Senin, 09 Maret 2009

Tiga Serangkai Ahli Waris Revolusi

Hubungan Sjahrir dengan tokoh-tokoh revolusi Indonesia tak selalu harmonis. Dengan Soekarno, yang mengangkatnya sebagai perdana menteri, ia bentrok soal cara berunding dengan Belanda. Dengan Tan Malaka, ia tak akur perihal ideologi. Dan Sudirman tersinggung karena Sjahrir menyebutnya antek Jepang.


SUASANA rapat Pemuda Indonesia di Bandung itu tiba-tiba mencapai suhu tinggi. Soekarno diinterupsi oleh Suwarni. Ketua Putri Indonesia itu protes karena Soekarno terlalu sering mencampuradukkan bahasa Indonesia, Belanda, dan Sunda dalam ceramahnya. Ia juga gerah karena Bung Besar terlalu menggebu membanggakan Partai Nasional Indonesia-partai yang ia dirikan dan baru seumur jagung. "Bung, ini bukan tempat buat propaganda PNI," kata Suwarni ketus.

Soekarno terkejut. Ia tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu. Dia marah dan balas menyerang Suwarni dalam bahasa Belanda. Melihat kejadian itu, Sutan Sjahrir-pimpinan pertemuan-langsung mengetukkan palu. Dia meminta Soekarno tidak bicara melipir ke mana-mana. Pemuda 18 tahun itu bahkan minta Soekarno tidak bicara kasar kepada perempuan. Ia mengingatkan Soekarno tidak memakai bahasa Belanda. Sudah jadi ketentuan, bila perhimpunan itu bertemu, penggunaan bahasa Indonesia wajib hukumnya.

Teguran itu manjur. Setahun sebelum Sumpah Pemuda, pemakaian bahasa Indonesia memang digalakkan. Pada masa itu, banyak pemuda yang belepotan dalam berbahasa Indonesia. Bahasa ini menarik minat karena dinilai bebas dari tradisi feodal. Soekarno, yang usianya lebih tua sembilan tahun dari Sjahrir, menyadari kekeliruannya. Ketua Partai Nasional Indonesia itu minta maaf.

Kejadian pada akhir 1927 itu berbekas buat Soekarno. Dia tidak pernah lupa sosok Sjahrir. Ia sering datang ke pertemuan Pemuda Indonesia. Sebaliknya, Sjahrir sesekali mengikuti perdebatan di kelompok Soekarno. Pemuda Indonesia dan PNI, kata Soekarno, "Satu kesatuan yang tak terpisahkan."

Tapi pertalian keduanya hanya sejenak. Pada Juni 1929, Sjahrir meneruskan studi ke Belanda. Di negeri ini ia bertemu Mohammad Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia. Berkat bimbingan dan dorongan Hatta, Sjahrir masuk Perhimpunan Indonesia. Hatta mendidik Sjahrir, Abdullah Sukur, dan Rusbandi. Enam bulan berselang, Sjahrir menjadi pembicara utama dalam pertemuan organisasi itu. Pada Mei 1930, Sjahrir sudah jadi orang nomor dua di perhimpunan itu.

Rudolf Mrazek, dalam bukunya Sjahrir, Politics and Exile in Indonesia, melukiskan bahwa di antara Sjahrir dan Hatta terdapat kesamaan yang kuat. Lahir dari tanah Minang, mereka sama-sama menyerap pengalaman dari sistem pendidikan etis kolonial. Mereka juga sama-sama berutang budi kepada kerabat keluarga yang membantu menyekolahkan hingga ke Belanda. Itu sebabnya di antara keduanya tumbuh rasa saling pengertian yang kuat. "Sjahrir hormat sekali kepada Hatta," ucap Rosihan Anwar, wartawan senior. Sebaliknya, Hatta sayang pada Sjahrir.

Keduanya juga punya pandangan yang sama. Menurut mereka, study club yang didirikan Abdoel Karim Pringgodigdo di Jakarta dan Inoe Perbatasari di Bandung harus mengutamakan pendidikan rakyat. Gerakan perlawanan setelah Soekarno ditangkap ini menamai dirinya "golongan merdeka".

