Selasa, 17 Agustus 2010

Tiga Berpayung Kecewa

DAFTAR 300-an tokoh Aceh itu membuat gempar Tanah Rencong. Itulah nama-nama yang dinilai melawan pemerintah pusat. Operasi penangkapan pun terjadi. Berdasarkan "daftar hitam" itu, Jaksa Tinggi Sunarjo memburu mereka dan menjebloskan mereka ke penjara.

Daftar nama itu diperoleh pemerintah dari Mustafa pada 1953. Mustafa adalah utusan Kartosoewirjo-pemimpin Negara Islam Indonesia. Dia ditangkap di Jakarta sepulang mengunjungi Daud Beureueh di Aceh. Aparat menemukan pula dokumen pengangkatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh yang ditandatangani Kartosoewirjo.

Dua kali Mustafa Rasjid atau Abdul Fatah setidaknya bertemu dengan Daud Beureueh. Pertemuan itu juga disaksikan Hasan Saleh, salah satu pemimpin militer Aceh. "Seru juga saya berdebat dengannya, disaksikan Teungku Daud Beureueh," kata Hasan dalam bukunya, Mengapa Aceh Bergolak. "Rupanya ia lebih banyak menguasai bidang politik daripada agama."

Penangkapan beberapa tokoh Aceh menjadi pemicu gerakan Aceh melawan pusat. Pada 21 September 1953 meletus perang antara masyarakat Aceh pimpinan Beureueh dan pemerintah pusat. Ini ironis. Sebab, pada Mei di tahun yang sama, di hadapan peserta Kongres Ulama di Medan, Beureueh menyatakan keputusannya mengadakan kerja sama erat dengan pemerintah untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Membela yang benar, menjauhi yang salah.

Perasaan tidak puas dan kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat sebenarnya sudah bergejolak pascakemerdekaan. Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh, organisasi bentukan Beureueh, menuntut otonomi dengan menjadikan Aceh provinsi. Tuntutan itu tidak dipenuhi. Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada 1950, yang membagi wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi, menjadikan Aceh kabupaten dan bagian dari Provinsi Sumatera Utara.

Saat perjuangan kemerdekaan, Beureueh menjabat gubernur militer wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dia dikenal sebagai ulama karismatis. Majalah Indonesia Merdeka, dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953, menulis bagaimana Beureueh mampu "menyihir" orang lewat ceramahnya berjam-jam yang biasa dilakukannya di masjid.

Abu-demikian Daud Beureueh biasa dipanggil-mendirikan Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh pada 1939. Van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, menyebut watak organisasi Persatuan Ulama mirip Muhammadiyah. Organisasi ini juga bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Persatuan Ulama menggembleng rakyat untuk melawan Hindia Belanda.

Daud Beureueh memiliki mimpi Aceh menjadi negara Islam yang besar dan jaya. "Kami mendambakan masa kekuasaan Sutan Iskandar Muda ketika Aceh menjadi negara Islam," kata Beureueh, seperti dikutip Boyd R. Compton dalam bukunya, Kemelut Demokrasi Liberal.

Pascapembagian kekuasaan di masa kemerdekaan pada akhirnya membuat hubungan pusat dan daerah tegang. Tidak hanya Aceh yang tak puas, hal yang sama muncul juga di sejumlah daerah. Di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar alias Abdul Qahhar Mudzakkar mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap pusat. Kahar sebelumnya adalah pemimpin Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Kahar marah kepada pusat karena, antara lain, tuntutan agar anak buahnya diterima menjadi tentara nasional tanpa proses seleksi ditolak.

Pada Agustus 1951, Kahar mendapat tawaran dari Kartosoewirjo melalui utusan Buchari, Wakil Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Abdullah Riau Soshby. Kahar menerima tawaran dan pada 7 Agustus 1953 ia pun memproklamasikan penggabungan gerakannya dengan Negara Islam Indonesia. Ia menjadi panglima Divisi Hasanuddin Negara Islam Indonesia. Adapun Syamsul Bachri ditunjuk sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan.

Kartosoewirjo merencanakan Negara Islam Indonesia berbentuk kesatuan dengan rotasi tiga imam: Kartosoewirjo, Daud Beureueh, dan Kahar Muzakkar. Kahar adalah imam pertama pengganti Kartosoewirjo. Berdasarkan faktor usia, semestinya Beureueh yang menjadi imam pengganti pertama. Rotasi model ini ditolak Beureueh.

Menurut dia, sistem imam tak memberikan rencana yang jelas mengenai pembagian kekuasaan atau struktur negara. Protes Beureueh terhadap Kartosoewirjo sebenarnya tak semata perihal imam ini. Dia kerap mengkritik kebijakan Negara Islam Indonesia Jawa Barat. Dalam pidato Majelis Syura pada 1960, misalnya, Beureueh menyebut sistem militer Negara Islam Indonesia sebagai sistem bobrok. Beureueh menunjuk Kartosoewirjo telah menghilangkan Dewan Imamah atau pemimpin yang dikuasai para ulama.

Katosoewirjo membentuk Dewan ini pada Agustus 1948 dengan melibatkan sejumlah ulama besar, seperti Sanusi Partawidjaja, Kiai Haji Gozali Tusi, dan R. Oni Mandalatar. Pemimpin atau imam dipegang Kartosoewirjo sebagai panglima tertinggi. Pascaagresi militer Agustus 1949, Kartosoewirjo mengganti Dewan Imamah menjadi Komandemen Tertinggi.

Lalu Negara Islam Indonesia pun dibagi menjadi lima wilayah: tiga di Jawa serta dua lainnya di Sulawesi Selatan dan Aceh. Tiap wilayah dijabat panglima atau komandan. Organisasi model militer ini pun menghilangkan struktur Majelis Syura yang juga diatur dalam konstitusi Negara Islam Indonesia. Kelompok Jawa Barat memandang struktur militer dibutuhkan saat perang. Sementara Aceh memandang prinsip sebuah negara tak dapat dihilangkan dalam suasana apa pun.

Perbedaan pendapat terus berlanjut. Pada Januari 1955, Aceh mengeluarkan struktur pemerintah dengan presiden Imam Kartosoewirjo dan sebagai wakil presiden Daud Beureueh. Beureueh mengembalikan dua ulama yang sempat bergabung dengan Dewan Imamah. Selain itu, dia mengumumkan Aceh sebagai bagian dari negara bagian atau negara konstituen Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo tak setuju dengan tindakan Beureueh. Pada 7 Maret 1957, Kartosoewirjo mengirim surat, menegur Beureueh. Dia menyatakan perubahan itu belum saatnya.

Meski Kahar tak banyak melakukan protes atas kebijakan Kartosoewirjo seperti Beureueh, secara mendasar terdapat perbedaan ideologi di antara keduanya. Kahar ingin wilayah kekuasaannya mengikuti negara Islam model kekhalifahan pasca-Rasulullah. "Kahar mengubah istilah imam menjadi khalifah," kata anak sulung Kahar, Hasan Kamal Qahhar Mudzakkar, kepada Tempo. Selain itu, Kahar menggunakan istilah "Darul Islam" untuk menggantikan sebutan Negara Islam.

Kahar sangat tegas menentang terjadinya bidah dan khurafat dalam Islam. Menurut Hasan, sikap ini berbeda dengan Kartosoewirjo. "Mungkin karena pemahaman agama Kartosoewirjo yang berbeda," katanya. Menurut buku Al-Chaidar, Pemikiran Politik S.M. Kartosoewirjo, pada akhir 1955, Kahar mengeluarkan Piagam Makalua yang menggambarkan sifat gerakan yang berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional. Dia ingin rakyat meninggalkan gelar adat, seperti andi, daeng, gede-bagus, teuku, dan raden. Gelar haji pun dilarang karena dianggapnya bentuk feodalisme.

Kahar pun melakukan perombakan organisasi sosial dan ekonomi negara. Rakyat dilarang memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol atau sutra, memakai minyak rambut, hingga makan dan minum dari makanan dan minuman yang dibeli di kota seperti susu, cokelat, dan mentega. "Darul Islam ingin menciptakan ragam masyarakat yang sama derajat dan puritan," kata Hasan.

Karakter dan gaya yang berbeda dari tiga imam ini pada akhirnya membuat gerakan yang mereka pimpin berbeda pula nasibnya. Gerakan Aceh pimpinan Beureueh berakhir damai dengan pemerintah tanpa ada tokoh penting yang ditembak mati. Ulama terkemuka itu turun gunung pada 1962 dan meninggal pada 1987 dalam usia 91. Adapun soal kematian Kahar ada dua versi. Ada yang mengatakan dia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, dalam Operasi Kilat pada 3 Februari 1965 dan ada yang menyatakan ia tidak pernah tertembak. Yang pasti jenazahnya memang tak pernah ditemukan. Karena itu, ujar Hasan, "Keluarga tak berani menyebut ayah itu almarhum."

Misteri Ki Dongkol dan Ki Rompang

KEDUA pusaka itu selalu menyertai ke mana pun Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pergi. Jika tak terselip di pinggang pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907 tersebut, Bajuri, pembantunya, selalu setia membawa. Di mana ada Kartosoewirjo, di situ ada Bajuri dan di situ pula ada keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu baru terpisah dari si empunya saat Kartosoewirjo ditangkap pada 3 Juni 1962.
Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan pedang itu kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar 1936 dari seorang tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. "Kedua pusaka itu diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji," kata Sardjono Kartosoewirjo, salah satu putra Kartosoewirjo.
Peran keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang selama perjuangan Kartosoewirjo memimpin pemberontakan DI/TII sangat diakui. Kartosoewirjo dikenal sebagai orang yang fanatik terhadap Islam tapi kental dengan unsur Jawa tradisional. Sebagaimana orang Jawa, ia pun gemar melakukan tapa dengan cara pati geni (tidak makan, tidak tidur, dan tidak minum) selama 40 hari di gua Walet, di sekitar Gunung Kidul.
Syahdan, kedua pusaka itu menjadi salah satu senjata andalan Kartosoewirjo menanamkan pengaruhnya di daerah pegunungan Jawa Barat. Banyak anggota masyarakat yang percaya bahwa orang yang memiliki kedua pusaka itu adalah seorang Ratu Adil Kawedal atau Ratu Adil yang "baru muncul".
Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo karangan Pinardi H.Z.A., salah satu bekas panglima kelompok Kartosoewirjo mengatakan terdapat kepercayaan mistis dalam masyarakat Jawa Barat bahwa orang yang dapat menyatukan kedua pusaka itu akan memiliki kemenangan dalam perjuangan. Ia mengatakan kedua pusaka itu tak pernah terlepas dari badan Kartosoewirjo. "Hanya kadang-kadang saja dititipkan kepada orang kepercayaannya yang bernama Raspati," katanya.
Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang diselenggarakan Kodam VI Siliwangi pada pekan industri di Bandung, Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang datang ke pameran itu hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang.
Namun keampuhan kedua pusaka itu dibantah oleh Sardjono. Menurut dia, pada kedua pusaka itu sama sekali tak ada unsur gaib. "Senjata biasa saja, bahkan yang satunya rompang, makanya jadi sebutan," katanya. Ia juga menampik jika disebutkan kedua pusaka tersebut selalu terselip di pinggang Kartosoewirjo. "Masak Imam ke mana-mana selalu bawa-bawa barang, yang bawa pembantunya, namanya Bajuri. Kadang-kadang saja diselipkan di pinggang," katanya.
Sardjono mengakui banyak orang yang selalu bertanya-tanya akan keampuhan kedua pusaka itu. Bahkan pernah sekali waktu salah satu pengawal Kartosoewirjo, Kadar Sulihat, menanyakan kepada Kartosoewirjo soal kedua pusaka yang selalu dibawanya itu. Dengan lugas Kartosoewirjo menjawab, "Pusaka ini menjadi pengingat. Dulu orang berjuang hanya dengan pisau, sekarang dengan senjata modern. Harus lebih berani."

