Selasa, 10 Maret 2009

Kerja Sama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir

Oleh: HARRY POEZE

SJAHRIR adalah satu dari Tujuh Begawan Revolusi Indonesia. Ketujuh orang ini�Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan A.H. Nasution�dalam kadar berbeda menentukan arah dan produk revolusi. Republik Indonesia pada zaman revolusi, dengan demikian, bukan merupakan akibat dari proses sosial yang impersonal dan tak terhentikan, melainkan hasil interaksi ribuan orang dan organisasi, kelompok angkatan bersenjata dan badan perjuangan, politikus nasional dan lokal, idealisme dan oportunisme, patriotisme dan banditisme, pahlawan dan pengecut. Semua ingar-bingar itu berakhir dengan ajaib: pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Desember 1949.

Ketujuh pemimpin ini dengan caranya masing-masing berkontribusi bagi jalannya revolusi. Setelah revolusi, mereka mengalami peruntungan berbeda, aliansi berbeda, dan perimbangan kekuatan berbeda.

Sjahrir dan Amir, yang tak tergoda bekerja sama dengan Jepang, pada 1945 segera mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno dan Hatta. Mereka menghadirkan Republik Indonesia yang siap bernegosiasi dengan Sekutu dan Belanda. Di latar belakang, Soekarno dan Hatta menunggu saat yang tepat untuk comeback. Kesempatan itu datang tatkala Sjahrir berada di bawah tekanan melakukan terlalu banyak konsesi dalam pembicaraannya�yang dalam diskursus politik sering disederhanakan sebagai diplomasi.


Tan Malaka, politikus sorangan, yang setelah 20 tahun di pembuangan, secara diam-diam kembali ke Jawa pada 1942. Ia mengepalai sebuah koalisi berwajah angker antara organisasi politik dan organisasi militer, Persatuan Perjuangan. Koalisi yang membawa panji-panji perjuangan ini melancarkan oposisi blak-blakan terhadap konsesi apa pun dengan Belanda, bila konsesi itu menyimpang dari semangat Proklamasi. Tujuan mereka adalah merdeka 100 persen.

Namun Tan Malaka dan koalisinya ternyata hanya raksasa dengan kaki dari tanah liat. Setelah melakukan perlawanan sengit terhadap Sjahrir, Amir, Soekarno, dan Hatta�keempatnya hanya memberikan tanggapan moderat� dalam sidang parlemen sementara, yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Solo pada Februari 1946, Persatuan Perjuangan lenyap tak berbekas. Tan Malaka pun hilang dalam gerhana.

Kendati demikian, Tan masih dianggap ancaman bagi kehormatan Republik. Entah Amir atau Sjahrir, atau mungkin keduanya, dengan persetujuan Soekarno, secara tak resmi mendukung penculikan Tan Malaka dan beberapa pengikut setianya oleh dua orang pemuda Pesindo, organisasi pemuda sosialis, dari sayap yang dipersenjatai. Penculikan pada Maret 1946 itu berhasil, tak mendapat kecaman publik, dan Tan Malaka ditahan tanpa proses persidangan sampai September 1948. Ketika dibebaskan, Tan tentu saja sakit hati terhadap mereka yang bertanggung jawab atas penahanannya: Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta.

Selama delapan bulan�dari Proklamasi sampai penculikan Tan Malaka�Tan berubah dari negarawan senior terhormat, disegani karena pengalamannya dan perjuangan antikolonialnya, dan seorang teoretikus revolusi, menjadi orang buangan, dihujat dan dilupakan. Sjahrir adalah salah satu pengagumnya. Mereka bertemu pertama kali pada September, di rumah Soebardjo, tempat Tan Malaka tinggal sementara. Mereka bertemu lagi ketika Tan Malaka pindah ke Bogor. Sjahrir dan para pemuda terkemuka mendiskusikan cara menggantikan kekuasaan presiden Soekarno dan Hatta dengan pemerintahan parlementer yang dikepalai Sjahrir.

Tan Malaka memberikan usulan dalam bahasa Inggris: �We must follow a nationalist policy with a very deep cut into socialism� (Kita harus menjalankan suatu politik nasionalis yang sangat diwarnai oleh sosialisme). Sjahrir setuju. Dalam kerja sama yang erat, mereka merencanakan langkah-langkah untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno dan Hatta.

Tapi belakangan Sjahrir berpikir bahwa dalam keadaan segenting itu perlu mempertahankan Soekarno sebagai simbol negara. Sjahrir juga menaruh rasa hormat pada Tan Malaka yang ia sapa dengan sapaan kehormatan Minangkabau, Engku.

Sjahrir kemudian terpilih menjadi Kepala Badan Pekerja KNIP pada 17 Oktober untuk menangani masalah-masalah parlementer. Ia mengisi lembaga yang dipimpinnya dengan sejumlah besar pendukungnya yang ditemuinya seminggu kemudian. Termasuk, Tan Malaka yang saat itu berada di Serang. Ini merupakan pertemuan penting. Tan Malaka mengemukakan pandangannya bahwa perlawanan all-out terhadap Belanda merupakan kebijakan yang harus diikuti. Indonesia tak memiliki persenjataan, tapi ia memiliki rakyat dan pemuda yang siap bertempur.

Ancaman bumi hangus akan mencegah Belanda untuk kembali. Perundingan dengan Belanda hanya boleh terjadi bila Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Perlawanan total inilah yang kemudian menjadi program Persatuan Perjuangan dan memicu bubarnya kerja sama Tan Malaka dan Sjahrir. Tapi, di Serang, Sjahrir masih meminta Tan Malaka menjadi Ketua Partai Sosialis yang segera didirikan. Reputasi Tan yang legendaris dipandang dapat memperkuat basis kekuasaan yang solid bagi Sjahrir.

Tan Malaka menolak tawaran itu. Dalam pandangannya, partai-partai yang tumbuh seperti jamur di musim hujan hanya membawa perpecahan dan mengancam persatuan yang begitu diperlukan bagi perjuangan melawan Belanda. Tan Malaka menegaskan prinsipnya: �Sesudah lebih daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tiada ingin akan menjadi teman separtai kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imperialis itu.� Kepada pengikut setianya, Maroeto Nitimihardjo, ia bahkan lebih terus terang, �Aku tak bisa melakukan ini, aku Komunis.�

Inilah akhir kerja sama kedua tokoh ini�Sjahrir memilih garis lebih moderat, Tan Malaka mengorganisasikan alternatif lebih radikal. Keduanya tak pernah bertemu lagi.

Dari ketujuh tokoh utama revolusi, hanya Sjahrir dan Tan Malaka yang menuangkan gagasan mereka dalam tulisan. Sjahrir menerbitkan Perjuangan Kita, yang beredar luas dan dipuji. Khususnya, oleh para pendukung di luar negeri�dari kelompok sosial demokrat yang moderat�yang setuju dengan lahirnya bangsa Indonesia yang baru. Namun prinsip-prinsip dan visi yang dikemukakan Sjahrir tentang persoalan-persoalan aktual kenegaraan terlalu singkat. Visi Sjahrir juga bercampur-aduk antara analisis politik, pertimbangan-pertimbangan taktis, rencana jangka pendek dan jangka panjang, pilihan praktis, ortodoksi Marxis, serta hasil pengamatan yang ditujukan kepada audiens dalam negeri dan luar negeri, yang disajikan kadang-kadang secara agresif, kadang-kadang tersembunyi.

Dibandingkan trilogi Tan Malaka yang disajikan dalam format dialog� Politik, Muslihat, Rencana Ekonomi�buklet Sjahrir tak dapat bersaing dengan tulisan Tan Malaka yang koheren dan mendalam tentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Tapi Tan Malaka tak punya sarana untuk menerbitkan dan mengedarkan buklet-bukletnya. Ia juga tak mempunyai hubungan baik, serta kontak dan simpati dengan luar negeri.

Di dalam penjara Tan Malaka menulis Dari Penjara ke Penjara, yang juga berisi komentar-komentarnya tentang revolusi Indonesia yang diwarnai pengalaman-pengalaman getir bersama kuartet Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir. Dalam jilid tiga Dari Penjara ke Penjara yang beredar dalam bentuk stensilan ia tetap mengemukakan pandangan-pandangannya. Pada waktu itu Sjahrir telah turun dari jabatan perdana menteri, telah pula kehilangan goodwill, dan dituduh terlalu banyak melakukan konsesi dengan Belanda. Amir mengalami nasib yang sama menyusul keterlibatannya dalam Pemberontakan Komunis di Madiun, yang dibayar dengan eksekusi mati.

Analisis Tan Malaka atas keempat pemimpin dilakukan dalam bentuk sketsa: �Satu dengan lainnya lebih banyak mempunyai persamaan dalam hal yang penting daripada perbedaan. Mereka sama-sama berasal dari golongan petite bourgeoisie, borjuis kecil Indonesia, sama-sama mendapatkan pendidikan sekolah Belanda tertinggi. Dan sama-sama bercita-cita �kerja-sama� dengan imperialis Belanda, menurut Linggarjati dan Renville. Mereka cuma berbeda dalam kualitas, sifat, sebagai orang saja.�

Tentang Sjahrir, Tan menulis: �Sampai pada waktu Jepang menyerah, maka Sutan Sjahrir paling dekat dengan para pemuda [�]. Tetapi dalam sikap tindakan merebut senjata dari Jepang pada 17-18-19 Agustus sudah kelihatan retak antara Sjahrir cs. dengan para pemuda. [�] Sebenarnya Sjahrir sudah bertindak dengan Soekarno-Hatta. Dia dengan golongan pemudanya sudah melayang-layang di antara Massa Aksi dengan Diplomasi. Dia kelak dengan majunya perjuangan akan terpaksa memilih salah satunya�pekerjaan yang sangat sukar bagi borjuis kecil.� Tan terus mencadangkan kritik terhadap perilaku Sjahrir pada rapat KNIP di Solo, ketika keempatnya�Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta menyingkirkan Persatuan Perjuangan lewat gerakan-gerakan rahasia dan manuver-manuver cerdik.

Atas cara ini, dalam beberapa bulan, kerja sama yang menjanjikan telah berbelok menjadi perseberangan yang pahit, dengan Tan Malaka dalam peran abadinya sebagai pecundang sepi. Tapi hari-hari kejayaan Sjahrir juga pendek. Sejak Juli 1947, ia dihukum untuk berdiri di pinggir, sebagai pemimpin partai sosial demokratik yang kecil.

HARRY POEZE
Penulis biografi yang ekstensif tentang Tan Malaka. Jilid pertama dari enam jilid diterbitkan di Indonesia dengan judul Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi, jilid I Agustus 1945-Maret 1946, tahun 2008. Tahun ini dua jilid lagi akan diterbitkan.

Sjahrir di Pantai

Oleh: GOENAWAN MOHAMAD

SAYA bayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, 1 Februari 1942. Kemarin tentara Jepang menyerbu Ambon. Beberapa jam sesudah itu bom meledak.

Saya bayangkan pagi itu, setelah sebuah pesawat MLD-Catalina berputar-putar di sekitar pulau. Berisiknya membangunkan penduduk, sebelum ia berhenti di pantai yang tenang. Ko-pilot pesawat, seorang opsir Belanda, turun dan menuju ke tempat Sjahrir dan Hatta tinggal. Kedua tahanan politik itu harus meninggalkan pulau cepat-cepat, pesannya. Hanya ada sekitar waktu satu jam untuk bersiap.

Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam 16 kotak. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak angkatnya, meskipun salah satunya masih berumur tiga tahun.

Sesampai di tempat pesawat, ada problem: ruang di Catalina itu terbatas. Para penumpang itu harus memilih, 16 kotak buku atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah. Enam belas kotak buku itu tak jadi dibawa�untuk selama-lamanya�kecuali Bos Atlas yang sempat disisipkan Hatta ke dalam koper pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali kehilangan itu.

Saya bayangkan Sjahrir di pantai Banda Neira pagi itu, di dalam Catalina yang meninggalkan pulau. Ia memandang ke luar jendela, melambai sekenanya. Seluruh Banda Neira tampak baru bangun, berjajar di tepi laut menyaksikan perginya kedua orang buangan itu bersama tiga anak yang masih kecil.

Hari itu menutup masa hampir enam tahun Hatta dan Sjahrir tinggal di pulau kecil itu, di antara 7.000 penduduk. Ada peperangan di seberang sana, dan mungkin semua orang sudah menduga, Hatta, Sjahrir, dan anak-anak itu tak akan kembali.

***

Saya bayangkan Sjahrir enam tahun sebelum 1 Februari 1942: seorang tahanan politik di sebuah rumah tua di Banda Neira. Ia tinggal bersama Hatta. Sejak di hari pertama ia datang, ia menemui anak-anak, dan anak-anak datang untuk belajar, bermain, bergurau.

Rumah itu luas, dulu ditempati pejabat perkebunan, dengan ruang dalam yang 50 meter persegi dan beranda yang 40 meter panjangnya. Hari itu seorang dari anak-anak itu menumpahkan vas kembang. Airnya membasahi sebagian buku yang ditaruh Hatta di atas meja. Hatta�selalu sangat sayang kepada buku-bukunya, selalu rapi dengan benda-benda itu�marah.