Hatta menyarankan "golongan merdeka" menerbitkan jurnal, yang memiliki misi untuk pendidikan rakyat. Pendidikan, kata Sjahrir, harus menjadi tugas utama pemimpin politik. Keduanya sama-sama ingin berkecimpung dalam pendidikan sepulangnya dari Belanda. Akhir Agustus 1931, "golongan merdeka" dari berbagai kota melebur menjadi Pendidikan Nasional Indonesia.

Namun keterlibatan mereka dengan politik Tanah Air menuai kritik. Mahasiswa Indonesia yang dekat dengan Partai Komunis Belanda menuduh Hatta bertindak di luar ketentuan Perhimpunan. Dalam pertemuan pada November 1931, Hatta dipecat dari organisasi itu. Sjahrir satu-satunya yang menentang keputusan tersebut. Ia pun meninggalkan perhimpunan.

Keduanya lalu berencana pulang ke Tanah Air. Tapi Hatta harus merampungkan sisa studinya. Akhirnya disepakati, Sjahrir pulang lebih dulu pada November 1931. Bila sudah rampung, Hatta menyusul ke Indonesia, Sjahrir kembali ke Belanda melanjutkan kuliahnya. Nyatanya, Sjahrir tidak pernah balik lagi ke Belanda.

Keduanya sibuk memimpin Pendidikan Nasional Indonesia. Mereka ditangkap polisi Belanda pada Februari 1935. Sembilan bulan kemudian dibuang ke Boven Digul. Pada 1936 dikirim ke Banda Naira, dan kembali ke Jawa pada Januari 1942 sebelum Jepang datang.

Enam bulan kemudian, Sjahrir dan Hatta bertemu Soekarno yang baru pulang dari pengasingan di Palembang. Hari itu juga ketiganya rapat di rumah Hatta. Mereka sepakat: Soekarno-Hatta bekerja sama dengan Jepang, dan Sjahrir bersama Persatuan Mahasiswa di Jakarta menyusun perlawanan bawah tanah.

Hubungan ketiganya terus berlanjut. Sjahrir, sesudah proklamasi, menjadi Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Soekarno setuju Sjahrir membentuk kabinet parlementer. Sjahrir diangkat menjadi perdana menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Ketika ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta, Sjahrir seminggu sekali naik kereta api menemui Soekarno-Hatta. "Langkah demi langkah dia laporkan ke Soekarno-Hatta," kata Rosihan. Soekarno bahkan melindungi Sjahrir saat kabinet pertama hendak digulingkan oleh Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Hubungan baik itu, kata dia, berlanjut hingga perundingan Linggarjati. Kepemimpinan Sjahrir bertahan hingga tiga kabinet.

Setelah itu ia menjadi penasihat istimewa presiden. Saat Belanda melancarkan aksi militer kedua pada Desember 1948, Soekarno-bersama Agus Salim dan Sjahrir-diasingkan ke Brastagi dan Prapat, Sumatera Utara. Sedangkan Hatta, bersama Menteri Pendidikan Ali Sastroamidjojo dan Sekretaris Negara A.K. Pringgodigdo ditahan di Pulau Bangka.

Nah, di Prapat inilah, kata Rosihan, Sjahrir merasa kesepian. Sekali waktu Soekarno mandi dan melantunkan lagu One Day When We Were Young cukup keras. Sjahrir merasa terganggu. Dia berteriak, "Hous je mond (tutup mulutmu)." Soekarno bilang ke Agus Salim, "Siapa dia, marah-marah dan berani bentak. Saya ini kepala negara". Sjahrir juga pernah mengkritik Soekarno yang meminta kemeja Arrow kepada pengawal Belanda. "Kamu kan presiden, jaga gengsi dong," kata Sjahrir. Soekarno jengkel.