Jejak Gerilya di Belantara Priangan

SARDJONO Kartosoewirjo-putra mendiang Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo-menegakkan posisi duduknya dan mengencangkan volume pemutar musik di mobil itu. Suara penyanyi balada Amerika, John Denver, terdengar melantunkan Take Me Home, Country Roads.
Almost heaven, West Virginia 
Blue Ridge Mountains
Shenandoah River...
Mobil yang ditumpanginya memasuki gugus pegunungan di pinggiran Kota Bandung. "Saya anak hutan, lahir dan tumbuh di hutan," kata pria 48 tahun itu. Sardjono dilahirkan ketika ayahnya bergerilya setelah memproklamasikan Negara Islam Indonesia dan baru keluar dari hutan pada usia lima tahun.
Pertengahan Juli lalu, Sardjono bersama Tempo melakukan napak tilas menyusuri daerah gerilya Kartosoewirjo. Rombongan berangkat dari Jakarta siang hari, senja sampai Bandung, dan masuk pegunungan Jawa Barat saat rembang petang.
Mendekati daerah Malangbong, Garut, sekitar satu jam perjalanan dari Bandung, Sardjono membaca selarik sajak dengan suara bergetar. "Di jalan ini kami pernah menerobos pagar betis tentara, mau ketemu Bapak di gunung seberang," katanya. Ayahnya dieksekusi regu tembak di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta.
MOBIL tumpangan itu terseok-seok melintasi daerah pegunungan. Hujan deras mengganggu penglihatan dan pendengaran. Sardjono, yang duduk di kursi depan, terus bercerita tentang masa kecilnya. Jalanan naik-turun berkelok tajam, kanan-kiri berselang-seling area permukiman dan hutan. Di rerimbunan hutan, 60 tahun lalu Kartosoewirjo bersama para pengikutnya menggalang kekuatan. Hutan tempat gerilya terbentang luas di gugus pegunungan Priangan-Ciamis, Garut, Sumedang, dan Tasikmalaya.
Pemberontakan Kartosoewirjo dipicu oleh kekecewaan terhadap pemerintah pusat, juga oleh hasil perundingan pemerintah pusat dan Belanda yang dinilai merugikan. Perjanjian Renville pada 1949, misalnya, yang berisi kesepakatan membagi daerah kekuasaan Indonesia dengan Belanda, mendorong pasukan Siliwangi di Jawa Barat melakukan long march ke Jawa Tengah, di daerah kekuasaan Republik. Kartosoewirjo dan pengikutnya menolak ikut serta.
Batas daerah kekuasaan Republik dengan Belanda dipisahkan garis Van Mook-yang memanjang di daerah Tasikmalaya sepanjang Sungai Citanduy. Daerah kekuasaan Indonesia berada di sebelah timur sungai, termasuk Ciamis. Daerah di sebelah barat, termasuk Tasikmalaya, menjadi wilayah Belanda. Di Jalan Dr M. Hatta terdapat jembatan yang melintasi sungai itu. Papan reklame komersial bertebaran di sekitarnya. Di daerah aliran sungai, pepohonan masih rimbun.
Jejak garis Van Mook kini juga direpresentasikan Jembatan Cirahong, 15 menit perjalanan dari pusat Kota Tasikmalaya. Jembatan sepanjang 200 meter itu dibagi dua. "Separuh masuk Ciamis, separuhnya masuk Tasik," kata warga pengatur arus kendaraan di mulut jembatan.
Karena perlintasan hanya searah, kendaraan yang lewat harus meluncur bergantian. Bagian bawah jembatan merupakan jalan kendaraan umum, dan bagian atasnya untuk lintasan kereta api. Air sungai terletak 30 meter di bawah.
l l l
JOHN Denver telah mengganti lagunya menjadi Forest Lawn. Mobil tumpangan itu kini melintasi jalan tanah berbatu 10 kilometer di sekitar Gunung Galunggung. Di sekeliling terlihat gerombolan kera berkerumun. Dari jalanan terlihat tebing yang menyangga punggung gunung. "Atas gunung itu dulu dijadikan tempat pemantau," Sardjono mengisahkan. Dari sana, petugas mengamati gerakan pasukan musuh. Komunikasi antarpetugas menggunakan siulan atau suara burung.
Daerah bawah punggung gunung dijadikan markas karena tersembunyi dan dekat dengan aliran sungai. Kebutuhan sehari-hari cukup tersedia. Itu adalah markas terbesar-menampung sang Imam, julukan Kartosoewirjo, dan 500 orang pengikutnya, termasuk pengawal dan keluarga. 

Kartosoewirjo Vs Alex Kawilarang

AWAL 1950. Satu batalion Siliwangi bersenjata lengkap mengepung rapat sebuah rumah di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasukan bersiaga di segenap penjuru. Semua senapan teracung ke arah rumah itu. Di situlah diduga tinggal salah satu perwira Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, Haji Syarif alias Ghozin.


Tak menunggu lama, perintah tembak berkumandang. Peluru pun berhamburan. Sang target utama, Ghozin, malah luput dan berhasil melarikan diri. Hanya istri dan pembantu Ghozin yang bisa dibekuk.


Aneh. Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima Tentara Teritorium III/Siliwangi, yang dua hari kemudian datang memeriksa, menaruh syak. "Harusnya seekor ayam pun tidak akan bisa kabur," kata Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu "Imam" Darul Islam, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Alex meminta semua anggota pasukan yang terlibat pertempuran itu diperiksa. Dari hasil pemeriksaan, ditemukan beberapa anggota pasukan Siliwangi punya hubungan kerabat dengan tokoh Darul Islam. Hubungan kerabat itulah yang membuat prajurit Siliwangi terkesan ragu melawan tentara Kartosoewirjo.

"Cerita itu tidak benar," kata Kolonel (Purnawirawan) Suhanda, 82 tahun, mantan Komandan Kompi C Batalion 328 Kujang. Anak buah Suhanda, yakni Sersan Mayor (Purnawirawan) Dana, 68 tahun, juga ragu akan kesaksian Sardjono. Dua belas tahun setelah peristiwa pengepungan itu, Juni 1962, Kompi C berhasil menangkap Kartosoewirjo.

Tentara Islam ini memang liat dan ulet. Persenjataannya ala kadarnya dan pasokan logistik pun ekstraseret. Mereka bertahan bergerilya, dari gunung ke gunung, selama belasan tahun.

Dana mengakui keuletan Tentara Islam. Tapi ada juga faktor lain. "Fokus TNI terpecah karena banyak pemberontakan lain di luar Jawa," ujar Dana.

Pada awal pemberontakan Tentara Islam, semula pasukan Siliwangi belum menemukan taktik yang jitu. Kolonel Alex menilai pasukan yang dipakai untuk menumpas tentara Kartosoewirjo terlalu besar. "Mobilitasnya jadi kurang. Lamban sekali," kata Alex dalam biografinya. Alex mengakui kesulitannya menundukkan Kartosoewirjo kendati di awal pemeberontakan dia sempat berjanji akan menumpas Darul Islam dalam waktu enam bulan saja. Dia kemudian meminta pasukannya membentuk tim patroli dalam jumlah lebih kecil, tapi lebih gesit. "Cukup satu peleton saja, tapi harus terus bergerak, baik siang maupun malam."

Patroli dalam tim-tim kecil ini pun kurang memadai menghadang pasukan Kartosoewirjo. Sebagian warga Priangan yang mendukung Kartosoewirjo memberikan tempat persembunyian bagi Tentara Islam. Alex menganalisis situasi pihak lawan menguasai medan dan didukung sebagian rakyat. Strategi yang dibutuhkan, menurut Alex, adalah strategi antigerilya.

Alex sudah kenyang pengalaman dalam perang gerilya dari penumpasan pemberontakan Republik Maluku Selatan. Dia melatih anak buahnya berbagai jurus antigerilya, terutama hinderlaag (penghadangan), juga menentukan gevechtstelling atau posisi tempur. Strategi inilah yang akhirnya mematahkan perlawanan Tentara Islam.

Dua peneliti, Cornelis van Dijk dan Karl D. Jackson, punya sejumlah teori kenapa perlawanan Tentara Islam Indonesia bisa bertahan lama, bahkan jauh lebih lama dibanding Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta, yang digerakkan sejumlah tokoh politik dan perwira militer.

Dukungan rakyat terhadap Darul Islam memang lebih kuat ketimbang respons masyarakat terhadap PRRI, yang elitis. Pada akhir 1960-an, Jackson meneliti 19 desa di Jawa Barat. Kesimpulannya, enam desa memihak Darul Islam, tujuh desa condong ke Pemerintah Republik, dan sisanya hanya mengikuti "arah angin".

Harus diakui pula bahwa Kartosoewirjo lihai merengkuh simpati masyarakat dengan simbol Islam yang digunakannya.

Upaya Hampa Natsir

PERLAWANAN Kartosoewirjo bersemai ketika Indonesia mengikat perjanjian dengan Belanda. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin menandatangani perjanjian di atas kapal perang USS Renville milik Amerika Serikat pada 17 Januari 1948. Salah satu butir kesepakatan Renville, penetapan garis Van Mook sebagai batas wilayah Indonesia dengan Belanda. Konsekuensinya, semua tentara Indonesia harus keluar dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda.

