Selasa, 06 Oktober 2009

Pedagang Batik Pembela Republik

DALAM bayangan anak-anaknya, pria itu bertubuh tinggi, tegap, berkulit gelap, dan kerap memakai blangkon. Sosok yang disiplin, mencintai buku, dan gemar bermain bola. Dia Sosro Hartono, pedagang batik tulis asal Solo keturunan bangsawan.

Menikah dengan Masalmah, anak Raden Marjono, anemer dari Jember, Jawa Timur, Sosro memiliki tiga anak: Njoto, Sri Windarti, dan Iramani. Njoto lahir pada 1927, dua tahun lebih tua daripada Windarti dan 18 tahun lebih tua daripada Iramani.


Sosro mendidik anaknya dengan keras, tegas, dan disiplin. Adapun Masalmah santun, dengan tutur kata halus. "Tapi Bapak tak pernah main pukul," kata Windarti.

Setelah menikah, Sosro menyewa bangunan dari pedagang Cina di Bondowoso. Ia mendirikan toko batik Solo dan jamu Jawa. Sosro memberi nama toko itu Yosobusono, artinya membuat pakaian dalam bahasa Jawa. Di toko ini tersedia sarung dan kain batik, kemben, dan blangkon.

Yosobusono bukan toko biasa. Ia juga tempat mangkal aktivis kemerdekaan. Sosro menyokong mereka secara materi. Setiap hari ada saja pertemuan dan rapat pejuang, termasuk yang pernah dibuang ke Digul. "Para om Digul itu suka ngobrol dan nengok saya serta Njoto," ujar Windarti.

Sosro sering meluangkan waktu bersama anaknya meski sibuk dengan urusan toko dan para pejuang. Ia selalu menanyakan pelajaran dan cita-cita kepada Njoto dan Windarti. Sosro juga sering menemani dan melatih Njoto bermain bola. Sosro dan Njoto sama-sama hobi bermain bola. "Ayah itu senangnya bisnis," kata Iramani. "Bisnis adalah bisnis, keluarga adalah keluarga."

Sosro juga tak pernah melarang anaknya bermain. Ia hanya meminta anaknya menomorsatukan sekolah, belajar, dan membaca. Sosro tak pernah mengarahkan anaknya membaca buku komunis. "Ayah saya pembela Republik," kata Iramani.

Keluarga Sosro dan Masalmah termasuk ningrat Jawa yang menganggap pendidikan sangat penting bagi anaknya. Mereka mengirim anak-anak sekolah sampai ke Solo. Di kota inilah, Sosro membeli rumah yang menjadi pusat produksi batik, sekaligus tempat tinggal Njoto dan Windarti.

Suatu hari, ketika sedang berjalan pulang di pinggir rel, Windarti tiba-tiba diberi tahu bahwa ayahnya ditangkap Belanda. Tapi tak ada penjelasan mengenai sebab-musababnya. Windarti kemudian mencari pamannya, Maskan, yang kemudian mengajaknya menemui Njoto di Yogyakarta. Waktu itu, Njoto sudah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, wakil Partai Komunis Indonesia Banyuwangi.

Di Yogyakarta itu, Windarti dan Njoto baru mendapat penjelasan lebih lengkap mengenai penangkapan sang ayah. Belanda ternyata mengendus kegiatan di Yosobusono yang sering menjadi tempat berkumpul pejuang.

Sosro semula ditahan di penjara Bondowoso, tapi kemudian dipindah ke penjara Kalisosok, Surabaya. Sekitar seratus orang, termasuk Sosro, diangkut dengan kereta, dengan gerbong tanpa ventilasi. Perjalanan hampir 15 jam dari Bondowoso ke Stasiun Wonokromo, Surabaya, tanpa mendapat udara segar.

Insiden yang terkenal dengan Gerbong Maut itu memakan korban puluhan orang. Sosro selamat tiba di Stasiun Wonokromo karena seorang penumpang memecahkan kaca kecil di gerbong. Tapi kondisinya lemah. Ia dipulangkan ke Bondowoso dan dirawat oleh Dokter Koesnadi di rumah. Dan akhirnya Sosro mengembuskan napas terakhir tanpa disaksikan anak-anaknya. "Kami tahu satu bulan setelah Bapak meninggal," kata Windarti.

Njoto awalnya tak menunjukkan paras sedih begitu mendengar ayahnya meninggal. Tapi begitu pulang ke Solo, Njoto langsung ke kamar dan menumpahkan air mata. "Njoto nangis macam anak kecil," ujar Windarti.

Sosro dimakamkan di kompleks pemakaman Desa Tegal Ampel, Bondowoso. Istrinya, Masalmah, yang meninggal pada 1968, juga dimakamkan di tempat yang sama.

Saat Lek Njot Bersepatu Roda

TUJUH puluh tahun silam. Njoto kecil terpesona pada sepatu roda, mainan yang tergolong mewah waktu itu, apalagi di Jember, kota kecil di ujung Jawa Timur. "Kulo nyuwun dipundhutke sepatu roda," kira kira begitu permintaan Njoto kepada ibunya, Masalmah. Sengaja si bocah tak mengajukan permintaan kepada ayahanda, Raden Sosro Hartono, seorang keturunan ningrat Solo yang disegani karena perbawanya. Njoto memang lebih dekat kepada sang ibu.

Saat itu sebenarnya Njoto punya sepeda baru, hadiah dari bapaknya. Dengan sepeda itu bocah lanang semata wayang dari tiga bersaudara ini saban pagi berangkat ke sekolah, HIS (Hollands Inlandsche School, setaraf sekolah dasar) di Jember. Tapi mengayuh sepeda saja belum cukup. Ingin benar Njoto kecil menjelajahi jalanan Jember dengan sepatu ajaib beroda yang mungkin dilihatnya di surat kabar itu.

Singkat kata, permintaan sepatu roda Njoto ini sampai juga ke telinga Raden Sosro. Beruntung, pemilik usaha pembuatan blangkon dan jamu ini mengabulkan permintaan Njoto. Sepatu roda pun dibeli. Pak Raden secara khusus memerintahkan dua penjaga Yosobusono, toko batik milik keluarga Sosro, untuk menjaga Njoto agar tidak jatuh saat belajar meluncur dengan sepatu roda.

Walhasil, saban sore setelah toko batik tutup, Njoto siap beraksi. Dua karyawan toko yang masih terhitung kerabat Pak Raden itu turut sibuk bergerak. Mereka berjaga di sisi kanan dan kiri Njoto yang limbung ke sana kemari. Lek Njot, si anak majikan, tak boleh jatuh.

Tak lama, Njoto mulai lancar bersepatu roda. "Dalam sehari saja ia sudah bisa," kata Sri Windarti, adik Njoto yang selisih dua tahun umurnya dengan sang kakak. Sri tinggal di Medan, bersama keluarga Iramani, adik bungsu Njoto yang terpaut usia 18 tahun.

***

Lelaki blasteran Solo Jember ini lahir pada 12 Januari 1927 di rumah kakeknya, Marjono, seorang pemborong yang memiliki rumah bertingkat tiga di Jember. Sejak kecil Njoto berpembawaan serius seperti bapaknya. Hobinya pun membaca, seperti yang ditekankan oleh Raden Sosro, yang mewanti wanti anak anaknya agar rajin membaca dan bukannya keluyuran.

Saat bersekolah di HIS, Njoto tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean, Jember. Adiknya, Sri Windarti, turut serta. Ini karena Raden Sosro ingin anak anaknya bisa belajar di sekolah Belanda, yang jauh lebih teratur kurikulumnya, ketimbang sekolah rakyat untuk orang kebanyakan di Bondowoso, sekitar 30 kilometer utara Jember.

Sepulang sekolah, Njoto terkadang bermain sepak bola di lapangan tak jauh dari rumah kakeknya. Tentu juga menjelajahi jalanan dengan sepatu roda. Masa kecil yang riang.

Urusan belajar bukan berarti terabaikan. Menjelang sore, bersama Sri Windarti, dia naik dokar ke rumah seorang pengajar tambahan bernama Meneer Darmo. Waktu belajar plus ini mulai pukul lima sore hingga delapan malam.

Njoto kecil tumbuh dengan cita cita menjadi jurnalis. Kepada ayahnya, Njoto juga menyampaikan tekadnya untuk menguasai berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, dan Prancis.

Sejak kecil Njoto tidak menyukai struktur sosial yang bertingkat dan cenderung kaku. Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, dia merasa tak nyaman menyaksikan suasana feodal Jawa itu di rumah orang tuanya di Bondowoso. Ketika sanak kerabat dan para pekerja batik sowan menghadap Pak Raden, Njoto memilih cabut dari rumah, bersepeda, dan nongkrong di tempat pemandian umum Tasnan. Pemandian ini terletak sekitar tujuh kilometer dari rumah dan masih ada hingga kini.

Setamat HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama, di Jember, yang bisa dimasukinya tanpa tes. Namun, ketika tentara pendudukan Jepang datang, sekolah Belanda ini tutup. Sang bapak, yang membaca situasi darurat masih akan lama, memindahkan sekolah kedua anaknya itu ke MULO yang dibuka Jepang di Solo, Jawa Tengah. Di kota batik inilah kakek dan nenek dari pihak bapak tinggal.

Di kota ini, Raden Sosro membeli rumah di Desa Kemlayan Wetan 142, di kawasan Kauman. Selain sebagai tempat tinggal kedua anaknya, rumah ini 0menjadi tempat membuka usaha batik tulis, yang memproduksi sarung batik, kain panjang, kemben, dan blangkon.

Sabar Anantaguna, salah satu penggiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat, pernah satu sekolah dan sekelas dengan Njoto di MULO Solo. Penampilan Njoto, seingatnya, cukup rapi dan terawat. "Dia pakai celana panjang," kata Sabar, "sedangkan saya pakai celana pendek karena miskin." Di sini ia tetap bersepeda ketika pergi pulang sekolah.

Njoto pintar bergaul. Tak aneh jika guru menunjuknya sebagai ketua kelas. Bakatnya di bidang tulis menulis lebih menonjol dibanding olahraga.

Suatu ketika Njoto membuat karangan tentang para penjudi sepak bola yang kecewa. Para penjudi itu, begitu ia menulis, sudah berkumpul di pinggir lapangan siap menyaksikan pertandingan. Apa daya, hujan tiba tiba turun dan pertandingan langsung bubar. Para penjudi kecewa karena batal bertaruh. Karangan ini, seperti beberapa karangan Njoto lainnya, dibacakan guru di depan kelas.

Selain pintar menulis, Sri Windarti mengenang, kakaknya hobi menikmati musik klasik, bermain gitar, dan mengarang beberapa lagu. "Dia sendiri tidak menyanyi. Saya yang disuruh menyanyi," kata Windarti.

Njoto membentuk grup Suara Putri, yang berisi empat penyanyi remaja putri yang salah satunya adalah Windarti. Mereka berlatih bernyanyi sambil diiringi petikan gitar Njoto. Salah satunya lagu Wanita Asia, yang sempat mereka nyanyikan di stasiun radio di Solo dan belakangan direkam dalam piringan hitam. Lagu ini memuji ketegaran perempuan Asia plus menyanjung kedatangan Jepang yang melibas Belanda. Setelah Jepang hengkang pada 1945, lagu ini dilarang.

***
Tempo mencoba menelusuri rumah di Desa Kemlayan Wetan itu, tempat Njoto menghabiskan hari hari yang penuh energi. Rumah bertembok tinggi di Jalan Empu Gandring 141 itu kini menjadi rumah kos. Pintu gerbangnya yang cokelat tertutup rapat. Tembok pagar setinggi sekitar tiga meteran itu berwarna putih dan kusam. Seorang perempuan yang membuka pintu mengatakan, "Pemilik rumah tidak ada. Semuanya kos di sini." Pintu gerbang kembali ditutup. Jalanan lengang.

Sri Honing, 74 tahun, warga asli Kemlayan, berkisah kepada Tempo. Honing masih ingat salah seorang warga pendatang yang bernama Njoto. "Dia bersekolah di sini," kata Sri Honing, yang tinggal tak jauh dari rumah indekos tadi. Njoto, menurut Honing, tidak lama tinggal di Kemlayan, hanya sekitar tiga tahun.

Kemlayan dikenal sebagai kampung seni. Ini tecermin dari nama kampung itu, Kemlayan, yang berasal dari kata mloyo, yang merujuk pada para penabuh gamelan Keraton Kasunanan Surakarta, yang banyak tinggal di sini.

Tempo kemudian menelusuri jejak MULO. Sekolah peninggalan Belanda itu telah berubah menjadi Sekolah Menengah Kristen Mertoyudan, dengan enam kelas dan 203 siswa. Sebuah prasasti bertahun 1924 tampil di halaman. "Saya tidak tahu dulu sekolah apa pada zaman Belanda," kata Nanik Setiawati, salah satu guru.

