritas, komunal, berorientasi pada kemaslahatan). 

Gerakan revolusi mental itu sendiri memiliki 8 prinsip, yaitu (1) berfokus pada gerakan sosial untuk mendorong kemajuan indonesia; (2) ada tekad politik untuk menjamin kesungguhan pemerintah; (3) harus bersifat lintas sektoral; (4) kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, sektor privat, dan akademisi; (5) diawali oleh program pemicu untuk mengubah perilaku masyarakat secara konkret dan cepat; (6) desain program harus user friendly, populer, menjadi bagian dari gaya hidup, dan sistematik holistik; (7) nilai-nilai yang dikembangkan bertujuan mengatur kehidupan sosial (moralitas publik) dan bukan mengatur moralitas privat; (8) dampaknya dapat diukur.

Entah mental siapa pula yang menjadi sasaran revolusinya. Toh faktanya, wacana ini hampir tidak memiliki situs peninggalan apapun dan seolah-olah tertiup angin nyiur kepulauan negeri ini yang semilir, menjelang akhir kekuasaan beliau di periode kedua ini pun tak kunjung membuktikan apa-apa, bahkan didapati jika kredibilitas kepercayaan rakyat terhadap petugas penyelenggara dan kualitas demokrasi saat ini semakin merosot tajam. Kenyataan itu terlihat dari hebohnya suara-suara publik tentang kecurangan pemilu sebagaimana petisi para akademisi yang membuat pernyataannya secara terbuka.

Dugaan masyarakat atas praktek politik Gentong Babi atau Pork Barrel Politics sebagaimana yang diperankan Jokowi mendatangkan kritik tajam bahkan tak sedikit yang kecewa. Sebab sarana Bansos dituding sebagian pihak menjadi strategi kampanye beliau dalam mendongkrak suara Paslon capres tertentu untuk dapat terpilih dibalik tingginya intensitas pembagian bansos kepada masyarakat itu justru terjadi menjelang hari pemilihan presiden Indonesia tanggal 14 Februari 2024 lalu. Hasil pemilu pun dipertanyakan kedalam dua proses. Pertama, melalui Hak angket DPR RI yang sedang diusulkan, dan kedua, melalui sidang MK yang saat ini sedang digelar.

Artinya, pada dua solusi yang ditempuh, baik melalui proses politik berupa usulan hak angket melalui mekanisme TSM yang disinyalir dilakukan pemerintah dengan mempertanyakan berbagai hal melihat sisi pengungkapannya dari berbagai aspek yang terasa janggal serta menyalahi aturan dan ketentuan pelaksanaan yang berlaku, termasuk kebijakan pembagian bansos dengan intensitasnya penyalurannya yang begitu tinggi dan dirasakan mempengaruhi pilihan politik masyarakat, serta proses hukum walau hal ini tetap ditempuh meskipun sulitnya menemukan alat bukti kecurangan yang terjadi dikarenakan harus terhubung antara fakta kejadian dengan pelaku dan saksi-saksi yang harus dihadirkan dalam berbagai pengajuan materi gugatannya.

Pada akhirnya respon terhadap fakta pemilu saat ini menjadi terbelah. Ada yang melihatnya sebagai rivalitas politik dari tergabung 3 koalisi partai untuk saling menilai adanya kecurangan, Namun tak sedikit pula yang mengarahkan pandangannya kearah Jokowi yang tudingan masyarakat sedang berusaha membangun dinasty kekuasaan melalui cawe-cawe politiknya, hingga menghempaskan nilai-nilai demokrasi rakyat. Bahkan komentar sekelas tokoh pembela kebenaran dari seorang Romo Magnis Soeseno pun turut menyatakan pendapatnya dipersidangan MK guna menilai adanya kejanggalan yang dirasakan. Tentu saja pendapatnya itu lebih didasari pada penguasaan ilmu filsafat yang selama ini menjadi dasar pemikirannya.

Jika pemilu yang semestinya mencerminkan wajah aspiratif hingga mengandung makna atas sikap menghargai harapan, keinginan dan cita-cita masyarakat melalui pemerintah yang dipercaya rakyatnya, dimana sikap ini selalu menjadi pegangan untuk selanjutnya menjalankan roda pemerintahan pasca pemilu yang digelar, Kini rakyat justru menuding bahwa Pemerintah mulai menerapkan harapan palsu yang tiada henti, dari era kepemimpinan yang tiada pernah meninggalkan jejak pembuktian apapun, baik sejak jaman Orde Lama, Orde Baru dan sekarang Era reformasi yang hanya sekedar menunggu waktu sekiranya kapan orang-orang yang punya harapan itu punah dan mengakhiri harapannya.

Walau perhelatan politik sering diartikan seni untuk merebut kekuasaan tanpa mengeluarkan darah. Namun jika kecurangan yang dirancang terkesan TSM, pada gilirannya memantik pertumpahan darah pula tentunya. Oleh karenanya, masyarakat harus menyembunyikan rasa percaya terhadap pemerintahan manapun guna melawan ketika pihak yang dipercaya itu malah mengkhianati mereka, termasuk kepada siapa saja yang berada pada pemerintahan daerah, apalagi terhadap pemimpin nasional yang notabenenya jauh dari jangkauan keseharian hingga sulit menilai dan menentukan keaslian sikap pemimpinnya. Toh dugaan dinasty politik yang dibangun Jokowi saat ini malah ada saja yang mengartikannya sebagai upaya demi penyelamatan bagi bangsa dan negara ini.

Kemiskinan sesungguhnya melucuti harapan rakyat, dan kebodohan pun sesungguhnya akan merusak aturan yang semestinya tegak. Sedangkan politik kotor tentu pada gilirannya merusak tatanan yang seharusnya dipatuhi. Jika aturan dan ketentuan agama tidak lagi berpengaruh terhadap sikap dan pemikiran seorang pemimpin, serta hukum dan perundang-undangan yang cenderung dipermainkan olah pemangku kekuasaan demi melindungi dirinya. Maka yang tersisa hanya hukum rimba untuk melampiaskan kemarahan rakyat yang akan dijadikan solusi akhir sebelum segalanya diserahkan kepada Tuhan yang menentukan segala takdirnya. 