Sjahrir pun memutuskan untuk meninggalkannya. Ia pindah ke paviliun kecil di kebun keluarga Baadilla. Baadilla tua, seorang keturunan Arab yang dulu saudagar, menitipkan pendidikan cucu-cucunya kepada Sjahrir: dua lelaki, Does dan Des, dua perempuan, Lily dan Mimi.

Sjahrir segera jadi bagian dari keluarga itu. �Mereka� adalah teman terbaik yang saya miliki,� katanya tentang anak-anak Banda itu, dalam sepucuk surat bertanggal 25 Februari 1936. Ia tak menyebut tahanan politik lain di pulau itu: Hatta, Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri....

Saya bayangkan Sjahrir di paviliun itu: ia seorang hukuman yang berbahagia. Ia mengajar anak-anak itu menulis, matematika, sejarah, cara makan yang sopan, dan entah apa lagi. Ia menyewa mesin jahit Singer dan menjahitkan pakaian mereka.

Jika ia tak sedang membaca buku atau menulis surat, ia bawa anak-anak itu berjalan meninggalkan dataran pulau, berlayar, atau mendaki gunung di sebelah sana.

***

Anak-anak, permainan, pantai�mungkin itulah kiasan terbaik bagi hidup yang spontan, tak berbatas, dengan kebetulan-kebetulan yang mengejutkan dan menyegarkan, proses yang tak berangkat dari satu asal. Saya teringat sebuah sajak Tagore:

�Mereka bangun rumah dari pasir, mereka rajut kapal dengan daun kering, dan dengan tersenyum mereka apungkan ke laut dalam�

�Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan menebarkannya kembali��

Ada yang tak dipatok oleh tujuan dan tak dikejar-kejar oleh �manfaat� di sini, laku yang lalai tapi gembira. Kapal itu dirajut dan diapungkan ke laut dalam, entah ke mana. Kersik itu dikumpulkan dan kemudian ditebarkan kembali, entah untuk apa.

Saya bayangkan anak-anak Banda Neira pada tahun 1930-an itu menyeberangi selat, melintasi kebun laut, bersama seorang buangan yang tak jelas asalnya dan masa depannya. Pantai itu berubah. Dalam keasyikan bermain, mereka tak tahu adakah pantai itu membatasi laut ataukah pulau, awal penjelajahan atau tempat asal. Pada saat itu, di ruang itu, mistar tak ditarik dan hitungan tak ada. Hidup tak dimulai dengan kalkulasi dan kesadaran. Juga tak diakhiri akalbudi.

Pada 17 Maret 1936, Sjahrir menulis kepada istrinya: �Sesungguhnyalah, impuls, dorongan, gairah (drifts), seperti yang saya yakini sekarang, tak pernah akan dilenyapkan oleh akalbudi. Bahkan sebaliknyalah yang benar�akalbudi bertakhta hanya sepanjang impuls, dorongan, gairah membiarkannya...�

Suratnya bertanggal 29 Mei 1936 mengatakan, hidup tanpa emosi jadi �terlampau positif�. Hidup seperti itu tak memadai, sebuah �penalaran abstrak� tanpa �pengalaman� (�ervaring�).

Sjahrir memang menyukai Nietzsche. �Nietzsche itu kebudayaan, Nietzsche itu seni, Nietzsche itu genius,� tulisnya kepada adiknya dalam sepucuk surat bertanggal 7 November 1941. Nietzsche menyebut, mengikuti Schiller, adanya �dorongan bermain�, Spieltrieb, dan agaknya dalam hubungan itu ia melukiskan �api hidup abadi� yang �bermain, seperti si anak dan sang seniman�, dalam arti �membangun dan menghancurkan, tanpa dosa...�.

Tujuan, juga hasil, tak relevan. Tapi bagaimana dengan niat dan rancangan mengubah dunia, tak sekadar menafsirkannya?

***

Saya bayangkan Sjahrir: seorang tahanan yang betah. �Di sini benar-benar sebuah firdaus,� tulisnya tentang Banda Neira pada awal Juni 1936.

Sebuah kenang-kenangan yang ditulis Sal Tas, sahabatnya sejak muda di Belanda, menyebutkan kenapa demikian: di pulau itu, Sjahrir bisa melampiaskan gairahnya dalam dua hal�bermain dengan anak-anak dan mengajar. �Seakan-akan ia, dalam bermain dengan anak-anak, menghilang ke dalam dunia yang tanpa ketegangan, pertikaian, dan problem�.

Sebab, menurut Sal Tas, di lubuk hatinya, Sjahrir tak menyukai politik. �Ia melibatkan diri ke dalamnya karena tugas dan bukan karena terpikat. Ia tak terpesona oleh fenomena yang dahsyat, menarik, bergairah�terkadang luhur, sering kotor, namun sepenuhnya manusiawi�yang kita sebut politik. Ia tak merasakan ada panggilan�.�

Politik tak mengerumuninya di Banda Neira. Tapi bisakah ia mengelakkannya?

Di tiap pantai, juga di pantai yang paling tenang, ada dilema dan ambivalensi. Pada pagi 1 Februari 1936 itu, Sjahrir pergi bersama tiga anak pungutnya, meninggalkan Banda Neira, di pesawat yang mungkin tak diketahuinya hendak tiba di mana. Itulah pilihannya: anak-anak, bukan buku; pergi, bukan berlindung di rumah asal; berangkat ke tempat yang tak terikat, bukan ke alamat yang terjamin.

Tapi tak semua dilema menghilang. Dalam tubuh MLD-Catalina yang melayang itu berkecamuk kontradiksi yang tak terhindarkan. Terbang, penjelajahan, avontur, pembuangan, anak-anak, rantau antah berantah�mungkin dalam hal-hal ini Sjahrir mendapatkan, secara intens, apa yang oleh Nietzsche disebut sebagai �kelupaan yang aktif�.

Namun di dalam kabin itu �kelupaan� (Vergeszlichkeit) tak mungkin jadi dasar segalanya. Ada Hatta dan buku atlasnya, pilot yang mengikuti angka beban dan bahan bakar, peta yang pasti, tubuh dan mesin pesawat yang bergerak dengan perhitungan aerodinamik, dan keinginan untuk selamat dari ketakpastian cuaca dan situasi perang.

Pesawat Catalina itu bukan �the only possible non-stop flight�, untuk �terbang, mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat�, seperti dihasratkan dalam sebuah sajak Chairil Anwar. Pada akhirnya Sjahrir tetap harus ketemu dan mendarat, dengan rencana, sebagaimana Catalina itu akan mendarat dengan kalkulasi. Dunia tak seluruhnya tergelar hanya dalam impuls, dorongan, gairah.

Sjahrir sendiri tak lepas dari kesadaran tentang itu. Seperti para penganjur modernisasi di Indonesia, baik yang Marxis atau bukan, baik Tan Malaka dan PKI maupun Takdir Alisjahbana, dan �Surat Kepercayaan Gelanggang�, Sjahrir percaya, kebudayaan Indonesia harus masuk ke zaman baru. Bukan lagi dengan mistik dan adat yang �semi-feodal�, bukan dengan mengelap-elap candi tua.

Di Banda Neira itu juga Sjahrir, seperti umumnya mereka yang terbentuk oleh pendidikan pemerintah kolonial, percaya hanya rasionalitas-lah yang cukup kuat untuk menguasai dunia. Ia menulis tentang perlunya �nuchterheid� dan �zakelijkheid�, sikap berpertimbangan dan lugas�pada saat ketika ia juga menyambut Nietzsche yang merayakan vitalitas yang berani untuk liar bagaikan Dionysius.

Artinya pendiri Partai Sosialis itu juga tak lepas dari nilai yang diunggulkan tata sosial burjuis�tata yang mengandung kontradiksi. Di satu pihak disambut energi produktif yang berani menjelajah dan menemukan, dan dengan demikian mengandung sifat liar dan khaotik; tapi di lain pihak dibangun stabilitas, kelugasan, rasionalitas. Dari yang terakhir ini perdagangan, industri, teknologi, dan hukum lahir. Juga kekuasaan yang mengatur kehidupan politik.

Saya tak tahu sadarkah Sjahrir tentang kontradiksi itu. Tapi itu juga kontradiksi dalam dirinya. Yang Nietzschean dalam sikapnya bertemu, dan juga berlaga, dengan pemikiran Marxis yang diyakininya. Yang Nietzschean akan terasa �anti-politik� ketika ia harus menempuh sebuah proyek bersama yang tertinggal: kemerdekaan dan keadilan di Indonesia. Tapi itu yang menyebabkannya dibuang ke Banda Neira.

***

Saya bayangkan Sjahrir di pesawat Catalina itu. Nun di bawah dilihatnya mungkin sawah, mungkin hutan, mungkin masa depan. Yang terbentang itu sebuah negeri yang harus disiapkan, sebuah ruang di mana yang publik harus dikukuhkan, arena di mana pengukuhan itu memerlukan persaingan hegemoni dan konflik kekuasaan.

Gamangkah ia, yang mencintai anak-anak yang bermain tanpa tujuan di pantai Banda Neira? Seorang tahanan politik yang digambarkan tak terpesona oleh politik?

Yang pasti, ia akhirnya hidup dalam persaingan kekuasaan. Ia kalah. Partai Sosialis-nya tak didukung luas. Ia dipenjarakan Soekarno, lawannya. Ia meninggal sebagai tahanan di sebuah tempat yang jauh dari rumah, tapi kali ini bukan Banda Neira.

April 1966 Soedjatmoko menulis dari Zurich, beberapa jam setelah Sjahrir wafat: �Dalam arti yang sangat nyata saya sadar bahwa kegagalannya dalam politik menandakan kebesarannya sebagai seorang manusia...�

Ditulis kembali dari �Setelah Revolusi Tak Ada lagi� (Jakarta, Alvabet: 2001). Diolah dari �Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia� (Studies on Southeast Asia, No. 14) oleh Rudolf Mrazek.

Sjahrir Adalah...

ROSIHAN ANWAR
Periang dan Nggak �Cetek�

Bagi Rosihan Anwar, 87 tahun, Sutan Sjahrir bukan orang kaku. �Tiap saya ketemu dia, kami suka bercanda. Tapi tidak berarti dia cetek (ilmunya),� kata wartawan senior ini. Buktinya, Sjahrir sudah mengetahui lebih dulu akan ada perang dingin antara Blok Barat dan Timur pada pertengahan 1940-an, mendahului pengetahuan pemimpin Indonesia lainnya. �Tapi dia juga sosok yang ditakuti (pemerintah kolonial Belanda),� kata pendiri Persatuan Wartawan Indonesia itu.

Menurut penerima gelar Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, mestinya generasi muda sekarang membaca, mempelajari, dan menerapkan ide-ide brilian Sjahrir. Yakni, gagasan yang melahirkan demokrasi, ekonomi kerakyatan, kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan.

Bagi Rosihan, sah-sah saja ide Sjahrir digunakan para calon legislatif atau kandidat presiden dalam kampanye mereka. Tapi, dia mengingatkan, jangan dangkal memahami gagasan Sjahrir.

HAPPY SALMA
Lebih Kenal Setelah Renungan

Tanggal 8 April 2006 merupakan titik perkenalan kembali Happy Salma dengan Sutan Sjahrir. Meski sudah mengetahui siapa Sjahrir dari pelajaran sejarah di sekolah dasar, dara kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 29 tahun ini mengaku lebih banyak mengenal Sjahrir dalam acara �Sutan Sjahrir Memorial Lecture 2006�. Dalam acara itu, Happy membacakan renungan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. �Aku membaca kutipan pemikiran Sjahrir,� kata Happy.

Menurut dia, Sjahrir adalah sosok diplomat andal. Dialah salah satu pemimpin negeri ini yang memperkenalkan Indonesia ke bangsa-bangsa lain di dunia. Menurut Happy, merdeka saja tidaklah cukup jika tidak memiliki hubungan internasional dengan baik. �Namun dia juga berpendirian keras. Hingga akhirnya disingkirkan,� ujarnya.

ROBERTUS ROBERT
Penyatu Demokrasi dan Revolusi

Sutan Sjahrir adalah orang pertama yang mengajukan pandangan politik ganda, yakni demokrasi dan revolusi. Di dalam Sjahrir, demokrasi dan revolusi adalah dua menu yang bisa dibedakan dan tidak perlu dipertentangkan. �Pemikiran ini masih cocok dalam matriks kepolitikan sekarang,� kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Robertus Robert.

Menurut Robertus, Sjahrirlah yang memutus kebencian sosial dengan menggelontorkan ide humanisme dan universalisme. �Inilah yang mentransformasi masyarakat Indonesia dari bibit feodalisme dan fasisme sekaligus,� ujarnya.

Bagi Sjahrir, integrasi sosial melalui pengukuhan negara hanya sah apabila didasarkan pada keadilan dan kesejahteraan. �Pemikiran dan pandangan politiknya relevan hingga sekarang,� katanya.