Di Jawa Timur, jejak rumah orang tua Njoto di Jalan P.B. Sudirman, Bondowoso, juga tertinggal samar. Rumah itu telah berubah menjadi rumah toko yang sudah tak lagi beroperasi. Menurut Umi, salah satu kerabat keluarga Njoto, toko itu sekarang dimiliki seorang pedagang Tionghoa dan sudah lama tutup. "Itu dulu rumah ayah Lek Njot," kata dia menunjuk ke seberang dari tokonya yang berjualan tape. Sebuah warung pecel ada di depan rumah. "Bapak saya yang menyewa sejak setahun lalu," kata Titut, penjual pecel.

Nasib rumah Marjono, kakek Njoto, di Kampung Tempean, Jember, tak kalah sunyi. "Pemiliknya, orang Situbondo, pulang kampung karena sakit," kata Saenal, Ketua RW. Rumah itu terletak di Gang Tiga persis berseberangan dengan makam seorang tokoh lokal, Mas Cholilah, di Jalan Samanhudi.

Jupri Ahmari, 74 tahun, sesepuh di Kampung Tempean, bertutur tentang asal mula nama kampung. "Dulu, banyak orang membuat tempe, maka disebut Tempean," katanya. Kampung ini termasuk basis komunis pada era 1960. Kini, jejak itu memudar seiring dengan berkembangnya sebuah taman pendidikan Al Quran.

Peniup Saksofon di Tengah Prahara

IA berbeda dari orang komunis pada umumnya. Ia necis dan piawai bermain biola dan saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak melulu �pro-rakyat� dan menggelorakan �semangat perjuangan�. Ia menghapus The Old Man and the Sea�film yang diangkat dari novel Ernest Hemingway�dari daftar film Barat yang diharamkan Partai Komunis Indonesia. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang �kapitalis� harus selalu dimusuhi.

Ia adalah Njoto�yang namanya nyaris tak menyimpan pesona. Ia sisi lain dari sejarah Gerakan 30 September 1965. Kecuali buku-buku Orde Baru yang menyebut semua anggota PKI terlibat G30S, kebanyakan sejarawan tak menemukan keterlibatan Njoto dalam aksi revolusioner itu. Njoto memang tak lagi berada di lingkaran dalam Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit menjelang kemelut 1965. Ia disingkirkan akibat terlalu dekat dengan Soekarno.

Tapi sejarah �resmi� 1965 menunjukkan tak ada orang komunis yang �setengah berdosa� dan �berdosa penuh�. Di mata tentara, sang pemenang pertarungan, hanya ada komunis atau bukan komunis. Karena itu, sang pendosa harus ditumpas kelor. Njoto salah satunya. Ia diculik, hilang, dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya tak terlacak.

Menulis Njoto, setelah 44 tahun tragedi 1965, adalah ikhtiar untuk tak terseret logika tumpas kelor itu. PKI bukanlah sebuah entitas yang utuh. Sejarah selalu menyimpan orang yang berbeda.

Njoto salah satunya.

=========================================================
TIM TEMPO EDISI KHUSUS NJOTO
Penanggung Jawab: Arif Zulkifli
Koordinator: Wahyu Dhyatmika, Budi Riza, Dwidjo U. Maksum, Agus Supriyanto
Penyunting: Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Hermien Y. Kleden, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Mardiyah Chamim, M. Taufiqurohman, Purwanto Setiadi, Putu Setia, Wicaksono
Penulis: Budi Riza, Yandhrie Arvian, Agus Supriyanto, Anton Aprianto, Bagja Hidayat, Dwidjo U. Maksum, Iwan Kurniawan, Kurie Suditomo, M. Nafi, Rini Kustiani, Sapto Pradityo, Wahyu Dhyatmika, Yandi M. Rofiyandi, Yuliawati, Arif Zulkifli, Bismo Agung
Penyumbang Bahan: Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Edi Faisol (Tegal), Mahbub Djunaidy (Jember), Rofiuddin (Semarang), Sutana Monang Hasibuan (Medan), Ukky Primartantyo (Solo)
Penyunting Bahasa: Dewi Kartika, Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Fotografer: Mazmur A. Sembiring (Koordinator), Arnold Simanjuntak
Desain Visual: Gilang Rahadian (Koordinator), Eko Punto, Danendro, Hendy Prakarsa, Kiagus Auliansyah, Ajibon, Agus Darmawan S., Tri W. Widodo

Selasa, 10 Maret 2009

Sutan Sjahrir: Sebuah Kekecualian Zaman

Oleh: MUHAMMAD CHATIB BASRI

SUTAN Sjahrir seperti sebuah kekecualian bagi zamannya. Mungkin ia terlalu di depan bagi masanya. Ketika nasionalisme adalah tungku yang memanggang anak-anak muda dalam elan kemerdekaan, Sjahrir justru datang dengan sesuatu yang mendinginkan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan nasional tidak final. Tujuan akhir dari perjuangan politiknya adalah terbukanya ruang bagi rakyat untuk merealisasi dirinya, untuk memunculkan bakatnya dalam kebebasan. Tanpa halangan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan adalah sebuah jalan menuju cita-cita itu. Itu sebabnya Sjahrir menganggap nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi.

Saya sulit membayangkan, di satu masa ketika nasionalisme begitu berapi-api, ketika kemerdekaan seperti menjadi obsesi dan tujuan akhir bangsa, Sjahrir justru berbicara tentang sesuatu yang lebih jauh dari itu. Di masa ketika nasionalisme seperti menjadi pegangan garis perjuangan, Sjahrir mengingatkan: tanpa demokrasi, nasionalisme bisa bersekutu dengan feodalisme.

Persekutuan tak suci ini memiliki potensi menimbulkan totalitarianisme. Sebagai seseorang yang mendambakan kebebasan individu dan menentang totalitarianisme, Sjahrir begitu kritis terhadap totalitarianisme kanan, yaitu fasisme, dan juga terhadap totalitarianisme kiri, yaitu komunisme. Nasionalisme juga punya bakat untuk mendorong totalitarianisme.

Sjahrir benar, sejarah dunia sudah membuktikan ini. Itu sebabnya, dalam skala global, menurut dia, nasionalisme harus tunduk kepada humanisme. Bahkan, di zaman ini, ketika batas-batas negara mulai dipertanyakan, Sjahrir barangkali masih dianggap terlalu di depan. Sutan Sjahrir, yang menjadi perdana menteri pada usia 36 tahun, memang sebuah kekecualian untuk zamannya.

Bagi orang yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kebebasan ini, dari mana pun asalnya, totalitarianisme akan menindas kebebasan individu. Itu sebabnya ia menentang diktator proletariat. Namun amat salah jika orang kemudian menyimpulkan bahwa kebebasan yang dijunjung tinggi olehnya akan sejalan dengan pandangan kaum borjuis demokratik Revolusi Prancis. Dalam Perdjoeangan Kita, Sjahrir menulis, ��ialah pelopor yang membersihkan jalan untuk dunia kapitalisme dan imperialisme, sedangkan revolusi kita harus dianggap sebagai salah satu revolusi yang menyumbang kesudahannya.�

Ada sebuah debat filosofis yang menarik di sini. Di satu sisi Sjahrir memuja kebebasan individu, tapi di sisi lain ia mengatakan revolusi yang diinginkannya bukan pelopor jalan kapitalisme. Sebagai seorang sosialis, Sjahrir jelas membayangkan sebuah negara yang dapat menjadi representasi sosial. Ia jelas tak percaya kepada mekanisme pasar. Ia melihat pentingnya peran negara dalam menjaga kaum miskin. Ia menginginkan sebuah kebijakan yang merepresentasikan preferensi sosial dan menjaga kebebasan individu. Di sini soalnya.

Pemenang Nobel Ekonomi, Kenneth Arrow, pernah menunjukkan: tidak mungkin ditemukan sebuah bentuk keinginan atau preferensi sosial yang konsisten dengan preferensi individu. Kehendak mayoritas memang kerap dianggap sebagai metode paling umum untuk pengambilan keputusan sosial dalam demokrasi. Namun harus disadari: cara pengambilan keputusan seperti ini memungkinkan adanya represi mayoritas terhadap minoritas. Sebagai contoh, jika ada tiga orang dengan tiga alternatif pilihan, apel, jeruk, dan mangga, orang pertama memiliki preferensi untuk memilih apel dibanding jeruk, dan jeruk dibanding mangga. Sedangkan orang kedua lebih memilih jeruk ketimbang mangga, serta mangga dibanding apel; orang ketiga lebih memilih mangga dibanding apel, dan apel dibanding jeruk.

Di sini kita akan melihat bahwa metode pengambilan keputusan berdasarkan mayoritas akan berujung pada suatu kondisi inkonsistensi. Dalam kasus di atas, kita bisa melihat bahwa secara mayoritas apel lebih disukai ketimbang jeruk, yang juga memiliki mayoritas atas mangga. Di sisi lain, kita juga melihat bahwa mayoritas memilih mangga atas apel. Di sini prinsip transitivity telah dilanggar.

Temuan Arrow yang dikenal sebagai the impossibility theorem kemudian menunjukkan tidak ada satu cara pengambilan keputusan sosial yang konsisten, kecuali jika kita menerima sistem diktatorial di mana preferensi seseorang (misalnya preferensi orang pertama) dianggap merepresentasikan preferensi sosial. Dengan kata lain, kebebasan individu tidak bisa direpresentasikan oleh preferensi sosial, kecuali jika kita menerima sebuah sistem diktatorial. Jelas ini sebuah sistem yang ditentang oleh Sutan Sjahrir. Bagaimana menjelaskan kontradiksi ini?

Saya teringat Amartya Sen. Sutan Sjahrir pasti tak membaca Sen, karena ia hidup beberapa dekade sebelum pemikiran Sen dikenal. Sen mencoba menjawab argumen Arrow dengan memasukkan unsur informasi di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam pemikirannya, Sen juga menempatkan peran yang amat besar bagi kebebasan dan persamaan (equality). Dalam bukunya, Inequality Reexamined (1992), ia menunjukkan bahwa persamaan memegang peran yang amat penting dalam semua filsafat politik. Bagi Sen sendiri, persamaan harus dipahami dalam konteks bagaimana ia mampu meningkatkan kapabilitas untuk memperoleh hidup yang layak (well being).

Di sini elemen kebebasan menjadi sangat penting karena�seperti yang dijelaskan dengan sangat teknis oleh Sen�kapabilitas harus merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya (functionings). Sen memberikan contoh: melek huruf, misalnya, memungkinkan orang membaca.

Kapabilitas dengan kata lain adalah sebuah bentuk kebebasan untuk mencapai berbagai alternatif functionings atau pilihan atas variasi hidup. Seseorang yang berpuasa, misalnya, mungkin memiliki functionings yang sama dalam hal jumlah makanan atau gizi seperti mereka yang miskin dan terpaksa lapar, tapi mereka yang berpuasa dan tidak miskin memiliki capability set (kumpulan kapabilitas) yang lebih besar dibanding mereka yang miskin (yang pertama sebenarnya dapat memilih untuk makan atau tak makan, sedangkan yang kedua tidak).

Itu sebabnya kemiskinan harus dipandang dalam konsep ini. Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Implikasinya: kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, melainkan karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut. Itu sebabnya peran dari kebebasan menjadi begitu penting.

Terus terang saya begitu terkesima bahwa Sutan Sjahrir sudah membicarakan debat yang dibahas Sen ini jauh beberapa dekade sebelumnya�tentu tidak dalam format matematika yang rumit atau rumusan akademik yang kaku. Buku Sen, Development as Freedom, juga mengingatkan saya kepada pemikiran Soedjatmoko, yang berada satu garis dengan Sutan Sjahrir. Pemimpin Partai Sosialis Indonesia�yang kerap diidentikkan dengan gudang intelektual langka massa�ini memang sebuah kekecualian bagi zamannya.

Satu bagian dari Perdjoeangan Kita yang juga menarik dikaji adalah sikap Sjahrir yang bagi banyak kaum revolusioner�atau yang merasa dirinya radikal�dianggap lemah dan mungkin sebuah kekalahan. Sjahrir tak berteriak keras kepada asing. Ia menulis: �. Selama dunia tempat kita hidup dikuasai oleh modal, kita harus memastikan bahwa kita tidak memiliki kebencian yang dalam pada kapitalisme. Ini menyangkut negeri kita yang dibuka untuk kegiatan ekonomi asing sejauh mungkin�selalu dengan syarat tidak merusak kesejahteraan rakyat kita. Begitu pula dengan masuknya orang asing ke negara kita.

Sjahrir seperti mengisyaratkan bahwa tak perlu pembedaan antara modal asing dan pribumi, dan kerja sama dengan kapitalisme tak terhindarkan selama itu membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Mengejutkan, suara ini terdengar seperti suara yang membuka diri bagi globalisasi. Ia tak berbicara soal batas negara, ia berbicara mengenai kesejahteraan masyarakat. Bagaimana menjelaskan kontradiksi ini?

Saya kira Sutan Sjahrir bisa sampai pada argumen ini karena pada dasarnya ia seorang humanis yang menjunjung tinggi kebebasan. Ada sesuatu yang lebih tinggi ketimbang batas geografis, dan itu adalah kesejahteraan manusia. Ia tak terkekang oleh nasionalisme. Sesuatu yang mungkin bagi orang sezamannya �bahkan bagi banyak orang saat ini�dianggap melampaui zamannya. Sutan Sjahrir memang sebuah kekecualian bagi zamannya.