Kartosoewirjo kecewa. Bersama pasukan Sabilillah dan Hizbullah, Kartosoewirjo menolak mengikuti jejak Divisi Siliwangi mundur ke Jawa Tengah. Dia bertekad tetap bertahan di Jawa Barat serta terus melawan Belanda.

Melihat ini, Perdana Menteri Mohammad Hatta menunjuk Mohammad Natsir sebagai penghubung pemerintah-yang saat itu berdomisili di Yogyakarta-dengan Kartosoewirjo. Hatta menganggap Natsir cukup kenal Kartosoewirjo. Selain sama-sama orang Masyumi, Natsir dan Kartosoewirjo beberapa kali berjumpa di rumah guru Natsir, A. Hassan, tokoh Persatuan Islam, di Bandung.

Natsir, dalam wawancara dengan Tempo, Desember 1989, menggambarkan hubungan Kartosoewirjo dengan pemerintah saat itu masih lumayan mesra. Berkali-kali Kartosoewirjo datang ke Yogyakarta minta bantuan makanan atau dana bagi pasukannya. "Bung Hatta memberikan bantuan supaya Kartosoewirjo bisa mendinginkan hati orang-orang Jawa Barat yang merasa ditinggalkan Republik," kata Natsir.

Namun baku tembak antara pasukan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia tak terhindarkan. Kontak senjata pertama terjadi 25 Januari 1949 di Kampung Antralina, Ciawi, Tasikmalaya. Pertempuran pecah akibat masing-masing pihak mengklaim diserang lawan. Sejak itu, bara permusuhan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia terus menyala.

Bagi Kartosoewirjo, kekosongan kekuasaan di Jawa Barat berarti peluang mendirikan Negara Islam. Puncaknya, pada 7 Agustus 1949, di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia. Tanggal itu persis dengan keberangkatan Hatta ke Den Haag, Belanda, untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan niat Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia, atau Darul Islam. Sebelum berangkat, Hatta berpesan kepada Natsir agar berbicara dengan Kartosoewirjo. Ketika itu, 4 Agustus, Natsir menginap di Hotel Homann, Bandung. Dia menulis pesan di selembar kertas hotel, kemudian meminta tolong A. Hassan menyampaikan ke Kartosoewirjo. Apa daya, surat itu sampai ke tangan Kartosoewirjo tiga hari setelah proklamasi Darul Islam. "Ya, terlambat. Itu namanya takdir Tuhan," kata Natsir, 21 tahun lalu.

Menurut Natsir, Kartosoewirjo dijaga ketat pengawal. Tak sembarang orang bisa bertemu. A. Hassan pun diminta menunggu beberapa hari. Kalaupun tiba tepat waktu, tak mudah menggeser sikap Kartosoewirjo. "Bagi dia, yang berat itu menjilat ludah sendiri," kata Natsir.

Kartosoewirjo terus bergerilya. Tapi hubungan Kartosoewirjo-Natsir tetap tersambung. Selama bergerilya, paling tidak dua kali Kartosoewirjo mengirim surat rahasia kepada Presiden Soekarno, yang ditembuskan kepada Natsir.

Surat pertama dikirim 22 Oktober 1950, berisi pujian atas keputusan pemerintah menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut dia, kebijakan itu menunjukkan sikap pemerintah telah bergeser dari politik netral menjadi politik antikomunis. Di surat berikutnya, enam bulan kemudian, Kartosoewirjo menjanjikan dukungan kepada pemerintah melawan komunisme. "Republik Indonesia akan mempunyai sahabat sehidup semati," katanya. Namun Kartosoewirjo memberikan syarat: pemerintah harus mengakui Darul Islam.

Usaha Natsir melunakkan hati sang Imam tak berhenti. Pada Juni 1950, Natsir mengutus Wali Al-Fatah menemuinya. Ia teman lama Kartosoewirjo. Namun Kartosoewirjo menolak bertemu. Sang Imam menyatakan hanya bersedia menerima pejabat tinggi Indonesia, bukan utusan. Memang bukan Natsir yang menaklukkan sang Imam. Ia peluru yang menembus dada Kartosoewirjo pada September 1962 di Teluk Jakarta.

Menumpang Momentum Renville

Kecewa terhadap perjanjian dengan Belanda, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam. Merasa penguasa de facto di Jawa Barat.

KEDUA tokoh pejuang Islam Jawa Barat itu bertemu dengan hati penuh kuciwa pada awal 1948. Raden Oni Syahroni adalah Panglima Laskar Sabilillah, sedangkan Kalipaksi alias Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dikenal sebagai pendiri dan pemimpin Institut Suffah-yang murid-muridnya menjadi tenaga inti Laskar Sabilillah dan Hizbullah.


Mereka membicarakan isi Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, yang mengharuskan tentara dan laskar bersenjata mundur ke belakang garis Van Mook. Kantong-kantong wilayah berisi pasukan bersenjata di dalam garis itu harus dikosongkan. Ketika itu santer terdengar Divisi Siliwangi yang menjadi kebanggaan rakyat Jawa Barat akan hijrah ke Yogyakarta.

Pengalaman Perjanjian Linggarjati yang tak dipatuhi Belanda mengingatkan mereka untuk tak mudah percaya kepada taktik penjajah. Cornelis van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam, menulis bahwa para pejuang Islam kecewa terhadap Perjanjian Renville itu. Mereka menganggap Republik dan Tentara Nasional Indonesia tak hanya menunjukkan sikap kompromistis terhadap Belanda, tapi juga membiarkan rakyat Jawa Barat tak terlindungi.

Mudah ditebak hasil pertemuan kedua tokoh itu: Sabilillah-laskar yang awalnya dibentuk oleh Partai Masyumi-dan Hizbullah menolak perintah pengosongan. Anggota Hizbullah dan Sabilillah yang hijrah akan dilucuti senjatanya. Beberapa literatur menulis, tentara resmi yang tidak hengkang juga diwajibkan menyerahkan senjata. Aksi kelompok Hizbullah dan Sabilillah ini memicu ketegangan. Kelompok bersenjata yang menolak dilucuti kerap melawan.

Oni dan Karto juga sepakat segera menggelar konferensi pemimpin umat Islam se-Jawa Barat. Menurut Pinardi, dalam bukunya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, konferensi itu digelar di Desa Pamedusan, Cisayong, Tasikmalaya, pada Februari 1948.

Konferensi dihadiri 160 perwakilan organisasi Islam. Karto hadir sebagai wakil pengurus besar Masyumi Jawa Barat. Salah satu keputusan konferensi itu adalah semua organisasi Islam-termasuk Masyumi-melebur menjadi Majelis Islam Pusat, dan menunjuk Kartosoewirjo sebagai imam.

Pada Konferensi itu pula tercetus ide pembentukan Negara Islam Indonesia. Salah satu pengusulnya, Komandan Teritorial Sabilillah, Kasman, merujuk pada dua kekuatan besar dunia saat itu. "Kalau mengikuti Rusia, kita akan digempur Amerika. Begitu pula sebaliknya," kata Kasman. "Karena itu, kita harus mendirikan negara baru, yaitu negara Islam, untuk menyelamatkan negeri ini."

Namun konferensi belum mengambil keputusan tentang negara Islam. Peserta hanya menyepakati perlunya gerakan perlawanan sementara, berupa pembentukan Tentara Islam Indonesia, dan menunjuk Raden Oni sebagai pemimpin. Pasukan Tentara Islam ini memilih bermarkas di lereng Gunung Cupu, di daerah Gunung Mandaladatar, Jawa Barat.

Mengenai pembentukan TII ini, Al-Chaidar dalam bukunya, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, mencatat beberapa hari setelah konferensi ada pertemuan lain untuk mewujudkan bentuk konkret TII. Akhirnya, para pejuang Islam itu tidak hanya membentuk TII, tapi juga sejumlah korps khusus, seperti Barisan Rakyat Islam, Pahlawan Darul Islam (Padi), dan Pasukan Gestapu. Ada pula pembentukan korps polisi dan polisi rahasia Mahdiyin.

Untuk mematangkan rencana pendirian NII, Karto melakukan serangkaian pertemuan dan konferensi lanjutan. Dua bulan setelah konferensi pertama, mereka menggelar Konferensi Cipeundeuy, Bantarujeg, Cirebon. Konferensi itu meminta pemerintah Indonesia membatalkan sejumlah perundingan dengan Belanda. Jika tidak berhasil, pemerintah RI diminta membubarkan diri atau membentuk pemerintah baru.

Konferensi juga memutuskan mengadakan persiapan negara Islam untuk menandingi negara Pasundan bentukan Belanda. Persiapan itu meliputi pembuatan aturan-aturan ala Islam. Setelah di Cipeundeuy, konferensi lain digelar di Cijoho, Kuningan, yang membahas secara mendalam bentuk-bentuk ketatanegaraan. Dalam pertemuan ini terbentuk Dewan Imamah (Dewan Menteri), Dewan Fatwa (Dewan Pertimbangan Agung), dan penyusunan Kanun Azazi atau Undang-Undang Dasar.

Di tengah persiapan pembentukan NII, pada akhir 1948, Ibu Kota Yogyakarta diserang Belanda. Para pemimpin nasional yang berkantor di sana ditawan, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Peristiwa ini dimanfaatkan Kartosoewirjo sebagai propaganda tamatnya riwayat republik yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Maka, pada 21 Desember 1948, Kartosoewirjo mengumumkan komando perang suci, perang total melawan penjajah. Dalam kondisi perang itu, Dewan Imamah dan Dewan Fatwa menjadi kekuasaan tertinggi. Akhirnya, melalui Maklumat Nomor 6, Kartosoewirjo mengumumkan kejatuhan Negara RI dan lahirnya Negara Islam Indonesia. Dia menganggap Jawa Barat sebagai daerah de facto NII, sehingga setiap pasukan dan kekuatan lain-termasuk tentara resmi-yang melewati wilayah ini dianggap melanggar kedaulatan. Mereka harus bergabung dengan TII atau dilucuti. Ketika itulah NII mulai menyerukan jihad fisabilillah.

Pada saat bersamaan, Divisi Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah telah kembali ke Jawa Barat dengan melakukan long march. Masuknya kembali tentara Siliwangi ke daerah yang dikuasai pasukan TII menimbulkan gesekan, dan mengakibatkan perang segitiga TII-TNI-Belanda. Perang itu baru padam setelah digelarnya Perjanjian Roem-Royen.