Jangan sampai keberadaan seorang pemimpin justru menghambat proses penafsiran atas reward and punishment Tuhan atas rancunya pengertian dari istilah "Ujian" dan "Musibah" yang kini terasa sulit dibedakan oleh karena kemiskinan yang melilit rakyat terasa secara terus menerus, dimana keduanya berasal dari ketentuan sang Maha Kuasa pula tentunya. Politik yang tampak sekarang hanya menjadi wahana ajang penjagalan bagi kepentingan kelompok tertentu yang mengklaim diri mereka secara legitimate dengan menyatakan diri sebagai perwakilan rakyat. Padahal esensi yang mereka pikul justru bertentangan dengan kredibilitas kehendak rakyat itu sendiri.

Semoga tulisan ini bermanfaat, Salam Toleransi. #Andisalim #GTI #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share🙏

Meluruskan Kebijakan Pemerintah

BAGAIMANA MELURUSKAN KEBIJAKAN PEMERINTAH ATAS TERBUKANYA CELAH KRITIK DARI MASYARAKAT
Penulis : Andi Salim

Jika rakyat memperhatikan dengan seksama tentang prestasi pemerintah saat ini, apakah sebagian masyarakat lapisan bawah benar-benar merasakan buah kebijakan untuk mendapatkan kesejahteraan dari masa kekuasaan pemimpin yang telah menduduki jabatannya selama 5 tahun, lalu setelahnya ditambah lagi pada kepesertaan pemimpin tersebut untuk kembali menduduki jabatan yang sama guna mendapati 2 periode masa jabatannya atau menjadi 10 tahun, oleh karena UU dan konstitusi memang memperkenankan hal itu ditempuh seseorang sekalipun sedang menduduki jabatannya saat ini.

Apakah iklim bernegara kita telah mengalami kualitas demokrasi yang baik selama republik ini berdiri atau mendapatkan kemerdekaannya, atau paling tidak selama era reformasi yang dihembuskan selama 24 tahun silam yaitu sejak tahun 1998 silam. Walau lembaga negara kita nyaris menyerupai negara-negara lain di dunia, baik dengan sistem republik yang kita anut, serta adanya majelis rendah dan majelis tinggi, serta lembaga-lembaga tinggi lainnya yang terpisah didalam Trias politica sebagaimana yang difungsikan guna memisahkan kewenangan kekuasaan atas legislatif, eksekutif dan yudikatif di negeri ini.

Bahkan tak kalah hebatnya ketika negara melakukan pemisahan kekuasaan tambahan yaitu dengan dilengkapinya lembaga eksaminatif, dimana fungsi lembaga eksaminatif ini sendiri adalah mengawasi keuangan negara. Adapun lembaga ini merupakan representasi dari Badan Pemeriksaan Keuangan yang menjadikan Indonesia berbeda dengan negara lain didunia ini. kewenangan BPK dalam melakukan pemeriksaan diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Di dalamnya menyebutkan bahwa setiap lembaga yang diawasinya harus membuat laporan keuangan sebagai bentuk pelaporan penggunaan keuangan negara. 

Setelah laporan tersebut diserahkan, maka pihak BPK akan melakukan pemeriksaan mulai dari tingkat pemerintah pusat, daerah, Bank Indonesia, BUMN, BUMD, hingga lembaga atau badan negara lainnya. Maka, tak heran jika BPK sering mengumumkan laporannya ke publik kedalam 4 jenis opini, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP/unqualified Opinion), Wajar Dengan Pengecualian (WDP/Qualified Opinion), Tidak Memberikan Pendapat (TMT/Disclaimer Opinion) dan Tidak Wajar (TW/Adverse Opinion). Inilah kelengkapan Lembaga Tinggi Negara selain yang terpisah melalui kewenangan Trias politica dan lembaga eksaminatif yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Banyaknya turunan atas lembaga negara yang tersebar itu, pada akhirnya tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Tak jarang pula ada sebagian rakyat yang menjadi simpang siur dalam memahami struktur kelembagaan yang berjenjang tersebut guna memastikan pelayanan yang terpadu khususnya terkait dengan kebijakan perijinan usaha atau apapun yang memerlukan pengesahan bertingkat dari berbagai lintas kelembagaan, baik yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah mau pun pada kedudukan pemerintahan pusat sekalipun. Hal ini berakibat terjadinya proses permohonan yang terkesan sulit dan memakan waktu yang panjang. 

Konsekuensi dari situasi semacam ini tentu saja munculnya efek pelayanan ekstra yang sengaja dilakukan oleh oknum pemerintah manapun, termasuk sulitnya menyampaikan kritik sebagaimana yang dirasakan masyarakat walau dibalik itu, tujuan mereka sebenarnya untuk melakukan koreksi sekaligus mendapatkan pelayanan atas berbagai kebijakan pemerintah guna lebih presisi terhadap persoalan dan kondisi masyarakat pada umumnya. Padahal, jika kita menarik pengalaman dari masa lampau, bahwa apa yang menjadi program pemerintah tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat.

Namun fakta-fakta semacam ini tidak pernah dijadikan pelajaran untuk mendapatkan ending proses sebagai pola keberlanjutan program penguasa rezim lama agar melakukan estafet kekuasaannya berikut program multi years yang masih belum selesai itu kepada rezim yang baru. Bahkan tak jarang hadirnya penguasa baru itu, justru menghilangkan alur kebijakan yang lama dengan melakukan replacement yang serba berbeda pula. Jika skema perubahan kebijakan pemerintah semacam ini terus menerus terjadi, dimana terlihat jelas bahwa perintah tidak memiliki standarisasi siklus kebijakan 5 tahunan yang fokus pada penuntasan persoalan rakyat khususnya bagi naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Kualitas demokrasi kita pun terkesan jalan ditempat. Betapa tidak, hingga saat ini kita masih belum melihat adanya debat kusir baik antara Pemerintah dengan DPR, maupun antara pemerintah dengan masyarakat melalui organisasi-organisasi yang ada guna menghadirkan terobosan baru demi mendatangkan harapan atas pengentasan kemiskinan rakyat, termasuk kebijkan-kebijakan yang menjerat mereka dari akses permodalan terhadap usaha yang mereka miliki. Artinya kita masih harus melihat lebih dalam lagi terhadap hal ini agar mengurai sumber persoalan semacam ini, sekaligus mengembalikan fokus kesejahteraan tersebut kepada rakyat itu sendiri. 