MUHAMMAD CHATIB BASRI
Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia

Mencari Ahli Waris Ideologis Sjahrir

Oleh: VEDI R. HADIZ

DALAM sejarah Indonesia, Sutan Sjahrir adalah eksponen utama garis ideologis yang dapat disebut perpaduan antara tradisi sosial demokrasi dan liberalisme. Sebagai sosial demokrat, ia merupakan tokoh gerakan buruh yang andal pada 1930-an, dan menaruh perhatian amat besar terhadap masalah pendidikan rakyat. Liberalismenya terlihat antara lain dalam perhatiannya yang besar pula terhadap masalah perlindungan hak-hak individu dari tirani negara. Tak mengherankan bila ia menjadi musuh besar fasisme, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.

Tidaklah mengejutkan bahwa ideologi yang diperjuangkan Sutan Sjahrir mengalami rintangan pada masa Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru yang otoriter. Tetapi, Indonesia sekarang adalah negara demokrasi, bahkan negara demokrasi yang paling tegak di seluruh Asia Tenggara mengingat beberapa perkembangan anti-demokratis di Filipina, dan terutama Thailand, belakangan ini. Sebagai negara demokrasi, barangkali kita berharap menemukan para ahli waris garis ideologi yang diperjuangkan oleh Sutan Sjahrir di antara berbagai kekuatan politik yang sekarang bersaing secara bebas dan terbuka untuk memimpin Indonesia.

Tetapi, dalam kenyataannya, sangat sulit mengidentifikasi adanya ahli waris langsung tradisi ideologis Sutan Sjahrir di antara sekian banyak tokoh dan partai politik yang sedang menyiapkan diri untuk bertarung dalam pemilu 2009. Yang terlintas dalam benak hanya sebuah partai kecil yang dirintis oleh ekonom (almarhum) Dr Sjahrir, yang tidak bisa diharapkan secara realistis menjadi salah satu petarung utama dalam ajang pemilu.

Sebenarnya hal ini merupakan cerminan suatu fenomena sosiologi dan politik yang agak aneh. Memang, Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sutan Sjahrir diketahui meraih prestasi yang amat buruk dalam Pemilu 1955: hanya mampu memperoleh lima kursi di parlemen dan dua persen suara. Tetapi hasil ini dapat dijelaskan secara sosiologis dengan menunjuk kepada struktur sosial Indonesia pada waktu itu. Basis kemasyarakatan PSI boleh dikatakan agak terbatas dengan ketidakhadiran suatu kelas menengah yang berarti, yang diharapkan akan peduli dengan soal-soal hak dan kebebasan individu. Kelas buruh Indonesia juga masih amat terbatas, apalagi banyak anggotanya dapat diperkirakan justru menjadi sumber dukungan berarti bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berseberangan dengan Sutan Sjahrir. Struktur sosial semacam ini adalah konsekuensi perkembangan kapitalisme yang relatif terbatas, dan yang sedang mengalami stagnasi pada tahun-tahun awal kemerdekaan.

Mungkin saja benar bahwa PSI pada 1950-an telah menjadi anomali sebagai partai kaum intelektual di tengah suatu masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah sekali. Tetapi jumlah kaum terdidik di Indonesia sekarang cukup banyak dibandingkan setengah abad yang lalu. Kaum buruh saja memiliki tingkat melek huruf yang lumayan tinggi sebagai hasil dari sistem pendidikan nasional yang diadakan secara meluas serta sudah tidak asing lagi dengan persoalan-persoalan hak. Pola konsumsi di kota-kota besar dan kecil di Indonesia memberikan indikasi hadirnya kelas menengah yang lebih signifikan dan juga beragam, termasuk kaum profesional yang kian mempunyai ambisi sosial tinggi.

Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan perkembangan kapitalisme yang pesat di masa lalu, terutama sebelum keanjlokan Orde Baru. Kalaupun sebuah partai sosial demokrat atau liberal belum dapat diharapkan menang dalam pemilu di Indonesia, seharusnya ia dapat memainkan peranan yang lumayan signifikan mengingat konteks yang sudah berubah. Tetapi, adakah Indonesia memiliki suatu partai liberal andal yang dapat dikatakan mewakili kepentingan kelas menengahnya? Apakah ada partai berhaluan sosial demokrat, atau bahkan lebih radikal, yang dapat dikatakan mewakili aspirasi kaum buruh Indonesia? Sekali lagi, dalam kenyataannya partai-partai semacam ini masih absen dalam kancah politik. Kalau begitu, di mana kita bisa menemukan ahli waris ideologi Sutan Sjahrir dalam masyarakat Indonesia yang sudah sepuluh tahun menikmati alam demokrasi?

Di masa Orde Baru, sebagian pengikut Sutan Sjahrir dapat ditemukan dalam peranan sebagai teknokrat pemerintahan. Sebagian lagi dapat ditemukan di kalangan oposisi politik, dalam berbagai organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Sebagai golongan intelijensia, pikiran mereka mencuat dalam seminar-seminar tentang masalah politik dan pembangunan dan tidak jarang pula muncul dalam halaman opini surat kabar atau majalah berita.

Tetapi suasana depolitisasi yang dikembangkan secara sistematis oleh Orde Baru praktis menutup kemungkinan untuk betul-betul berorganisasi di tingkat bawah. Sementara itu, konstituen potensial suatu partai sosial demokrat ataupun liberal berkembang dalam suatu alam pemikiran tertutup yang bergelimang materialisme vulgar.

Kelas menengah kota Indonesia mengembangkan nilai-nilai sosial politik yang konservatif, dan untuk sebagian lebih memberikan tempat bagi perluasan sentimen xenofobis yang berlandaskan ikatan primordial sempit daripada hak-hak yang bersifat universal. Persoalan hak sosial dan politik dikesampingkan demi kenikmatan kehidupan material di bawah perlindungan rezim yang otoriter. Kelas buruh pun, dengan beberapa pengecualian, praktis tak terjamah secara politik, terlepas dari kegiatan organisasi di kalangan mereka yang meningkat cukup pesat pada 1990-an.

Karena itu kaum intelijensia sosial demokrat dan liberal sudah menjadi semakin terputus dari masyarakat ketika reformasi akhirnya bergulir. Mereka tak memiliki basis sosial yang kukuh untuk menjadi pemain inti dalam pertarungan reformasi. Akibatnya masih dirasakan sekarang: partai politik di Indonesia dikuasai oleh petualang dan pialang yang tidak bervisi dan berprinsip, tidak berpikir maju, dan hanya sibuk dengan politik tawar-menawar tak berkesudahan di belakang layar.

Demokrasi Indonesia pada dasarnya memerlukan partai-partai sosial demokrat, liberal�dan bahkan yang lebih radikal�untuk memberikan isi kepada kehidupan politik dewasa ini. Demokrasi Indonesia memerlukan partai-partai yang akan memberikan makna lebih substansial kepada hak-hak formal yang sudah dimenangkan dengan susah payah sejak kejatuhan Orde Baru. Partai semacam itu dibutuhkan untuk menyediakan tantangan kepada para penjarah dan koruptor masa lalu yang masih bercokol dalam berbagai institusi publik. Dengan kata lain, demokrasi Indonesia sedang mencari para ahli waris ideologis Sutan Sjahrir, yang bukan saja intelektual piawai melainkan juga mengakar pada masyarakat serta mampu berorganisasi secara efektif.

VEDI R. HADIZ
Staf pengajar Jurusan Sosiologi, Universitas Nasional Singapura (NUS)

Sutan Sjahrir: Titian Sosialisme ke Demokrasi

Oleh: IGNAS KLEDEN

PEMIKIRAN politik kiri, yaitu filsafat politik yang menekankan persamaan dan keadilan, merupakan semangat zaman sekaligus intellectual fashion tempat hampir semua pendiri Republik Indonesia bertumbuh dan menjadi matang. Soekarno terpukau pada teori imperialisme Lenin, Hatta mempelajari ekonomi sosialis negara-negara Skandinavia dan memperjuangkan koperasi sebagai perwujudan ekonomi kerakyatan, Tan Malaka mencoba menerjemahkan sosialisme ilmiah ke dalam teori Madilog sebagai epistemologi materialis untuk mengikis alam pikiran mistis dan takhayul, sedangkan Sjahrir memperkenalkan dan mendirikan partai politik dengan asas sosial-demokrasi.

Dalam sejarah sosialisme di Barat�sebagaimana dijelaskan Sjahrir �konsep sosial-demokrasi muncul pertama kali di kalangan kaum sosialis Jerman di bawah pimpinan Eduard Bernstein, setelah berdirinya Gerakan Buruh Internasional II (dikenal sebagai Internasional II) di Paris pada Juli 1889. Internasional II lahir dua dasawarsa setelah Internasional I yang didirikan pada 1864 dengan mengikuti gagasan Marx, hancur berantakan oleh revolusi 1871 yang menelan korban lebih dari 20 ribu jiwa.

Menjelang akhir abad ke-19 terjadi perkembangan baru dalam industri di Eropa, yang tak sesuai dengan ramalan Marx tentang tahapan-tahapan menuju revolusi proletar. Industri bertumbuh pesat, kaum pekerja pabrik bertambah banyak dan proletarisasi memang meluas, tetapi kaum buruh tidak menjadi semakin miskin dan sengsara, tidak mengalami Verelendung sebagaimana diramalkan Marx. Demikianpun buruh tidak menjadi lebih radikal karena ditemukan metode baru untuk memperbaiki nasib mereka melalui mogok dan hak pilih.

Bernstein tampil dan mengusulkan agar kaum sosialis Jerman melepaskan diri dari ajaran Marx dan mendirikan partai politik sendiri. Sifat internasional gerakan buruh ditolak, karena menurut Bernstein dan pengikutnya, buruh tetap mempunyai tanah air. Ajaran Marx perlu direvisi secara besar-besaran sehingga gerakan ini dinamakan revisionisme di kalangan Marxis. Pemisahan kaum sosialis Jerman dari Marxisme ortodoks ditandai oleh terbitnya buku Bernstein berjudul Voraussetzungen des Sozialismus und die Aufgaben der Sozialdemokratie (syarat-syarat sosialisme dan tugas-tugas sosial-demokrasi) pada 1899.

Seperti biasa, munculnya kritik kepada Marx menimbulkan anti-kritik yang sama gencarnya mempertahankan Marxisme. Alhasil, pergolakan dalam kalangan Marxis Jerman melahirkan tiga sayap pergerakan, yaitu sayap kanan di bawah pimpinan Bernstein yang menganjurkan sosial-demokrasi, sayap tengah dengan dua tokoh utama, August Bebel dan Karl Kautsky, yang menolak mogok sebagai metode perjuangan kaum pekerja, dan sayap radikal di bawah Rosa Luxembourg. Internasional II praktis bubar dengan pecahnya Perang Dunia I, sampai muncul Internasional III sesudah pecah Perang Dunia II. Tiga pimpinannya yang kemudian memainkan peranan penting adalah Lenin, Trotsky, dan Stalin, yang mencoba menghidupkan kembali impian semula dari Marx, yaitu mengobarkan revolusi proletar di seluruh dunia.

Menarik bahwa meskipun pemikiran politik kiri, khususnya Marxisme, menjadi suasana umum dalam alam pikiran para pendiri republik Indonesia, yang mempersatukan semua mereka adalah nasionalisme dan keyakinan tentang kemerdekaan tiap bangsa sebagai sesuatu yang niscaya dan mungkin dilaksanakan. Aneh sekali, misalnya, bahwa Tan Malaka, yang menjadi seorang Marxis sejak muda, menjadi tokoh pertama yang memikirkan dan merencanakan bentuk negara Indonesia yang akan merdeka, yaitu republik. Ini jelas menyimpang dari Marxisme ortodoks yang amat menekankan sifat internasional dari gerakan proletar sedunia.

Menarik juga bahwa tidak banyak dari antara para pendiri republik yang berbicara tentang demokrasi sebagai isu penting untuk Indonesia Merdeka. Mungkin hanya Hatta dan Sjahrir yang memberi perhatian khusus kepada pentingnya demokrasi sebagai sistem politik yang dapat diusulkan dan melakukan pendidikan politik untuk mempersiapkannya. Koperasi dalam pengertian Hatta tak lain dari perwujudan demokrasi dalam bidang ekonomi. Sementara itu Sjahrir tak bosan-bosannya mewanti-wanti risiko pemikiran kiri dan euforia nasionalisme yang tidak diimbangi dengan semangat demokratis.

Terhadap pemikiran Marxis Sjahrir menolak bahwa individu tidak penting dan hanya menjadi unsur dan nomor dalam perjuangan kelas. Terhadap Bolsyevisme Lenin yang kemudian dipraktekkan oleh Stalin, dia mengecam keras adanya partai tunggal dan politbiro dengan kekuasaan tak terbatas. Dia tidak percaya bahwa Partai Komunis hanyalah peralihan sementara sebelum tercapai pemerintahan oleh kaum proletar dan bahwa pengorbanan manusia dalam perjuangan itu harus diterima sebagai necessary evil yang tak terhindarkan. Dengan sinis dia bertanya: bagaimana mungkin adanya partai tunggal yang dibenarkan oleh negara dan adanya politbiro yang demikian totaliter masih sejalan dengan teori Lenin tentang menghilangnya negara atau the withering away of the state, ketika proletar sudah sanggup memerintah dirinya sendiri?