Toh, perjanjian ini tak lebih bagus daripada perjanjian sebelumnya. Kartosoewirjo mengecam hasil perjanjian itu, seperti tertuang dalam Pedoman Dharma Bhakti Jilid II. Ia menuding Mohammad Roem, wakil Masyumi yang memimpin perundingan itu, telah menjual negara.

Perjanjian itu dinilainya menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Dalam kondisi vakum itu, menurut dia, tidak ada kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab. Maka keadaan itu digunakan oleh Kartosoewirjo untuk memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949.

Belakangan diketahui, rencana memproklamasikan Negara Islam Indonesia itu bukan yang pertama kali bagi Kartosoewirjo. Ulama Garut masa itu, Kiai Haji Yusuf Tauziri, memberikan pernyataan pernah dua kali diminta Karto memproklamasikan Negara Islam Indonesia. "Namun permintaan itu ditolak Yusuf," Pinardi menulis.

Melihat proses pembentukan Negara Islam Indonesia itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai Kartosoewirjo tak memiliki landasan ideologi yang kuat. Apalagi mengingat latar belakangnya sebagai anak mantri candu yang berpendidikan Belanda, dan hanya belajar Islam secara otodidak. "Soekarno jauh lebih kuat pengetahuan keislamannya," kata Bahtiar.

Bahtiar menunjuk kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville dan perjanjian-perjanjian berikutnya yang dianggap merugikan kepentingan Indonesia sebagai faktor yang lebih menentukan pemberontakannya. Tatkala pemerintah Soekarno-Hatta terdesak karena agresi militer Belanda, Kartosoewirjo memanfaatkan momen itu untuk memproklamasikan NII.

Pendapat ini disanggah putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Menurut dia, perjuangan ayahnya berlandaskan ideologi Islam yang diperjuangkan sejak ia mulai bergabung dengan Sarekat Islam dengan tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto. "Perjanjian Renville hanya momentumnya," katanya.

Ratu Adil Bermodal Keris

KABAR itu disiarkan melalui radio tabung ketika fajar baru terbit, 4 Juni 1962. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, "Imam Negara Islam Indonesia", diringkus tentara di persembunyiannya yang becek dan basah, di sebuah hutan yang tidak lebat di Jawa Barat.


Kastolani, komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa Tengah, tak mampu menahan amarah. Ia berniat mengajak sembilan anak buahnya menyerbu markas Tentara Nasional Indonesia. Berusia 29 tahun ketika itu, Kastolani bertambah geram akan sikap para komandannya.

"Komandan Batalion" dan "Komandan Resor Militer" Tentara Islam Indonesia di Brebes justru menganjurkan prajuritnya menyerah. "Saya tegaskan: komandan yang menyerah akan saya tembak," tuturnya kepada Tempo di rumahnya di Salem, Brebes, akhir Juli lalu.

Tapi, melihat para komandan dan anggota Tentara Islam tak berniat melanjutkan perlawanan setelah Kartosoewirjo tertangkap, ia melunak. "Saya perintahkan anak buah saya, silakan turun kalau mau menyerah," ia mengenang, dengan nada pahit. "Tapi, saya ingatkan, jangan tinggalkan salat."

Kastolani bergabung dengan Tentara Islam Indonesia di Brebes pada 1953. Ia terpikat janji negara berbasis syariah. Diproklamasikan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, Negara Islam Indonesia memikat ribuan orang pada mulanya.

Tidak ada angka pasti, tapi diperkirakan 50 ribu orang menjadi anggota ketika Kartosoewirjo ditangkap. Kepada pengikutnya, Karto selalu mengobarkan semangat jihad dan memerangi "pemerintahan kafir" Soekarno.

Dianggap memberontak, pengikut Negara Islam Indonesia diburu Tentara Nasional Indonesia. Sejak itu, mereka masuk hutan. Kastolani menjelajahi hutan di kawasan Bantar Kawung, Salem, Majenang, Songgong, Cibinbin, dan Jati Rokek. Desa-desa itu merupakan wilayah pegunungan di Brebes yang hutannya masih tersisa hingga kini.

Kartosoewirjo menggagas Negara Islam setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Agustus 1945. Ia melontarkan keinginan itu ketika menjadi Sekretaris Partai Masyumi Jawa Barat pada Oktober 1945. Meski ditolak partai, gagasan ini didukung banyak ulama di Jawa Barat.

Melalui para ulama, Karto mempengaruhi anggota Sabilillah dan Hizbullah-sayap ketentaraan Masyumi-di Jawa Barat pimpinan Oni. Dua laskar itu merupakan cikal bakal Tentara Islam Indonesia yang dibentuk pada Februari 1948. Merasa mendapat dukungan kuat dari pengikutnya dan Tentara Islam Indonesia, Kartosoewirjo membekukan kegiatan Partai Masyumi Jawa Barat. Ia mendirikan Negara Islam Indonesia.

Solahudin, peneliti Darul Islam dari Universitas Indonesia, mengatakan keberhasilan memperoleh dukungan tak lepas dari strategi Karto menggunakan ajaran tasawuf. "Modelnya tasawuf bercampur unsur kebatinan," katanya.

Ia mencontohkan, pada suatu kesempatan, Karto melakukan tapa geni di Gunung Kidul, Yogyakarta. Dengan bertapa, Karto mengasingkan diri dari keramaian, membersihkan diri dari pengaruh duniawi. Dalam bahasa Arab, aktivitas ini disebut riyadhoh. Kepada pengikutnya, menurut Solahudin, Karto meyakinkan bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama kali di Gua Hira.

Setelah bertapa, Karto mengaku mendapat "wahyu cakraningrat"-sinar terang yang disebutkan berbentuk kalimat syahadat dalam bahasa Arab. Sinar itu disebutkan melingkari wajah Karto. Ateng Jaelani Setiawan, mantan Panglima Tentara Islam Indonesia, yang ditangkap pada Maret 1962, mengatakan bahwa dengan "wahyu cakraningrat" Karto mengklaim dirinya sebagai "khalifatullah". Kartosoewirjo mengangkat dirinya sebagai imam seluruh umat Islam di dunia.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu disesuaikan dengan ramalan Joyoboyo, pujangga Jawa, tentang orang yang akan memimpin umat manusia. Konon Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil jika bisa menyatukan dua senjata pusaka, yakni Ki Dongkol dan Ki Rompang. Ketika ia ditangkap pada 3 Juni 1962, keris Ki Dongkol ada di tangannya.

Dalam buku manifesto politiknya, Heru Tjokro Bersabda: Indonesia Kini dan Kelak, Kartosoewirjo menulis, "Heru Tjokro" merupakan "makhluk Allah yang suci, menguasai dan memutar roda dunia menuju mardlotillah sejati, yaitu Negara Islam Indonesia." Heru Tjokro juga diartikan sebagai: "penyapu masyarakat jahiliah". Pemerintah Soekarno dianggap kafir karena tidak menjalankan syariat Islam, dianggap jahiliah, dan harus diperangi.

Karto menganggap situasi Indonesia ketika itu sama dengan masa penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad di Mekah. Sementara Muhammad menghadapi perlawanan kaum Quraisy, Kartosoewirjo mengatakan menghadapi Tentara Nasional Indonesia. Menurut Solahudin, alih-alih mengikuti cara tasawuf yang tidak agresif, Kartosoewirjo meminta anak buahnya memerangi pemerintah.

Karto juga membaurkan ritual keagamaan dengan kebatinan. Pada malam-malam tertentu, dia mengumpulkan 41 ulama di daerah "D-Satu"-daerah yang sepenuhnya dikuasai Negara Islam Indonesia. Mereka berdoa, berzikir, dan bersalat tahajud bersama. Semua dilakukan, menurut Solahudin, demi "menggapai wangsit dari langit".

Al-Chaidar, peneliti gerakan Islam Indonesia dari Universitas Malikussaleh, Nanggroe Aceh Darussalam, ragu Kartosoewirjo menggunakan pengaruh tasawuf, apalagi yang berbau mistik. "Informasi itu bias, hanya cerita dari mulut ke mulut," katanya.

Untuk menguatkan ketaatan, konsep baiat-pernyataan setia kepada imam-diberlakukan bagi pengikut. Sebelum berbaiat dengan Kartosoewirjo, seseorang belum dianggap menjadi muslim. Dengan baiat, pengikut Negara Islam Indonesia dituntut tunduk dan patuh kepada pemimpin. Dengan kesetiaan ini, sebagian besar pengikut menjadi puritan. Tak aneh, Tentara Nasional Indonesia butuh 13 tahun untuk melumpuhkan kekuatan Tentara Islam Indonesia.

Kenang-kenangan Institut Suffah

JAGUNG, kelapa, ilalang, dan perdu-perduan liar. Kalau Anda datang ke Desa Bojong, Malangbong, Jawa Barat, tak terlihat bahwa di kebun itu pernah ada sebuah pesantren. Padahal di situlah, dulu, Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah, pesantren yang mengajarkan agama, politik, dan kemiliteran.


Di Malangbonglah awal Kartosoewirjo mempelajari Islam. Ia berguru kepada mertuanya, Ajengan Ardiwisastra, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, juga Kiai Yusuf Tauziri dari Wanaraja, yang boleh dibilang sangat berpengaruh terhadap sikap religius Kartosoewirjo.