DITA INDAH SARI
Akhir Tragis Sang Pendiri Bangsa

Akhir hayat yang tragis dialami Sutan Sjahrir ketika harus menghabiskan masa tua di dalam penjara. �Sangat disayangkan, seorang di ujung hidupnya harus berada dalam penjara di alam kemerdekaan, di mana dia ikut mendirikan bangsa ini,� kata Dita Indah Sari, calon anggota legislatif dari Partai Bintang Reformasi.

Meski tidak terlibat langsung, kata Dita, Sjahrir mendukung pemberontakan bersenjata untuk menggulingkan pemerintahan yang sah ketika itu, yakni pemerintahan Soekarno. Sikap ini bertolak belakang dengan pilihannya ketika bangsa ini menghadapi agresi Belanda: ia memilih metode diplomasi dan menolak cara kekerasan.

Menurut mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembebasan Nasional ini, Sjahrir adalah tokoh pemikir, konseptor, dan teoretikus. Karena itu, gagasannya lebih dekat kepada kaum terpelajar dan bergerak di kalangan intelektual, bukan kalangan bawah. Akibatnya, pemikiran Sjahrir tidak begitu dikenal masyarakat kebanyakan. Namun Sjahrir tetap anti-fasisme, anti-mengagungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi.

RIEKE DYAH PITALOKA
Membangun Ide Ekonomi Kerakyatan

Gagasan ekonomi kerakyatan Sutan Sjahrir menjadi salah satu ide kampanye calon anggota legislatif Rieke Dyah Pitaloka. Menurut kandidat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, gagasan tersebut masih relevan dan sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 tentang pengelolaan kekayaan alam. �Sebagai dasar kepemilikan sosial terhadap sumber kekayaan alam,� kata pemain film Berbagi Suami ini.

Dia mencontohkan salah satu daerah pemilihannya, Kecamatan Citatah, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Kawasan ini semula dikenal sebagai daerah wisata panjat tebing. Kini Citatah dieksploitasi menjadi penambangan batu alam. �Warga di situ hanya menjadi buruh kasar,� katanya.

Yang penting, menurut Rieke, bagaimana sosialisme tidak sekadar menjadi wacana, tapi direalisasikan melalui pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Menurut pendiri Yayasan Pitaloka yang bergerak di bidang sastra dan sosial kemasyarakatan ini, Sjahrir membuat sosialisme dan demokrasi berada dalam satu bangunan dan bersinergi. �Dia tokoh konsisten,� katanya. �Apa yang dipikirkan, itulah yang dia kerjakan.�

ANIS MATTA
Sejalan dengan Sisi Moderat Sjahrir

Pemikiran sosialis tak selalu berhadapan dengan nilai-nilai Islam. Titik persamaan Partai Keadilan Sejahtera dengan Sjahrir adalah pada sikap moderat. �Kita ketemu dengan Sjahrir di moderat, bukan ekstremisme,� kata Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Anis Matta.

Dalam sejarah pemikiran Islam modern, menurut pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan ini, banyak pemikir pergerakan Islam yang sebenarnya memiliki akar sosialisme. �Ini adalah fenomena yang jarang diungkap,� katanya. Contohnya adalah tokoh Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutb. Menurut Anis, pada mulanya Sayyid Qutb memiliki latar belakang sosialis, kemudian pindah menjadi aktivis pergerakan Islam. �Jadi sebenarnya ada ide awal yang sama,� ujarnya.

Karena itu, jarang terjadi debat pemikiran politik antara kelompok Islam dan sosialis pada zaman Sjahrir. Justru paling banyak perdebatan antara sosialis dan kelompok nasionalis. Di Indonesia, menurut Anis, hanya ketika sosialisme berkembang menjadi sangat ekstrem, yakni ke arah komunisme, barulah terjadi pertentangan.

BUDIMAN SUDJATMIKO
Terlalu Moderat pada Zamannya

Di mata Budiman Sudjatmiko, Sutan Sjarir adalah orang yang terlalu moderat pada zamannya. �Jadi tidak nyambung dengan dinamika politik masyarakat ketika itu,� kata pendiri Partai Rakyat Demokratik ini.

Walhasil, meski sukses mendirikan Partai Sosialis Indonesia, dan menggaet kalangan intelektual, partai bentukan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin ini gagal bersaing dengan partai kiri lainnya, seperti Partai Komunis Indonesia, dan juga dengan Partai Nasional Indonesia, dan Masyumi.

Walau Sjahrir dikenal sebagai seorang sosialis, menurut Budiman�yang kini bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan�gagasan-gagasannya menunjukkan Sjahrir seorang liberal progresif, ketimbang sosialis. Buktinya, dia menunjukkan demokrasi dan pluralisme. �Artinya, dia seorang liberal progresif dan humanis demokratis,� katanya.

Salah satu ajarannya yang terwariskan kepada generasi yang akan datang, kata pria 38 tahun ini, adalah ekonomi kerakyatan. Dia sepakat, keadilan sosial ekonomi hanya bisa dicapai dengan cara demokrasi. Semua orang setuju pemerataan, keadilan sosial, dan egalitarian yang dilakukan dengan cara yang demokratis. �Itulah inti gagasan yang dibawa Sutan Sjahrir,� katanya.

Kedudukan Sjahrir, menurut Budiman, setara dengan Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Aidit, dan Semaun, yang memberikan kontribusi pemikiran sosialisme dan kemerdekaan di republik ini.

Foto Tua di Garasi Mursia

Sempat tinggal di rumahnya, Mursia bertekad meneruskan semangat Sjahrir: membangun koperasi.

ORANG memanggilnya Eyang Zaafril. Kini 84 tahun, Mursia Zaafril Ilyas memang orang lama. Halaman rumahnya di Jalan Tenes, Bareng, Malang, Jawa Timur, kerap menjadi tempat parkir gerobak pedagang keliling.

Lebih dari 60 tahun lalu, Mursia tinggal di rumah Sjahrir. Ia masih ingat detail kenangannya bersama pendiri Partai Sosialis Indonesia itu. Ia bertemu pertama kali dengan Bung Kecil pada 1942 di Surabaya, ketika menghadiri diskusi pemuda. Wiyono, gurunya di Taman Siswa Yogyakarta, yang mengenalkan mereka.

�Saya terkesan dengan pidato-pidatonya yang membakar semangat,� katanya ketika ditemui di rumahnya, tiga pekan lalu. �Ia mengatakan: apa arti hidup seseorang dibanding nasib jutaan manusia yang telantar menjadi korban kekejaman manusia lain?�

Terbakar pidato-pidato Sjahrir, Mursia meninggalkan bangku sekolah. Ia bergabung dengan pergerakan pemuda Surabaya. Pada November 1945, perang berkobar di Surabaya. Mursia dan teman-temannya pindah ke Malang. Sebulan tinggal di kota ini, Mursia berencana pulang ke Madura. Rencana ini batal karena Belanda memblokir jalanan. Sjahrir ketika itu berkunjung ke Malang. �Dia mengajak saya ke Jakarta,� tuturnya.

Sjahrir yang belum menikah menampung Mursia di rumahnya. Di rumah itu telah tinggal sejumlah pemuda termasuk Des Alwi. �Bung Sjahrir tak punya uang banyak tapi rela berkorban untuk orang banyak. Dia tidak segan mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci baju dan memasak.�

Mursia mengenang: �Selama tinggal, saya diajak berdiskusi dengan tamu-tamu. Karena masih muda, saya banyak diam saja, mendengarkan. Kalau sedang berdua, Bung Sjahrir juga selalu memberikan nasihat.�

Suatu ketika Mursia pamit mau pulang ke Madura. Sjahrir tak mengizinkan. Alasannya, jalanan belum aman. Tapi tak lama kemudian Sjahrir memintanya menemui Presiden Soekarno yang ketika itu berada di Yogyakarta. �Bung Sjahrir menitip pesan agar saya memberi tahu Presiden Soekarno soal sepak terjang orang komunis. Dia minta Presiden Soekarno tidak boleh terlalu dekat dan membela komunis.�

Mursia berangkat ke Yogyakarta. �Saya menyampaikan surat ke Bung Karno. Ternyata itu surat pengantar agar saya diterima bekerja di Istana Kepresidenan. Saya kemudian diangkat menjadi sekretaris pribadi Bung Karno. Tugas saya menetapkan jadwal dan tamu yang bertemu. Enam bulan, saya berhenti dan pulang ke Madura. Saya sempat tinggal di Jalan Patuk, Yogyakarta.�

Setelah pada 1948 menikah dengan Zaafril Ilyas�dokter kandungan ternama di Malang yang meninggal pada 1990-an�Mursia tinggal di kota apel itu. Seperti Sjahrir, ia berniat membantu orang. �Saya tidak tahu ilmu ekonomi. Satu-satunya pelajaran dari Bung Sjahrir, yang bilang koperasi bisa menjadi saluran perjuangan perekonomian. Saya turuti permintaan Bung Sjahrir dengan membentuk koperasi.�

Tahun 1950-an Mursia merintis koperasi, menghimpun pedagang Pasar Besar. �Banyak yang menolak. Saya rayu para pedagang itu: mau tidak saya pinjami uang tapi nanti jadi anggota koperasi?�

Koperasi ini ternyata sangat lamban berkembang. Mursia kemudian menyimpulkan kegiatan ekonomi yang mampu bertahan dan berkembang adalah arisan. Kuncinya: anggota bersedia menalangi anggota lain yang belum membayar.

Ia lalu membentuk Koperasi Setia Budi Wanita, yang menerapkan sistem arisan. �Kalau ada anggota gagal melunasi kewajibannya, semua anggota lain dalam kelompok harus menanggung secara merata. Saya membidik kalangan wanita, yang mengatur rumah tangga dan ikut mendukung ekonomi keluarga.�

Koperasi itu berkembang terus sampai anggotanya 2.000 orang. Ketika berumur sembilan tahun, Koperasi Setia bubar. Mursia ditangkap dengan tuduhan menggunakan koperasi itu buat menggulingkan Soekarno. Mursia merintis lagi pada 1972, setelah keluar dari penjara.

Kini Koperasi Setia Budi Wanita sukses merekrut 5.000 anggota. Koperasi ini mampu memutar uang Rp 1,8 miliar per bulan. Ia lalu mendirikan Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur, yang kini menaungi 43 koperasi dengan aset miliaran rupiah dan 30.000-an anggota. Pada 1990, dia menghidupkan Induk Koperasi Wanita tingkat nasional.

Semua itu dibangun dari garasi rumah Mursia. Di situ terpampang lukisan foto Sjahrir. Ia tersenyum: �Lukisan itu membuat saya selalu bersemangat membangun koperasi.�

Pintu Tertutup untuk PSI

Ketika Soeharto berkuasa, tumbuh harapan kaum pluralis modern untuk membangkitkan PSI. Peristiwa Malari membuyarkan impian itu.


IBU Kota membara pada 15 Januari 1974. Sebanyak 11 orang tewas, 300 luka-luka, 775 ditahan. Ratusan gedung dan kendaraan dibakar�kerusuhan terburuk sejak Presiden Soekarno jatuh.

Pemerintah Orde Baru, melalui Opsus�Operasi Khusus, badan yang dipimpin Ali Moertopo�menuding eksponen Partai Sosialis Indonesia ada di balik aksi itu. Teori yang dimunculkan adalah �konspirasi PSI�.

Beberapa tokoh PSI atau yang �berbau PSI� pun diciduk. Sarbini Sumawinata, Soebadio Sastrosatomo, Hariman Siregar, Sjahrir, dan Rahman Tolleng termasuk yang ditangkap. Mereka masuk penjara, tanpa proses pengadilan.

�Ini pukulan berat, karena kami kemudian dianggap musuh negara,� ucap Rahman, sekarang 71 tahun, di Jakarta dua pekan lalu. Simpatisan PSI ini saat peristiwa Malari meletus duduk di Dewan Perwakilan Rakyat dari Golkar.

Malari menandai putusnya hubungan Orde Baru dengan kelompok penganut pemikiran politik �pluralis modern�. Kelompok ini�seperti yang ditulis David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia (2003)�meliputi intelektual kota yang terkait dengan PSI.

Kaum pluralis memiliki visi Indonesia sebagai negara industri modern. Dalam menciptakan sistem politik, mereka memegang teguh asas demokrasi. Mereka ingin elite modern teknokrat yang memimpin negeri ini.

Namun, pemikiran kaum pluralis modern berbenturan dengan langkah Soeharto. Akibatnya, peluang membangkitkan kembali paham sosialisme sering buntu.

Sebagai partai politik, PSI sudah lama mati. Melalui Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 tanggal 15 Agustus, Soekarno membubarkan PSI dan Masyumi karena dicurigai terlibat PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Namun paham sosialis kerakyatan, buah pikir Sutan Sjahrir, tak pernah benar-benar terkubur.

Dalam buku Pengemban Misi Politik (1995), Soebadio menyatakan PSI merupakan suatu state of mind, keadaan pemikiran yang tidak dapat dideteksi. Jaringannya berlandaskan kesamaan ide, spiritual, bukan semata organisasi.