Hubungan keduanya kian renggang setelah Perdana Menteri Belanda Willem Drees datang ke Jakarta, awal 1949. Dress minta berunding dengan Sjahrir sebagai sesama orang sosialis. Sjahrir memenuhinya. Tetapi pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa. "Sjahrir menolak mengikuti permintaan Belanda," kata Rosihan. Tetapi Sjahrir tidak kembali ke Prapat karena diizinkan menetap di Jakarta. Soekarno marah. Ia menganggap Sjahrir mengkhianati perjuangan. "Kenapa dia tak kembali ke sini? Kalau begitu dia tak setia," ujarnya.

Cerita itu didapat Rosihan dari Mohammad Roem. Roem mendapat cerita itu dari Agus Salim, katanya. Rosihan pernah menanyakan percekcokan itu kepada Soekarno pada awal 1951. Saat itu mereka tengah melihat rumah di Prapat tempat Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim ditahan. "Betulkah ada ruzie (percekcokan), bung?" Soekarno tidak menjawab.

Puncak keretakan Sjahrir-Soekarno terjadi awal 1962, saat iring-iringan Presiden di Makassar dilempar bom. Sjahrir ditangkap atas peristiwa itu. Menurut A.H. Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas, Soekarno otak di balik penahanan itu. Surat dikeluarkan Soekarno sebagai Penguasa Perang Tertinggi. Surat itu diteken Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Nasution sebagai Menteri Pertahanan.

Tapi, kata Nasution, saat surat diteken, nama Sjahrir belum muncul. "Saya hanya diminta menandatangani blangko kosong," katanya. Nama-nama tersangka akan ditulis setelah pemeriksaan. Nyatanya, setelah surat diteken, Sjahrir ditangkap di rumahnya pukul empat pagi, 16 Januari 1962.

Menurut Des Alwi, anak angkat Sjahrir, seorang wartawan bernama Manopo pernah menemui Nasution. Manopo berpesan agar Soekarno waspada bila bepergian ke Makassar karena Sjahrir dan Mohammad Roem akan membunuhnya. Nasution tidak percaya laporan itu. "Kamu ngomong begini bisa ditangkap," Nasution menggertak. Tapi laporan itu, kata Des, sampai ke tangan Soekarno lewat orang-orang komunis. Soekarno percaya.

Hatta pernah mengirim surat kepada Soekarno mempertanyakan penahanan itu. Ia mengkritik hukuman penjara yang gaya kolonial. Tuduhan keterlibatan Sjahrir dalam perbuatan teror itu, kata Hatta, tidak masuk akal. Tapi surat itu tidak digubris. "Bung Karno sudah paranoid," kata Rosihan.

Sejak itu kondisi fisik Sjahrir merosot. Soekarno akhirnya mengizinkannya berobat ke Zurich, Swiss, pertengahan 1965. Ia wafat 9 April 1966. Menurut Des, gelar pahlawan nasional sudah disiapkan satu bulan sebelumnya. Hatta lalu mengatur pemakaman. Ia juga yang berpidato. "Saya tahu Hatta sedih betul," kata Rosihan.

Patah Arang Kawan Seiring

Bersama Agus Salim, Charles Tambu, Sumitro Djojohadikusumo & Soedjatmoko, di Lake Success, 1947.
SUATU siang pada awal 1957. Jaksa Agung Muda Intelijen Priyatna Abdurrasyid mendatangi kediaman Sumitro Djojohadikusumo di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dia membawa surat perintah penangkapan Bung Cum-demikian Sumitro, tokoh teras Partai Sosialis Indonesia, biasa dipanggil kawan-kawan dekatnya.

"Waktu itu saya memang mendapat perintah menangkap Sumitro. Ketika saya tanya apa kesalahannya, jawaban atasan saya: tangkap saja, titik," kata Priyatna kepada Tempo dalam sebuah wawancara pada Agustus 2008.


Pada 1956-1957, gerakan pemberantasan korupsi memang sedang gencar. Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi sampai level menteri dibongkar. Namun, kata Priyatna, belakangan Presiden Soekarno memprotes melihat hampir semua menteri yang ditangkap berasal dari Partai Nasional Indonesia. "Bung Karno sempat tanya, mana menteri dari Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia," kata Priyatna, yang ketika itu anggota Tim Pemberantasan Korupsi Kejaksaan Agung.