Keakraban Kartosoewirjo dengan Kiai Yusuf Tauziri terjalin antara 1931 dan 1938, saat sang Kiai duduk dalam Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Kiai Yusuf kemudian menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo. Kadang Yusuf, yang berkecenderungan berat ke tasawuf, dianggap bertanggung jawab atas kegemaran Kartosoewirjo pada mistik. Bahkan beberapa peneliti mengatakan Kiai Yusuf sebenarnya pemimpin spiritual yang sesungguhnya dari gerakan Darul Islam pada tahap permulaan. Ia membantu gerakan itu dari segi keuangan dan militer.
Pada 1936, dalam Kongres PSII di Batavia, Kartosoewirjo terpilih sebagai wakil ketua partai. Kongres ke-22 PSII itu menjadi momentum penting dalam karier politik Kartosoewirjo. Pada 1938, dalam kongres partai yang ke-24, diputuskan akan didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama Suffah PSII. Rencananya, lembaga yang bertujuan menjadi sarana pendidikan politik bagi kaum muslim ini akan dibuka pada 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai Wakil Ketua PSII.
Namun rencana itu tak berjalan mulus. Pada 1939 terjadi perpecahan dalam tubuh PSII. Puncaknya, dalam kongres partai ke-25 di Palembang, Januari 1940, Kartosoewirjo yang berseberangan dengan para petinggi partai akhirnya dipecat melalui keputusan Dewan Eksekutif PSII. Ia juga dituduh telah menyalahgunakan dana partai.
Bersama Kiai Yusuf Tauziri, ia kemudian membentuk Komite Pembela Kebenaran (KPK) PSII, yang menurut dia merupakan kelanjutan yang sebenarnya dari PSII.
Pada 24 Maret 1940, Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah yang sempat tertunda. Nama itu diambil dari bahasa Arab, suffah, yang berarti "menyucikan diri". Menempati area perbukitan sekitar empat hektare milik Ardiwisastra, lembaga pendidikan ini berada di sekitar jalan raya Malangbong-Blubur Limbangan. Tempatnya terpencil dari keramaian kota, di tengah-tengah kebun kelapa, dan masuk beberapa meter dari jalan raya.
Lembaga itu mirip pesantren. Siswanya menetap di sana. Selain mendapat pengajaran ilmu pengetahuan umum dan pendidikan agama, para siswa dididik ilmu politik. Kartosoewirjo sendiri mengajar bahasa Belanda, ilmu falak (astronomi), dan ilmu tauhid kepada siswanya yang berasal dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Dalam masa pendudukan Jepang, KPK-PSII-nya Kartosoewirjo di Malangbong dibubarkan Jepang. Meski begitu, Kartosoewirjo tetap memfungsikan Institut Suffah. Tapi dengan fokus pendidikan kemiliteran, karena saat itu Jepang getol memberi pelatihan militer. Siswa yang dilatih kemiliteran di Suffah lalu menjadi laskar Islam, Hizbullah dan Sabilillah, yang menurut sejumlah sejarawan kelak menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Dalam perjalanannya, Institut Suffah berujung tragis. Pada 1948, bangunan lembaga itu dihancurkan tentara Belanda, dan hanya menyisakan puing-puing batu bata. Belakangan batu bata reruntuhan itu pun dijual istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, untuk membiayai pendidikan putra bungsunya, Sardjono. "Meski memiliki kenang-kenangan yang sangat berarti, apa boleh buat saya butuh uang untuk menyekolahkan Sardjono," kata Dewi, seperti dikutip majalah ini edisi 5 Maret 1983.
Kini bekas Institut Suffah yang berada di belakang rumah Sardjono di Desa Bojong, Malangbong, itu tak sedikit pun menyisakan jejak kejayaan pesantren yang didirikan Kartosoewirjo. 

Kekasih Orang Pergerakan

BATU-BATU kali di atas nisan itu telah berlumut, di bawah payungan pohon-pohon menjulang. Ini sebuah kompleks makam keluarga di belakang Masjid Jamik di Kampung Bojong, Malangbong, di Garut, sebuah kota pedalaman di Jawa Barat. Suasana hening dan adem ketika Tempo berziarah ke sana pada Juli lalu. Di sinilah Dewi Siti Kalsum, istri Kartosoewirjo, yang akrab dipanggil Wiwiek, beristirahat untuk selamanya.

Lahir pada 1913, Dewi wafat 12 tahun lalu dalam usia 85 tahun. Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah, ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di pemakaman ini Kartosoewirjo ingin dikuburkan. "Bapak ingin jenazahnya dekat dengan keluarga Malangbong," kata Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo, kepada Tempo.

Tapi pemerintah Soekarno punya kemauan lain. Sampai sekarang tak jelas keberadaan jasad Kartosoewirjo setelah dia dieksekusi mati pada September 1962 di sebuah tempat di Teluk Jakarta. Kartosoewirjo agaknya ingin menunjukkan cintanya kepada Dewi hingga akhir hayat: meminta dirinya dikuburkan di Malangbong -kendati tak kesampaian.

Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan tahun, ibunya mengajak dia berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman ini amat membekas di hati dia.

Ardiwisastra ditahan Belanda karena bersama sejumlah ajengan memelopori pembangkangan terhadap perintah Belanda, yang mewajibkan penjualan padi hanya kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada 1916, Belanda menembak mati Haji Sanusi, tokoh berpengaruh di Cimareme, Garut. Terjadi pula penangkapan secara besar-besaran terhadap para ajengan, termasuk Ardiwisastra dan santri-santrinya.

Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) met de Quran Muhammadiyah Garut. HIS adalah sekolah yang pertama berdiri pada 1914, seiring dengan berlakunya politik etis atau balas budi penjajah Belanda kepada tanah jajahannya. Pendidikan setingkat sekolah dasar ini menggunakan pengantar bahasa Belanda. Ini berbeda dengan Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah. Umumnya yang bersekolah di HIS anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.

Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya tarik bagi Dewi, yang juga mulai aktif di dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Ia mampir ke rumah Ardiwisastra untuk mengumpulkan sumbangan warga Sarekat Islam guna mengongkosi Haji Agoes Salim ke Belanda. Agoes Salim ke Negeri Kincir Angin untuk berdiplomasi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ardiwisastra tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia di Garut.

Sekarmadji saat itu sudah terkenal di kalangan Partai Sarekat Islam Indonesia. Dialah sekretaris pribadi singa podium Haji Oemar Said Tjokroaminoto-yang ikut melambungkan nama Kartosoewirjo ke kancah gerakan perlawanan terhadap Belanda. Pada Desember 1927 Karto terpilih sebagai Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Indonesia. Sejak itu, ia banyak melakukan perjalanan ke cabang-cabang Sarekat Islam.

Turne itu pula yang akhirnya membawa dia ke Malangbong menemui Ajengan Ardiwisastra. Setahun setelah pertemuan itu, pada April 1929, Sekarmadji menikahi Dewi di Malangbong. Tentang pernikahan ini, seorang ulama seusia Ardiwisastra mengatakan Sekarmadji diambil menantu semata-mata karena motif kepartaian. "Apakah calon menantunya tampan atau buruk muka tidak penting," kata ulama tadi kepada Pinardi, penulis buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terbitan 1964.

Bagi Sekarmadji, Dewi punya semacam pertalian darah dengan dia, sama-sama keturunan Arya Penangsang. Dalam sejarah Kerajaan Demak abad ke-15, Arya Penangsang adalah penguasa kawasan Jipang yang terbunuh dalam perebutan kekuasaan setelah pamor Demak merosot.

Kepada Ateng Jaelani, tokoh Darul Islam yang lain, Sekarmadji pernah bakal menjadi menantu Haji Agoes Salim. Tapi, karena Agoes Salim kalah berdebat dengan Sekarmadji, akhirnya batal. Penyebab lain, Sarekat Islam pecah. Kartosoewirjo tak sehaluan dengan Agoes Salim yang mau berunding dengan Belanda untuk bicara kemerdekaan. Dan Kartosoewirjo memilih jalan politik nonkooperatif terhadap Belanda.

Ardiwisastra memandang Sekarmadji pemuda ideal. Apalagi dia punya haluan politik serupa. Pada Adiwisastra, Sekarmadji memperdalam keislaman dan kepartaiannya.

Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak mampu menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun keluar-masuk hutan bersama suaminya. "Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu," kata Dewi kepada Tempo edisi 5 Maret 1983. Kalau disebut karena cinta, "Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek," kata Dewi.

Yang pasti, pada hari tuanya-tanpa Kartosoewirjo-Dewi hidup tenang dan cenderung dingin. Riwayat hidup yang lebih banyak dilumuri cerita duka bergerilya dengan Kartosoewirjo pernah ia ceritakan kepada Tempo 27 tahun lalu itu tanpa emosi.

Sebagai istri orang pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami. Ia mondar-mandir Jakarta-Bandung-Garut-Yogyakarta, menumpang di rumah kenalan atau rumah kontrakan. Belum lagi jika Kartosoewirjo berurusan dengan rumah tahanan. Biasanya, kalau suaminya ditahan, Dewi pulang ke Malangbong. "Saya juga pulang kampung kalau mau melahirkan," kata Dewi.

Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir: Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono, lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah. Mereka: si sulung Tati yang meninggal ketika masih bayi, Tjukup yang tertembak dan meninggal pada 1951 di hutan pada usia 16 tahun, Dodo Muhammad Darda, Rochmat (meninggal pada usia 10 tahun karena sakit), Sholeh yang meninggal ketika bayi, Tahmid, Abdullah (meninggal saat bayi), Tjutju yang lumpuh, dan Danti.

Sebagai perempuan, Dewi mula-mula takut juga hidup di hutan. Apalagi saat itu Dewi menggendong Danti yang baru berusia 40 hari. Dewi sempat berpikir tentang masa depan anak-anaknya dan sering tercenung sedih. Tapi Kartosoewirjo yang ia kagumi selalu menghibur. "Kok, sedih amat sih!" Itu kalimat yang kerap Kartosoewirjo ucapkan jika Dewi sedang bermuram durja. Biasanya, jika suaminya bilang seperti itu, Dewi langsung merasa tenteram.

Sebelum menjalani eksekusi mati, Kartosoewirjo sempat berwasiat di hadapan istri dan anak-anaknya di sebuah rumah tahanan militer di Jakarta. Menurut Dewi, saat itu Kartosoewirjo antara lain berkata tidak akan ada lagi perjuangan seperti ini sampai seribu tahun mendatang. Dewi menitikkan air mata. Karto, yang mencoba tabah, akhirnya meleleh. Perlahan-lahan, dia mengusap kedua matanya.

Akar yang Terserak

AWAL tahun lalu, Bambang Soerjadi, 74 tahun, kaget kedatangan tiga tamu tak dikenal. Mereka berbicara dengan aksen Sunda. Setelah disilakan duduk di kursi tua di ruang tamu rumahnya, salah seorang tamu-yang kurus dan berkumis-memperkenalkan diri sebagai Herman. Ia menantu Dianti, salah seorang anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. "Setelah itu, saya senang sekali," kata Soerjadi. "Seperti sudah kenal lama."

Bersama saudara-saudaranya, Herman datang dari Garut, Jawa Barat, untuk mengumpulkan kembali keluarga besar "Imam" -panggilan Kartosoewirjo- yang terserak. "Selama ini silaturahmi terputus," kata Herman, yang dihubungi terpisah. Ia mengemban tugas wakil keluarga Kartosoewirjo. Pertemuan penuh haru di rumah di Jalan Setiabudi Nomor 20, Rembang, Jawa Tengah, itu diakhiri pelukan emosional.

Soerjadi sendiri tak pernah mengenal sosok Kartosoewirjo. "Bahkan fotonya saja saya ndak punya," katanya. Tapi dia adalah cucu dari kakak Kartosoewirjo, yang bernama Soemarti Ning. Lantaran ayah mereka bekerja sebagai mantri candu, Soemarti kecil mendapat nama panggilan Belanda: Dora. "Saya lebih mengenalnya sebagai Eyang Dora," kata Soerjadi. Belakangan ia baru tahu, Eyang Dora adalah kakak Kartosoewirjo. "Ibu saya selalu menutupi."