Wartawan senior Rosihan Anwar, yang selama ini dianggap orang PSI lolos dari Malari karena dinyatakan �bersih� oleh Jenderal Soemitro, membenarkan hal tersebut. �PSI merupakan partai kader. Pendukung suatu paham tak pernah hilang.�

Menurut Rosihan, sejak PSI dibubarkan Soekarno, eks anggotanya masih berkomunikasi. Mereka bertukar pikiran tentang perkembangan politik mutakhir. �Banyak juga anak muda yang tertarik.�

Almarhum ekonom Sarbini pernah menyebutkan yang paling kuat dan tidak berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme, semangat membela rakyat, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Meski partai itu bubar, semangatnya tak pernah padam.

Pada awal Soeharto berkuasa, kelompok dan kekuatan sosial lama bermunculan. Ada kelompok berorientasi Islam yang dulu berkaitan sejarah dengan Masyumi. Ada kelompok lain yang dibentuk mahasiswa, misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Kelompok mahasiswa ini memiliki banyak persamaan dengan PSI dan berperan penting dalam proses politik Orde Baru.

Di kalangan militer ada dua kubu. William Liddle dalam bukunya, Partisipasi dan Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru (1992), mengatakan ada kelompok tentara radikal dan Soeharto-sentris. Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi Letnan Jenderal H.R. Dharsono termasuk militer progresif yang dikenal dekat dengan PSI. Ia digolongkan sebagai tentara radikal. Begitu pula Panglima Kodam XII Tanjung Pura Brigadir Jenderal A.J. Witono.

Di tim ekonomi ada Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Sarbini Sumawinata, dan Emil Salim. Widjojo dan Emil bukan orang PSI, tapi lantaran kesamaan pemikiran mereka dianggap simpatisan PSI.

Tersebarnya orang PSI dan simpatisannya di era Soeharto dianggap peluang besar bagi PSI untuk come back. �Karena kesempatan kami terbuka,� ujar Rahman Tolleng.

Pada 25-31 Agustus 1966, berlangsung Seminar Angkatan Darat II di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Bandung, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Suwarto. Dia memberikan kesempatan sejumlah ekonom untuk menjadi staf pengajar. Salah satunya Mohammad Sadli, anggota tim penasihat ekonomi Soeharto.

Sadli mengemukakan bahaya militerisme, perlu adanya kerja sama yang sederajat antara sipil dan militer, dan kebebasan pers. Gagasan tersebut ditolak.

Gagal dengan kesetaraan sipil-militer, Sadli kerap menulis nota usulan kepada Soeharto untuk mengubah keadaan politik. Ia mengusulkan merehabilitasi PSI dan Masyumi. Usul itu tak berjawab. Alasannya? �Militer tidak perlu alasan. Bagi saya jelas: kita tidak bisa bekerja sama dengan orang ini,� ujar Sadli dalam wawancara dengan Tempo pada 1999.

Karena usaha untuk merehabilitasi PSI sudah tidak mungkin, muncul pemikiran untuk merintis gerakan yang tidak berdasarkan ideologi, tapi berlandaskan program. Gerakan ini dikenal sebagai independent group.

Pemikiran ini sampai ke telinga Adam Malik, Menteri Presidium Urusan Politik dan Luar Negeri. Ia pun mengontak Adnan Buyung Nasution (Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), Yozar Anwar (Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Pusat), dan Marsillam Simandjuntak (Ketua KAMI Jakarta). Ajakan Bung Adam disambut baik.

Sayang, ide ini tak berjalan mulus. Melalui beberapa pertemuan yang alot, Umar Kayam, Direktur Jenderal Radio & Televisi dan budayawan, akhirnya terpilih sebagai ketua. Tapi, setelah grup itu terbentuk, sejumlah tokoh menarik diri, termasuk Mashuri, Adnan Buyung, dan Adam Malik. Kayam mereka nilai tak independen. Adam Malik berkomentar, �Independent group sudah mati sebelum lahir.�

Meski dukungan kurang, independent group tetap jalan. Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 1968, Kayam menyampaikan sikap kritis grup itu kepada Soeharto.

Independent group rupanya mengkhawatirkan sejumlah orang. Ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia bertemu dengan Presiden Soeharto, Rahman Tolleng, Ketua Presidium KAMI Pusat, menyaksikan seseorang mengusulkan Soeharto membubarkan independent group. Alasannya: grup itu merupakan neo-PSI alias PSI baru. �Biarkan saja. Kalau tidak didukung rakyat juga nantinya mati. Ini kan demokrasi,� kata Soeharto ketika itu.

Aman? Keesokan harinya, di Jakarta dan sejumlah �markas� independent group, beredar pamflet gelap. Isinya: ajakan mengganyang kelompok independen. Tapi mereka bertahan. Beberapa nama kemudian masuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

Sementara itu, di Bandung, muncul gerakan dwipartai. Gagasan yang dicetuskan: membatasi jumlah partai peserta pemilu. Soemarno dan Soelaiman Soemadi, tokoh intelektual PSI, menonjol dalam gagasan ini.

Gagasan dwipartai mendapat dukungan luas. Namun banyak tafsir berkembang di antara pendukungnya. Ide dasarnya sederhana, kelak hanya ada dua partai: yang satu pendukung pemerintah dan lainnya partai oposisi. Ide ini �mati� setelah Soeharto menolak dan memutuskan mengadakan pemilu.

Sumbangan pemikiran intelektual PSI lainnya datang dari ekonom Sarbini Sumawinata. Pada 1966, ia berpendapat bahwa mempertahankan stabilitas politik merupakan syarat terciptanya pertumbuhan ekonomi. Dasar pemikiran tersebut selanjutnya menjadi acuan kerangka berpikir Orde Baru.

Rahman Tolleng�di depan Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mewakili Fraksi Golkar pada 1969�berpendapat bahwa sistem pemilihan umum seharusnya berdasarkan distrik, menggantikan perwakilan proporsional. Sistem distrik dianut Amerika Serikat.

Sistem distrik memungkinkan hubungan langsung antara yang dipilih dan pemilih. Pemilu perlahan menjadi pemilihan yang kualitatif. Usul Rahman ditolak, tapi ide sistem distrik kerap muncul sampai sekarang.

Setelah melalui pasang-surut, usaha kaum pluralis modern untuk membangkitkan sosialisme kerakyatan di era Orde Baru akhirnya kandas pada Januari 1974. Peristiwa Malari disebutkan oleh David Bourchier dan Vedi R. Hadiz sebagai puncak ketegangan kaum pluralis modern dengan kelompok perwira, pengusaha, dan politikus di sekitar Opsus pimpinan Ali Moertopo.

Setelah peristiwa Malari, kaum pluralis modern sering berada di barisan depan oposisi masa Orde Baru. �Sesudah 1974, seakan pintu tertutup bagi kebangkitan PSI, termasuk orang-orangnya,� kata Rahman Tolleng.

Setelah Sibi Tiada

Poppy Sjahrir membesarkan dua anaknya dalam kesederhanaan. Sempat larut dalam kesedihan.

BANDAR Udara Kemayoran, Jakarta Pusat, 17 April 1966. Jenazah bekas perdana menteri Sjahrir, yang baru datang dari Zurich, Swiss, disambut masyarakat dengan gempita. �Pake diupacarain. Kami harus sering berdiri memberi hormat,� kata Siti Rabyah Parvati, kini 48 tahun, putri bungsu Sjahrir, mengenang. Keesokan harinya, Sjahrir dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Bekas Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rosihan Anwar mencatat setidaknya 250 ribu orang mengikuti prosesi pemakaman itu.


Penghormatan itu bertolak belakang dengan suasana ketika Sjahrir berangkat ke Zurich�dalam status tahanan politik�setahun sebelumnya. Tak ada hiruk-pikuk, tak ada pesta perpisahan, kecuali lambaian tangan beberapa kerabat.

Siti Rabyah (Upik) dan kakaknya, Kriya Arsjah Sjahrir (Buyung), berusia 6 dan 9 tahun saat ayahnya wafat. Ketika Sjahrir sakit di Zurich, kedua bersaudara ini punya waktu untuk selalu bersama mendiang. �Sebelas bulan di Zurich adalah kesempatan kami menghabiskan waktu bersama Papa,� kata Upik. Sebelumnya, Sjahrir memang tak banyak di rumah. Pada 1962-1965 ia adalah tahanan politik di Jakarta dan Madiun.

Sepeninggal Sjahrir, Siti Wahjunah atau yang biasa disapa Poppy Sjahrir berusaha tak menampakkan kesedihan di depan anak-anak. Namun, �Kami tahu Mama sedih,� kata Upik. �Mama sering membuka kotak di kamarnya sambil menangis. Belakangan, ketika saya remaja, saya tahu bahwa kotak itu berisi gips cetakan wajah Papa.�

Kata Upik, �Bagi Mama, yang ada hanya Sjahrir, Sjahrir, dan Sjahrir. Saya lari ke Bu Dun jika sedang sedih dan ingin curhat.� Bu Dun adalah Dunia Pantiadi, saudara yang membantu mengasuh Upik dan Buyung.

Dua tahun lebih Poppy larut dalam duka. Sampai, suatu kali, Dun menegurnya. �Sibi sudah tiada. Dia meninggalkan Upik dan Buyung, jangan lupa itu, Zus,� Upik mengenang percakapan ibunya dan Dun. Sibi adalah panggilan Poppy kepada Sjahrir.

Teguran Dunia membuat Poppy sadar dan lebih memperhatikan kedua anaknya. Nilai-nilai yang diajarkan Sjahrir, terutama tentang kejujuran dan kebesaran hati, disampaikan Poppy dalam perbincangan di ruang keluarga. �Saya jadi tahu sosok Papa lebih dekat,� kata Upik. �Peninggalan Papa jauh lebih berharga dibanding harta.�

Upik lalu mengenang masa kecilnya. Ketika kecil ia hanya punya satu boneka. �Itu pun pemberian Pak Muthalib, teman Papa.� Jika ingin main masak-masakan, Upik harus bertandang ke rumah tetangga. Adapun Buyung lebih beruntung. �Saya punya dua sepeda. Mainan juga berlimpah waktu kami di Swiss,� kata Buyung, yang kini bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat.

Setelah Sjahrir tiada, Poppy dan anak-anak rutin datang ke makamnya. �Setiap Minggu pagi kami ke Kalibata,� kata Buyung.

Poppy amat aktif di berbagai organisasi kewanitaan. Kegiatan itu praktis tak banyak menghasilkan uang. Ekonomi keluarga akhirnya lebih banyak ditunjang bantuan kerabat dan keluarga. Sebagai perdana menteri, Sjahrir menerima uang pensiun yang tak seberapa. Pada 1992, uang pensiun Sjahrir hanya Rp 240 ribu per bulan, lalu naik menjadi Rp 600 ribu pada 1999.

Seiring berjalannya waktu, kebutuhan terus membengkak. �Tak cukup kalau hanya mengandalkan uang pensiun,� kata Upik. Itu sebabnya, pada 1980-an, empat kamar di rumah Sjahrir, di Jalan Jawa, kini Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta Pusat, dijadikan kos-kosan.

Meski keuangan tak begitu baik, Poppy tak pernah mengeluh. Dia mewanti-wanti Upik dan Buyung tekun bersekolah. Beruntung, keduanya mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar meski besarnya hanya belasan ribu rupiah per bulan. Upik dan Buyung mencetak nilai bagus. Upik tamat dari Universitas Indonesia dan Buyung dari Institut Teknologi Bandung.

Poppy meninggal pada 8 Maret 1999, pada usia 89 tahun. Bagi Buyung, ketimbang Sjahrir, sang bunda lebih membekas dalam ingatannya. �Sejak kecil, yang berjuang untuk kami adalah Mama,� katanya. Baginya, Poppy adalah ibu yang tegas tapi tak segan memuji anak-anaknya. Kata Buyung, �Mama sering bilang, �I�m proud of you�.�

Wajah Sjahrir dalam Kotak

IA memejamkan matanya. Rautnya seperti menahan kesakitan. Gips cetakan wajah Sjahrir itu seperti sebuah kepala. Kita seperti melihat kepala Sjahrir diawetkan. Sjahrir tertidur. Ia tampak lelah sekali.

Gips wajah Sjahrir itu disimpan dalam sebuah kotak kayu tebal cokelat dengan dua gembok kecil. Kayu persegi panjang itu dibuat seperti kotak plakat yang biasa dipakai sebagai kotak hadiah yang berisi kenang-kenangan untuk tamu. Bila penutup kotak plakat dibuka, biasanya isinya adalah hiasan atau cendera mata. Tapi kotak ini bila dibuka akan muncul wajah Sjahrir dengan ekspresi seperti tengah menghadapi sakratulmaut.

Gips cetakan paras Sjahrir yang betul-betul mirip kepala manusia itu tampak berat. Warna gips itu tadinya putih, tapi kini berubah kecokelatan. Namun, lantaran perubahan warna itulah, warna kepala makin menyerupai warna kulit wajah sesungguhnya. Bila kita amati seluruh wajah itu, sama sekali tidak ada retakan, menandakan gips itu demikian kuat.