Salah satu pentolan Partai Sosialis Indonesia di parlemen saat itu adalah Djoeir Moehamad. Dia mengaku masih ingat koran-koran yang berafiliasi pada Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia, seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur, terus memberitakan kasus dugaan korupsi Sumitro. "Ada desakan agar dia diajukan ke pengadilan," tulisnya dalam buku Memoar Seorang Sosialis yang terbit pada 1997.

Sumitro tentu heran dengan tudingan itu. Kepada Priyatna, dia sempat bertanya, apa kesalahannya. Priyatna tak bisa menjelaskan. "Pokoknya, perintahnya adalah tangkap, titik," katanya. Bung Cum menolak. Setelah bernegosiasi sebentar, Priyatna mengaku setuju membiarkan Sumitro "menghilang". Priyatna tak pernah menyesali perbuatannya. "Saya lakukan itu dengan keyakinan dia tidak bersalah," katanya kemudian.

Dengan restu Sjahrir, Sumitro menyeberang ke Sumatera. Di sana, dia bergabung dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta.

***

"WAKTU itu memang ada isu bahwa Sumitro melakukan korupsi, memberikan dana kepada PSI dalam pemilihan umum," kata wartawan senior Rosihan Anwar, awal Februari lalu. "Saya kira isu itu ada benarnya, tapi jumlahnya kecil. Tidak seperti sekarang ini, besar-besar."

Minarsih Soedarpo, kawan dekat keluarga Sjahrir, mengaku masih ingat ketika Sumitro, yang tersudut oleh berbagai kabar rencana penangkapan dirinya, bergegas menemui Sjahrir. "Oleh Sjahrir, dia diminta ke Padang, Sumatera Barat, membantu mengajar di Universitas Andalas," kata Minarsih, istri tokoh Partai Sosialis Indonesia, Soedarpo Sastrosatomo. Dalam diskusi dengan Tempo tiga pekan lalu, Minarsih (Mien) Soedarpo memastikan Sjahrir tak pernah mengutus Sumitro untuk bergabung dengan PRRI/Permesta.

Pada Mei 1957, Sumitro naik kereta api dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Merak, Banten. Asisten pribadinya, Priasmoro, turut mendampingi. "Dari Merak, Sumitro naik perahu bermotor ke Lampung, terus naik kereta api ke Palembang, lalu ke Padang," tulis Djoeir.

Pada Januari 1958, tersiar kabar telah terjadi pertemuan penting di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Para petinggi militer yang memberontak terhadap Jakarta, Letnan Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Maluddin Simbolon, Kolonel Dahlan Jambek, dan Kolonel Ventje Sumual, berkumpul di sana. Sumitro Djojohadikusumo juga bergabung. Pada Februari 1958, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dideklarasikan. Sumitro didaulat menjadi Menteri Perhubungan dan Pelayaran Kabinet PRRI.

Keterlibatan Sumitro dalam pemberontakan di Sumatera mengejutkan pengurus pusat Partai Sosialis Indonesia. "Sjahrir sudah menegaskan kepada Sumitro, boleh melakukan oposisi, tapi jangan bentuk pemerintah tandingan," kata tokoh Partai Sosialis Indonesia, Soebadio Sastrosatomo, saat diwawancarai Rosihan Anwar pada November 1994. "Sumitro tidak menggubris ucapan Sjahrir," ujar Rosihan kepada Tempo.

Sebelum deklarasi PRRI, sejumlah petinggi Partai Sosialis Indonesia sudah berusaha mengingatkan Sumitro. Djoeir Moehamad diutus menemui Sumitro di Padang. Setelah Djoeir gagal, giliran Soedarpo Sastrosatomo yang menjumpai Bung Cum. Terakhir, kakak Soedarpo, Soebadio Sastrosatomo, berbicara panjang dengan Sumitro di Singapura. Semuanya gagal menarik Sumitro dari PRRI.