Soemarti dan Sekarmadji Maridjan merupakan sepasang anak Kartosoewirjo, pegawai perusahaan kehutanan milik Belanda. Mereka tumbuh dan mengecap pendidikan di sekolah Belanda di Kota Rembang. Selama ini, nama ibu mereka tidak pernah diketahui. "Saya juga tidak tahu," kata Sardjono, anak bungsu Sekarmadji.

Sejak muda, Sekarmadji gemar merantau, dan terakhir mengikuti H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Soemarti terus menetap di Rembang. Soemarti menikah dengan Soero Dipo Menggolo, yang bekerja sebagai mantri guru-semacam kepala sekolah. Mereka memiliki seorang anak perempuan bernama Sri Suryowati. Sedangkan Sekarmadji, sejak menikahi Dewi Siti Kalsum, tinggal di Malangbong, Garut. Keturunan Soemarti berbahasa Jawa, sedangkan keturunan Sekarmadji sehari-hari bercakap dalam bahasa Sunda.

Sri Suryowati menikah tiga kali. Pernikahan pertama dengan Soedarmo, pemuda asal Blora, dikaruniai dua anak, yakni Sri Rahayu Siti Jumilah dan R. Handoyo. Setelah bercerai, Sri menikah dengan Roesman, asal Rembang. Ia melahirkan dua anak, yakni Bambang Soerjadi dan Bambang Soerjono. Setelah bercerai lagi, Sri menikah dengan Soeryanto, asal Kebumen, dan membuahkan dua anak, yaitu Bambang Irawan dan Endang Irowati.

Dari enam anak Sri, hanya Soerjadi dan Bambang Irawan yang masih hidup. "Dia kena stroke dan sulit berkomunikasi," kata Soerjadi tentang saudara tirinya itu. Soerjadi juga tidak mengetahui keberadaan keturunan saudara-saudaranya yang lain.

Dari enam bersaudara itu, Bambang Soerjono merupakan yang paling unik. Dia memeluk agama Kristen, mengikuti agama istrinya, Iswati, asal Semarang. Dari pernikahan itu, lahir tiga anak yang kini menetap di Semarang, yakni Rony, Arianto, dan Fifi. "Saya tidak pernah bertemu mereka dan kehilangan kontak," Soerjadi menerawang.

Belakangan, Soerjono bercerai dan balik ke Rembang. Ia menikah lagi dengan Sasanti, yang juga beragama Kristen. Dari pernikahan itu, lahir dua anak: Emi dan Bagus. Dengan keluarga satu kota ini pun Soerjadi tidak punya kontak. Bahkan, pada saat Lebaran, keponakannya tidak ada yang datang menjenguknya. "Paling cuma papasan bertemu di jalan," ujar Soerjadi. Sepeninggal Soerjono, Sasanti lebih banyak menetap di Jakarta dengan keluarga lainnya.

Soerjadi, yang memiliki lima anak dan sebelas cucu, tinggal bersama anak perempuan dan dua cucunya. Ia pernah datang ke Malangbong, pada 1980-an, untuk menemui Eyang Dora, yang di Malangbong lebih dikenal sebagai Wak Mantri. "Ternyata (waktu itu) sudah meninggal," katanya. Soemarti alias Eyang Dora menetap di Malangbong sejak 1960-an setelah bercerai dari Dipo Menggolo. Soemarti wafat pada 1975 dan dikubur di pemakaman keluarga di Malangbong. "Nisannya tak bernama," kata Herman.

Mampir di Masyumi


MASYUMI lahir pada 7 Agustus 1945, ketika Jepang mulai sibuk bertahan dalam Perang Pasifik. Dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Harry J. Benda melihat: Jepang merestui pendirian organisasi Islam itu dengan harapan kekuatan Islam membantu dalam perang. Padahal para pendiri Masyumi-Kiai Haji Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, Kartosoewirjo, dan lainnya-menghendaki organisasi ini dapat menghadirkan semangat Islam dalam perang kemerdekaan.

Waktu itu Kartosoewirjo bukan pendatang baru. Sebelum terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I Masyumi, ia sudah aktif dalam Majelis Islam 'Alaa Indonesia (MIAI), salah satu organisasi cikal bakal Masyumi. Bersama kawan-kawannya, atas izin Aseha-residen Jepang di Bandung-ia mendirikan cabang MIAI di lima kabupaten di Priangan.

Kartosoewirjo cukup dekat dengan Jepang. Dalam Soeara MIAI, ia menulis betapa ajaran Islam akan berkembang bila umatnya ikut membangun dunia baru bersama "keluarga Asia Timur Raya."

Beberapa tahun setelah Proklamasi, dalam Pedoman Dharma Bhakti ia menjelaskan strategi kerja sama ini terbukti efektif. "Masyumi dan MIAI, keduanya buatan Jepang, dengan perantaraan agen para kiai ala Tokyo, sebenarnya kamp konsentrasi. Namun akhirnya menjadi pendorong dan daya kekuatan yang hebat (dalam pergerakan Indonesia)," tulisnya.

Atas usul Kartosoewirjo pula, Wachid Hasyim, Natsir, dan anggota lainnya, pada 7 November 1945 di Yogyakarta, menyatakan Masyumi sebagai partai politik. Kartosoewirjo tetap menjabat sekretaris pertama. Programnya menciptakan negara hukum berdasarkan ajaran agama Islam. Kartosoewirjo juga diberi tugas mendirikan pusat Masyumi di daerah Priangan.

Tujuh bulan setelah itu, pada Juni 1946, Masyumi daerah Priangan mengadakan konferensi pemilihan pengurus baru di Garut. Kartosoewirjo menunjuk Kiai Haji Mochtar sebagai ketua umum dan ia sendiri sebagai wakilnya. Nama tokoh politik Islam setempat, seperti Isa Anshari, Sanusi Partawidjaja, KH Toda, dan Kamran, masuk kepengurusan. Dalam pidatonya, Kartosoewirjo meminta pengikutnya memahami ajaran Islam yang hanif, menjaga persatuan, dan menghentikan konflik karena perbedaan ideologi.

"Karena konflik sesama bangsa Indonesia hanya akan menguntungkan Belanda," katanya. Ia mematangkan partai yang diharapkan menjadi wahana organisasi bagi semua kelompok Islam, sambil mempersiapkan tentaranya sendiri, laskar Hizbullah dan Sabilillah di Priangan.

Semua menyaksikan Kartosoewirjo merupakan sosok berpengaruh dan keras hati. Sikap kerasnya pada persetujuan Renville mendorong Perdana Menteri Amir Sjarifuddin meminta Kartosoewirjo menjabat Menteri Pertahanan. Tapi dia menolak, karena masih merasa terikat dengan Masyumi dan tak menyukai arah politik Amir yang condong ke kiri.

Sebelumnya, dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat di Malang, Jawa Timur, Februari-Maret 1947, Kartosoewirjo yang mewakili Masyumi menegaskan menolak persetujuan Linggarjati. Sebab, kesepakatan itu menguntungkan Belanda, yang nyata-nyata ingin kembali menjajah Indonesia. Penolakan itu menimbulkan konflik, Kartosoewirjo diancam gerilyawan sayap kiri, Pesindo. Bung Tomo meminta Kartosoewirjo mencegah pasukan Hizbullah menembaki kelompok Pesindo.

Melihat persetujuan Linggarjati dilanjutkan dengan agresi militer Belanda, Kartosoewirjo memfokuskan perjuangan bersenjatanya dengan basis Islam. Dalam pertemuan di Cisayong, ia dan kawan-kawan membekukan Masyumi dan semua cabangnya di Jawa Barat. Kartosoewirjo membentuk Majelis Umat Islam. Masyumi tidak mendukung, walaupun tidak ikut menghantam.

Ketika Masyumi memegang pemerintahan, Natsir mengirimkan surat yang mengajaknya turun gunung, kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun Kartosoewirjo membalas surat Natsir dengan pahit, "Barangkali saudara belum menerima proklamasi (Darul Islam) kami." 

Murid Tjokroaminoto di Peneleh

RUMAH bercat putih di Jalan Peneleh, Surabaya, itu baru dikapur ulang. Di bagian depan, pintu kayu jati dan dua jendela kecil yang mengapitnya pun baru dicat warna hijau. Selebihnya, tak ada yang baru dari rumah yang dulu dimiliki Haji Oemar Said Tjokroaminoto ini. �Lantainya saja masih dari semen,� kata Mariyun, ketua rukun tetangga setempat.

Rumah pendiri Sarekat Islam yang punya banyak kamar itu pernah menjadi tempat indekos tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dari berbagai aliran, di antaranya Soekarno dan Semaoen, pendiri Partai Komunis Indonesia. Soekarno pernah tinggal di salah satu kamar berlangit-langit rendah di loteng.

Tjokroaminoto memang membuka pintu rumahnya untuk orang-orang muda yang tertarik pada pemikiran politiknya. Salah satunya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang pindah ke Surabaya pada 1923, selulus dari Europeesche Lagere School-sekolah dasar Eropa khusus untuk kalangan Eropa dan yang berdarah Indo-Eropa, dengan pengecualian bagi pribumi berstatus sosial tinggi.

Anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan elite ini diharapkan bisa menjadi tenaga pembantu jika disekolahkan ke lembaga pendidikan dokter, sekolah ahli hukum, atau sekolah pamong praja. Ayah Sekarmadji, Kartosoewirjo, menginginkan anaknya yang saat itu berusia 18 tahun ini menjadi dokter.

Dari Europeesche Lagere School di Bojonegoro, ia dikirim ke Nederlandsch Indische Artsen School atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya. Namun lulusan sekolah tingkat dasar sepertinya baru bisa mengikuti pelajaran kedokteran setelah lulus kelas persiapan selama tiga tahun.

Saat mengikuti kelas persiapan itulah Kartosoewirjo mulai aktif di politik. Mula-mula ia bergabung ke Jong Java. Organisasi ini pecah karena anggotanya yang lebih radikal memilih mendirikan gerakan yang tak terlalu mengagungkan tradisi Jawa dan pemikiran Barat. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bond, yang lebih menyuarakan aspirasi Islam. Kartosoewirjo pun memilih hijrah ke organisasi baru ini.