Ketika Tempo menyentuh gips itu, terasa keras seperti terbuat dari semen. Betapapun terbuat dari materi bahan yang keras, tekstur wajah Sjahrir sangat detail tercetak. Kita sampai dapat melihat adanya kerutan di sekitar pelipis Sjahrir. Gurat-gurat di sekitar alis matanya. Dan bekas-bekas kumis serta jerawat di atas mulutnya. Demikian detailnya, seolah-olah lapisan jangat masih terus tumbuh di kepala itu.

�Sudah delapan tahun kotak itu tidak saya buka,� kata Upik. Ia tak tahu apakah gips itu dicetak pas tatkala Sjahrir berpulang pada 9 April 1966 atau ketika Sjahrir masih terbaring sakit di Zurich, Swiss. Semula bahkan Upik tak tahu-menahu ada patung wajah Sjahrir yang disimpan ibunya. Saat masih kanak-kanak, Upik tak paham mengapa ibunya selalu berurai air mata setiap kali menatap sesuatu yang diambil dari lemarinya. Rahasia itu baru terbuka ketika Upik beranjak remaja.

�Saya mungkin sudah SMA,� Upik, 48 tahun, mengingat-ingat. Waktu itu dia sedang membongkar lemari ibunya, Siti Wahjunah �Poppy� Sjahrir. Upik menemukan cetakan wajah itu. �Ini apa, Ma?� Upik kecil bertanya ke ibunya. �Itu topeng Papa dari rumah sakit,� Poppy menjawab singkat. Sifat Poppy, kata Upik, memang agak tertutup.

Upik kecil pun tak bertanya lebih lanjut. Tapi dia tahu, cetakan itu kenangan terakhir dari ayahnya, Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama di negeri ini. Hingga ibunya berpulang pada 8 Maret 1999, Upik tak pernah lagi membahas soal cetakan gips tersebut. Upik juga tak pernah membicarakan soal topeng Sjahrir itu dengan kakaknya, Kriya Arsjah �Buyung� Sjahrir.

�Saya tidak tahu, siapa yang membuat dan atas permintaan siapa topeng itu dibuat,� kata Upik. Menurut dia, selain ibunya dan kakaknya, hanya Dunia Pantiadi, pengasuhnya sejak kecil, yang mengetahui kisah di balik cetakan gips itu. Tapi Bu Dun, demikian Upik dan Buyung biasa memanggil, juga sudah meninggal.

Jelas, wajah itu oleh Poppy disimpan karena ia demikian menyayangi suaminya.

Zurich, Detik-detik Terakhir

Sutan Sjahrir meninggal di Zurich. Inilah kenangan Buyung dan Upik, anak-anak Sjahrir, tentang hari-hari terakhir kehidupan ayahnya.

"NICHT zu kurz�, catatan di atas secarik kertas itu dibawa Kriya Arsjah Sjahrir. Dalam perjalanan menuju tukang cukur, Buyung�begitu panggilan bocah berusia sembilan tahun itu�mencoba menghafalnya. Dan saat di tempat cukur, ia dapat berkata lantang kepada tukang cukur, �Nicht zu kurz,� yang artinya: jangan terlalu pendek. Bocah kelas 2 SD itu senang sekali.

Begitulah Buyung belajar bahasa Jerman sedikit demi sedikit dari sang ibu, Poppy Sjahrir. Saban sore, ia memberi kursus singkat kepada si sulung. Waktu itu, paruh kedua 1965, Poppy mendaftarkan Buyung ke sekolah umum di Zurich, kota terbesar di Swiss. Negara ini memiliki empat bahasa resmi: Jerman, Prancis, Italia, dan Romansh yang kurang populer.

Lokasi sekolah Buyung tergolong jauh untuk ukuran anak-anak, sekitar 400 meter dari flatnya yang kecil, di pinggiran Kota Zurich. Toh ia menempuhnya dengan berjalan kaki, sendirian, tiap pagi. Pada hari pertama saja ia diantar sang mama, yang mengurus administrasi pendaftaran. Padahal, hampir semua kawannya diantar orang tua.

Inilah pengalaman pertama Buyung tinggal di luar negeri. Keadaan yang menerbangkannya ke negeri ini. Ayahnya, Sutan Sjahrir, sudah dua kali terserang stroke, plus komplikasi cukup parah. Sang ayah tak bisa bicara, tangan kanannya sulit digerakkan. Awalnya, Poppy mengirim catatan medis kesehatan Sjahrir yang lengkap kepada Soekarno. Ia meminta suaminya diizinkan berobat ke luar negeri untuk menjalani fisioterapi.

Soekarno mengabulkan. Tapi, dalam surat izin, Presiden RI pertama ini mensyaratkan: asal tidak ke Negeri Kincir Angin. Alternatif negara netral, Swiss atau Swedia. Poppy pun memilih Swiss, dengan alasan ia �sedikit� bisa berbahasa Jerman. Soebandrio�saat itu Menteri Luar Negeri merangkap Kepala Badan Pusat Intelijen�diperintahkan mengurus paspor diplomatik untuk keberangkatan. Tak ada perubahan status Sjahrir, tetap sebagai interniran.

Pada 21 Juli 1965, pasangan suami-istri itu terbang meninggalkan Tanah Air, dari Bandara Kemayoran, Jakarta. Beberapa karib mengantar untuk mengucapkan selamat jalan. Bagi sebagian besar mereka, inilah terakhir kali melihat Sjahrir. Sebuah apartemen telah disiapkan di sana. Tempat yang cukup baik: dua kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan balkon menghadap ke danau.

Anak-anak mereka: Buyung dan Siti Robyah Parvati�akrab dipanggil Upik�menyusul sekitar tiga bulan kemudian bersama Ibu Dun, inang pengasuh mereka. Ibu Dun masih saudara Poppy di Solo, Jawa Tengah. Perjalanan panjang, sekitar 20 jam penerbangan, dan melelahkan itu sempat membuat Upik demam.

Menurut Buyung, Sjahrir selalu berlinang melihat dirinya pagi-pagi berangkat sekolah sendirian. Upik juga saat itu hampir setiap hari melihat ayahnya menangis. Upik saat itu lima tahun. Pada pagi hari ketika bangun tidur, misalnya, masih memakai piyama, ia selalu berlari kecil menuju kamar sang papa, menceritakan mimpi yang baru saja dialami. Sjahrir menangis. Sjahrir mendekap Upik. Si bungsu mengernyit. �Ma, kenapa sih kalau aku cerita kok Papa menangis,� tanya Upik. Poppy menjelaskan, Papa bukan menangis sedih, melainkan bahagia. �Papa enggak bisa bicara, enggak bisa menjawab pertanyaanmu.�

Tempat paling indah bagi Upik adalah sebuah rumah tidak jauh dari flatnya. Rumah bertaman mungil itu dilengkapi patung tujuh kurcaci lucu. Upik terpesona betul. Sampai-sampai, ia �memaksa� lewat rumah tersebut setiap kali hendak pergi ke mana pun, kendati ia harus mengambil jalan memutar. Cerita tujuh �sahabat� Upik ini diungkapkan kepada ayahnya. Lagi-lagi, mantan perdana menteri itu menjawabnya dengan tangis.

***

Sjahrir menjalani terapi 2-3 kali dalam sepekan. Dokter Schwarz, ahli fisioterapi Zurich, membantu Sjahrir menggerakkan tangan, belajar menulis, dan berartikulasi. Sjahrir dilatih bicara huruf vokal. �A, i, u, e, o,� Sjahrir diminta menirukan suara Schwarz.

Saat Sjahrir menjalani terapi di Zurich itu, beberapa temannya yang tengah berkunjung di Eropa menengoknya. Ada istri Idham, Sulaimansyah�adik Sjahrir yang tinggal di Belanda. Soemitro, yang dalam pengasingan sejak peristiwa PRRI/Permesta, juga pernah berkunjung. T.B. Simatupang membesuk ketika menghadiri Kongres Gereja Sedunia di Eropa. Mereka makan malam dan berbincang bersama. Sjahrir, yang tak dapat berbicara, menyimak dengan minat besar. Malah, ketika Simatupang pamit, Sjahrir bersemangat mengantar ke shuttle bus. Ia mengambil mantel, topi, dan syal.

Hamid Algadri, seperti diceritakan Rudolf Mrazek dalam buku Sjahrir, Politics and Exil in Indonesia, mampir di flat kecil Sjahrir saat ia melakukan perjalanan bisnis ke London, Inggris, beberapa hari setelah peristiwa 30 September 1965. Hamid melihat dalam flat Sjahrir surat kabar tampak bertebaran. Kepada Hamid, Sjahrir mengambil koran menunjukkan laporan, foto, seolah ingin bertanya tentang tragedi itu.

Pada 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto secara de facto menggantikan Soekarno. Poppy sedang di dapur kala itu, dan Sjahrir, seperti biasa, menonton televisi Jerman. Sjahrir menghambur ke dapur, menggandeng tangan Poppy, supaya bergegas menuju pesawat TV mengikuti sisa berita. Sjahrir berusaha mengungkapkan sesuatu, �Hhhhhhh,� tapi istrinya tak paham.

Sesudah peristiwa itu, kondisi Sjahrir drop. Pada April 1966, tanda-tanda tekanan darah sangat tinggi menyebabkan Poppy melarikannya ke rumah sakit Zurich. Para dokter mendiagnosis perdarahan di otak. Tidak ada harapan. Sjahrir mengalami koma selama tujuh hari. Poppy dua hari mendampinginya di rumah sakit, lalu pulang, namun tidak dapat tidur. Sepanjang malam Poppy berbicara dengan keluarga di Indonesia melalui saluran telepon jarak jauh.

Esoknya, Poppy kembali ke rumah sakit. Pada 9 April, Poppy, juga anak-anak, menyaksikan suaminya meninggal. Upik belum mengerti benar. Ia menganggap ayahnya sedang tidur saja. Poppy langsung mengirim kawat ke Bung Karno. Mohammad Roem, Subadio, Anak Agung, dan Mochtar Lubis masih di penjara ketika kabar itu datang. Tapi mereka mendengarnya dari Radio Nederland di Hilversum.

Pagi hari, 15 April 1966, enam hari setelah Sjahrir meninggal, negara, pers: radio, televisi, surat kabar, memberitakan dekrit yang diteken Soekarno yang masih resmi menjabat. Dekrit bertanggal hari Sjahrir meninggal, menyatakan Sjahrir sebagai pahlawan nasional dan memerintahkan pemakaman negara dengan penghormatan penuh.

Wakil Perdana Menteri Dr J. Leimena melayangkan surat kepada Poppy, mengabarkan pemberian penghargaan tersebut. Ia meminta persetujuan keluarga untuk pemakaman negara di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Poppy setuju. Tapi para karib menyusun sendiri kepanitiaan untuk pemakaman Sjahrir yang dipimpin Jusuf Jahja, dan Rosihan Anwar sebagai juru bicara. Anggotanya, Dr Soedarsono, Mariah Ulfah Subadio, Ali Boediardjo, Sudarpo Sastrosatomo, Wibowo, Dr A. Halim, Hamid Algadri, Djuir Mohammad, Idham, Sutan Sjahsam, Ali Sjahrir, Achmad Fauzy, Muher, dan Omar Tusin.

Di Zurich, beberapa orang Mesir yang tinggal di negeri ini dan tokoh-tokoh masyarakat Islam Swiss melayat. Mereka minta izin untuk menyolatkan jenazah di ruangan khusus, di rumah sakit. Lantas, diterbangkan ke Indonesia. Ibu guru Paraviccini, guru tempat Buyung menempuh pendidikan, sempat mencegah Buyung pulang ke Indonesia. Ia berjanji untuk menyekolahkan dan membesarkan murid kesayangannya itu di Swiss. Tapi Poppy menolak. �Buyung harus sekolah dan dibesarkan di negara di mana ayahnya berjuang memerdekakan Indonesia,� kata Poppy, seperti ditirukan Buyung.

Perjalanan menggunakan maskapai penerbangan Belanda KLM. Pertama singgah di Belanda. Sebuah upacara penghormatan telah disiapkan di Amsterdam. Kemudian berlanjut melalui Frankfurt, Kairo, dan transit di Bangkok. Mereka ganti pesawat Garuda Indonesia. Rombongan tiba di Bandara Kemayoran, 17 April. Peti jenazah telah ditutup dengan bendera merah putih. �Kami dijemput dan ada sedikit upacara di bandara,� demikian Upik mengenang.

Malamnya, keluarga menggelar tahlilan di kediaman Jalan Cokroaminoto 61, Menteng. Esok hari, menjelang tengah hari, jenazah diberangkatkan ke Kalibata, dengan iring-iringan yang sangat panjang. Bayangkan, bagian depan rombongan telah memulai proses pemakaman, sedangkan bagian belakang masih di dekat Hotel Indonesia.

Sekilas Cinta di Lereng Ceremai

Sjahrir mendekati putri Keraton Mangkunegaran. Membantah sempat bertunangan.