"Waktu itu Sjahrir berpesan kepada Soedarpo agar menanyakan kepada Sumitro berapa kebutuhan hidup sehari-hari dia sekeluarga," kenang Mien. Tak disangka, Sumitro tersinggung ditanyai seperti itu. "Dia marah sekali," kata perempuan 72 tahun yang daya ingatnya masih kuat dan jernih ini. Sumitro balik menuding kawannya telah kehilangan semangat revolusioner. "Kita mesti bikin revolusi, kita mesti melawan Soekarno," kata Sumitro seperti diingat Soebadio.

Setelah pertengkaran itu, Sumitro dan rekan-rekannya di Partai Sosialis Indonesia putus hubungan.

Ketika diwawancarai Tempo pada 1999, Sumitro punya penjelasan berbeda 180 derajat. Dia mengaku mendapat restu Sjahrir untuk memberontak. "Dua hari sebelum ke Sumatera, saya berbicara dengan Sjahrir. Saya bilang, 'Bung, saya mau hijrah dan bergabung dengan daerah.' Sjahrir mengatakan, 'Oke, Cum. Tapi kok daerah seperti tersingkir sendiri. Ada Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda. Usahakan semua itu agar bisa bersatu'," kata Sumitro.

Saat itu, Sumitro terus terang mengaku sudah tak sejalan lagi dengan Partai Sosialis Indonesia. "Saya tidak mungkin kembali. Setiap kali saya masuk kabinet, saya dibilang bukan wakil PSI. Kalau gagal, mereka bilang itu kesalahan saya. Kalau berhasil, mereka bilang, 'Dia (Sumitro) orang kita.' Bagaimana itu?" kata Sumitro getir.

***

PERJUANGAN PRRI/Permesta tak berumur panjang. Di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dan Jenderal Abdul Haris Nasution, Tentara Nasional Indonesia memukul balik pasukan pemberontak.

Mundurnya bala bantuan Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA)-yang balik kanan setelah salah satu pilotnya, Allan Pope, tertembak jatuh di Ambon pada Mei 1958-menjadi faktor penentu gagalnya PRRI/Permesta. Pasukan terakhir kaum gerilyawan ini turun gunung dan menyerah pada 1961.

Sumitro sendiri lari ke luar negeri. Bersama keluarganya, dia hidup sebagai buron selama sepuluh tahun. Demi keamanan, Sumitro tak mau tinggal di satu tempat lebih dari dua tahun. Dia berpindah-pindah dari Singapura, Hong Kong, Kuala Lumpur, Zurich, London, sampai Bangkok.

Masa pelarian itu, kata Sumitro, adalah periode paling pahit dalam hidupnya. "Bahagiakah orang yang menjadi buron, dimaki-maki, berpindah-pindah negara, tanpa paspor, uang, dan kewarganegaraan, tanpa bisa memastikan apa yang akan terjadi setelah itu?" katanya dalam wawancara 10 tahun silam itu.

Rasa pahit tak hanya dirasakan keluarga Sumitro. Pada 21 Juli 1960, pimpinan Partai Sosialis Indonesia dipanggil menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, Jakarta. Sjahrir datang, didampingi pengurus pusat partai: Djohan Sjahruzah, Soebadio Sastrosatomo, T.A. Murad, dan Djoeir Moehamad. Mereka diminta menjelaskan posisi Partai Sosialis Indonesia terkait dengan pemberontakan PRRI/Permesta.

Sepekan kemudian, Sjahrir mengirim surat jawaban ke Istana. "Sekalipun kami paham dan membenarkan perjuangan daerah, pembentukan pemerintahan pusat yang baru di samping pemerintahan yang ada kami anggap sebagai malapetaka," tulis Sjahrir, seperti dikutip Djoeir Moehamad dalam buku memoarnya, "Perpecahan bangsa pasti tidak membawa penyelesaian, bahkan sebaliknya."

Namun jawaban Sjahrir tidak bisa mengubah pendirian Soekarno. Pada 17 Agustus 1960, Presiden membubarkan Partai Sosialis Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 201 Tahun 1960. Dua tahun kemudian, Sjahrir dan sejumlah tokoh Partai Sosialis Indonesia lain ditangkap. Pada April 1966, Sjahrir meninggal sebagai tahanan politik.