Menurut peneliti sejarah Islam di Indonesia, Bahtiar Effendy, sikap radikal Kartosoewirjo itu memang sudah �bawaan�. �Kartosoewirjo itu kan orang Cepu,� ujarnya. �Kalau kita bicara Cepu saat itu kan abangan, bahkan kekiri-kirian.� Kartosoewirjo yang dikenal gila membaca ini terpengaruh buku-buku aliran kiri dan antikolonialisme, yang kebanyakan dia peroleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco adalah satu dari enam saudara kandung ayah Kartosoewirjo. Ia memilih profesi wartawan dan menulis di berbagai media ketika itu, bahkan beberapa kali mendirikan penerbitan sendiri. Marco sendiri sempat aktif di Sarekat Islam, tapi belakangan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia.

Bagi pemerintah kolonial, Marco tak ubahnya duri dalam daging. Ia rajin mengkritik secara terbuka, bahkan tak ragu menyindir pejabat pemerintah, di antaranya penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Urusan Bumiputra, D.A. Rinkes.

Buku-buku Marco-lah yang membuat pemerintah Hindia Belanda mencoret nama Kartosoewirjo dari Sekolah Dokter. Ia didepak pada 1927 lantaran kedapatan memiliki bacaan komunis dan antikolonial.

Akibat �menganggur�, Kartosoewirjo malah mendapat banyak waktu luang mendengarkan pidato-pidato Haji Oemar Said Tjokroaminoto. �Saya tertarik pada pidato-pidatonya,� kata Kartosoewirjo kepada Panglima Tentara Islam Indonesia Ateng Jaelani.

Kartosoewirjo tak pernah masuk pesantren. Ia mempelajari agama secara serabutan dari kiai-kiai yang ditemuinya. Saat Sarekat Islam menggelar rapat akbar di Surabaya, Kartosoewirjo ikut serta. Bubar rapat, anggota Sarekat pergi salat, juga Kartosoewirjo. Seusai sembahyang, Kartosoewirjo mendekati Tjokroaminoto untuk menyatakan ingin menjadi murid. Ia diterima.

Kartosoewirjo kemudian mondok di rumah Tjokroaminoto. Sebagai pengganti ongkos pemondokan, Karto �diminta bekerja di surat kabar Fadjar Asia,� kata putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Kartosoewirjo juga sempat menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. �Dia berguru soal Islam dan politik kepada Tjokroaminoto,� kata Bahtiar Effendy.

Tjokroaminoto menggembleng muridnya itu di koran yang banyak menulis tema antikolonial. Awalnya, Kartosoewirjo cuma korektor. Lalu pelan-pelan dia naik pangkat menjadi redaktur, bahkan sampai ke tingkat pemimpin redaksi.

Saat mengasuh koran tersebut, Kartosoewirjo tidak cuma menulis soal kekejaman pemerintah kolonial. Ia juga membahas soal Islam dengan bahasa yang keras. Dalam artikel yang ditulisnya pada 1929, dia menyerukan agar orang Islam bersedia berkorban demi membela agama Islam.

Tak sekadar menulis, Kartosoewirjo bergabung dengan Partai Sarekat Islam, organisasi yang dibentuk Tjokroaminoto. Di partai itu, Kartosoewirjo selalu berada dalam faksi nonkooperatif.

Sampai titik ini, hidup Kartosoewirjo mirip Mas Marco, pamannya. Bedanya: Marco komunis, Kartosoewirjo mengikuti langkah Tjokroaminoto yang memilih Islam sebagai dasar perjuangan.

Pada 1929, �kursus� ilmu politik dan Islam di rumah Tjokroaminoto rampung. Kartosoewirjo ditunjuk menjadi wakil Partai Sarekat Islam Indonesia di Jawa Barat. Ia hijrah dari Surabaya ke Malangbong, Garut. Kota di Jawa Barat itu menjadi basis Kartosoewirjo dalam memimpin Darul Islam.

Santri Abangan dari Hutan Jati

SEKARMADJI Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, Jawa Tengah-kota dengan romansa Bengawan Solo dan belukar hutan jati. Sang ayah, Kartosoewirjo, mantri candu pemerintah Belanda, memberinya nama Sekarmadji Maridjan. Kelak nama ayahnya disematkan di belakang nama sang bayi. Kakek si orok adalah Kartodikromo, Lurah Cepu. Rumah sang kakek tempat Sekarmadji lahir, di belakang pasar lama, kini telah musnah.


Yang tersisa adalah rumah di Jalan Raya Cepu 15, milik Kartodimedjo, paman Sekarmadji, yang sempat menjadi pamong praja pemerintah Belanda. Rumah kayu jati berkapur putih yang dibangun pada 1890 itulah tempat berkumpul keluarga besar Kartodikromo. �Ini rumah induk, tempat jujugan keluarga besar kami,� kata Nuk Mudarti, 75 tahun, keponakan Sekarmadji.

Pada usia enam tahun, Sekarmadji masuk Inlandsche School der Tweede Klasse Cepu, sekolah yang biasa disebut sekolah ongko loro (angka dua).

Sebagai anak pegawai pemerintah, Sekarmadji hidup berpindah-pindah mengikuti tugas ayahnya. Selain di Cepu, ayahnya pernah berdinas di Pamotan, Rembang, Jawa Tengah. Di kota ini, Sekarmadji melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School. Ketika pindah ke Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur, pada 1919, ia meneruskan pendidikan ke Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus anak Belanda. Hanya pribumi cerdas yang boleh masuk. Di kala libur, Sekarmadji kerap bermalam di rumah Jalan Raya Cepu 15.

Pada 1923, Sekarmadji meneruskan pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School, sekolah kedokteran Belanda di Surabaya. Saat itu Sekarmadji sudah hafal Al-Quran berikut tafsirnya. Kemampuan ini dikembangkan ketika dia kuliah di Surabaya dan mempertemukannya dengan tokoh Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Masa kecil Sekarmadji dihabiskan di lingkungan abdi dalem pemerintah Belanda. �Kami keturunan birokrat,� kata Nuk. Ronodikromo, kakek buyut Sekarmadji, adalah Lurah Merak, Panolan, Cepu. Soal keyakinan beragama, �Keluarga Kartodikromo cenderung abangan,� kata Nuk. �Kami priayi feodal.�

Meski priayi feodal, keluarga Kartodikromo demokratis. Perbedaan prinsip, pandangan politik, dan ideologi dihargai. Anak-anak diajari berpendirian teguh. �Itulah mengapa Mas Marco dan Sekarmadji teguh mempertahankan prinsip.�

Mas Marco, satu dari tujuh anak Kartodikromo, meninggal di pengasingan Digul karena menentang pemerintah Belanda. Marco dikenal sebagai aktivis kiri di era kolonial. Sekarmadji memimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Keislaman Sekarmadji banyak dipengaruhi ajaran Notodihardjo, pemuka Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) di Padangan, Bojonegoro. Pikiran kritis Sekarmadji terus bertumbuh ketika dia kuliah di Surabaya.

Suatu malam pada 1948, Sekarmadji datang ke rumah nomor 15. Nuk Mudarti masih mengingatnya. Kehadiran pamannya ini mencemaskan orang serumah. Jika Sekarmadji datang, polisi dan intelijen mengitari rumah. �Menakutkan,� kata Nuk. �Saya masih kecil, tak tahu mengapa intel menguntitnya.� Sejak 1940-an, Sekarmadji tak pernah lagi singgah di rumah induk. �Hingga kami mendengar dia merantau ke Malangbong,� kata Nuk. Hubungannya dengan Cepu putus.

Soemarti alias Dora, saudara kandung Sekarmadji, turut hijrah ke Malangbong, Garut, Jawa Barat. Dia pernah mengajak keluarga Cepu berkunjung ke Malangbong. Oleh-oleh hasil bumi sudah disiapkan. Tapi kunjungan itu tak pernah terwujud.

Saat meletus peristiwa pemberontakan DI/TII, keluarga Cepu menutup diri. Ketertutupan berlanjut sampai zaman Orde Baru. Keluarga besar Cepu, yang rata-rata pegawai pemerintahan, khawatir disangkutpautkan dengan gerakan Sekarmadji.

�Kami jadi kepaten obor, kehilangan jejak,� kata Kusparyono, 55 tahun, keponakan Sekarmadji di Cepu. Sardjono, putra bungsu Sekarmadji, membenarkan soal putusnya hubungan keluarga ini. �Sejak Ayah hijrah ke Malangbong, tak pernah lagi ke Cepu,� katanya.

Zaman berganti. Kini perjalanan hidup Sekarmadji justru membuat keluarga Cepu bangga. �Kami rindu bertemu anak-cucu Sekarmadji,� kata Nuk. Sardjono merasakan hal yang sama. �Kami tak punya bayangan bagaimana Cepu itu,� ujarnya.

l l l

RUMAH tua di Jalan Dr Soetomo, Pengkok, Padangan, Bojonegoro, itu kosong, tak terurus. Bangunan besar berwarna merah dengan lis abu-abu itu milik Mashudi (almarhum), pengusaha transportasi, anggota PSII pada 1940-an. �Ini rumah bersejarah,� kata Yunani, 58 tahun, putra Mashudi.

Sebelum masa pendudukan Jepang, rumah ini ditempati Notodihardjo alias Abdurrahman, aktivis PSII yang bergabung dengan Muhammadiyah. Saban bulan, Noto mengadakan pengajian sambil mengumpulkan bantuan untuk kaum fakir. Warga Bojonegoro, Ngawi, Blora, dan Cepu datang menghadiri pengajian. �Mbah Noto ini guru ngaji Sekarmadji,� kata Yunani. �Beliau punya mesin tik.�

Murid Noto lainnya adalah Suroatmodjo, juga anggota PSII. Putranya, Slamet, 67 tahun, berkisah tentang sang guru ngaji berdasarkan penuturan ayahnya. Noto berasal dari Surakarta. Istrinya dari Montong, Tuban. Tutur katanya halus, dia selalu mengenakan blangkon, beskap, dan selop. �Katanya, Noto keturunan Keraton Mangkunegaran,� ujar Slamet.

Dalam perenungan guru-murid menurut kisah yang didengar Ahmad, muncul dua sosok. Noto menaiki macan putih, yang diartikan sebagai pandita. Adapun sosok Sekarmadji muncul dengan menaiki kuda putih, simbol pengelana.

Rumah ayah Slamet, Suroatmodjo, di Dusun Sale, Sumembramum, Ngraho, sekitar 45 kilometer di barat Bojonegoro. Rumah ini kerap digunakan sebagai tempat rapat tokoh PSII. �Kami menyebutnya pertemuan rahasia, sering dihadiri orang tak dikenal,� kata Slamet.