Dalam pidatonya di depan Kongres Sosialis Asia II di Bombay pada 6 November 1956 Sjahrir berkata: �Kaum sosial kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai ketidaksabaran revolusioner yang sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas bahwa kaum komunis telah menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran Lenin dan Stalin mengenai perjuangan kelas dan kesusilaan kelas, mereka menghancurkan, dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia.� Di sini terlihat Sjahrir berpaling ke demokrasi, yang mengakui bahwa secara politik rakyat berhak memerintah dirinya sendiri berdasarkan asas kedaulatan rakyat, dan secara moral kedudukan, hak serta martabat setiap orang harus dihormati dan dibela berdasarkan prinsip human dignity.

Dia menentang kekuasaan politik yang ditentukan berdasarkan susunan hierarkis dalam feodalisme maupun dalam politbiro ala Bolsyevik. Menurut Sjahrir, dalam pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dan martabat manusia, sosialisme yang dianutnya sejalan dengan demokrasi liberal, tetapi dengan satu perbedaan. Yaitu, bahwa pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dalam demokrasi sering kali masih menutup mata terhadap penghisapan satu golongan terhadap golongan lain yang jauh lebih besar.

Dia cukup realistis untuk melihat bahwa perwujudan kedaulatan rakyat hanya mungkin terlaksana apabila suatu bangsa sudah terbebas dari penjajahan asing. Karena itu dia memihak sepenuh hati kepada perjuangan kemerdekaan dan turut mendukung dengan caranya sendiri apa yang dinamakannya revolusi nasional, yang membuatnya dapat bekerja sama dengan tokoh lain yang menjadi sasaran kritiknya seperti Soekarno dan Tan Malaka. Akan tetapi dalam keyakinannya, revolusi nasional itu harus segera disusul oleh revolusi sosial, untuk mengubah susunan dan pandangan masyarakat agar pimpinan politik tidak telanjur jatuh ke tangan orang-orang yang berpikiran feodal. Kalau ini terjadi keadaannya akan menjadi sangat berbahaya karena susunan hierarkis feodal dapat segera bersekutu dengan fasisme, yang dengan mudah memanipulasi nasionalisme yang tak terkendali menjadi chauvinisme, yang bakal mempersulit pergaulan demokratis pada tingkat internasional.

Dia percaya bahwa baik sosialisme maupun demokrasi hanya bisa diwujudkan melalui kekuatan akal dan bukannya melalui jalan kekerasan. Namun sekaligus diperingatkannya bahwa penggunaan akal dapat membawa orang kepada pendewaan akal dalam ilmu pengetahuan, suatu hal yang jelas ditentang oleh tuntutan akal itu sendiri. Dia seakan meramalkan secara intuitif Dialektik der Aufklaerung (dialektik pencerahan) yang dicanangkan Max Horkheimer dan Theodor Adorno dari mazhab Frankfurt pada 1969, bahwa akal yang kehilangan kritik terhadap dirinya bakal membunuh dirinya sendiri.

Dalam sebuah esai yang penting Sjahrir menuntut agar demi perjuangan, seseorang harus bebas dari perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai dengan kebutuhan perjuangan. Pikiran dan tindakan hendaknya �tidak dikuasai oleh unsur psikologis, melainkan oleh hukum akal budi dan otak yang sanggup berpikir dan bertindak menurut keadaan dan perubahan�. Tampaknya ada dialektik antara Sjahrir dan kebudayaan masyarakatnya, dan tuntutan Sjahrir mungkin hanya separuh benar. Dia lupa bahwa akal harus memperhatikan perasaan, rasio perlu menimbang psikologi, dan logika bertugas menerangi yang irasional. Kalau tidak, dialektik itu akan menelan korban, dan, tragisnya, korban itu tak lain dari diri Sjahrir sendiri, dengan meninggalkan sosial-demokrasi bagaikan yatim piatu.

IGNAS KLEDEN
Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)

Sjahrir dalam Renungan Dua Jilid

Oleh: DANIEL DHAKIDAE

MENGENANG Sutan Sjahrir menempatkan siapa pun jauh-jauh dari suasana selebrasi bagi salah seorang tokoh utama revolusi Indonesia. Mengenang Hatta adalah perayaan, untuk tidak mengulang super-selebrasi dalam hal Soekarno. Mengenang Sjahrir adalah merenungi keterasingan dan pengasingan sebegitu rupa sehingga terpaksa dilakukan sesuatu yang, pada dasarnya, memalukan untuk �memperkenalkan kembali� siapa Sutan Sjahrir.

Sjahrir, Ilmu, dan Pembudakan Ilmuwan

Sjahrir adalah a man of paradox dalam berbagai arti. Tubuhnya kecil dengan tinggi tidak mencapai satu setengah meter, 145 sentimeter, dan berat badan hanya 45,5 kilogram. Namun di sana tersimpan energi dahsyat. Inteligensinya mengagumkan.

Namun�atau sebenarnya justru karena�inteligensinya yang besar itu dia meninggalkan studinya di Leiden, Belanda, tanpa berminat sedikit pun untuk menyelesaikannya, sebagaimana Hatta dan kawan-kawannya yang lain. Tentang ini, dengan enteng dia hanya berkata bahwa seorang pemegang titel itu hanya �pemegang titel sahadja�, tidak lebih dari itu.

Namun pandangan Sjahrir jauh melampaui masalah sepele ijazah. Sjahrir menukik tajam ke dalam soal ilmu dan keilmuan ketika dia memberikan jawaban yang paling serius dalam Indonesische Overpeinzingen (IO): �Lama-kelamaan saya tahu bagaimana membebaskan diri dari perbudakan ilmu resmi (de slavernij van de offici�le wetenschap). Otoritas ilmiah tidak terlalu berarti bagiku secara batin. Dengan begitu seolah-olah jiwaku semakin bebas, tidak ada nama besar dan tenar, yang resmi maupun tidak resmi, yang menguasai pikiranku untuk membutakanku dengan kehebatannya dan membuang atau membantai semua kegiatan orisinalku�. Yang lebih penting bagiku adalah bagaimana tiba pada kebenaran harmonis dan pribadi sifatnya� (IO, 29 Desember 1936). Secara utiliter seolah-olah dia katakan: pengetahuan tidak berguna kalau tidak menjadi kebenaran yang bisa diserap dan diolah masing-masing orang. Di luar itu, ilmu hanya sekadar kumpulan kaidah dan abstraksi yang tak bermanfaat.

Renungan Jilid Satu: Sjahrir dan Dirinya

Sutan Sjahrir mewariskan kepada bangsa ini dua karya monumental. Pertama, yang sudah dikutip di atas, Indonesische Overpeinzingen, 1945, yang ditulis seluruhnya dalam bahasa Belanda. Dalam kata pengantar cetakan ketiga, dikatakan penerbit Belanda, �Sjahrir mengejutkan dunia dengan kedalaman, dinginnya berpikir, dan kebijakan seorang negarawan.�

Kenyataan bahwa buku ini diterbitkan dalam bahasa Belanda, di Belanda pula, semakin mengasingkan penulisnya dari massa rakyat. Meski sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1947 oleh penerjemah tangguh, H.B. Jassin, buku ini tetap asing bagi sebagian besar warga bangsa ini, dulu, apalagi sekarang, untuk kalangan tua, apalagi untuk kalangan muda.

Melalui terjemahan Inggris, renungannya memukau dunia. Dalam hubungan itu, sama sekali bukan kebetulan kalau semua rentetan renungan selama kurang-lebih empat tahun, 1934-1938, dibuka Sjahrir dengan renungan utama tentang individu dan masyarakat. Persoalan ini jelas bukan masalah Indonesia, meski Indonesia mulai menapak ke dalamnya.

Namun pikiran Sjahrir hanya mungkin dipahami bila ditempatkan dalam arus utama Eropa, kalau diperhatikan bagaimana kekuatan baru seperti Uni Soviet, yang tengah mempropagandakan homo sovieticus, manusia baru Soviet, yang bebas dari nafsu kapital demi pengabdian kepada masyarakat komunis. Gerakan fasisme di daratan Eropa sendiri menempatkan nasion menjadi lebih penting daripada pribadi�baik di Jerman, Italia, maupun Spanyol. Ini bukan semata-mata karena Hitler, Mussolini, dan Franco, melainkan karena kaum filosof sekaliber Martin Heidegger pun menjadi sumber inspirasinya.

�The Kyoto School of Philosophy�, Kyoto tetsugaku-ha, mengembangkan hal serupa dengan menganut paham bahwa nilai etika baru mencapai kesempurnaan ketika semuanya diambil alih negara. Hanya negara yang menjamin kesempurnaan etis. Kesempurnaan etis akan mendapatkan terjemahan material dalam ekonomi persemakmuran dalam naungan bangsa dan negara Jepang bagi Asia.

Dalam paham dan pengalaman Sjahrir, bahkan Belanda pun, sarang dari individualisme itu, mengalami perubahan dan semakin mempopulerkan pembicaraan tentang apa yang oleh Sjahrir disebut sebagai pandangan hidup organik. Kalau ini yang terjadi, individualisme itu sudah jelas mengalami perubahan besar dan berarti dan berada dalam ancaman.

Bagi Sjahrir, semuanya mengarah ke suatu perkembangan yang mengkhawatirkan menuju sejenis staatsabsolutisme, absolutisme negara, di mana negara secara organik-biologik menjadi �bentuk lebih tinggi dari masyarakat manusia�, dan dengan begitu tentu saja menjadi bentuk idaman. Sjahrir sangat khawatir terhadap perkembangan ini.

Sjahrir dan Nasionalisme

Kontroversi Sjahrir tertuang dalam pandangannya tentang nasionalisme yang melawan arus utama yang berlaku di Indonesia pada masa-masa itu. Soekarno senantiasa mengatakan nasionalisme Indonesia berbeda dari nasionalisme di mana pun karena nasionalisme Indonesia �bukan nasionalisme yang timbul dari kesombongan belaka�, �bukan nasionalisme yang menyerang-nyerang�, karena nasionalisme kita adalah nasionalisme �ketimuran�.

Sjahrir tanpa tedeng aling-aling mengatakan nasionalisme adalah proyeksi kejiwaan dari semangat rendah diri dalam sikap kolonial antara penjajah dan kaum terjajah (de projectie van het inferioriteits-complex, IO, hlm. 178). Sebagaimana kita tahu, pandangan ini pun tidak jauh dari pandangan Julien Benda, kritikus intelektual Prancis, yang mengatakan nasionalisme adalah bentuk korup dari semangat kecendekiaan dan malah menjadi bagian dari nafsu kekuasaan. Sjahrir dan Benda bersetuju dalam hal ini.

Karena itu, Sjahrir mengatakan dia tidak pernah benar-benar menjadi penganut paham �non-ko�, karena sikapnya menolak kerja sama dalam Dewan Ra�jat lebih menjadi propaganda politik, dan tidak pernah memungkinkannya membangun suatu dasar filosofis di atasnya. Menolak kerja sama dengan Belanda hanya pencerminan dari ketidakpahaman terhadap perkembangan dunia yang lebih luas; dunia sudah berubah. Namun nasionalisme berjalan di tempat.

Renungan Jilid Dua: Perdjoeangan Kita

Perdjoeangan Kita adalah sesungguhnya renungan Sjahrir jilid dua, pascaproklamasi. Sementara renungan pertama adalah sesuatu yang reflektif ketika subyek Sjahrir dan obyek dunia dan Indonesia tidak diberi jarak, renungan jilid dua Sjahrir mengambil jarak sepenuh-penuhnya sehingga menjadi sesuatu yang rasional dengan tujuan yang hendak langsung dicapai dan dengan alat yang Sjahrir sendiri tahu dan diberi rekomendasi utama: membersihkan pemerintahan dari noda-noda fasis Jepang.

Perdjoeangan Kita diterbitkan pada November 1945, kira-kira tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Berbeda dengan renungan Indonesia yang ditulis dalam bahasa Belanda, Perdjoeangan Kita ditulis dalam bahasa Indonesia karena, menurut pengantarnya sendiri, risalah tersebut �mengoepas perkara pokok perdjoeangan kita sekarang� dan �mengenai kehidoepan dan nasib ra�jat kita jang bermilioenan�.

Dalam masa tiga bulan bisa disaksikan semacam kekosongan, ketiadaan keputusan penting, dan malah ketiadaan pemerintahan. Sjahrir dengan tajam menunjukkan alasan mengapa terjadi hal-hal semacam itu. Pertama, yang mengambil alih dan mengendalikan pemerintahan adalah mereka yang berjiwa lemah yang biasa �membungkuk serta berlari untuk Jepang atau Belanda�.

Kedua, perasaan bahwa kemerdekaan adalah karunia Jepang tidak memungkinkan mereka bertindak bahkan setelah Jepang kalah perang sekalipun. Ketiga, pemuda-pemuda tidak memiliki syarat untuk memimpin karena pemuda hanya cakap untuk �menjadi serdadu... berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu dan berjibaku, dan tidak pernah diajar memimpin�. Karena tidak berpengetahuan lain, semuanya menyalin mentah-mentah apa yang dipelajari dari Jepang, yaitu berpikir dan bertindak fasistis.