***

LIMA tahun setelah tragedi pembubaran Partai Sosialis Indonesia, pecah Gerakan 30 September 1965. Rezim berganti. Naik ke kursi presiden, salah satu tindakan politik pertama Soeharto adalah merangkul kembali musuh-musuh Soekarno. Para pentolan PRRI/Permesta tidak lagi dikucilkan. Tak terkecuali Bung Cum.

Soeharto bahkan secara khusus mengutus salah satu tangan kanannya, Ali Moertopo, menjemput Sumitro di Bangkok, Thailand, pada November 1966. Enam bulan kemudian, Sumitro pulang ke Indonesia, langsung diangkat menjadi Menteri Perdagangan pertama Orde Baru.

Meski Sumitro sudah kembali ke lingkaran elite kekuasaan, perseteruan lama dengan bekas kawannya sebarisan di Partai Sosialis Indonesia terus berlanjut. "Dalam sejumlah pertemuan, meski sudah bertemu muka, Sumitro tak pernah menyapa saya," kata Rosihan. Mien Soedarpo membenarkan. Katanya, "Hubungan kami sudah patah arang."

Akhir Sang Meteor

Gamang dalam politik massa, Partai Sosialis Indonesia gagal dalam pemilihan umum. Sjahrir pun terpinggirkan.

PEMILIHAN umum baru sehari berselang, 30 September 1955. Penghitungan suara belum lagi tuntas. Namun Sutan Sjahrir hakul yakin, Partai Sosialis Indonesia (PSI) kalah bertanding. �Kita tidak mendapat dukungan rakyat,� katanya kepada sejumlah aktivis partai yang berkumpul di rumahnya di Jalan Jawa, Menteng, Jakarta Pusat.

Sebenarnya, sejumlah anggota partai masih berharap kabar lebih menggembirakan. �Kami masih menunggu ada tambahan suara dari daerah,� kata Rosihan Anwar, yang ikut hadir di rumah Sjahrir. Rosihan, sekarang 86 tahun, saat itu adalah pemimpin harian umum Pedoman, salah satu media pendukung PSI. Ia juga calon wakil rakyat yang berlaga di daerah pemilihan Sumatera Selatan.

Hari-hari berikutnya, perhitungan suara selesai sudah. Benar kata Bung Kecil, ternyata partai yang ia dirikan pada 1948 ini hanya meraup 753 ribu suara dari total 38 juta pemilih, dan menempati urutan kedelapan. Jumlah suara itu hanya cukup mengantar lima kader PSI menuju Bandung, tempat wakil rakyat berkantor.

Toh, tiada nada kekecewaan dalam ucapan Sjahrir. �Dia santai saja, bicaranya datar, tidak menunjukkan kekesalan,� kata Rosihan, yang juga tak terpilih menjadi wakil rakyat.

Dalam pesta politik pertama itu, empat partai tampil sebagai kampiun. Mereka adalah Partai Nasional Indonesia dengan 57 kursi, Majelis Syuro Muslim yang meraup 57 kursi, Nahdlatul Ulama dengan 45 kursi, dan Partai Komunis Indonesia yang mendapat 39 kursi.

Hasil pemilu ini membuat Partai Sosialis terasing dari koalisi pemerintahan yang dimotori Partai Nasional dengan patronnya Soekarno. Agaknya, gagasan sosialisme kerakyatan yang diusung Partai Sosialis �kurang laku dijual�.

Tapi, jangan dulu kecewa. Masih ada pemilu ronde kedua, yakni pada 15 Desember 1955. Mungkin saja Partai Sosialis bisa meraih simpati lebih besar.

Ronde kedua pun digelar. Kali ini 35 peserta, partai dan perorangan, berlaga memperebutkan 514 kursi Konstituante. Ini lembaga yang dibentuk untuk menyusun konstitusi pengganti Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Tapi, lagi-lagi, Partai Sosialis gagal unjuk gigi dan hanya bisa memperoleh sepuluh kursi. Empat juara dalam pemilihan sebelumnya memperoleh kursi rata-rata dua kali lipat.