Persoalan yang paling nyata tentang hal ini dapat dilihat dari pengeluaran KUR yang telah lama berlaku. Seharusnya bank komersial tidak melayani kredit atas produk internal mereka sendiri dalam jumlah nominal yang ditangani oleh pemerintah melalui KUR dari kredit-kredit yang dimohonkan masyarakat serta pelaku UMKM sehingga batasan kredit komersial hanya berlaku diatas kredit KUR yang tersedia. Namun nyatanya penyaluran kredit ini justru menjadi tumpang tindih hingga membingungkan rakyat kecil. Kebijakan Program semacam ini semestinya direncanakan secara komprehensif agar KUR tidak dijadikan sumber kerugian pemerintah akibat nasabahnya yang lemah.

Inisiatif yang baik dari pemerintah jika tidak di imbangi dengan penguasaan permasalahan dasar dari tujuan permodalan rakyat pada gilirannya hanya mendatangkan struggle baru. Sekalipun program ini terlihat baik, namun kejahatan korupsi yang begitu bebas tak terkendali belakangan ini tentu akan berhasil mengoyak keuangan negara kembali pada gilirannya. Sekalipun pemerintah melakukan upaya kepedulian terhadap masyarakat dan terus menerus melakukan pendekatan melalui berbagai kebijakannya, namun perlakuan itu tetap saja tidak menghentikan tangan-tangan kejahatan dari pihak-pihak yang ingin menghancurkannya. Inilah fakta yang acapkali kurang direspon oleh penegak hukum sesungguhnya.

Tata kelola pemerintah pun hanya terkondisikan dari mereka yang mengalami keruntuhan moral melalui kenaikan angka korupsi sebagaimana yang kita saksikan. Bahkan jargon pemerintah berikutnya tak kalah sengit guna menghalau kritik masyarakat dari tagar mereka berupa "jogetin aja" sekiranya rakyat dianggapnya terlalu "Nyinyir" dalam merespon kebijakan pemerintah ke depan. Tak kalah dengan itu, masyarakat pun menimpalinya dengan memunculkan tagar sindiran mereka yaitu "Ketawain aja", agar situasi ini terlihat berbalas pantun. Tentu ini akan menyebabkan hubungan yang tidak harmonisan rakyat dengan pemimpin yang diharapkannya.

Semoga tulisan ini bermanfaat, Salam Toleransi. #Andisalim #GTI #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share🙏

Perkembangan Kejahatan Manusia

Perkembangan kejahatan Perdagangan Orang, bukan saja berkaitan dengan soal locus kejahatan, baik di tingkat Nasional, antara daerah pengirim (penjual) dan penerima (pemakai/pengguna), maupun di tingkat Internasional, antara Negara pengirim (penjual) dan penerima (pemakai/pengguna).Tetapi juga modus, jenis, kreativitas kejahatan Perdagangan Orang serta cara kerja jaringan mafia mereka sungguh luar biasa, yang melibatkan berbagai "kelompok". Mulai dari keluarga, warga masyarakat umum sampai kepada "pemilik modal", bahkan patut dicurigai pihak "oknum"pemerintah pun ada yang memiliki andil dalam memperlancar praktek kejahatan ini sampai kepada "oknum"pihak keamanan.

Semuanya berpangkal dari "tidak adanya hati nurani yang menyentuh kesadaran hidup dan kehidupan yang saling menghidupkan secara manusiawi" dengan logika serta aktivitas yang positif dan sehat. Karena itu berwujud dalam praktek tindak kejahatan kemanusiaan seperti ini. Semua itu atas nama "kebutuhan ekonomi". Pertanyaannya, sudah serendah itukah martabat, akal budi, hati nurani seseorang, yang sama-sama manusia tetapi rela dan tega mengorbankan sesama manusia yang lain? Juga karena ketidakadilan dan ketidakbenaran hukum yang masih terjadi secara terang-benderang, yang jelas-jelas tidak berpihak kepada korban. Termasuk sampai sekarang para pelaku utama : "otak, perancang dan pemodal" belum terjamah. Karena itu, diharapkan agar a) Kerja-kerja Jaringan secara kolaboratif semakin jelas, luas, kuat dan mencapai sasaran; b) Kejahatan kemanusiaan melalui Perdagangan Orang akan semakin berkurang dan kelak mencapai "titik nol".

Kami mengundang semua orang yang menaruh perhatian serius dan sungguh-sungguh terhadap persoalan ini untuk hadir dalam seri diskusi ini. Yang pertama akan berlangsung pada:

Selasa, 7 Mei 2024
Jam 19.00 – 21.30 WIB
Melalui zoom meeting:

Join Zoom Meeting

Meeting ID: 817 2903 1849
Passcode: damai

Kegiatan ini terbuka untuk umum. Tersedia juru bahasa isyarat dan penerjemah dari bahasa Indonesia ke Inggris. Konfirmasi kehadiran ke WA: +62 823-2203-8576

Salam, Tim lobby dan advokasi Z-HTN.

Jumat, 03 Mei 2024

Antara Moderasi Beragama

ANTARA MODERASI BERAGAMA DENGAN KEPASTIAN TATA KELOLA RUANG PUBLIK
Penulis : Andi Salim

Pada tahun 2019 lalu, Kementrian Agama telah mengeluarkan buku *Moderasi Beragama* dimana buku ini bisa menjadi sebuah acuan atau rujukan sebagai konsep umat beragama dalam melakukan aktivitas beragama. Istilah moderasi beragama tersebut bertujuan untuk mengurangi sikap kekerasaan, atau menghindari ke-ekstreman dalam praktik beragama, maka moderasi beragama diharapkan menjadi konsep yang akan diimplementasikan oleh seluruh umat beragama di Indonesia demi terciptanya kerukunan antar umat beragama dari semua pemeluk agama masing-masing.

Upaya moderasi beragama sebagai wujud untuk mendapatkan jalan tengah bagi apresiasi keagamaan tentu dirasakan baik dan sepantasnya kita mendukung langkah ini sebagai solusi bagi naiknya intoleransi yang saat ini naik kepermukaan. Namun, tidak dijelaskan apa dan bagaimana langkah-langkah tersebut dapat mendudukkan para pihak yang memandang solusi moderasi itu untuk dapat terlaksana dengan baik, belum lagi kita pun mempertanyakan siapa saja yang menjadi para pihak yang turut serta dalam upaya moderasi tersebut, baik secara internal atau meluas kepada moderasi agama secara keseluruhan.