Sjahrir dan Prediksinya

Prediksinya secara mengagumkan tidak meleset. Sedangkan yang menyangkut dirinya self-fulfilling. Apa yang sudah ditulisnya 10 tahun sebelum merdeka, di Banda Neira, akhirnya mendapatkan kepenuhan pada 1945. Apa yang dikhawatirkan dalam �individu dan masyarakat� semakin menjadi kenyataan ketika mereka yang mendapatkan pendidikan militeristis Jepang mulai memegang tampuk pemerintahan republik baru. Sjahrir tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mengalami otoritarianisme bangsanya sendiri ketika dia dipenjarakan di Madiun pada 1960 oleh militer dalam Demokrasi Terpimpin. Dia sakit di penjara, dikirim oleh pemerintah Soekarno ke rumah sakit di Swiss, dan menemui ajal di negeri asing itu pada 1965.

Bilamana dia hidup lebih lama lagi, dia pun akan menyaksikan bahwa apa yang ditakutinya pada 1934 mendapat kepenuhan dengan intensitas berlipat-ganda 30 tahun kelak dalam Orde Baru, yang selama 40 tahun mengerjakan neofasisme militer, yang tidak saja menguasai, tapi demi nafsu kesatuan, juga memporakporandakan bangsa ini.

DANIEL DHAKIDAE
Peneliti senior pada Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta

Kerja Sama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir

Oleh: HARRY POEZE

SJAHRIR adalah satu dari Tujuh Begawan Revolusi Indonesia. Ketujuh orang ini�Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan A.H. Nasution�dalam kadar berbeda menentukan arah dan produk revolusi. Republik Indonesia pada zaman revolusi, dengan demikian, bukan merupakan akibat dari proses sosial yang impersonal dan tak terhentikan, melainkan hasil interaksi ribuan orang dan organisasi, kelompok angkatan bersenjata dan badan perjuangan, politikus nasional dan lokal, idealisme dan oportunisme, patriotisme dan banditisme, pahlawan dan pengecut. Semua ingar-bingar itu berakhir dengan ajaib: pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Desember 1949.

Ketujuh pemimpin ini dengan caranya masing-masing berkontribusi bagi jalannya revolusi. Setelah revolusi, mereka mengalami peruntungan berbeda, aliansi berbeda, dan perimbangan kekuatan berbeda.

Sjahrir dan Amir, yang tak tergoda bekerja sama dengan Jepang, pada 1945 segera mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno dan Hatta. Mereka menghadirkan Republik Indonesia yang siap bernegosiasi dengan Sekutu dan Belanda. Di latar belakang, Soekarno dan Hatta menunggu saat yang tepat untuk comeback. Kesempatan itu datang tatkala Sjahrir berada di bawah tekanan melakukan terlalu banyak konsesi dalam pembicaraannya�yang dalam diskursus politik sering disederhanakan sebagai diplomasi.


Tan Malaka, politikus sorangan, yang setelah 20 tahun di pembuangan, secara diam-diam kembali ke Jawa pada 1942. Ia mengepalai sebuah koalisi berwajah angker antara organisasi politik dan organisasi militer, Persatuan Perjuangan. Koalisi yang membawa panji-panji perjuangan ini melancarkan oposisi blak-blakan terhadap konsesi apa pun dengan Belanda, bila konsesi itu menyimpang dari semangat Proklamasi. Tujuan mereka adalah merdeka 100 persen.

Namun Tan Malaka dan koalisinya ternyata hanya raksasa dengan kaki dari tanah liat. Setelah melakukan perlawanan sengit terhadap Sjahrir, Amir, Soekarno, dan Hatta�keempatnya hanya memberikan tanggapan moderat� dalam sidang parlemen sementara, yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Solo pada Februari 1946, Persatuan Perjuangan lenyap tak berbekas. Tan Malaka pun hilang dalam gerhana.

Kendati demikian, Tan masih dianggap ancaman bagi kehormatan Republik. Entah Amir atau Sjahrir, atau mungkin keduanya, dengan persetujuan Soekarno, secara tak resmi mendukung penculikan Tan Malaka dan beberapa pengikut setianya oleh dua orang pemuda Pesindo, organisasi pemuda sosialis, dari sayap yang dipersenjatai. Penculikan pada Maret 1946 itu berhasil, tak mendapat kecaman publik, dan Tan Malaka ditahan tanpa proses persidangan sampai September 1948. Ketika dibebaskan, Tan tentu saja sakit hati terhadap mereka yang bertanggung jawab atas penahanannya: Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta.

Selama delapan bulan�dari Proklamasi sampai penculikan Tan Malaka�Tan berubah dari negarawan senior terhormat, disegani karena pengalamannya dan perjuangan antikolonialnya, dan seorang teoretikus revolusi, menjadi orang buangan, dihujat dan dilupakan. Sjahrir adalah salah satu pengagumnya. Mereka bertemu pertama kali pada September, di rumah Soebardjo, tempat Tan Malaka tinggal sementara. Mereka bertemu lagi ketika Tan Malaka pindah ke Bogor. Sjahrir dan para pemuda terkemuka mendiskusikan cara menggantikan kekuasaan presiden Soekarno dan Hatta dengan pemerintahan parlementer yang dikepalai Sjahrir.

Tan Malaka memberikan usulan dalam bahasa Inggris: �We must follow a nationalist policy with a very deep cut into socialism� (Kita harus menjalankan suatu politik nasionalis yang sangat diwarnai oleh sosialisme). Sjahrir setuju. Dalam kerja sama yang erat, mereka merencanakan langkah-langkah untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno dan Hatta.

Tapi belakangan Sjahrir berpikir bahwa dalam keadaan segenting itu perlu mempertahankan Soekarno sebagai simbol negara. Sjahrir juga menaruh rasa hormat pada Tan Malaka yang ia sapa dengan sapaan kehormatan Minangkabau, Engku.

Sjahrir kemudian terpilih menjadi Kepala Badan Pekerja KNIP pada 17 Oktober untuk menangani masalah-masalah parlementer. Ia mengisi lembaga yang dipimpinnya dengan sejumlah besar pendukungnya yang ditemuinya seminggu kemudian. Termasuk, Tan Malaka yang saat itu berada di Serang. Ini merupakan pertemuan penting. Tan Malaka mengemukakan pandangannya bahwa perlawanan all-out terhadap Belanda merupakan kebijakan yang harus diikuti. Indonesia tak memiliki persenjataan, tapi ia memiliki rakyat dan pemuda yang siap bertempur.

Ancaman bumi hangus akan mencegah Belanda untuk kembali. Perundingan dengan Belanda hanya boleh terjadi bila Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Perlawanan total inilah yang kemudian menjadi program Persatuan Perjuangan dan memicu bubarnya kerja sama Tan Malaka dan Sjahrir. Tapi, di Serang, Sjahrir masih meminta Tan Malaka menjadi Ketua Partai Sosialis yang segera didirikan. Reputasi Tan yang legendaris dipandang dapat memperkuat basis kekuasaan yang solid bagi Sjahrir.

Tan Malaka menolak tawaran itu. Dalam pandangannya, partai-partai yang tumbuh seperti jamur di musim hujan hanya membawa perpecahan dan mengancam persatuan yang begitu diperlukan bagi perjuangan melawan Belanda. Tan Malaka menegaskan prinsipnya: �Sesudah lebih daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tiada ingin akan menjadi teman separtai kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imperialis itu.� Kepada pengikut setianya, Maroeto Nitimihardjo, ia bahkan lebih terus terang, �Aku tak bisa melakukan ini, aku Komunis.�

Inilah akhir kerja sama kedua tokoh ini�Sjahrir memilih garis lebih moderat, Tan Malaka mengorganisasikan alternatif lebih radikal. Keduanya tak pernah bertemu lagi.

Dari ketujuh tokoh utama revolusi, hanya Sjahrir dan Tan Malaka yang menuangkan gagasan mereka dalam tulisan. Sjahrir menerbitkan Perjuangan Kita, yang beredar luas dan dipuji. Khususnya, oleh para pendukung di luar negeri�dari kelompok sosial demokrat yang moderat�yang setuju dengan lahirnya bangsa Indonesia yang baru. Namun prinsip-prinsip dan visi yang dikemukakan Sjahrir tentang persoalan-persoalan aktual kenegaraan terlalu singkat. Visi Sjahrir juga bercampur-aduk antara analisis politik, pertimbangan-pertimbangan taktis, rencana jangka pendek dan jangka panjang, pilihan praktis, ortodoksi Marxis, serta hasil pengamatan yang ditujukan kepada audiens dalam negeri dan luar negeri, yang disajikan kadang-kadang secara agresif, kadang-kadang tersembunyi.

Dibandingkan trilogi Tan Malaka yang disajikan dalam format dialog� Politik, Muslihat, Rencana Ekonomi�buklet Sjahrir tak dapat bersaing dengan tulisan Tan Malaka yang koheren dan mendalam tentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Tapi Tan Malaka tak punya sarana untuk menerbitkan dan mengedarkan buklet-bukletnya. Ia juga tak mempunyai hubungan baik, serta kontak dan simpati dengan luar negeri.

Di dalam penjara Tan Malaka menulis Dari Penjara ke Penjara, yang juga berisi komentar-komentarnya tentang revolusi Indonesia yang diwarnai pengalaman-pengalaman getir bersama kuartet Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir. Dalam jilid tiga Dari Penjara ke Penjara yang beredar dalam bentuk stensilan ia tetap mengemukakan pandangan-pandangannya. Pada waktu itu Sjahrir telah turun dari jabatan perdana menteri, telah pula kehilangan goodwill, dan dituduh terlalu banyak melakukan konsesi dengan Belanda. Amir mengalami nasib yang sama menyusul keterlibatannya dalam Pemberontakan Komunis di Madiun, yang dibayar dengan eksekusi mati.

Analisis Tan Malaka atas keempat pemimpin dilakukan dalam bentuk sketsa: �Satu dengan lainnya lebih banyak mempunyai persamaan dalam hal yang penting daripada perbedaan. Mereka sama-sama berasal dari golongan petite bourgeoisie, borjuis kecil Indonesia, sama-sama mendapatkan pendidikan sekolah Belanda tertinggi. Dan sama-sama bercita-cita �kerja-sama� dengan imperialis Belanda, menurut Linggarjati dan Renville. Mereka cuma berbeda dalam kualitas, sifat, sebagai orang saja.�

Tentang Sjahrir, Tan menulis: �Sampai pada waktu Jepang menyerah, maka Sutan Sjahrir paling dekat dengan para pemuda [�]. Tetapi dalam sikap tindakan merebut senjata dari Jepang pada 17-18-19 Agustus sudah kelihatan retak antara Sjahrir cs. dengan para pemuda. [�] Sebenarnya Sjahrir sudah bertindak dengan Soekarno-Hatta. Dia dengan golongan pemudanya sudah melayang-layang di antara Massa Aksi dengan Diplomasi. Dia kelak dengan majunya perjuangan akan terpaksa memilih salah satunya�pekerjaan yang sangat sukar bagi borjuis kecil.� Tan terus mencadangkan kritik terhadap perilaku Sjahrir pada rapat KNIP di Solo, ketika keempatnya�Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta menyingkirkan Persatuan Perjuangan lewat gerakan-gerakan rahasia dan manuver-manuver cerdik.

Atas cara ini, dalam beberapa bulan, kerja sama yang menjanjikan telah berbelok menjadi perseberangan yang pahit, dengan Tan Malaka dalam peran abadinya sebagai pecundang sepi. Tapi hari-hari kejayaan Sjahrir juga pendek. Sejak Juli 1947, ia dihukum untuk berdiri di pinggir, sebagai pemimpin partai sosial demokratik yang kecil.

HARRY POEZE
Penulis biografi yang ekstensif tentang Tan Malaka. Jilid pertama dari enam jilid diterbitkan di Indonesia dengan judul Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi, jilid I Agustus 1945-Maret 1946, tahun 2008. Tahun ini dua jilid lagi akan diterbitkan.

Sjahrir di Pantai

Oleh: GOENAWAN MOHAMAD

SAYA bayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, 1 Februari 1942. Kemarin tentara Jepang menyerbu Ambon. Beberapa jam sesudah itu bom meledak.

Saya bayangkan pagi itu, setelah sebuah pesawat MLD-Catalina berputar-putar di sekitar pulau. Berisiknya membangunkan penduduk, sebelum ia berhenti di pantai yang tenang. Ko-pilot pesawat, seorang opsir Belanda, turun dan menuju ke tempat Sjahrir dan Hatta tinggal. Kedua tahanan politik itu harus meninggalkan pulau cepat-cepat, pesannya. Hanya ada sekitar waktu satu jam untuk bersiap.

Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam 16 kotak. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak angkatnya, meskipun salah satunya masih berumur tiga tahun.