PADA suatu masa, tersebutlah Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, putri Keraton Mangkunegaran, Solo. Kecantikannya termasyhur ke mana-mana, begitu pula kepandaiannya menunggang kuda.

Sutan Sjahrir, pemuja wanita itu, tak urung menaruh hati pada sang putri. Setiap kali rapat kabinet digelar di Yogyakarta, sang Perdana Menteri mengutus sekretaris pertamanya, Siti Zoebaedah Osman, ke Puri Mangkunegaran, khusus mengantar kado.


�Aku yang deketin, bawain kado dan menyampaikan salam,� kata Ida�demikian ia disapa�ketika ditemui Tempo di rumahnya di Jalan Lombok, Jakarta Pusat, dua pekan lalu.

Kado dibeli di Jakarta. Isinya macam-macam, sampai tas dan arloji. Berapa nilainya? Ida tak ingat, kecuali bahwa kado untuk Nurul selalu yang terbaik. �Sjahrir tidak tanggung-tanggung membahagiakan hati seorang wanita,� kata sejarawan Rushdy Hoesein.

Tentu terlampir sepucuk surat tulisan tangan Sjahrir. Nurul ketika itu memang ditaksir pembesar dan raja. Mulai Bung Karno sampai Sri Sultan Hamengku Buwono IX. �Dia alim, cakep, dan tidak angkuh,� kata Ida, kini 85 tahun.

Sebagai �mak comblang�, Ida menceritakan watak Sjahrir kepada putri tunggal pasangan Mangkunegara VII dan Gusti Ratu Timur�putri Sultan Hamengku Buwono VII itu. �Dia menanyakan watak si Bung,� kata Ida, yang pernah diajar membatik oleh Nurul dan menginap di Istana Mangkunegaran.

Ketika ditemui Tempo di rumahnya di Bandung, Gusti Nurul bertutur lirih, �Saya dioleh-olehin gelang, jam, tas.� Tapi hubungan mereka lebih banyak melalui korespondensi. �Tulisannya jelek,� kata Nurul, kini 88, seraya tersenyum kecil.

Menurut Nurul, Sjahrir tidak pernah menemuinya di Istana Mangkunegaran. �Saya ketemu di Linggarjati,� kata Nurul, yang ketika itu diundang bersama abangnya, Mangkunegara VIII dan istri, serta ibunya. �Kami nginep di rumah perundingan Belanda-Indonesia.�

Selanjutnya mereka bertemu di Jakarta, jika Keraton Mangkunegaran diundang rapat ke Istana Presiden. �Ketemunya juga sebentar-sebentar.� Nurul sendiri sudah tak ingat apa yang pernah dibicarakannya dengan Sjahrir. Yang dia ingat, Sjahrir pernah membelai pipi dan dagunya.

Menurut Ida, Sjahrir pernah melamar perempuan yang pandai menari ini. Muhammad Akbar Djoehana, anak kakak perempuan Sjahrir, Nuning Djoehana, malah mengatakan Sjahrir dan Nurul sudah bertunangan. �Menurut ibu saya, mereka pernah tukar cincin,� katanya kepada Asmayani Kusrini dari Tempo.

Nurul membantah cerita ini. �Ndak pernah,� kata nenek 14 cucu itu. Sejarawan Rushdy Hoesein mengatakan, pacaran Sjahrir dan Nurul berjalan sekitar tiga tahun, sejak 1946.

Nurul, yang belajar menari sejak usia lima tahun, pernah tampil menari dalam pernikahan Juliana, anak Ratu Wilhelmina, di Belanda. �Itu sumbangan kebudayaan kita,� katanya, yang mengaku deg-degan ketika menari itu karena musik gamelan pengiring diputarkan langsung dari Keraton Solo melalui radio terputus-putus.

Sedari kanak-kanak, Nurul mengaku tidak berniat menikah dengan tokoh politik. �Risikonya banyak,� katanya. Ia ingin menikah dengan militer, dan terkabul.

Perempuan cantik ini akhirnya menikah dengan sepupunya, Soerjo Soejarso, yang pernah menjabat atase militer Republik Indonesia di Amerika Serikat. �Tapi, sewaktu dapat suami militer, kok seragam Indonesia enggak bagus, enggak kayak seragam tentara Belanda,� katanya tersenyum.

Nurul menikah pada 24 Maret 1951. Pada tahun yang sama, Sjahrir menikah dengan Poppy, putri dr. Saleh�dokter keraton.

Sang Pemuja dan Tuan Perdana Menteri

Poppy adalah istri dan pengagum terbesar Sjahrir. Ia tersenyum, dalam suka dan derita.

SEKRETARIS baru itu menarik perhatian �Tuan� Perdana Menteri. Bila melintas, sang bos suka menggoda. Alih-alih marah, Poppy Saleh, sekretaris yang digoda itu, hanya bersemburat merah pipinya. Dari ruang kantor perdana menteri, pergaulan sekretaris dan bos itu berlanjut menjadi kisah romantis. Sjahrir tak bertepuk sebelah tangan.

Rupanya bukan sebuah kebetulan. Poppy telah lama mengagumi bosnya. Itu sebabnya, �Sjahrir mudah mendekati Poppy, padahal ia perempuan yang enggak kenal lelaki,� kenang Siti Zoebaedah Osman, sekretaris pribadi Sjahrir, saat ditemui Tempo dua pekan lalu.

Ketika menjadi perdana menteri pada 14 November 1945, Sjahrir memutuskan mengangkat dua sekretaris. Yang menangani urusan pribadi berkantor di rumahnya di Jalan Jawa (sekarang Jalan H.O.S. Cokroaminoto) di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Tugas ini dipegang Ida�lengkapnya Zoebaedah�yang telah lama membantu Sjahrir.

Sekretaris yang lain mengurus kantor Perdana Menteri. Situasi politik yang pelik saat itu membuat Sjahrir mensyaratkan sekretarisnya haruslah wanita yang cerdas dan berpendidikan tinggi. Ia minta rekomendasi pada Soedjatmoko. Sang sahabat akhirnya membawa kakaknya, Poppy Saleh, candidaat jurist (kandidat sarjana hukum) dari Rechtshoschool atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.

Siti Wahjunah Saleh nama lengkap sekretaris itu. Lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 11 Mei 1920 dari pasangan Dr KRT Mohamad Saleh Mangundiningrat dan RA Isnadikin Tjitrokusumo. Tiga saudara Poppy yang lain adalah orang-orang yang di kemudian hari dikenal luas. Soedjatmoko pernah menjabat Duta Besar Indonesia di AS dan mantan Rektor Universitas PBB di Tokyo. Miriam Budiardjo merupakan salah satu pendiri Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia serta salah satu pendiri Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Nugroho Wisnumurti adalah mantan duta besar tetap Indonesia di PBB.

Poppy tak sekadar menemani Sjahrir di kantor. Seusai perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947, Gubernur Jenderal Belanda H.J. van Mook menggelar resepsi di Istana di Jakarta. Sjahrir menggamit Poppy di pesta yang menampilkan konser Rontgen Quartet dari Negeri Belanda itu.

Beberapa hari sesudah resepsi, Sjahrir terbang ke India. Pemerintah India rupanya mempersiapkan kejutan: di bandara New Delhi, mereka menghadirkan Maria Duch�teau, istri Sjahrir. Poppy yang ikut ke India kemudian tahu untuk pertama kali bahwa sang kekasih pernah menikah.

Sjahrir mengawini wanita Belanda itu di Medan pada 1932. Sebulan lebih menikah, Maria �ditendang� dari Indonesia. Pemerintah kolonial menganggap akad mereka tidak sah karena pengantin wanita masih berstatus istri orang. Maria juga dicurigai memiliki motif politik di negeri ini.

Reuni pasangan yang 15 tahun berpisah itu, yang semula diharapkan menjadi kejutan besar untuk Sjahrir, menjadi anti-klimaks. Jangankan menyambut hangat, Sjahrir hanya mencium kedua pipi Maria cepat-cepat. Suasana berubah canggung. Di kemudian hari, Maria mengeluhkan pertemuan New Delhi itu sebagai pertemuan yang �tak menyenangkan�. Ia mengatakan suaminya �sudah berubah�.

Abu Hanifah, delegasi Indonesia yang tiba di Delhi sebelum Sjahrir, menuturkan kesaksiannya dalam buku Robert Mrazek, Sjahrir: Politic and Exile in Indonesia, bahwa �ada seorang wanita Indonesia, muda dan menarik, kini menjadi idolanya. Ia ikut dengannya di pesawat.�

Tak sulit menebak �wanita Indonesia, muda dan menarik� itu. Ya, Poppy Saleh. Sjahrir dan Maria akhirnya berpisah pada 12 Agustus 1948. Meski mencintai pria yang sama, Poppy dan Maria tak pernah berseteru.

Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 23 Agustus 1949, Poppy datang sebagai aktivis Gerakan Wanita Sosialis. Di sela-sela konferensi, dua wanita Sjahrir itu sempat bertemu. Sayang, Poppy tak pernah mengungkap banyak isi pertemuan itu. Maria, konon, hanya sempat berkeluh kesah tentang sulitnya menjadi istri seorang pemberontak.

Poppy punya sisi kehidupan yang lain. Pada akhir 1949, ia mendaftar ke Universitas Leiden di Belanda. Setelah meraih gelar meester in de rechten pada 1950, Poppy melompat lagi ke London School of Economics di Inggris. Selama studi, ia berpisah dengan Sjahrir. �Menjaga jarak selama satu atau dua tahun untuk tahu apakah kami cocok untuk menikah,� cerita Poppy kepada Mrazek.

Masa menjaga jarak itu berakhir setelah studi Poppy selesai. Keduanya memutuskan menikah. Poppy ketika itu di London dan Sjahrir di Jakarta, tapi mereka memilih menikah di Kairo, Mesir. Penghulunya adalah Rektor Universitas Al-Azhar, Syekh Abdul Magud Selim, dan wali Poppy adalah Soedjatmoko, kakaknya.

Pasangan berusia 42 dan 31 tahun ini menghabiskan bulan madu di Kairo. Mereka tersenyum bahagia saat berpose di depan piramida dan sphinx. Ada yang tak biasa. Pengantin pria memboyong dua anak angkatnya dari Banda, tapi Poppy tak mengeluh.

Dua anak lahir dari perkawinan ini: Kriya Arsjah pada 1957 dan Siti Rabyah Parvati pada 1960. Baru sebentar hidup bersama keluarga kecilnya, pada 1962 sang ayah diseret ke penjara di Madiun, Jawa Timur. Sjahrir dituduh berniat menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno.

Poppy lagi-lagi harus bersabar dan membesarkan hati. Selama delapan bulan Sjahrir dikerangkeng, hampir setiap bulan Poppy datang berkunjung. Bertiga dengan Buyung (Kriya) dan Upik (Siti Rabyah)�panggilan dua anaknya�Poppy dengan setia menyusuri rel kereta api Jakarta-Madiun.

Ia harus mengurus berlembar surat izin masuk setiap menjenguk suaminya. �Tapi Mama tak pernah mengeluh. Dia jalani saja, yang penting bisa ketemu Papa,� kisah Upik. Dari balik terali, sang suami pun membalas. Hampir setiap hari Sjahrir menorehkan surat penuh rindu kepada istrinya.

�Cinta Mama sangat luar biasa. Sampai akhir hayatnya, yang Mama pikirkan hanya Sjahrir, Sjahrir, dan Sjahrir,� ujar Upik. Ketika Sjahrir wafat pada 1966, Poppy tenggelam dalam duka yang berkepanjangan. �Di depan kami dia tersenyum, tapi diam-diam Mama sering menangis.� Upik kerap memergoki ibunya sesenggukan di ranjang sambil menatap sebuah kotak. Baru belakangan ia tahu: kotak itu berisi gips cetakan wajah ayahnya, sesaat setelah wafat di Zurich.

Buyung punya cerita lain. Semenjak Sjahrir berpulang, ibunya semakin menyelami hal-hal spiritual. Poppy bahkan menanggalkan semua perhiasan dan tak lagi berdandan. �Mungkin itu kaulnya sebagai tanda setia kepada suami,� kata Buyung. Kesetiaan sang ibu sungguh membekas di benak kedua anaknya. �Kalau Mama mendewakan Sjahrir, maka saya memuja Mama Poppy,� cetus Upik.

Poppy pula yang meredakan amarah Buyung ketika si sulung dihina teman-teman di Sekolah Dasar Kepodang, Jakarta, dengan sebutan anak tahanan. �Papamu mengajarkan kita tidak jadi pendendam,� kata Poppy berulang kali. Sang ibu dengan setia menyiramkan kata-kata yang mendinginkan Buyung dan Upik yang sakit hati mengetahui ayahnya diseret ke bui oleh bangsanya sendiri. �Papa enggak pernah membenci orang-orang itu,� ujar Upik, menirukan ibunya.

Istri Sjahrir ini memang penuh kasih dan pemaaf. Namun, Minarsih Soedarpo, rekannya di Gerakan Wanita Sosialis, mengenang Poppy sebagai sosok yang tertutup. �Ia bukan tipe orang yang suka mengutarakan perasaan. Semua dipendam sendiri saja,� kata istri almarhum Soedarpo Sastrasatomo, aktivis PSI.