Dalam pengertian yang sederhana, moderasi dapat diartikan sebagai upaya mendamaikan dengan menghadirkan solusi jalan tengah bagi kebaikan bersama, namun pada konteks lain, tentu ada bagian yang harus cermat melihatnya yaitu apa yang disebut sebagai para pihak yang dianggap berseberangan pula. Lalu motif seperti apa yang dipandang perlu untuk dipegang sebagai solusi beragama agar secara langsung berdampak pada upaya persatuan dan kesatuan bangsa didalam koridor bernegara dari sektor keagamaan yang berazaskan kedudukan perintah dan larangan sebagaimana yang terdapat di masing-.asing agama tersebut.

Fakta lapangan membuktikan, bahwa intoleransi yang hadir saat ini tidak saja terjadi secara internal dalam suatu agama, namun telah pula merambah kepada agama lain, bahkan telah merambah kepada sektor budaya yang saling berhadap-hadapan pula. Belum lagi negara pun hadir menambahi kekisruhan ini dengan memperluas wilayah keagamaan kedalam ruang-ruang publik dimana ruang tersebut merupakan wilayah yang menjadi ruang bersama yang tidak boleh di intervensi oleh agama apapun. Tentu saja kita masih belum melihat kecermatan pemerintah dalam melihat persoalan ini secara serius dan tepat sasarannya.

Sering terjadi bahwa kehadiran pemerintah justru tidak tajam bahkan cenderung menambah runyamnya persoalan ini yang diseret oleh pakar-pakar yang kurang kerjaan, sebab tidak jarang para petani membutuhkan cangkul, lalu dengan gampangnya diwacanakan bahwa kebutuhan petani itu dirubah menjadi pemberian traktor yang semakin membebani para petani tersebut baik secara maintenance, kebutuhan BBM yang tidak tersedia, apalagi semakin kurang efektif oleh karena lahan yang dimiliki petani tersebut relatif kecil. Atau pada kesempatan lain, kita pun sering mendengar bahwa perubahan tersebut memang direncanakan untuk menyelundupkan proses penganggaran dibalik kebutuhan masyarakat tersebut.

Namun demikian, kita pun harus menghormati segala upaya menuju kebaikan yang digagas oleh siapapun demi membangun sikap berbangsa bagi beragamnya kebhinekaan yang kita miliki. Sebab kebhinekaan bangsa Indonesia dapat membuat bangsa ini sebagai bangsa yang besar, serta berpotensi mengandung kekayaan yang melimpah. Namun, tantangan kebhinekaan juga dapat membuat penduduk Indonesia yang berbeda-beda itu menjadi di luar kendali. Akibatnya, bisa tumbuh perasaan atau perspektif yang sempit untuk mengancam integrasi nasional atau persatuan dan kesatuan bangsa.

Bangsa ini pun membutuhkan kesepahaman bersama bahwa fungsi-fungsi negara yang hadir tentu dipandang sebagai pihak secara netral dalam posisi keberadaannya, sehingga tarik-menarik kepentingan untuk mendorong sikap, pemikiran, bahasa dan narasi-narasi yang dimunculkan pun menampakkan selarasnya antara pernyataan dan tindakan yang perlu diwujudkannya. Termasuk penerapan segala sesuatu baik ditingkat pusat atau pun daerah, sebab tak jarang dari konteks seperti bahasa justru menimbulkan dampak yang serius bagi ketegangan yang terjadi ditengah masyarakat kita.

Gagasan untuk menjadikan suatu daerah dengan mengambil istilah yang sering diartikan sebagai label dari suatu agama tentu harus dipikirkan ulang, sebut saja penerapan *Kota Halal* atau *Wisata Halal* tentu penerapan semacam ini berakibat pada sikap penolakan diberbagai daerah yang disinyalir merebut ruang-ruang publik, sehingga citra negara dianggap lebih condong kepada salah satu pihak hingga menciptakan ketegangan kawasan diberbagai daerah yang dirasakan menekan pada penerapan sosial yang sebenarnya tidak perlu, bahkan menjadi kontra produktif, baik dari sisi antar beragama, maupun terhadap pelaku budaya yang bercokol diseluruh tanah air.

Kaitan antara pendidikan agama dan budaya di Indonesia sebenarnya memiliki relasi yang kuat, dimana anggapan bahwa budaya merupakan produk nenek moyang bangsa indonesia yang memberikan ruang apresiasi bagi tradisi budaya bangsa ini dengan seluas-luasnya tanpa perlu berbenturan dengan nilai-nilai keagamaan. Akan tetapi, hadirnya era digital semakin mempertajam kebutuhan dari kepastian ruang apresiasi dari masing-masing komponen itu untuk bermain, pada tatanan wilayah mana sesungguhnya mereka dibatasi. Maka disanalah upaya pemerintah itu harus hadir demi menyelesaikan persoalan bangsa ini kedepan.

#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI #GerakanTI Mari Kita Bertoleransi, silahkan anda share tulisan ini🙏

Rabu, 01 Mei 2024

Jokowi:Kawal Penyelesaian RUU Perampasan Aset Hingga Disahkan Oleh DPR !!!!

——
Jelang akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi meminta publik untuk mengawal penyelesaian RUU Perampasan Aset hingga disahkan oleh DPR. Menurutnya, RUU tersebut penting untuk memberikan efek jera kepada para koruptor di Indonesia dan dapat mengembalikan kerugian negara.

Harapan itu disampaikan Presiden Jokowi saat memberikan sambutan di acara Peringatan 22 Tahun Gerakan Nasional Anti Pencucian Uang di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (17/4).

"Saya titip upayakan maksimal penyelamatan dan pengembalian uang negara, sehingga perampasan aset menjadi penting untuk kita kawal bersama," kata Presiden Jokowi.

"Kita tahu kita telah mendorong, mengajukan UU perampasan aset pada DPR dan juga UU pembatasan uang kartal ke DPR, dan bolanya ada di sana. Karena kita harus mengembalikan apa yang menjadi milik negara," imbuhnya.

Sebelumnya Presiden Jokowi telah berulang kali mengirim surpres dan draf RUU Perampasan Aset untuk dibahas jadi undang-undang bersama DPR. Surat tersebut terakhir kali dikirimkan oleh Presiden kepada DPR pada Mei 2023. 

Namun, berbulan-bulan kemudian, nasib RUU yang disebut akan jadi senjata tambahan pemberantasan korupsi di Indonesia itu tak kunjung selesai dibahas.

"RUU perampasan aset, saya itu sudah mendorong tidak sekali dua kali, sekarang posisinya itu ada di DPR," kata Presiden Jokowi saat itu.
---------------------‐---------

Amicus Curiae Semakin Membeludak ?