Sejatinya, pertanda kekalahan Partai Sosialis sudah dirasakan sejak masa kampanye. �Kami tidak punya sumber daya manusia yang cukup, dananya terbatas pula,� kata Rosihan.

Rosihan pun bukan kader partai. Dia merelakan namanya dicomot dan dijadikan calon anggota Dewan. �Waktu itu koran saya, Pedoman, paling banyak dibaca di Palembang, dan kami mengira saya akan dipilih,� kata Rosihan. Apa boleh buat, perkiraan meleset. Dari daerah pemilihan Sumatera Selatan, tak ada calon Partai Sosialis yang mewakili.

Menurut Rahman Tolleng, 71 tahun, aktivis dan pengikut Sjahrir, awalnya Partai Sosialis tidak berniat mengikuti pemilihan umum. Sikap itu berubah setelah beberapa kali dilakukan pertemuan partai. Akibatnya, tanpa persiapan matang, partai ini terjun dalam kontes politik. �Semuanya dilakukan tergesa-gesa,� kata Rahman.

Hanya dua bulan sebelum pemilihan umum, Partai Sosialis menggelar kongres kedua di Jakarta. Kongres yang di kemudian hari disebut Sjahrir, dalam sebuah artikel, sebagai ajang tamasya dan pesta bagi para peserta.

Rudolf Mrazek juga menekankan pertanda kekalahan yang tampak di masa kampanye. Penulis buku Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia ini mengatakan bahwa Partai Sosialis menghadapi dilema untuk menceburkan diri dalam politik massa. Sebagai partai kader, rapat-rapat umum gamang dilakukan. �Terbukanya partai merupakan proses yang sangat ragu-ragu,� katanya. Sitoroes, Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia, menilai terbukanya partai hanya akan membuat partai tenggelam dalam aktivitas yang disebutnya sebagai �politik murah� dan �demagogi�.

Rosihan berkisah, Partai Sosialis tersapu gegap-gempita slogan partai rakyat miskin yang didengungkan Partai Komunis Indonesia. �Partai Sosialis tak bisa mengumpulkan ribuan orang seperti yang dilakukan Komunis,� kata Rosihan. Rakyat miskin, yang menurut prediksi Sjahrir�dalam wawancara dengan George Kahin pada Desember 1954�sudah apatis dan mengalami kelesuan umum terhadap politik, ternyata berbondong-bondong memberikan suara.

Kepada Tempo, Apih Safari, 76 tahun, kader partai di Sumedang, Jawa Barat, menegaskan bahwa Sjahrir memang sengaja membatasi jumlah anggota partai. �Partai itu tidak perlu banyak anggotanya, yang penting memahami teori perjuangan,� katanya. Di Sumedang, misalnya, Partai Sosialis Indonesia hanya memiliki 25 anggota.

Bukan Sjahrir jika tak percaya diri. Sjahrir tetap optimistis, tanpa pengerahan massa, partainya akan berhasil. Paling tidak, perolehan kursi bakal lebih banyak dibanding 14 kursi yang diduduki partai ini di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Optimisme ini pula yang membuat Sjahrir memilih tidak melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat di tingkat lokal. Walhasil, seperti kita ketahui, Partai Sosialis kalah meskipun tidak gagal total.

Dua persen suara yang diperoleh Partai Sosialis, menurut Mrazek, adalah sebuah kejutan. Betapa tidak, partai ini dianggap berpengaruh besar bagi arah pemerintahan pada paruh pertama dekade setelah kemerdekaan. Pemimpinnya pernah dua kali menjadi perdana menteri. Organisasinya, menurut klaim Sjahrir, adalah yang paling rapi pada saat itu. Namun, �Partai Sosialis menderita kekalahan yang menghancurkan, yakni kekalahan dalam politik massa,� tulis Mrazek.