Sesampai di tempat pesawat, ada problem: ruang di Catalina itu terbatas. Para penumpang itu harus memilih, 16 kotak buku atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah. Enam belas kotak buku itu tak jadi dibawa�untuk selama-lamanya�kecuali Bos Atlas yang sempat disisipkan Hatta ke dalam koper pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali kehilangan itu.

Saya bayangkan Sjahrir di pantai Banda Neira pagi itu, di dalam Catalina yang meninggalkan pulau. Ia memandang ke luar jendela, melambai sekenanya. Seluruh Banda Neira tampak baru bangun, berjajar di tepi laut menyaksikan perginya kedua orang buangan itu bersama tiga anak yang masih kecil.

Hari itu menutup masa hampir enam tahun Hatta dan Sjahrir tinggal di pulau kecil itu, di antara 7.000 penduduk. Ada peperangan di seberang sana, dan mungkin semua orang sudah menduga, Hatta, Sjahrir, dan anak-anak itu tak akan kembali.

***

Saya bayangkan Sjahrir enam tahun sebelum 1 Februari 1942: seorang tahanan politik di sebuah rumah tua di Banda Neira. Ia tinggal bersama Hatta. Sejak di hari pertama ia datang, ia menemui anak-anak, dan anak-anak datang untuk belajar, bermain, bergurau.

Rumah itu luas, dulu ditempati pejabat perkebunan, dengan ruang dalam yang 50 meter persegi dan beranda yang 40 meter panjangnya. Hari itu seorang dari anak-anak itu menumpahkan vas kembang. Airnya membasahi sebagian buku yang ditaruh Hatta di atas meja. Hatta�selalu sangat sayang kepada buku-bukunya, selalu rapi dengan benda-benda itu�marah.

Sjahrir pun memutuskan untuk meninggalkannya. Ia pindah ke paviliun kecil di kebun keluarga Baadilla. Baadilla tua, seorang keturunan Arab yang dulu saudagar, menitipkan pendidikan cucu-cucunya kepada Sjahrir: dua lelaki, Does dan Des, dua perempuan, Lily dan Mimi.

Sjahrir segera jadi bagian dari keluarga itu. �Mereka� adalah teman terbaik yang saya miliki,� katanya tentang anak-anak Banda itu, dalam sepucuk surat bertanggal 25 Februari 1936. Ia tak menyebut tahanan politik lain di pulau itu: Hatta, Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri....

Saya bayangkan Sjahrir di paviliun itu: ia seorang hukuman yang berbahagia. Ia mengajar anak-anak itu menulis, matematika, sejarah, cara makan yang sopan, dan entah apa lagi. Ia menyewa mesin jahit Singer dan menjahitkan pakaian mereka.

Jika ia tak sedang membaca buku atau menulis surat, ia bawa anak-anak itu berjalan meninggalkan dataran pulau, berlayar, atau mendaki gunung di sebelah sana.

***

Anak-anak, permainan, pantai�mungkin itulah kiasan terbaik bagi hidup yang spontan, tak berbatas, dengan kebetulan-kebetulan yang mengejutkan dan menyegarkan, proses yang tak berangkat dari satu asal. Saya teringat sebuah sajak Tagore:

�Mereka bangun rumah dari pasir, mereka rajut kapal dengan daun kering, dan dengan tersenyum mereka apungkan ke laut dalam�

�Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan menebarkannya kembali��

Ada yang tak dipatok oleh tujuan dan tak dikejar-kejar oleh �manfaat� di sini, laku yang lalai tapi gembira. Kapal itu dirajut dan diapungkan ke laut dalam, entah ke mana. Kersik itu dikumpulkan dan kemudian ditebarkan kembali, entah untuk apa.

Saya bayangkan anak-anak Banda Neira pada tahun 1930-an itu menyeberangi selat, melintasi kebun laut, bersama seorang buangan yang tak jelas asalnya dan masa depannya. Pantai itu berubah. Dalam keasyikan bermain, mereka tak tahu adakah pantai itu membatasi laut ataukah pulau, awal penjelajahan atau tempat asal. Pada saat itu, di ruang itu, mistar tak ditarik dan hitungan tak ada. Hidup tak dimulai dengan kalkulasi dan kesadaran. Juga tak diakhiri akalbudi.

Pada 17 Maret 1936, Sjahrir menulis kepada istrinya: �Sesungguhnyalah, impuls, dorongan, gairah (drifts), seperti yang saya yakini sekarang, tak pernah akan dilenyapkan oleh akalbudi. Bahkan sebaliknyalah yang benar�akalbudi bertakhta hanya sepanjang impuls, dorongan, gairah membiarkannya...�

Suratnya bertanggal 29 Mei 1936 mengatakan, hidup tanpa emosi jadi �terlampau positif�. Hidup seperti itu tak memadai, sebuah �penalaran abstrak� tanpa �pengalaman� (�ervaring�).

Sjahrir memang menyukai Nietzsche. �Nietzsche itu kebudayaan, Nietzsche itu seni, Nietzsche itu genius,� tulisnya kepada adiknya dalam sepucuk surat bertanggal 7 November 1941. Nietzsche menyebut, mengikuti Schiller, adanya �dorongan bermain�, Spieltrieb, dan agaknya dalam hubungan itu ia melukiskan �api hidup abadi� yang �bermain, seperti si anak dan sang seniman�, dalam arti �membangun dan menghancurkan, tanpa dosa...�.

Tujuan, juga hasil, tak relevan. Tapi bagaimana dengan niat dan rancangan mengubah dunia, tak sekadar menafsirkannya?

***

Saya bayangkan Sjahrir: seorang tahanan yang betah. �Di sini benar-benar sebuah firdaus,� tulisnya tentang Banda Neira pada awal Juni 1936.

Sebuah kenang-kenangan yang ditulis Sal Tas, sahabatnya sejak muda di Belanda, menyebutkan kenapa demikian: di pulau itu, Sjahrir bisa melampiaskan gairahnya dalam dua hal�bermain dengan anak-anak dan mengajar. �Seakan-akan ia, dalam bermain dengan anak-anak, menghilang ke dalam dunia yang tanpa ketegangan, pertikaian, dan problem�.

Sebab, menurut Sal Tas, di lubuk hatinya, Sjahrir tak menyukai politik. �Ia melibatkan diri ke dalamnya karena tugas dan bukan karena terpikat. Ia tak terpesona oleh fenomena yang dahsyat, menarik, bergairah�terkadang luhur, sering kotor, namun sepenuhnya manusiawi�yang kita sebut politik. Ia tak merasakan ada panggilan�.�

Politik tak mengerumuninya di Banda Neira. Tapi bisakah ia mengelakkannya?

Di tiap pantai, juga di pantai yang paling tenang, ada dilema dan ambivalensi. Pada pagi 1 Februari 1936 itu, Sjahrir pergi bersama tiga anak pungutnya, meninggalkan Banda Neira, di pesawat yang mungkin tak diketahuinya hendak tiba di mana. Itulah pilihannya: anak-anak, bukan buku; pergi, bukan berlindung di rumah asal; berangkat ke tempat yang tak terikat, bukan ke alamat yang terjamin.

Tapi tak semua dilema menghilang. Dalam tubuh MLD-Catalina yang melayang itu berkecamuk kontradiksi yang tak terhindarkan. Terbang, penjelajahan, avontur, pembuangan, anak-anak, rantau antah berantah�mungkin dalam hal-hal ini Sjahrir mendapatkan, secara intens, apa yang oleh Nietzsche disebut sebagai �kelupaan yang aktif�.

Namun di dalam kabin itu �kelupaan� (Vergeszlichkeit) tak mungkin jadi dasar segalanya. Ada Hatta dan buku atlasnya, pilot yang mengikuti angka beban dan bahan bakar, peta yang pasti, tubuh dan mesin pesawat yang bergerak dengan perhitungan aerodinamik, dan keinginan untuk selamat dari ketakpastian cuaca dan situasi perang.

Pesawat Catalina itu bukan �the only possible non-stop flight�, untuk �terbang, mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat�, seperti dihasratkan dalam sebuah sajak Chairil Anwar. Pada akhirnya Sjahrir tetap harus ketemu dan mendarat, dengan rencana, sebagaimana Catalina itu akan mendarat dengan kalkulasi. Dunia tak seluruhnya tergelar hanya dalam impuls, dorongan, gairah.

Sjahrir sendiri tak lepas dari kesadaran tentang itu. Seperti para penganjur modernisasi di Indonesia, baik yang Marxis atau bukan, baik Tan Malaka dan PKI maupun Takdir Alisjahbana, dan �Surat Kepercayaan Gelanggang�, Sjahrir percaya, kebudayaan Indonesia harus masuk ke zaman baru. Bukan lagi dengan mistik dan adat yang �semi-feodal�, bukan dengan mengelap-elap candi tua.

Di Banda Neira itu juga Sjahrir, seperti umumnya mereka yang terbentuk oleh pendidikan pemerintah kolonial, percaya hanya rasionalitas-lah yang cukup kuat untuk menguasai dunia. Ia menulis tentang perlunya �nuchterheid� dan �zakelijkheid�, sikap berpertimbangan dan lugas�pada saat ketika ia juga menyambut Nietzsche yang merayakan vitalitas yang berani untuk liar bagaikan Dionysius.

Artinya pendiri Partai Sosialis itu juga tak lepas dari nilai yang diunggulkan tata sosial burjuis�tata yang mengandung kontradiksi. Di satu pihak disambut energi produktif yang berani menjelajah dan menemukan, dan dengan demikian mengandung sifat liar dan khaotik; tapi di lain pihak dibangun stabilitas, kelugasan, rasionalitas. Dari yang terakhir ini perdagangan, industri, teknologi, dan hukum lahir. Juga kekuasaan yang mengatur kehidupan politik.

Saya tak tahu sadarkah Sjahrir tentang kontradiksi itu. Tapi itu juga kontradiksi dalam dirinya. Yang Nietzschean dalam sikapnya bertemu, dan juga berlaga, dengan pemikiran Marxis yang diyakininya. Yang Nietzschean akan terasa �anti-politik� ketika ia harus menempuh sebuah proyek bersama yang tertinggal: kemerdekaan dan keadilan di Indonesia. Tapi itu yang menyebabkannya dibuang ke Banda Neira.

***

Saya bayangkan Sjahrir di pesawat Catalina itu. Nun di bawah dilihatnya mungkin sawah, mungkin hutan, mungkin masa depan. Yang terbentang itu sebuah negeri yang harus disiapkan, sebuah ruang di mana yang publik harus dikukuhkan, arena di mana pengukuhan itu memerlukan persaingan hegemoni dan konflik kekuasaan.

Gamangkah ia, yang mencintai anak-anak yang bermain tanpa tujuan di pantai Banda Neira? Seorang tahanan politik yang digambarkan tak terpesona oleh politik?

Yang pasti, ia akhirnya hidup dalam persaingan kekuasaan. Ia kalah. Partai Sosialis-nya tak didukung luas. Ia dipenjarakan Soekarno, lawannya. Ia meninggal sebagai tahanan di sebuah tempat yang jauh dari rumah, tapi kali ini bukan Banda Neira.

April 1966 Soedjatmoko menulis dari Zurich, beberapa jam setelah Sjahrir wafat: �Dalam arti yang sangat nyata saya sadar bahwa kegagalannya dalam politik menandakan kebesarannya sebagai seorang manusia...�

Ditulis kembali dari �Setelah Revolusi Tak Ada lagi� (Jakarta, Alvabet: 2001). Diolah dari �Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia� (Studies on Southeast Asia, No. 14) oleh Rudolf Mrazek.

Sjahrir Adalah...

ROSIHAN ANWAR
Periang dan Nggak �Cetek�

Bagi Rosihan Anwar, 87 tahun, Sutan Sjahrir bukan orang kaku. �Tiap saya ketemu dia, kami suka bercanda. Tapi tidak berarti dia cetek (ilmunya),� kata wartawan senior ini. Buktinya, Sjahrir sudah mengetahui lebih dulu akan ada perang dingin antara Blok Barat dan Timur pada pertengahan 1940-an, mendahului pengetahuan pemimpin Indonesia lainnya. �Tapi dia juga sosok yang ditakuti (pemerintah kolonial Belanda),� kata pendiri Persatuan Wartawan Indonesia itu.

Menurut penerima gelar Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, mestinya generasi muda sekarang membaca, mempelajari, dan menerapkan ide-ide brilian Sjahrir. Yakni, gagasan yang melahirkan demokrasi, ekonomi kerakyatan, kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan.

Bagi Rosihan, sah-sah saja ide Sjahrir digunakan para calon legislatif atau kandidat presiden dalam kampanye mereka. Tapi, dia mengingatkan, jangan dangkal memahami gagasan Sjahrir.

HAPPY SALMA
Lebih Kenal Setelah Renungan

Tanggal 8 April 2006 merupakan titik perkenalan kembali Happy Salma dengan Sutan Sjahrir. Meski sudah mengetahui siapa Sjahrir dari pelajaran sejarah di sekolah dasar, dara kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 29 tahun ini mengaku lebih banyak mengenal Sjahrir dalam acara �Sutan Sjahrir Memorial Lecture 2006�. Dalam acara itu, Happy membacakan renungan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. �Aku membaca kutipan pemikiran Sjahrir,� kata Happy.