*AMICUS CURIAE SEMAKIN MEMBLUDAK, MENUNGGU FILM EDUKASI-DOKUMENTER APDI MELEDAK*

 _Oleh : Dr KRMT Roy Suryo_ 

Saya (sengaja) memilih diksi "membludak" bagaikan Air Bah utk pilihan kata sangat banyaknya Amicus Curiae (= Sahabat Pengadilan) ini, karena memang sepanjang sejarah perkara di Indonesia, apalagi di MK, baru saat ini Jumlah masyarakat/kelompok yg mengajukan diri sebagai Amicus Curiae ini sangat banyak. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa Perkara yg sedang ditangani MK memang mendapat perhatian serius dan berpengaruh terhadap masyarakat.

Sampai dengan kemarin (Rabu, 17/04/24) tercatat tak kurang dari 22 (dua puluh dua) Amicus Curiae ini telah masuk Sekretariat MK, mulai dari 1. Brawijaya (Barisan Kebenaran Untuk Demokrasi), 2. Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), 3. Aliansi Akademisi dan Masyarakat Sipil, Busyro Muqoddas, Saut Situmorang, Feri Amsari, Usman Hamid, Abraham Samad, dll, 5. Oganisasi Mahasiswa UGM-UNPAD-UNDIP-UNAIR. 6. Megawati Soekarnoputri, 7. Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI), 8. Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN), 9. Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI), 10. Stefanus Hendriyanto, 11. Indonesian American Lawyers Association (Lia Sundah Suntoso dkk), 12. Reza Indragiri Amriel, 13. Pandji R Hadinoto, 14. Komunitas Cinta Pemilu Jujur dan Adil (KCP-JURDIL), 15. TOP Gun, 16. Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (Center For Law and Social Justice) LSJ Fakultas Hukum UGM, 17. Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, 18. Gerakan Rakyat Penyelamat Indonesia dengan Perubahan, 19. Burhan Saidi Chaniago, 20. Gerakan Rakyat Menggugat, 21. Tuan Guru Deri Sulthanul Qulub, sampai 22. Habib Rizieq Shihab, Din Syamsudin, Ahmad Shabri Lubis, Yusuf Martak, dan Munarman semuanya telah mengajukan Amicus Curiae.

Tak heran membludaknya Pengajuan Amicus Curiae ini sempat membuat Hakim MK keheranan dan menyatakan bahwa baru kali ini ada sebuah perkara yg sangat menyedot perhatian masyarakat. Jelas, karena apa yg nanti akan diputuskan oleh MK tgl 22/04/24 yad akan sangat berpengaruh terhadap Masyarakat, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya 5 tahun kedepan tetapi bahkan mungkin berlanjut sampai puluhan tahun berikutnya bila modus semacam ini tidak diakhiri. Nepotisme dgn menabrak segala aturan dan merusak tata nilai etika, moral dan hukum akan semakin parah jika dibiarkan.

Inilah waktu yg tepat bagi para Punggawa Hukum di MK tsb membuktikan kejujuran dan kebenaran hakiki kepada masyarakat Indonesia, karena Keputusan yg akan dihasilkan benar2 akan menjadi Tonggak sejarah Hukum di Indonesia, laksana kalimat populer "to be or not to be, that's question". Kalimat tsb adalah solilokui terkenal dari drama "Hamlet" karya William Shakespeare, khususnya dari Adegan 1, Babak 3. Solilokui ini disampaikan oleh Pangeran Hamlet yg membahas tema-tema ttg kematian, bunuh diri, dan dilema eksistensial antara penderitaan dalam hidup dan ketidakpastian apa yang ada setelah kematian. Jadi para Hakim MK memang bagaikan Hamlet dalam Drama tsb.

Disisi lain mungkin saja ada kekhawatiran tekanan oleh pihak2 tertentu (bahkan "guyuran" dari tangan2 kotor) yg bisa mempengaruhi keputusan Para "wakil Tuhan" diranah MK tsb, namun kita tentu semuanya percaya bahwa kehidupan manusia tidak akan kekal di alam fana, karena pertanggungan jawab setelah di alam baka justru yg akan dialami oleh Para Hakim MK tsb bilamana mereka nekad utk melakukan hal2 diluar Etika, Kejujuran, Nurani dan Kebenaran sesungguhnya. Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT tentu tidak Sare dalam melihat apa2 yg sedang terjadi saat ini.

Jadi selaku Masyarakat yg menginginkan Supremasi Hukum kembali di Indonesia dan Marwah Mahkamah Konstitusi bisa kembali setelah dirusak oleh Perbuatan Curang dan Jahat yg sempat terjadi kemarin, tentu semua berharap Ketok Palu dari Kawasan Merdeka Barat tsb nantinya benar2 bisa menyelamatkan Indonesia tidak semakin dalam terpuruk ke jurang Kolusi dan Nepotisme yg sudah terjadi. Apa jadinya kata the Founding Fathers yg sudah memperjuangkan kemerdekaan dan demokrasi semenjak tahun 1945 bahkan di era sebelumnya, kalau di tahun 2024 dirusak oleh kelakuan segelintir oknum yg memperdaya Rakyat dgn ulahnya.

Itulah yg saat ini juga sedang dikerjakan oleh APDI (Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia), karena selain sudah mengirimkan Amicus Curiae pada hari Selasa (16/04/24) kemarin, Aliansi yg beranggotakan Para Pakar IT Independen, TPDI, Perekat Nusantara, IA-ITB, KAPPAK dan KIPP saat ini sedang merampungkan sebuah Film Edukasi-Dokumenter yg memotret Perjalanan Pemilu 2024 di Indonesia. Sembari menyatakan salute kepada Film "Dirty Vote" yg diproduksi oleh sutradara Dandhy Dwi Laksono & sudah dirilis 11/02/24 lalu. Film yg menampilkan tiga pakar hukum tata negara Indonesia, Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar tsb telah menunjukkan kepada masyarakat bagaimana mensrea sekaligus trik2 jahat pelaksanaan Pemilu dan akhirnya memang terjadi.

Sedikit berbeda dgn "Dirty Vote", Film yg dibuat oleh APDI ini berupa Edukasi-Dikumenter yg mengajukan Fakta Sejarah yg tidak terbantahkan disertai dgn Kajian Ilmiah Komprehensif dari Pelaksanaan Demokrasi Indonesia, khususnya pasca Pelaksanaan Pemilu 2024 yg berlangsung kemarin dan masih menunggu Hasil MK utk memutuskan "to be or not to be"-nya tersebut. Jadi Film terbaru ini nantinya bukan hanya berisi Dokumentasi tetapi juga Edukasi utk bangsa ini kedepan agat kondisi yg terjadi saat ini InsyaaAllah tidak terulang lagi..