Menurut Mien, dalam banyak hal Poppy sebetulnya tertekan. �Saya tahu dia menderita, tapi tidak pernah diperlihatkan. Semua dijalani saja,� tuturnya kepada Tempo. Mien menduga Poppy kadang tertekan karena cara pandangnya sering berbeda dengan Sjahrir. Poppy sebetulnya tak sejalan dengan suaminya yang kerap memilih jalan konfrontatif dalam menghadapi masalah.

Namun Poppy tak pernah menampakkan wajah susah saat bersama Sjahrir. Bahkan, ketika suaminya dirawat di Zurich, Swiss, Poppy dengan setia membacakan koran, menyuapi, dan menemani suaminya setiap hari. Ia juga satu-satunya yang bisa �menerjemahkan� semua yang keluar dari mulut Sjahrir, yang sudah tak mampu bicara karena terserang stroke.

�Mama selalu menciptakan suasana happy dan damai, walau sedang susah,� kenang Upik. Suatu hari pada 1999, Poppy terjatuh di sebuah resepsi. Tulang panggulnya retak. Ia menolak dioperasi dan memilih dirawat di rumah. Kondisinya memburuk dari hari ke hari. Pada usia 79 tahun, Poppy berangkat menyusul pujaan hatinya.

Kees Snoek: Maria Ingin Membakar Surat-surat itu

SEBUAH "kebetulan" mengantar Kees Snoek mendapatkan "harta karun" berupa surat-surat Sjahrir kepada Maria Duchteau -istri pertamanya yang orang Belanda. Snoek sedang menulis biografi tentang penyair Belanda Charles Edgar Du Perron. Tak dinyana, sang penyair merupakan sahabat Sjahrir dan Maria.

Sjahrir menulis di atas kertas biru tipis. Surat yang dilayangkan pada 1931-1940 itu berjumlah 287 buah dengan panjang bervariasi antara 4 dan 7 halaman. "Tulisan tangan Sjahrir kecil-kecil dan sukar dibaca," ujar Snoek. "Sepertinya dia menulis secara terburu-buru". November mendatang ia akan menerbitkan surat-surat bersejarah itu.

Berikut ini wawancara koresponden Tempo di Belanda, Asmayani Kusrini, dengan Snoek.

Anda mengetahui hubungan Sjahrir-Maria Duchteau saat melakukan riset tentang Du Perron?

Untuk menulis biografi Du Perron yang bersahabat pena dengan Sjahrir, saya menghubungi Maria Duchteau pada 1993. Saya dan Maria saling bertulis surat karena saya masih tinggal di Selandia Baru, Januari 1994, ketika kembali ke Eropa, saya bertemu dengan Maria.


Jadi sebetulnya Anda tidak tertarik dengan Sjahrir?

Bukannya tidak tertarik, tapi sejarah Indonesia bukan bidang yang saya dalami. Saya tahu bahwa Maria adalah istri Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Dari hasil ngobrol dengan Maria, saya tahu bahwa Marialah yang menyusun buku Renungan Indonesia (diterjemahkan menjadi Out of Exile), semacam diari fiktif seorang pejuang Indonesia yang sebetulnya kumpulan dan kutipan dari ratusan surat-surat Sjahrir kepada Maria. Dia menyusun buku itu tentu dengan menghilangkan kalimat-kalimat pribadi, jadi buku itu terlihat seperti murni pemikiran seorang pejuang yang sedang memikirkan ide memerdekakan bangsanya.

Surat-surat itu ditulis tangan?

Maria menunjukkan surat-surat asli yang umumnya ditulis tangan di atas kertas tipis biru yang rapuh. Dia terpikir membakar surat-surat itu sebelum meninggal, karena menurut dia surat itu cuma surat cinta biasa. Saya bilang jangan, apalagi surat itu punya nilai sejarah walaupun konteksnya surat pribadi. Meski surat cinta, di dalamnya banyak cerita tentang perkembangan negeri, sastra, budaya, dan lain-lain. Dari surat-surat itu kita bisa tahu gambaran karakter yang menulisnya. Maria setuju.

Bagaimana Anda akhirnya memperoleh surat-surat itu?

Ketika Maria meninggal, saya terus berkorespondensi dengan suami keempatnya, Mr. Stall. Dari dialah saya mendapatkan surat-surat Sjahrir tersebut. Saya kemudian membacanya dan baru menyadari betapa surat-surat itu adalah surat berharga yang akan menjadi kerugian sejarah jika tidak diapa-apakan. Dari situlah saya berniat membuat buku.

Berapa banyak surat itu?

Semua surat ditulis pada 1931-1940, berjumlah 287 surat yang ditulis di atas 952 lembar kertas. Panjang surat bervariasi antara 4 dan 7 lembar, dengan tulisan tangan yang kecil-kecil serta sukar dibaca. Terlihat sekali surat-surat itu ditulis dengan cepat dan tergesa-gesa sehingga susah dipahami. Kadang saya menemui kesulitan untuk memahami tulisan maupun bahasa Belandanya. Jadi, untuk mengerti seluruh kalimat dari sebuah kata yang tidak terbaca, saya sesuaikan dengan konteksnya. Semua surat itu lengkap, mungkin ada satu-dua yang hilang tapi yang jelas tidak ada yang dibakar.

Dari mana saja Sjahrir menulis surat itu?

Surat awal masih ditulis di Eropa, selanjutnya ditulis dari berbagai tempat di Indonesia, misalnya Semarang, Medan, Jakarta, Bandung, Solo, Ambarawa, Cipinang, lalu Boven Digul.

Kapan surat itu akan Anda terbitkan sebagai buku?

Buku itu barangkali terbit pada November. Ini akan menjadi edisi terbatas dari KITLV Press karena mahal dan khusus untuk para spesialis dan kalangan akademisi. Tapi saya kira menarik juga untuk sejarawan Indonesia karena dalam buku-buku sejarah atau biografinya tidak pernah ada yang menceritakan perkembangan batin Sjahrir dalam masa perjuangan. Pada umumnya buku sejarah menulis hal yang sudah diedit, untuk kepentingan negara, jadi semua pahlawan Indonesia ditampilkan seideal mungkin. Tapi banyak yang lupa mereka juga manusia biasa dengan banyak kelebihan dan kekurangannya.

Kasih yang Tak Sampai

Sjahrir punya hubungan khusus dengan beberapa perempuan. Ia seorang flamboyan yang suka dansa dan gemar musik klasik. Pria yang amat mencintai anak-anaknya itu meninggal dalam kesunyian pengasingan-di sebuah flat sempit di Zurich, Swiss.


AMSTERDAM adalah kota yang menggairahkan Sjahrir. Dia menemukan idealisme di kota ini. Juga teman-teman sealiran. Salomon Tas, wartawan berhaluan kiri, yang saat itu menjabat Ketua Sociaal Democratische Studenten Club (Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat) Amsterdam, adalah salah satu sahabat dekat Sjahrir. Berdarah Yahudi, Tas lahir dalam keluarga sederhana, terdidik, serta amat antikolonial. Mahasiswa Hindia Belanda yang sedang bersekolah di negeri itu, termasuk Sjahrir, segera menjadi kawan-kawan dekatnya.

Persahabatan dengan Tas kian erat ketika kakak Sjahrir, Siti Sjahrizad-alias Nuning-harus kembali ke Hindia Belanda pada 1931. Di rumah Nuning di Amsterdam Selatan itu tadinya Sjahrir tinggal, sejak datang pada Juni 1929. Tas kemudian menawarkan apartemennya sebagai tempat tinggal Sjahrir.

Di apartemen itu, Tas tinggal bersama istrinya, Maria Johanna Duchteau, dan dua anak mereka yang masih kecil-kecil. Di rumah itu tinggal pula teman perempuan Maria bernama Judith van Wamel.

Tas, Maria, Judith, dan Sjahrir sama-sama menggemari sastra, film bermutu, dan musik. Mereka menonton film dan teater di Stadsschouwburg dan menghadiri pertemuan politik di bar Americain. Restoran terkenal Bohemien di kawasan Lange Leidse Dwaarstraat menjadi tempat berkumpul Sjahrir dan teman-temannya. Di restoran inilah Tas membentuk Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat.

Perkawanan itu ternyata melahirkan asmara antara Sjahrir dan Maria, istri Tas. Perempuan peranakan Belanda-Prancis ini berpikiran maju dan banyak membantu Tas dalam aktivitas politiknya. Pernikahannya dengan Tas pada tahun-tahun itu sedang gersang. Tas tidak punya waktu untuk Maria dan anak-anak mereka. Hidupnya hanya untuk politik.

Tidak perlu waktu lama bagi Sjahrir untuk merebut Maria. Sebenarnya itu tidak bisa disebut merebut karena Tas tahu hubungan sahabatnya dengan Maria. Bahkan dia sendiri sudah mulai berhubungan dengan Judith. Kees Snoek-yang mempublikasikan kembali surat-surat Sjahrir kepada Maria-menyatakan kepada koresponden Tempo di Belanda, Asmayani Kusrini, kehidupan mahasiswa pergerakan saat itu amatlah bebas.

Sjahrir serius menjalin cintanya dengan Maria. Ketika hendak pulang ke Hindia Belanda pada 1932, ia meminta Maria ikut. Kepada Mieske, panggilan sayangnya kepada Maria, Sjahrir menyatakan kekasihnya bisa membantu kaum perempuan di bidang pergerakan.

Sjahrir juga ingin menikahi Maria di Hindia Belanda kelak. Sesuai dengan rencana, dia pulang lebih dulu mengambil alih pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Menurut Snoek, ketika itu Hatta, yang diplot sebagai pemimpin, belum selesai studinya. "Sjahrir diputuskan kembali ke Indonesia lebih dulu," ujarnya.

Maria, rencananya, akan menyusul bersama anak-anaknya empat bulan kemudian jika perceraiannya dengan Tas sudah beres. Medan menjadi tempat pertemuan mereka.

Dari Batavia, Sidi-begitu Maria memanggil Sjahrir-berangkat ke Medan, sementara Maria dan dua anaknya berlayar dari Kolombo ke Medan. Pertemuan itu akhirnya berlangsung pada April 1932. Pada tanggal 10 bulan itu, Sidi dan Mieske menikah di sebuah masjid di Medan.

Keduanya menginap di rumah tempat Sjahrir tinggal sebelum bersekolah ke Jawa. Mereka tidak pulang ke Koto Gadang karena "tidak punya uang untuk pulang kampung." Rencananya, Sjahrir akan mengajak Maria ke Jawa.

Sjahrir rupanya tidak sadar tindakannya menikahi perempuan kulit putih bisa dianggap provokasi. Meski Medan ketika itu termasuk kota Hindia Belanda yang ramai, pasangan Sjahrir-Maria segera mengundang gunjingan. Apalagi mereka juga datang ke tempat-tempat pertunjukan musik, film, dan teater, yang ramai disambangi orang kulit putih.

Maria, yang gemar berkebaya dan memakai kain, segera mengundang perhatian orang Belanda. Mereka bertanya, mengapa Maria mengenakan pakaian pribumi. Empat hari setelah pernikahan mereka, Sumatran Post, koran terbesar di Medan saat itu, menulis tentang Maria: "Perempuan bersarung kebaya dalam penyelidikan polisi."

Sebulan lewat, polisi mulai menyelidiki dokumen pernikahan Maria. Mereka menemukan Maria menikah dengan Salomon Tas, aktivis pergerakan antikolonial. Selain itu, Tas ternyata belum menceraikan Maria secara resmi. Karena Maria menikah secara Islam pada saat belum bercerai, keruan saja para pemuka agama jadi ribut.

Lima pekan setelah pernikahan mereka, pada 5 Mei 1932, pernikahan Sjahrir dibatalkan oleh pemuka agama setempat. Lima hari kemudian, Maria dipulangkan ke Belanda. Yang membuat hati Sjahrir pedih, Maria tengah mengandung anak laki-laki mereka.

Keinginan Sjahrir untuk segera menyusul sang istri ke Belanda ternyata penuh rintangan. Rentetan kejadian tragis kemudian menimpa Sjahrir. Hatta akhirnya pulang dari Belanda, tapi mendapat kecelakaan ketika mengunjungi orang tuanya di Sumatera. Sjahrir kembali mengundurkan niat ke Belanda. Surat Maria juga sudah lama tidak datang.

Belakangan datang kabar dari Maria yang menyebut kematian bayi mereka sesaat setelah dilahirkan. Hubungan Sjahrir dan Maria kembali terjalin. Mereka kembali bersurat-suratan. Sjahrir meneguhkan niatnya menyusul Maria. Apalagi ia sudah mengantongi izin dari Pendidikan Nasional Indonesia untuk kembali bersekolah di Belanda.

Rencananya, ia berangkat menumpang kapal uap S.S. Aramis dari Batavia pada Maret 1934 dengan bekal uang kiriman Maria. Celaka, akhir Februari itu, Hatta ditangkap. Sjahrir, yang bersembunyi di rumah adik tirinya, Radena, ditangkap polisi sehari kemudian.