Pada 1950-an, sebulan penuh Noto diperiksa polisi Ngawi. Polisi tidak menemukan bukti keterlibatannya dalam pemberontakan DI/TII. Hubungan Noto dan Sekarmadji dianggap hanya bersifat keagamaan. Pensiunan sinder kehutanan itu pun bebas dari tuduhan.

Tak jelas benar kapan persisnya Sekarmadji berguru pada Noto. Mungkin ketika Sekarmadji masih tinggal bersama ayahnya, atau ketika dia kuliah di Surabaya. �Kami tak tahu,� kata Nuk Mudarti.

Haji Damamini, 81 tahun, tokoh Masyumi dan Muhammadiyah di Ngraho, bercerita tentang sosok Noto. Menurut dia, Noto tersohor di seantero Cepu dan kota-kota di sekitarnya. �Dia punya indra keenam,� kata Damamini. Kemampuan itulah yang menerbitkan simpati dan hormat banyak orang kepada Noto.

Hubungan Noto-Sekarmadji banyak diwarnai kisah yang susah ditelusuri kebenarannya. Ahmad, 60 tahun, salah satu santri Noto, pernah mendengar kisah pertemuan Noto-Sekarmadji di tepi Bengawan Solo pada 1948. Ketika itu, sang murid hendak mengambil keputusan penting: hijrah ke Malangbong.

Dalam perenungan guru-murid, menurut kisah yang didengar Ahmad, muncul dua sosok. Noto menaiki macan putih, yang diartikan sebagai pandita. Adapun sosok Sekarmadji muncul dengan menaiki kuda putih, simbol pengelana. Noto meminta muridnya memperdalam agama dulu. Namun Sekarmadji nekat dan memilih pergi ke Malangbong. �Mereka lalu berpisah,� kata Ahmad.

Noto terus mengajar ngaji hingga wafat, pada 1971. Dia dimakamkan di Padangan. Jejak Sekarmadji pun semakin kabur sepeninggal sang guru. Ahmad mengenang, �Hanya Mbah Noto yang tahu hati Sekarmadji.�

Imam Pemberontak dari Malangbong

Berasal dari keluarga abangan, sekarmadji maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin pemberontakan darul islam. hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan negara islam masih bergelora di kalangan sebagian umat islam negeri ini.

DI Teluk Jakarta, sang �Imam� mengembuskan napas terakhir setelah tubuhnya diterjang peluru regu tembak. Toh, hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo masih terus mengilhami berbagai kelompok di negeri ini yang ingin menegakkan sebuah �Negara Islam�-baik dengan jalan damai maupun kekerasan.

Kendati dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu �islami�. Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu-pangkat yang cukup tinggi untuk seorang �inlander� di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan pasangan yang padan.

Keluarga Kartosoewirjo memang tergolong priayi feodal, dan bukan pemeluk Islam yang taat. �Keluarga kami cenderung abangan,� kata salah seorang anggota keluarga di Cepu. Masa kecil Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pun tak karib dengan pendidikan agama. Dia terus-menerus menempuh pendidikan di sekolah Belanda.

Setelah menamatkan Inlandsche School der Tweede Klasse, yang dikenal sebagai �Sekolah Ongko Loro�, Karto kecil melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School di Rembang, Jawa Tengah. Setelah itu, dia meneruskan pendidikan ke Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus untuk anak Belanda, di Bojonegoro, Jawa Timur.

Hanya anak pribumi cerdas dan berasal dari keluarga amtenar yang boleh masuk sekolah itu. Kemudian dia melanjutkan lagi pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School-biasa disebut Sekolah Dokter Jawa-di Surabaya.

Di masa remaja, Kartosoewirjo yang mulai tertarik pada dunia pergerakan justru akrab dengan pemikiran kebangsaan-bahkan �kiri�. Dia diketahui banyak membaca buku sosialisme yang diperoleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarekat Islam beraliran merah. Terpengaruh bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke politik dengan bergabung di Jong Java dan kemudian Jong Islamieten Bond.

Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur berbahasa Belanda dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Guru mengajinya yang pertama adalah Notodihardjo, aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia sekaligus Muhammadiyah di Bojonegoro. Penampilan Notodihardjo tipikal Islam-Jawa: tutur katanya halus dan dia selalu mengenakan blangkon, beskap, dan selop.

Adapun gurunya di dunia pergerakan, sekaligus guru agamanya terbesar, tak pelak lagi adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto-tokoh yang disebut Belanda �Raja Jawa tanpa Mahkota�. Terpesona oleh pidato �singa podium� itu, Karto melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.

Untuk membayar uang pondokan, Karto bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membawa Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadi mertua pertama Soekarno itu.

Patut dicatat, Tjokroaminoto juga dikenal sebagai guru bagi Semaoen yang beraliran komunis dan Soekarno yang beraliran nasionalis. Kesamaan tujuan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda membuat mereka bersatu dan mengesampingkan perbedaan.

l l l

KETIKA tinggal di Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah ajengan, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra belakangan menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan menegakkan Negara Islam.

Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang menolak proklamasi Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan Kartosoewirjo di medan tempur.

Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal ajaib jika muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia meyakinkan pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama di Gua Hira.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo, raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang pemimpin umat manusia.

Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di hutan.

Menyimak profil Kartosoewirjo itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai dia sesungguhnya tak memiliki landasan ideologi yang kuat untuk mendirikan Negara Islam. Bahtiar-dan beberapa ahli politik Islam lain-lebih merujuk pada kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville, yang dianggapnya merugikan kepentingan umat Islam, untuk memberontak dari �pemerintahan kafir� Soekarno.

Toh, pemberontakan Kartosoewirjo di Jawa Barat bersama Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan telah ikut mewarnai sejarah pembentukan Republik yang masih berusia muda. Puluhan tahun setelah ketiga tokoh itu wafat, semangat mendirikan Negara Islam terbukti tak kunjung padam di kalangan sebagian umat Islam. Kaderisasi di antara mereka pun sepertinya tak pernah terputus.

Pengusung cita-cita Negara Islam itu boleh saja terpecah-belah karena alasan ideologi atau kepentingan pribadi pemimpinnya. Ada yang memilih mengembangkan pendidikan, berjuang dengan program advokasi, ada pula yang tetap menghalalkan jalan kekerasan. Kelompok lain diyakini menjadi cikal bakal Jamaah Islamiah. Namun semuanya tetap mengaku penerus cita-cita Kartosoewirjo.

l l l

UNTUK mengumpulkan bahan penulisan edisi khusus Kartosoewirjo ini, kami mengundang beberapa ilmuwan, peneliti, dan saksi sejarah dalam beberapa sesi diskusi di kantor redaksi Tempo. Ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, dan Solahudin, seorang peneliti Darul Islam, memberikan banyak perspektif tentang tokoh karismatis ini. Mereka juga memberikan rujukan sejumlah literatur mengenai Kartosoewirjo dan gerakan Darul Islam, dari karya klasik sampai kontemporer.

Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pergulatan keluarganya yang dianggap sebagai gembong pemberontak. Memang, setelah ayahnya dieksekusi, giliran dua kakak kandungnya, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki, tampil menjadi tokoh baru Darul Islam.

Riwayat Sardjono sendiri cukup unik. Dia lahir di hutan, di medan gerilya ayah dan ibunya. Usianya baru lima tahun ketika Kartosoewirjo tertangkap dan seluruh keluarganya memutuskan menyerah dan keluar dari hutan. Dengan ingatan kanak-kanak yang terbatas, dia membantu merekonstruksi apa yang terjadi di hutan, di saat-saat terakhir perlawanan sang Imam dan pengikutnya.

Kami juga mengundang Sofwan, bekas juru warta Ma�had Al-Zaytun, yang dikenal sebagai pesantren milik bekas pengikut Negara Islam Indonesia. Mantan tangan kanan Abdussalam Toto alias Panji Gumilang ini mengaku sudah keluar �secara baik-baik� dari Al-Zaytun. Diskusi yang berlangsung seru dan kadang diselingi gelak tawa itu selalu diawali makan siang atau makan malam ala Tempo.

Melengkapi tulisan, kami melakukan napak tilas ke sejumlah tempat bersejarah. Sardjono menemani dan menunjukkan lokasi-lokasi tempat Kartosoewirjo dan anak buahnya pernah bergerilya selama 13 tahun di hutan dan gunung sekitar Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat.

Bersama Sardjono pula kami pergi ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Di sana ada sebuah makam yang diyakininya sebagai kubur ayahnya. Selama ini sejumlah literatur dan saksi sejarah hanya bercerita bahwa Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati di sekitar Teluk Jakarta. Namun tak diketahui di mana jenazah sang Imam dikebumikan.

Tim Edisi Khusus Kartosoewirjo :
Penanggung Jawab: Nugroho Dewanto Kepala Proyek: Bagja Hidayat Penyunting: Nugroho Dewanto, Bina Bektiati, Mardiyah Chamim, Idrus F. Shahab, Purwanto Setiadi, Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Muhammad Taufiqurohman, L.R. Baskoro, Seno Joko Suyono, Hermien Y. Kleden, Amarzan Loebis Penulis: Nugroho Dewanto, Bagja Hidayat, Sunudyantoro, Harun Mahbub Billah, Dwidjo Utomo Maksum, Yandi M. Rofiyandi, Anton Aprianto, Wahyu Dhyatmika, Budi Riza, Yophiandi Kurniawan, Anne L. Handayani, Nurkhoiri, Fery Firmansyah, Angelus Tito Sianipar, Yuliawati, Ramidi, Erwin Dariyanto, Ahmad Taufik, Oktamandjaya Wiguna, Sapto Pradityo, Nurdin Kalim, Retno Sulistyowati, Suryani Ika Sari Penyumbang Bahan: Widiarsi Agustina, Cheta Nilawaty (Jakarta), Gilang Mustika Ramdani, Ahmad Fikri, Angga Wijaya (Bandung), Sigit Zulmunir (Garut), Jayadi Supriyadin (Tasikmalaya), Deden abdul Aziz (Sukabumi) Sudjatmiko (Rembang, Cepu, Bojonegoro), Sohirin (Semarang), Erwin Dariyanto (Brebes), Kukuh S. Wibowo (Surabaya) Bahasa: Uu Suhardi, Dewi Kartika Teguh W., Sapto Nugroho Foto: Aryus P. Soekarno (Koordinator), Bismo Agung, Dwi Narwoko, Aditya Herlambang Desain: Gilang Rahadian, Eko Punto Pambudi, Hendy Prakasa, Kiagus Auliansyah, Ajibon, Agus Darmawan S., Tri Watno Widodo
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India