Di shooting di kawasan yg sangat Asri diseputaran Tangerang Selatan yg pernah jadi Kawasan Candradimuka Para Aktivis 1998, diiringi suara burung2 alam dan belasan hewan sebagai makhluk hidup yg dikonservasi dgn baik, Talent yg berperan di film ini saling mengisi dan melengkapi berdasar Referensi dan Background kepakaran dan pengalamannya masing2. Dimulai dari Saya, kemudian Dr Ir Leony Lidya MT, Erick S Paat SH MH, Petrus Selestinus SH, Paulet Stanly Jemmy Mokolensang SH, Ir Hairul Anas Suaidi, Ir Akhmad Syarbini, Akhmad Akhyar Muttaqin ST dan diakhiri Kaka Suminta, semua memaparkan dgn sangat komprehensif dan disertai bukti faktual. Masing2 talent juga dgn santai namun tetap ilmiah memberikan Analisis berbasis sains terhadap apa yg dikemukakan, karena film ini bukan Fiksi tetapi Fakta.

Tema khusus yg diangkat Dimulai dari Curang menuju Kebohongan hingga Kejahatan, MK ungkap Fakta-Fakta Presiden tidak lagi memenuhi Syarat sebagai Kepala Negara, Anomali Presiden, MK dan penyelenggara Pemilu 2024, Integritas vs Klaim SIREKAP hanya Pepesan kosong, Detail Amicus Curiae APDI dan Kecurangan vs integritas Pemilu, Dikemas secara Filmogis dan Sinematografis yg apik, dgn Pengaturan Lighting memenuhi kaidah standar Broadcast (ada Main light, side light, rim light bahkan fill-in light), InsyaaAllah film ini akan nyaman dipirsa dan ramah bagi indra kita. Ditake menggunakan sistem Multi canera dipadukan Inserting Bukti2 dan Fakta sesuai Topik yg dibahas secara sistematis membuatnya kronologis dan Terstruktur, meski bukan TSM sebagaimana perilaku kecurangan dan Kejahatan Pemilu yg sudah terjadi.

Jadi, kita tunggu saja Release resmi Film dari APDI ini, judul pasti silakan ditunggu saja saat diumumkan besok saat Mulai Tayang di Social Media, termasuk tentu saja YouTube sebagai Platform utamanya. Bisa "Dirty Election" atau "Memang Curang" bahkan kata lain yg menggelitik, semua memang (sengaja) masih disimpan sebagau Parodi dari Data2 Babon atau Sumber Data Pemilu yg sempat mau disembunyikan oleh KPU bbrp waktu lalu (sebelum KIP akhirnya memerintahkan agar Data2 Publik tsb dibuka). At last but not least, Amicus Curiae akan semakin membludak dan diharapkan Penayangan dan Dampak dari Film Edukasi-Dokumenter APDI ini juga akan meledak ... (Semoga)

Dr KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen, termasuk salahsatu Talent di Film Edukasi-Dikumenter APDI

Seruan IBHRS utk hadir pada undangan gelar istighosah kubro di depan MK

Singapura TDK ada menteri Kesehatan

Spesialis Trisula

Oleh: Dahlan Iskan
Rabu 01-05-2024

(Ilustrasi dokter melakukan transplantasi ginjal-Freepik.com)

MUNGKINKAH ide baru pendidikan dokter spesialis itu (Disway 30 April 2024) bisa lahir kalau menteri kesehatannya seorang dokter?

Mungkin tidak. Seorang menteri kesehatan punya pekerjaan yang luar biasa. Bisa menjalankan kewajiban yang ada saja sudah hebat. Apalagi ada Covid seperti yang lalu.

Mungkin saja bisa. Banyak juga dokter yang mau keluar dari pikiran kotak. Bahkan banyak dokter yang sukses sebagai kepala daerah. Atau juga di bidang bisnis.

Ternyata Singapura tidak pernah mengangkat seorang dokter menjadi menteri kesehatan.

Menkes yang sekarang, Ong Ye Kung, adalah pegawai negeri yang jadi politikus. Sebelum menjadi menkes, Ong menjabat menteri perhubungan. Sebelumnya lagi menjadi menteri pendidikan.

Pendidikannya ekonomi: lulusan London School of Economics. Lalu meraih master di bidang manajemen, MBA.

Ong anak seorang politikus garis keras. Ayahnya tokoh oposisi di Singapura, tapi merestui anaknya bergabung ke Partai Aksi Rakyat (PAP). Ong kawin dengan putri seorang konglomerat real estate Singapura. Umurnya: 54 tahun.

Akan sukseskah program baru pendidikan dokter spesialis dialihkan ke rumah sakit ini?

"Belum tentu. Sistem pendidikan bukan satu-satunya yang menentukan, " ujar seorang rektor yang juga dokter.

Dia bisa menerima kebijakan baru itu. Setidaknya tidak menentang. Tapi dia masih ingin melihat langkah-langkah lanjutan dari kebijakan baru ini.

"Meng-copy sistem di negara maju saja belum tentu berhasil," ujarnyi. "Tiongkok dengan penduduk yang begitu besar punya sistem pendidikan dokter yang berbeda lagi," katanya.

Setidaknya rakyat akan mengukur keberhasilan program baru Menkes Budi Gunadi Sadikin ini dari dua sudut: apakah biaya berobat bisa turun dan apakah jumlah dokter spesialis meningkat tinggi.

Dua alasan itulah yang selama ini menjadi akar lahirnya kebijakan baru: biaya berobat mahal karena untuk menjadi seorang dokter juga mahal.

Waktu sekolah menjadi spesialis, seorang dokter kena tombak trisula: kehilangan penghasilan, harus membayar biaya pendidikan, dan menjadi tumpuan tugas-tugas di tempat sekolahnya.

Tempat sekolah itu rumah sakit juga tapi yang menguji dan mengeluarkan ijazah adalah fakultas kedokteran.

Tentu menkes juga tahu penyebab mahal yang lain. Ia sendiri sering mengungkapkan; adanya hubungan khusus antara pabrik obat dan dokter.

Setelah kebijakan baru, sekolah spesialis tidak perlu membayar. Juga tidak lagi kehilangan penghasilan. Bahkan dapat bayaran. Itu belum bisa menghilangkan hubungan khusus antara dokter dan perusahaan obat.