Meski pertemuan dengan sang kekasih hati lagi-lagi kandas, hubungan Sjahrir dan Maria kian hangat lewat surat-menyurat. Maria menjadi satu-satunya tempat curahan hati yang memahami kesulitannya.

Dua tahun setelah penahanan Sjahrir, mereka kemudian menikah kembali, 2 September 1936. Pernikahan jarak jauh itu diwakili oleh pelukis Salim. Sjahrir, yang berada dalam pembuangan di Banda Neira, berangkat ke kantor gubernur. Sayang, pernikahan jarak jauh menciptakan suasana yang tidak sehat dan penuh ketegangan.

Untuk meredam masalah, Sjahrir meminta Maria menyusulnya ke Banda Neira. Keinginan itu gagal karena Maria tak punya cukup uang.

Akhir 1939, ketika Maria sudah punya uang , tidak ada kapal lagi yang menuju Hindia Belanda. Perang Dunia II sudah berkobar. Kembali mereka hanya surat-menyurat.

Setelah Indonesia merdeka dan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama, tidak juga ada kabar baik bagi keduanya. Nyala cinta mereka mulai redup. Sebuah pertemuan di New Delhi, India, pada April 1947 menjadi penentu akhir perjalanan mereka.

Ketika itu, Nehru rupanya hendak membikin kejutan bagi Sjahrir. "Ia tidak bilang akan mengundang Maria," kata Snoek. Pada pikir Nehru, apalah salahnya mengundang Maria, yang masih jadi istri Sjahrir. Nehru tak tahu kala itu asmara sudah terjalin antara Sjahrir dan asistennya, Poppy.

Pertemuan setelah 15 tahun itu berlangsung dingin. Maria, bersama Nehru dan putrinya, Indira Gandhi, menyambut Sjahrir yang didampingi Poppy di bandar udara. Dalam sebuah wawancara pada 1988, Maria menyebut betapa Sjahrir sudah jauh berubah. "Mungkin karena ia sudah menjadi negarawan."

Sjahrir merangkul Maria dan menempelkan pipinya ke pipi Maria. Setahun kemudian, api cinta lama itu benar-benar padam. Keduanya memutuskan bercerai pada 12 Agustus 1948.

Belakangan, Maria menikah dengan adik Sjahrir, Soetan Sjahsyam, yang bersekolah di Belanda. Sejak kembali ke Belanda, Maria tinggal bersama Sjahsyam, yang ikut membesarkan anak-anak Maria dari perkawinannya dengan Tas.

Surat Pengagum Faust

"Aku relatif kurang populer di kalangan orang-orang nasionalis dan intelektual di Indonesia. Ini untuk sebagian besar disebabkan karena aku mempunyai apa yang disebut mereka itu "kecenderungan-kecenderungan Barat" dan beberapa orang malahan mengatakan aku "kebelanda-belandaan" (Banda Neira, 9 Maret 1936).

HAMPIR sebulan dibuang di Banda Neira, Sjahrir menuliskan kalimat itu. Dengan tutur kata yang tenang, tak meledak-ledak, Sjahrir selanjutnya memasuki perenungan mengapa makin lama di Indonesia tumbuh perasaan anti-Barat yang kuat. Sebuah sikap yang menurut dia merupakan bagian dari kompleks kurang harga diri sebuah bangsa.

Surat-surat terkenal Sjahrir dari pengasingan di Boven Digul dan Banda Neira, yang dalam edisi Indonesia diterbitkan dalam judul: Renungan dan Perjuangan, banyak membahas tema itu. Sjahrir pertama kali menjadi tahanan di penjara Cipinang, Jakarta. Ia masuk bui pada sekitar Februari 1934. Surat-suratnya dimulai dari bulan Maret. "Aku sama sekali tidak merasa diri seorang martir," demikian ia menulis. Berdiam di penjara, menurut dia, membuat dia berkepala dingin menghadapi segala sesuatu. Ia tak ingin hanyut dalam pemikiran romantis.

Itulah sebabnya mulai saat Sjahrir dipenjara di Cipinang, kita tak menemukan surat-suratnya yang bernada keluhan, umpatan, atau penderitaan. Sebaliknya surat-surat Sjahrir menukik pada renungan masalah sosial. Dalam bui ia tambah banyak membaca dan mempertimbangkan berbagai gagasan besar dunia. Di Cipinang itu ia misalnya banyak merenungkan persoalan pertentangan antara individu dan kolektivitas.

Ketika dibuang ke Boven Digul, surat-surat Sjahrir banyak bercerita tentang pengalamannya mengamati masyarakat setempat. "Di Digul ini aku mendapat kesempatan untuk menyelami lebih dalam struktur psikis-fisis bangsa kita." Surat-surat Banda Neira adalah surat-surat paling reflektif. Keelokan pantai Banda Neira, gunung apinya yang terlihat dekat, teluk yang laksana kaca licinnya, pulau-pulau kecil, pesta-pesta perkawinan masyarakat setempat, dimanfaatkan Sjahrir untuk menyegarkan pikirannya. Ia suka berenang dengan anak-anak ke laut. Ia suka pergi ke dermaga lama untuk melihat matahari terbenam.

Di Banda Neira pikiran-pikirannya tentang Barat makin eksplisit. Di suratnya bertanggal 31 Desember 1936, kita akan melihat adanya beberapa persamaan pikiran Sjahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana dalam konsep Barat: "Barat" bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis. Itulah sifat Faust, sifat yang kusukai, dan aku yakin bahwa hanya Barat-yaitu dalam pengertian dinamis ini-yang bisa melepaskan Timur dari perbudakannya."

Selanjutnya lihatlah bagaimana saat Sjahrir menerangkan "Timur". Menurut dia, banyak intelektual Indonesia yang terperangkap oleh gambaran Timur yang sesungguhnya diidealisasi oleh beberapa filosof. Timur yang tenang, yang harmoni, suatu Timur yang tak pernah ada. "Timur seperti dilihat orang-orang Buddhis itu, hanya ada bagi mereka saja. Apakah masih ada Timur semacam itu di Hong Kong atau Shanghai, atau Batavia? Di mana-mana di Timur ini irama hidup, tempo sudah dipercepat. Ketenteraman jiwa yang sangat dihasratkan itu mungkin masih kedapatan di pelosok-pelosok."

Kita dapat melihat orientasi dasar Sjahrir terhadap Barat itu, amat melandasi sikap-sikap politiknya, misalnya: sikapnya terhadap nasionalisme yang ekstrem. Sjahrir mengkritik perjuangan politik yang di negeri ini cenderung harus mempunyai unsur moral yang kuat. "Politik untuk orang-orang kita di sini bukan berarti: perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Pemimpin-pemimpin haruslah pahlawan-pahlawan, nabi-nabi".

Ia juga mengkritik adanya kebencian yang tak kenal damai dengan Belanda. Pada Maret 1938, Sjahrir menulis surat bagaimana ia tak ingin terlibat dalam gerakan non-kooperasi. Sjahrir melihat gerakan non-kooperasi sudah diangkat menjadi soal kehormatan. Baginya, itu cermin dari mentalitas inferioritas. Pada titik itu, secara tajam ia menganggap nasionalisme yang ekstrem bisa menjadi timbul dari rasa rendah diri ini.

Ia menulis: "Aku hampir-hampir hendak mengatakan bahwa nasionalisme ialah proyeksi daripada kompleks inferioritas dalam hubungan kolonial antara bangsa yang dijajah dan bangsa yang menjajah. Jadi, dari semula dasar dari propaganda nasionalistis adalah suatu perasaan yang tidak rasional."

Manifesto Seorang Antifasis

BEBERAPA hari setelah menjadi perdana menteri, akhir November 1945, Sutan Sjahrir menghadiri rapat akbar di alun-alun Kota Cirebon, Jawa Barat. Ia berpidato dengan suara tenang. Seorang hadirin bertanya, "Mengapa dalam buku Perdjoeangan Kita tak satu pun disebut nama Tuhan?"

Sjahrir tertawa. Ia menjawabnya dengan sebuah cerita. Ketika kecil dan bersekolah di Medan, katanya, ia membaca buku-buku matematika yang ditulis seorang pastor. Meski yang menulis pastor, tak sekali pun ada nama Tuhan di sana. "Perdjoeangan Kita adalah buku politik yang penuh perhitungan. Buku itu tak ditulis berdasarkan emosi," kata perdana menteri 36 tahun itu.

Kisah ini diceritakan Hamid Algadri, bekas Menteri Penerangan yang menemani Sjahrir berpidato, dalam memoarnya. Dengan jawaban itu, kata Hamid, terlihat benar Sjahrir orang yang rasional.

Pamflet Perdjoeangan Kita ditulis dan diterbitkan pada 10 November 1945, lima hari sebelum Sjahrir menjadi perdana menteri, bertepatan dengan bentrok fisik para pemuda dengan tentara Inggris di Surabaya. Hari yang ditandai dengan pekik "Merdeka atau Mati" itu kini dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Bagi Sjahrir, peristiwa itu satu contoh Indonesia masih labil dan lemah. Setelah kekuasaan tiga setengah tahun Jepang berakhir, Indonesia disergap kerusuhan dan kekacauan. Laskar-laskar pemuda menyerang tentara Sekutu, toko-toko diserbu dan dirampok, pembunuhan warga Tionghoa, Indo, Ambon, dan Manado terjadi di mana-mana.

Dengan penuh gelora dan kritik tajam, Sjahrir melukiskan situasi Indonesia di awal kemerdekaan itu pada bagian pertama Perdjoeangan Kita. Dengan jernih Sjahrir menunjukkan bahwa kerusuhan, pemecahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok, serta agitasi kebencian kepada ras bangsa Jepang akan menimbulkan sebuah kekuatan fasis baru dari dalam negeri sendiri.

Ia mengkritik, pekik merdeka hanya simbol kosong dari euforia kebebasan. Proklamasi 17 Agustus 1945 ia hantam sebagai peluang menyusun kekuasaan tapi tak dipakai oleh para pemimpin karena mereka "terbiasa membungkuk dan berlari untuk Jepang dan Belanda". Sjahrir sendiri absen saat Soekarno-Hatta membacakan pernyataan Indonesia merdeka itu.

Bagian kedua pamflet ini mengurai bagaimana seharusnya Indonesia menyusun kekuatan dan menegakkan Republik. Bagi Sjahrir, kekuatan itu harus dimulai dengan "revolusi kerakyatan", revolusi yang dipimpin golongan demokratis, bukan nasionalistis yang membudak kepada fasis lain. "Politieke collaboratoren harus dipandang juga sebagai fasis, berdosa dan berkhianat pada perjuangan dan revolusi rakyat," tulisnya.

Kalimat inilah yang memicu kemarahan tokoh politik ketika itu. Jenderal Sudirman, pemimpin tentara Pembela Tanah Air yang dibentuk Jepang, menyebut pernyataan Sjahrir kurang bijak. Para menteri menyatakan oposisi frontal. Menurut Rosihan Anwar, wartawan Harian Pedoman yang meliput sidang Komite Nasional Indonesia Pusat di AMS Salemba, Menteri Pekerjaan Umum Abikusno Tjokrosujoso mengamuk ketika Sjahrir membacakan manifesto itu.

Meski ditentang kanan-kiri, Sjahrir jalan terus. Ia mengubah sistem presidensial dengan parlementer, sebagaimana keyakinannya dalam pamflet ini bahwa kedaulatan harus ada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Partai-partai harus dibentuk oleh mereka yang terdidik, berdisiplin, dan berpengetahuan modern untuk membawa rakyat ke dalam revolusi.

Pada bagian akhir pamflet ini, Sjahrir menjelaskan agak teknis soal menyusun alat-alat pemerintahan: bagaimana memfungsikan pangreh praja, polisi, dan petugas agraria. Ia menyerukan buruh dan tani diperkuat melalui pendidikan politik sebagai kekuatan revolusioner yang demokratis. Pemilihan-pemilihan harus dimulai di desa. Pemuda, sementara itu, harus menyokong buruh dan tani, bukan pemimpin revolusi itu sendiri.

Ia juga menyinggung soal politik luar negeri. Menurut Sjahrir, kemerdekaan sesungguhnya harus dicapai secara bertahap, rapi, dan elegan, bukan frontal dengan angkat senjata. Maka ia mempraktekkan politik diplomasi: berunding dengan Belanda dan Sekutu serta melecut simpati dunia internasional.

Sikap Sjahrir ini, menurut sejarawan Universitas Cornell, Amerika Serikat, Benedict Anderson, menenangkan dan menarik simpati Barat. Ben menyebut Sjahrir suara penting pemikiran modern Asia dengan Perdjoeangan Kita sebagai ekspresi terbaik ideologi politiknya. "Pamflet ini dokumen penting untuk mempelajari revolusi Indonesia dan lingkungan intelektual kaum pemimpinnya," tulis Ben dalam pengantar Our Struggle, Sutan Sjahrir pada 1968.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India