Menurut dia, Sjahrir adalah sosok diplomat andal. Dialah salah satu pemimpin negeri ini yang memperkenalkan Indonesia ke bangsa-bangsa lain di dunia. Menurut Happy, merdeka saja tidaklah cukup jika tidak memiliki hubungan internasional dengan baik. �Namun dia juga berpendirian keras. Hingga akhirnya disingkirkan,� ujarnya.

ROBERTUS ROBERT
Penyatu Demokrasi dan Revolusi

Sutan Sjahrir adalah orang pertama yang mengajukan pandangan politik ganda, yakni demokrasi dan revolusi. Di dalam Sjahrir, demokrasi dan revolusi adalah dua menu yang bisa dibedakan dan tidak perlu dipertentangkan. �Pemikiran ini masih cocok dalam matriks kepolitikan sekarang,� kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Robertus Robert.

Menurut Robertus, Sjahrirlah yang memutus kebencian sosial dengan menggelontorkan ide humanisme dan universalisme. �Inilah yang mentransformasi masyarakat Indonesia dari bibit feodalisme dan fasisme sekaligus,� ujarnya.

Bagi Sjahrir, integrasi sosial melalui pengukuhan negara hanya sah apabila didasarkan pada keadilan dan kesejahteraan. �Pemikiran dan pandangan politiknya relevan hingga sekarang,� katanya.

DITA INDAH SARI
Akhir Tragis Sang Pendiri Bangsa

Akhir hayat yang tragis dialami Sutan Sjahrir ketika harus menghabiskan masa tua di dalam penjara. �Sangat disayangkan, seorang di ujung hidupnya harus berada dalam penjara di alam kemerdekaan, di mana dia ikut mendirikan bangsa ini,� kata Dita Indah Sari, calon anggota legislatif dari Partai Bintang Reformasi.

Meski tidak terlibat langsung, kata Dita, Sjahrir mendukung pemberontakan bersenjata untuk menggulingkan pemerintahan yang sah ketika itu, yakni pemerintahan Soekarno. Sikap ini bertolak belakang dengan pilihannya ketika bangsa ini menghadapi agresi Belanda: ia memilih metode diplomasi dan menolak cara kekerasan.

Menurut mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembebasan Nasional ini, Sjahrir adalah tokoh pemikir, konseptor, dan teoretikus. Karena itu, gagasannya lebih dekat kepada kaum terpelajar dan bergerak di kalangan intelektual, bukan kalangan bawah. Akibatnya, pemikiran Sjahrir tidak begitu dikenal masyarakat kebanyakan. Namun Sjahrir tetap anti-fasisme, anti-mengagungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi.

RIEKE DYAH PITALOKA
Membangun Ide Ekonomi Kerakyatan

Gagasan ekonomi kerakyatan Sutan Sjahrir menjadi salah satu ide kampanye calon anggota legislatif Rieke Dyah Pitaloka. Menurut kandidat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, gagasan tersebut masih relevan dan sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 tentang pengelolaan kekayaan alam. �Sebagai dasar kepemilikan sosial terhadap sumber kekayaan alam,� kata pemain film Berbagi Suami ini.

Dia mencontohkan salah satu daerah pemilihannya, Kecamatan Citatah, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Kawasan ini semula dikenal sebagai daerah wisata panjat tebing. Kini Citatah dieksploitasi menjadi penambangan batu alam. �Warga di situ hanya menjadi buruh kasar,� katanya.

Yang penting, menurut Rieke, bagaimana sosialisme tidak sekadar menjadi wacana, tapi direalisasikan melalui pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Menurut pendiri Yayasan Pitaloka yang bergerak di bidang sastra dan sosial kemasyarakatan ini, Sjahrir membuat sosialisme dan demokrasi berada dalam satu bangunan dan bersinergi. �Dia tokoh konsisten,� katanya. �Apa yang dipikirkan, itulah yang dia kerjakan.�

ANIS MATTA
Sejalan dengan Sisi Moderat Sjahrir

Pemikiran sosialis tak selalu berhadapan dengan nilai-nilai Islam. Titik persamaan Partai Keadilan Sejahtera dengan Sjahrir adalah pada sikap moderat. �Kita ketemu dengan Sjahrir di moderat, bukan ekstremisme,� kata Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Anis Matta.

Dalam sejarah pemikiran Islam modern, menurut pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan ini, banyak pemikir pergerakan Islam yang sebenarnya memiliki akar sosialisme. �Ini adalah fenomena yang jarang diungkap,� katanya. Contohnya adalah tokoh Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutb. Menurut Anis, pada mulanya Sayyid Qutb memiliki latar belakang sosialis, kemudian pindah menjadi aktivis pergerakan Islam. �Jadi sebenarnya ada ide awal yang sama,� ujarnya.

Karena itu, jarang terjadi debat pemikiran politik antara kelompok Islam dan sosialis pada zaman Sjahrir. Justru paling banyak perdebatan antara sosialis dan kelompok nasionalis. Di Indonesia, menurut Anis, hanya ketika sosialisme berkembang menjadi sangat ekstrem, yakni ke arah komunisme, barulah terjadi pertentangan.

BUDIMAN SUDJATMIKO
Terlalu Moderat pada Zamannya

Di mata Budiman Sudjatmiko, Sutan Sjarir adalah orang yang terlalu moderat pada zamannya. �Jadi tidak nyambung dengan dinamika politik masyarakat ketika itu,� kata pendiri Partai Rakyat Demokratik ini.

Walhasil, meski sukses mendirikan Partai Sosialis Indonesia, dan menggaet kalangan intelektual, partai bentukan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin ini gagal bersaing dengan partai kiri lainnya, seperti Partai Komunis Indonesia, dan juga dengan Partai Nasional Indonesia, dan Masyumi.

Walau Sjahrir dikenal sebagai seorang sosialis, menurut Budiman�yang kini bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan�gagasan-gagasannya menunjukkan Sjahrir seorang liberal progresif, ketimbang sosialis. Buktinya, dia menunjukkan demokrasi dan pluralisme. �Artinya, dia seorang liberal progresif dan humanis demokratis,� katanya.

Salah satu ajarannya yang terwariskan kepada generasi yang akan datang, kata pria 38 tahun ini, adalah ekonomi kerakyatan. Dia sepakat, keadilan sosial ekonomi hanya bisa dicapai dengan cara demokrasi. Semua orang setuju pemerataan, keadilan sosial, dan egalitarian yang dilakukan dengan cara yang demokratis. �Itulah inti gagasan yang dibawa Sutan Sjahrir,� katanya.

Kedudukan Sjahrir, menurut Budiman, setara dengan Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Aidit, dan Semaun, yang memberikan kontribusi pemikiran sosialisme dan kemerdekaan di republik ini.

Foto Tua di Garasi Mursia

Sempat tinggal di rumahnya, Mursia bertekad meneruskan semangat Sjahrir: membangun koperasi.

ORANG memanggilnya Eyang Zaafril. Kini 84 tahun, Mursia Zaafril Ilyas memang orang lama. Halaman rumahnya di Jalan Tenes, Bareng, Malang, Jawa Timur, kerap menjadi tempat parkir gerobak pedagang keliling.

Lebih dari 60 tahun lalu, Mursia tinggal di rumah Sjahrir. Ia masih ingat detail kenangannya bersama pendiri Partai Sosialis Indonesia itu. Ia bertemu pertama kali dengan Bung Kecil pada 1942 di Surabaya, ketika menghadiri diskusi pemuda. Wiyono, gurunya di Taman Siswa Yogyakarta, yang mengenalkan mereka.

�Saya terkesan dengan pidato-pidatonya yang membakar semangat,� katanya ketika ditemui di rumahnya, tiga pekan lalu. �Ia mengatakan: apa arti hidup seseorang dibanding nasib jutaan manusia yang telantar menjadi korban kekejaman manusia lain?�

Terbakar pidato-pidato Sjahrir, Mursia meninggalkan bangku sekolah. Ia bergabung dengan pergerakan pemuda Surabaya. Pada November 1945, perang berkobar di Surabaya. Mursia dan teman-temannya pindah ke Malang. Sebulan tinggal di kota ini, Mursia berencana pulang ke Madura. Rencana ini batal karena Belanda memblokir jalanan. Sjahrir ketika itu berkunjung ke Malang. �Dia mengajak saya ke Jakarta,� tuturnya.

Sjahrir yang belum menikah menampung Mursia di rumahnya. Di rumah itu telah tinggal sejumlah pemuda termasuk Des Alwi. �Bung Sjahrir tak punya uang banyak tapi rela berkorban untuk orang banyak. Dia tidak segan mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci baju dan memasak.�

Mursia mengenang: �Selama tinggal, saya diajak berdiskusi dengan tamu-tamu. Karena masih muda, saya banyak diam saja, mendengarkan. Kalau sedang berdua, Bung Sjahrir juga selalu memberikan nasihat.�

Suatu ketika Mursia pamit mau pulang ke Madura. Sjahrir tak mengizinkan. Alasannya, jalanan belum aman. Tapi tak lama kemudian Sjahrir memintanya menemui Presiden Soekarno yang ketika itu berada di Yogyakarta. �Bung Sjahrir menitip pesan agar saya memberi tahu Presiden Soekarno soal sepak terjang orang komunis. Dia minta Presiden Soekarno tidak boleh terlalu dekat dan membela komunis.�

Mursia berangkat ke Yogyakarta. �Saya menyampaikan surat ke Bung Karno. Ternyata itu surat pengantar agar saya diterima bekerja di Istana Kepresidenan. Saya kemudian diangkat menjadi sekretaris pribadi Bung Karno. Tugas saya menetapkan jadwal dan tamu yang bertemu. Enam bulan, saya berhenti dan pulang ke Madura. Saya sempat tinggal di Jalan Patuk, Yogyakarta.�

Setelah pada 1948 menikah dengan Zaafril Ilyas�dokter kandungan ternama di Malang yang meninggal pada 1990-an�Mursia tinggal di kota apel itu. Seperti Sjahrir, ia berniat membantu orang. �Saya tidak tahu ilmu ekonomi. Satu-satunya pelajaran dari Bung Sjahrir, yang bilang koperasi bisa menjadi saluran perjuangan perekonomian. Saya turuti permintaan Bung Sjahrir dengan membentuk koperasi.�

Tahun 1950-an Mursia merintis koperasi, menghimpun pedagang Pasar Besar. �Banyak yang menolak. Saya rayu para pedagang itu: mau tidak saya pinjami uang tapi nanti jadi anggota koperasi?�

Koperasi ini ternyata sangat lamban berkembang. Mursia kemudian menyimpulkan kegiatan ekonomi yang mampu bertahan dan berkembang adalah arisan. Kuncinya: anggota bersedia menalangi anggota lain yang belum membayar.

Ia lalu membentuk Koperasi Setia Budi Wanita, yang menerapkan sistem arisan. �Kalau ada anggota gagal melunasi kewajibannya, semua anggota lain dalam kelompok harus menanggung secara merata. Saya membidik kalangan wanita, yang mengatur rumah tangga dan ikut mendukung ekonomi keluarga.�

Koperasi itu berkembang terus sampai anggotanya 2.000 orang. Ketika berumur sembilan tahun, Koperasi Setia bubar. Mursia ditangkap dengan tuduhan menggunakan koperasi itu buat menggulingkan Soekarno. Mursia merintis lagi pada 1972, setelah keluar dari penjara.

Kini Koperasi Setia Budi Wanita sukses merekrut 5.000 anggota. Koperasi ini mampu memutar uang Rp 1,8 miliar per bulan. Ia lalu mendirikan Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur, yang kini menaungi 43 koperasi dengan aset miliaran rupiah dan 30.000-an anggota. Pada 1990, dia menghidupkan Induk Koperasi Wanita tingkat nasional.

Semua itu dibangun dari garasi rumah Mursia. Di situ terpampang lukisan foto Sjahrir. Ia tersenyum: �Lukisan itu membuat saya selalu bersemangat membangun koperasi.�

Pintu Tertutup untuk PSI

Ketika Soeharto berkuasa, tumbuh harapan kaum pluralis modern untuk membangkitkan PSI. Peristiwa Malari membuyarkan impian itu.


IBU Kota membara pada 15 Januari 1974. Sebanyak 11 orang tewas, 300 luka-luka, 775 ditahan. Ratusan gedung dan kendaraan dibakar�kerusuhan terburuk sejak Presiden Soekarno jatuh.

Pemerintah Orde Baru, melalui Opsus�Operasi Khusus, badan yang dipimpin Ali Moertopo�menuding eksponen Partai Sosialis Indonesia ada di balik aksi itu. Teori yang dimunculkan adalah �konspirasi PSI�.

Beberapa tokoh PSI atau yang �berbau PSI� pun diciduk. Sarbini Sumawinata, Soebadio Sastrosatomo, Hariman Siregar, Sjahrir, dan Rahman Tolleng termasuk yang ditangkap. Mereka masuk penjara, tanpa proses pengadilan.

�Ini pukulan berat, karena kami kemudian dianggap musuh negara,� ucap Rahman, sekarang 71 tahun, di Jakarta dua pekan lalu. Simpatisan PSI ini saat peristiwa Malari meletus duduk di Dewan Perwakilan Rakyat dari Golkar.