Hubungan khusus itu sudah begitu lama. Sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Alasan pendidikan mahal memang sudah tidak akan ada. Tapi alasan baru tidak akan kurang jumlahnya.(Dahlan Iskan)

Selasa, 30 April 2024

Khusus Untuk Wanita Masalah Kanker, Penting Sekali !!!

*Informasi untuk para wanita dari Lembaga Penyuluhan Kanker Indonesia* 💖🌷

 🔺Hindari BH hitam di musim panas

🔺Jangan kenakan BH saat tidur.

🔺 Jangan sekali-kali memakai BH berkawat.

🔺 Selalu menutupi dada Anda sepenuhnya dengan syal saat Anda berada di bawah terik matahari.

🔺Gunakan deodrant bukan anti perspirant.

🔺Ini adalah pesan Layanan Umum dari Rumah Sakit Kanker.

⭕ Kirim ini ke Semua Wanita yang Anda Peduli Tanpa Ragu-ragu.

⭕ Kesadaran itu penting

⭕ aku peduli untukmu

⭕ Jangan ragu untuk menginformasikan kepada wanita lain. Teruskan ke setiap wanita di Daftar Anda!!! 
*ASAL USUL KANKER RAHIM*

Sharing Untuk Para Wanita. (bila pria yang terima, tolong diteruskan ke wanita di sekitar anda).

*1.* Jangan minum air es, air soda dan air kelapa pada saat haid.

*2.* Jangan keramas pada saat haid, karena pori kepala sedang terbuka pada saat haid. Bisa menyebabkan sakit kepala (kena angin kepala), sangat berbahaya. Efek ini bisa dirasakan saat muda dan saat tua.

*3.* Jangan makan mentimun saat haid, karena getah yang ada pada mentimun bisa menyebabkan haid tersisa di dinding rahim.

*4.* Saat haid, tubuh tidak boleh terbentur, terjatuh dan terpukul oleh benda keras terutama bagian perut, karena bisa menyebabkan muntah darah, dan rahim bisa terluka.

Riset membuktikan, minum es saat haid bisa menyebabkan darah haid tersisa di dinding rahim, setelah 5-10 tahun dapat menyebabkan : *"KISTA & KANKER RAHIM".*

Khusus untuk wanita....

Dalam rangka memperingati 'Hari Kanker' sedunia, peduli-lah.

Sebarkan info ini ke banyak wanita.... Ibu, Istri, anak putri, maupun teman wanita. 
Ini menunjukkan bahwa kita peduli sama mereka.

Sayangi Wanitamu.

1 x kiriman saja mungkin kamu sudah menyelamatkan 1 orang wanita.

*Semoga Bermanfaat Bagi Para Wanita...*💖🌷
💐💐💐

SUMBER:
LPKI (LEMBAGA PENYULUHAN KANKER INDONESIA).. *SHARE KE SELURUH GROUP SEMOGA BERMANFAAT BAGI BANYAK ORANG* 👍❤️🌹

Kanti W Janis - Pemberontak Kutu Buku


*Kanti W Janis, Pemberontak Kutu Buku*

Dalam kamus Kanti W Janis, pengetahuan akan melindungi dari ketidakadilan. Adapun membaca akan memerdekakan pikiran.

oleh
SEKAR GANDHAWANGI
27 April 2024

Ruangan yang penuh buku justru adalah tempat paling bebas buat Kanti W Janis (39). Kepalanya berpikir dengan lepas dan hasilnya dijalin menjadi refleksi yang bertumpu pada pengetahuan. Kanti percaya bahwa orang yang suka membaca adalah mereka yang pikirannya paling merdeka.

Dialog dengan Kanti berlangsung di sebuah ruangan yang seluruh sisi dindingnya dipasang rak buku yang menjulang dari lantai ke langit-langit. Setidaknya ada 11 tingkat di rak berbahan baja itu. Rak tersebut dipesan khusus oleh Kanti dan rekannya, Wien Muldian, saat mendirikan perpustakaan Baca di Tebet.

"Ada lebih dari 20.000 judul buku. Awalnya 90 persen koleksi pribadi Bang Wien. Terus, orang-orang mulai donasi dan kami juga beli yang baru-baru," kata Kanti di Jakarta, Rabu (17/4/2024).

Perpustakaan yang dibuka pada 2022 ini cukup populer di kalangan anak muda Jakarta. Walau judulnya perpustakaan, Kanti dan Wien sebetulnya membuat Baca di Tebet sebagai ruang temu yang santai. Jika perpustakaan umumnya melarang orang untuk makan dan minum, Baca di Tebet malah memperbolehkan itu. Pengunjung juga boleh mengobrol.

Saking asyiknya, pengunjung tak hanya datang untuk membaca. Ada pula yang bekerja di situ, mengobrol, hingga berfoto pranikah. Tak jarang pula Baca Di Tebet jadi wadah diskusi publik berbagai isu, mulai dari pendidikan hingga konflik agraria.

"Ini menjawab bahwa perpustakaan kesannya suram, membosankan, terus enggak boleh ngobrol," katanya. "Perpustakaan itu bukan tempat nyimpen buku, tapi untuk merawat pengetahuan. Buku-buku ini enggak ada gunanya kalau enggak ada yang baca dan kalau enggak diobrolin."
Sejak dulu perpustakaan adalah tempat favorit Kanti. Ia pasti datang ke perpustakaan saat jam istirahat sekolah untuk membaca Lima Sekawan, ensiklopedia, majalah Bobo, novel-novel karya NH Dini, atau Buku Pintar.

Minat membaca itu tumbuh secara alami. Orangtuanya suka membaca, tapi tidak pernah memaksa anak-anak membaca. Sebagai gantinya, mereka diajak ke toko buku atau bazar buku setiap akhir pekan. Di mata anak-anak, pergi ke pasar buku sama serunya dengan main di taman ria.

"Wahana permainan" di dalam buku membuat Kanti bebas berfantasi. Imajinasinya mengalir lepas hingga akhirnya mewujud ke buku fiksi Frans dan Balerina. Ia juga pernah menulis Saraswati—novel pertamanya—yang menjadikan Kanti sebagai nomine di ajang penghargaan Sastra Khatulistiwa (kini Kusala Literary Award) pada 2007.

Saat ini ia telah menerbitkan lima buku fiksi dan beberapa buku kompilasi. Tapi mungkin yang sangat berkesan adalah Cita-cita Titik Dua Petani. Penelitian selama 12 tahun dibalut Kanti jadi fiksi tentang persahabatan tiga remaja SMP yang beda cita-cita. Salah satu tokohnya bermimpi jadi petani.