Malari menandai putusnya hubungan Orde Baru dengan kelompok penganut pemikiran politik �pluralis modern�. Kelompok ini�seperti yang ditulis David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia (2003)�meliputi intelektual kota yang terkait dengan PSI.

Kaum pluralis memiliki visi Indonesia sebagai negara industri modern. Dalam menciptakan sistem politik, mereka memegang teguh asas demokrasi. Mereka ingin elite modern teknokrat yang memimpin negeri ini.

Namun, pemikiran kaum pluralis modern berbenturan dengan langkah Soeharto. Akibatnya, peluang membangkitkan kembali paham sosialisme sering buntu.

Sebagai partai politik, PSI sudah lama mati. Melalui Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 tanggal 15 Agustus, Soekarno membubarkan PSI dan Masyumi karena dicurigai terlibat PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Namun paham sosialis kerakyatan, buah pikir Sutan Sjahrir, tak pernah benar-benar terkubur.

Dalam buku Pengemban Misi Politik (1995), Soebadio menyatakan PSI merupakan suatu state of mind, keadaan pemikiran yang tidak dapat dideteksi. Jaringannya berlandaskan kesamaan ide, spiritual, bukan semata organisasi.

Wartawan senior Rosihan Anwar, yang selama ini dianggap orang PSI lolos dari Malari karena dinyatakan �bersih� oleh Jenderal Soemitro, membenarkan hal tersebut. �PSI merupakan partai kader. Pendukung suatu paham tak pernah hilang.�

Menurut Rosihan, sejak PSI dibubarkan Soekarno, eks anggotanya masih berkomunikasi. Mereka bertukar pikiran tentang perkembangan politik mutakhir. �Banyak juga anak muda yang tertarik.�

Almarhum ekonom Sarbini pernah menyebutkan yang paling kuat dan tidak berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme, semangat membela rakyat, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Meski partai itu bubar, semangatnya tak pernah padam.

Pada awal Soeharto berkuasa, kelompok dan kekuatan sosial lama bermunculan. Ada kelompok berorientasi Islam yang dulu berkaitan sejarah dengan Masyumi. Ada kelompok lain yang dibentuk mahasiswa, misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Kelompok mahasiswa ini memiliki banyak persamaan dengan PSI dan berperan penting dalam proses politik Orde Baru.

Di kalangan militer ada dua kubu. William Liddle dalam bukunya, Partisipasi dan Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru (1992), mengatakan ada kelompok tentara radikal dan Soeharto-sentris. Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi Letnan Jenderal H.R. Dharsono termasuk militer progresif yang dikenal dekat dengan PSI. Ia digolongkan sebagai tentara radikal. Begitu pula Panglima Kodam XII Tanjung Pura Brigadir Jenderal A.J. Witono.

Di tim ekonomi ada Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Sarbini Sumawinata, dan Emil Salim. Widjojo dan Emil bukan orang PSI, tapi lantaran kesamaan pemikiran mereka dianggap simpatisan PSI.

Tersebarnya orang PSI dan simpatisannya di era Soeharto dianggap peluang besar bagi PSI untuk come back. �Karena kesempatan kami terbuka,� ujar Rahman Tolleng.

Pada 25-31 Agustus 1966, berlangsung Seminar Angkatan Darat II di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Bandung, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Suwarto. Dia memberikan kesempatan sejumlah ekonom untuk menjadi staf pengajar. Salah satunya Mohammad Sadli, anggota tim penasihat ekonomi Soeharto.

Sadli mengemukakan bahaya militerisme, perlu adanya kerja sama yang sederajat antara sipil dan militer, dan kebebasan pers. Gagasan tersebut ditolak.

Gagal dengan kesetaraan sipil-militer, Sadli kerap menulis nota usulan kepada Soeharto untuk mengubah keadaan politik. Ia mengusulkan merehabilitasi PSI dan Masyumi. Usul itu tak berjawab. Alasannya? �Militer tidak perlu alasan. Bagi saya jelas: kita tidak bisa bekerja sama dengan orang ini,� ujar Sadli dalam wawancara dengan Tempo pada 1999.

Karena usaha untuk merehabilitasi PSI sudah tidak mungkin, muncul pemikiran untuk merintis gerakan yang tidak berdasarkan ideologi, tapi berlandaskan program. Gerakan ini dikenal sebagai independent group.

Pemikiran ini sampai ke telinga Adam Malik, Menteri Presidium Urusan Politik dan Luar Negeri. Ia pun mengontak Adnan Buyung Nasution (Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), Yozar Anwar (Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Pusat), dan Marsillam Simandjuntak (Ketua KAMI Jakarta). Ajakan Bung Adam disambut baik.

Sayang, ide ini tak berjalan mulus. Melalui beberapa pertemuan yang alot, Umar Kayam, Direktur Jenderal Radio & Televisi dan budayawan, akhirnya terpilih sebagai ketua. Tapi, setelah grup itu terbentuk, sejumlah tokoh menarik diri, termasuk Mashuri, Adnan Buyung, dan Adam Malik. Kayam mereka nilai tak independen. Adam Malik berkomentar, �Independent group sudah mati sebelum lahir.�

Meski dukungan kurang, independent group tetap jalan. Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 1968, Kayam menyampaikan sikap kritis grup itu kepada Soeharto.

Independent group rupanya mengkhawatirkan sejumlah orang. Ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia bertemu dengan Presiden Soeharto, Rahman Tolleng, Ketua Presidium KAMI Pusat, menyaksikan seseorang mengusulkan Soeharto membubarkan independent group. Alasannya: grup itu merupakan neo-PSI alias PSI baru. �Biarkan saja. Kalau tidak didukung rakyat juga nantinya mati. Ini kan demokrasi,� kata Soeharto ketika itu.

Aman? Keesokan harinya, di Jakarta dan sejumlah �markas� independent group, beredar pamflet gelap. Isinya: ajakan mengganyang kelompok independen. Tapi mereka bertahan. Beberapa nama kemudian masuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

Sementara itu, di Bandung, muncul gerakan dwipartai. Gagasan yang dicetuskan: membatasi jumlah partai peserta pemilu. Soemarno dan Soelaiman Soemadi, tokoh intelektual PSI, menonjol dalam gagasan ini.

Gagasan dwipartai mendapat dukungan luas. Namun banyak tafsir berkembang di antara pendukungnya. Ide dasarnya sederhana, kelak hanya ada dua partai: yang satu pendukung pemerintah dan lainnya partai oposisi. Ide ini �mati� setelah Soeharto menolak dan memutuskan mengadakan pemilu.

Sumbangan pemikiran intelektual PSI lainnya datang dari ekonom Sarbini Sumawinata. Pada 1966, ia berpendapat bahwa mempertahankan stabilitas politik merupakan syarat terciptanya pertumbuhan ekonomi. Dasar pemikiran tersebut selanjutnya menjadi acuan kerangka berpikir Orde Baru.

Rahman Tolleng�di depan Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mewakili Fraksi Golkar pada 1969�berpendapat bahwa sistem pemilihan umum seharusnya berdasarkan distrik, menggantikan perwakilan proporsional. Sistem distrik dianut Amerika Serikat.

Sistem distrik memungkinkan hubungan langsung antara yang dipilih dan pemilih. Pemilu perlahan menjadi pemilihan yang kualitatif. Usul Rahman ditolak, tapi ide sistem distrik kerap muncul sampai sekarang.

Setelah melalui pasang-surut, usaha kaum pluralis modern untuk membangkitkan sosialisme kerakyatan di era Orde Baru akhirnya kandas pada Januari 1974. Peristiwa Malari disebutkan oleh David Bourchier dan Vedi R. Hadiz sebagai puncak ketegangan kaum pluralis modern dengan kelompok perwira, pengusaha, dan politikus di sekitar Opsus pimpinan Ali Moertopo.

Setelah peristiwa Malari, kaum pluralis modern sering berada di barisan depan oposisi masa Orde Baru. �Sesudah 1974, seakan pintu tertutup bagi kebangkitan PSI, termasuk orang-orangnya,� kata Rahman Tolleng.

Setelah Sibi Tiada

Poppy Sjahrir membesarkan dua anaknya dalam kesederhanaan. Sempat larut dalam kesedihan.

BANDAR Udara Kemayoran, Jakarta Pusat, 17 April 1966. Jenazah bekas perdana menteri Sjahrir, yang baru datang dari Zurich, Swiss, disambut masyarakat dengan gempita. �Pake diupacarain. Kami harus sering berdiri memberi hormat,� kata Siti Rabyah Parvati, kini 48 tahun, putri bungsu Sjahrir, mengenang. Keesokan harinya, Sjahrir dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Bekas Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rosihan Anwar mencatat setidaknya 250 ribu orang mengikuti prosesi pemakaman itu.


Penghormatan itu bertolak belakang dengan suasana ketika Sjahrir berangkat ke Zurich�dalam status tahanan politik�setahun sebelumnya. Tak ada hiruk-pikuk, tak ada pesta perpisahan, kecuali lambaian tangan beberapa kerabat.

Siti Rabyah (Upik) dan kakaknya, Kriya Arsjah Sjahrir (Buyung), berusia 6 dan 9 tahun saat ayahnya wafat. Ketika Sjahrir sakit di Zurich, kedua bersaudara ini punya waktu untuk selalu bersama mendiang. �Sebelas bulan di Zurich adalah kesempatan kami menghabiskan waktu bersama Papa,� kata Upik. Sebelumnya, Sjahrir memang tak banyak di rumah. Pada 1962-1965 ia adalah tahanan politik di Jakarta dan Madiun.

Sepeninggal Sjahrir, Siti Wahjunah atau yang biasa disapa Poppy Sjahrir berusaha tak menampakkan kesedihan di depan anak-anak. Namun, �Kami tahu Mama sedih,� kata Upik. �Mama sering membuka kotak di kamarnya sambil menangis. Belakangan, ketika saya remaja, saya tahu bahwa kotak itu berisi gips cetakan wajah Papa.�

Kata Upik, �Bagi Mama, yang ada hanya Sjahrir, Sjahrir, dan Sjahrir. Saya lari ke Bu Dun jika sedang sedih dan ingin curhat.� Bu Dun adalah Dunia Pantiadi, saudara yang membantu mengasuh Upik dan Buyung.

Dua tahun lebih Poppy larut dalam duka. Sampai, suatu kali, Dun menegurnya. �Sibi sudah tiada. Dia meninggalkan Upik dan Buyung, jangan lupa itu, Zus,� Upik mengenang percakapan ibunya dan Dun. Sibi adalah panggilan Poppy kepada Sjahrir.

Teguran Dunia membuat Poppy sadar dan lebih memperhatikan kedua anaknya. Nilai-nilai yang diajarkan Sjahrir, terutama tentang kejujuran dan kebesaran hati, disampaikan Poppy dalam perbincangan di ruang keluarga. �Saya jadi tahu sosok Papa lebih dekat,� kata Upik. �Peninggalan Papa jauh lebih berharga dibanding harta.�

Upik lalu mengenang masa kecilnya. Ketika kecil ia hanya punya satu boneka. �Itu pun pemberian Pak Muthalib, teman Papa.� Jika ingin main masak-masakan, Upik harus bertandang ke rumah tetangga. Adapun Buyung lebih beruntung. �Saya punya dua sepeda. Mainan juga berlimpah waktu kami di Swiss,� kata Buyung, yang kini bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat.

Setelah Sjahrir tiada, Poppy dan anak-anak rutin datang ke makamnya. �Setiap Minggu pagi kami ke Kalibata,� kata Buyung.

Poppy amat aktif di berbagai organisasi kewanitaan. Kegiatan itu praktis tak banyak menghasilkan uang. Ekonomi keluarga akhirnya lebih banyak ditunjang bantuan kerabat dan keluarga. Sebagai perdana menteri, Sjahrir menerima uang pensiun yang tak seberapa. Pada 1992, uang pensiun Sjahrir hanya Rp 240 ribu per bulan, lalu naik menjadi Rp 600 ribu pada 1999.

Seiring berjalannya waktu, kebutuhan terus membengkak. �Tak cukup kalau hanya mengandalkan uang pensiun,� kata Upik. Itu sebabnya, pada 1980-an, empat kamar di rumah Sjahrir, di Jalan Jawa, kini Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta Pusat, dijadikan kos-kosan.

Meski keuangan tak begitu baik, Poppy tak pernah mengeluh. Dia mewanti-wanti Upik dan Buyung tekun bersekolah. Beruntung, keduanya mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar meski besarnya hanya belasan ribu rupiah per bulan. Upik dan Buyung mencetak nilai bagus. Upik tamat dari Universitas Indonesia dan Buyung dari Institut Teknologi Bandung.

Poppy meninggal pada 8 Maret 1999, pada usia 89 tahun. Bagi Buyung, ketimbang Sjahrir, sang bunda lebih membekas dalam ingatannya. �Sejak kecil, yang berjuang untuk kami adalah Mama,� katanya. Baginya, Poppy adalah ibu yang tegas tapi tak segan memuji anak-anaknya. Kata Buyung, �Mama sering bilang, �I�m proud of you�.�
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India