Kanti jadi ingat kalimat mendiang bapaknya, Roy BB Janis. Katanya, petani adalah pekerjaan mulia karena telah memberi makanan banyak orang. Tapi sayang, nasib petani di negeri yang tanahnya subur ini tidak selalu mujur. Profesi ini saja tak selalu dilirik.

"Kalau sudah enggak ada yang mau jadi petani, berarti impor makanan dong? Kalau soal perut aja kita sudah tergantung sama bangsa lain, kita berdaulat di mananya?" kata Kanti.

Menyoal kekuasaan

Kanti habis membaca buku tentang kontrak sosial dari Jean-Jacques Rousseau. Di sana dijelaskan konsep ekonomi dan politik yang sebetulnya berkelindan. Negeri bisa makmur jika keduanya dikelola dengan benar.

Tapi sayang, ekonomi kerap dipahami sebagai pasar belaka. Kapitalisme. Kegiatan ekonomi didasarkan pada keuntungan sambil menutup mata soal kondisi sosial dan budaya masyarakat yang disuruh memenuhi permintaan pasar.

Ekonomi sejatinya bicara juga soal pengelolaan sumber daya alam negara. Menentukan siapa yang dipercaya untuk mengelola sumber daya alam tentulah tak lepas dari bahasan politik. Tapi, ya, cuma politik kekuasaan yang mencolok di negeri ini.

"Indonesia, kan, selalu dibilang negara kaya, sumber daya alam melimpah, tapi kok masih ada rakyat yang miskin? Berarti ada monopoli pengelolaan sumber daya," tutur Kanti yang juga pengacara.

Ia mendambakan keadilan yang sepertinya sulit betul didapat. Matanya melihat banyak ketidakadilan, permainan kekuasaan, sampai abainya manusia menjaga alam yang jadi sumber kehidupan warga.

Jika tak percaya, coba tengok kasus penolakan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, serta penolakan tambang emas di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Dua-duanya bikin hati Kanti pilu bercampur gemas. Sudah dua-duanya merusak alam, proses hukumnya pun membuat orang mengelus dada.

Kanti terlibat dalam proses hukum di kedua kasus itu sebagai advokat. Kebetulan ia punya sahabat di Rembang yang bakal terdampak buruk kawasan karst rusak oleh pabrik. Ia tak rela jika itu terjadi.

"Orang lain aja guebelain. Masa temen sendiri enggak gue bela?" ujar Kanti yang akhirnya terjun ke dunia politik setelah rajin mengadvokasi isu Kendeng.

Mimpi sejak kecil

Sejak SMP Kanti sebetulnya sudah ingin jadi pembuat kebijakan. Ia sadar bahwa banyak masalah sosial yang bisa diatasi lewat sistem ciptaan para pembuat kebijakan.

"Dulu aku suka ngumpulin sumbangan sama teman-teman, terus bikin bingkisan untuk panti asuhan dan panti jompo. Pas tahun depan datang lagi, kok, masih sama, malah nambah orangnya?" ujarnya. "Ternyata charity itu salah banget. Banyak orang ditaruh jadi, ibaratnya, maskot."

Selain jadi pembuat kebijakan, Kanti kecil juga ingin menjalani profesi yang membela orang lain saat dewasa. Kanti tak betah pada penindasan dan ketidakadilan sejak kecil. Mungkin ini karena Kanti kecil kerap diganggu teman-temannya karena terlalu kritis dan sering protes. Demi melindungi teman yang diganggu, Kanti tak segan menggebuk si pengganggu.

Bibit-bibit ini yang membawa Kanti di pekerjaannya yang sekarang: pengacara, penulis, dan kadang pelukis. Di sisi skeptis dirinya, ia sadar mimpi soal keadilan bakal sulit dicapai karena hukum bisa dibengkokkan dengan uang dan kuasa. Satu-satunya cara untuk melawan adalah lewat intelijensi dan kemerdekaan berpikir.

"Saya, tuh, pengin orang Indonesia tahu hak-haknya, pintar, cerdas, berani jadi dirinya sendiri. Kalau di sekolah kita didikte, disuapin, maka perpustakaan adalah tempat kita belajar berpikir merdeka," ucap Kanti. [   ]


*Kanti W Janis*

Lahir: Jakarta, 17 Januari 1985
Pekerjaan: penulis dan advokat
Pendidikan:
* Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
* Program LLM, Rijksuniversiteit Groningen, Groningen, Belanda, Jurusan Hukum Internasional dan Hukum Organisasi Internasional (2007-2008)
* Pendidikan Khusus Profesi Advokat Peradi (2009)

Pekerjaan:
* Penulis novel sejak 2006-sekarang
* CV Boelat Makmur, pemilik dan pengelola Kafe Boelat 2003-2006
* Kantor Hukum Robean-Janis and Associates, partner (2012-sekarang)
* Sekretariat Kantor Staf Khusus Presiden (2016-2019)
* Dewan Perpustakaan Jakarta (2019-2022)
* Ketua Koperasi Penulis Bangsa Indonesia (2021-sekarang)
* Bendahara Koperasi Gerakan Fermentasi Nusantara/Fermenusa (2021-sekarang)
* Presidium Kaukus Perempuan Politik Indonesia-KPPI (2021-sekarang)
* Presidium Bidang Advokasi dan Hukum Persatuan Penulis Alinea (2022-sekarang)
* Pendiri dan pengelola perpustakaan dan ruang temu Baca Di Tebet (2022-sekarang)
* Pengurus Badan Penelitian Pusat PDI Perjuangan (2016-sekarang)

Editor:
DAHONO FITRIANTO

Senin, 29 April 2024

20240429 Peringatan ULTAH Rm Petrus Oleh Para Senior ParSanBas Kota Tangsel - 149pc

01sd50 [149pc] Peringatan ULTAH Rm Petrus Oleh Para Senior ParSanBas Kota Tangsel @@@@---
@@
sambil lihat2 foto di bawah ini.????
51sd100 [149pc] Peringatan ULTAH Rm Petrus Oleh Para Senior ParSanBas Kota Tangsel @@@@---
sambil lihat2 foto di bawah ini.????
101sd149 [149pc] Peringatan ULTAH Rm Petrus Oleh Para Senior ParSanBas Kota Tangsel @@@@---
sambil lihat2 foto di bawah ini.????
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India