Sjahrir boleh optimistis ketika para anggota partai berkumpul di rumahnya. Tapi tulisannya di sejumlah media jelas menunjukkan kekecewaan. Dalam artikel bertajuk �Pemilihan Umum untuk Konstituante� di harian Sikap, 5 Desember 1955, ia menulis: �Rakyat memberikan suara bukan berdasarkan motif agung. Melainkan karena mengikuti pemimpin yang mereka hormati dalam kehidupan sehari-hari. Bukan pahlawan, bukan pemuda revolusi, melainkan kiai, guru mengaji, lurah, dan mandor.�

Meski kecewa, Sjahrir tetap menunjukkan jiwa besar. �Gambar keadaan spiritual rakyat dan bangsa kita, keadaan dan taraf pengetahuan dan kesadaran politik sudah diberikan oleh pemilihan umum ini, dan dapat diterima untuk masa depan kita,� tulisnya. Ia percaya bahwa demokrasi akan membuat bangsa ini lebih baik. �Para politikus dengan kekurangan pengalaman dan pengetahuan mungkin dapat membawa negara ke jalan buntu, tapi seluruh rakyat akan membantu negara menemukan jalannya.�

Bagi Sjahrir, hasil pemilihan umum jelas-jelas menjadi pintu peralihan tanggung jawab urusan negara dari kaum terpelajar dan politikus�termasuk para pendiri bangsa�kepada rakyat. Dalam artikel bertajuk �Problem the Country Faces�, dimuat majalah Atlantic Monthly, Sjahrir menulis: �Pemilihan umum menunjukkan kesungguhan bahwa rakyat mampu mengambil bagian�meskipun kecil�dalam tanggung jawab negara.�

Mochtar Lubis, dalam Pejuang, Pemikir, dan Peminat, mengungkapkan bahwa Pemilihan Umum 1955 merupakan akhir karier politik Sjahrir. Namanya kian pudar, terpinggirkan oleh ramainya debat konstituante dan jatuh-bangun kabinet, tenggelam dalam gemuruh slogan revolusi.

Bagai meteor, Bung Kecil muncul di pentas Republik demikian cepat di usia belia, lalu hilang sekejap. �Kegagalan Partai Sosialis dalam pemilihan umum secara pasti menutup pintu Sjahrir untuk kembali ke kedudukan tinggi dalam pemerintahan,� kata Mochtar. Sang Meteor telah hilang di angkasa luas.

Sang Atom dan Dua Ideologi


SAAT berbicara dalam Konferensi Hubungan Asia pada 23 Maret 1947 di New Delhi, India, Sarojini Naidu (1879-1949) mengenalkan Sutan Sjahrir sebagai "perdana menteri atom", the atomic prime minister. Ada nada kagum dalam suara perempuan-penyair itu kepada perdana menteri termuda di dunia ini. Sjahrir ketika itu baru 38 tahun.

Atom, betapa tepat julukan itu. Sjahrir yang bertubuh kecil itu memang mengguncang khazanah diplomasi, ketika negara dunia ketiga lain belum bersuara. Dia manusia Indonesia pertama yang berpidato di majelis Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, mengenalkan Indonesia dan menyerukan dihentikannya penjajahan.

Di dalam negeri, Sjahrir tak segan menyerang Soekarno-Hatta. Ia absen dalam Proklamasi 1945 karena menilai deklarasi itu rekayasa Jepang, simbol fasisme yang dia perangi seumur hidup.


Tapi para penentangnya juga memakai julukan "si atom" untuk mengkritik: Sjahrir tak pernah meledak. Sjahrir, misalnya, oleh kaum pergerakan Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka dituding hanya berkhotbah. "Ia sejenis intelektual yang elitis," tulis Adam Malik dalam Mengabdi Republik (1978).

Sjahrir memang bukan sejenis politikus yang mengajak kerumunan dengan suara gemuruh macam Bung Karno. Hamid Algadri, anggota Konstituante, bersaksi Sjahrir bukan orator ulung. Dalam diskusi-diskusi, tokoh Partai Sosialis Indonesia itu tak mengecam lalu memaksakan kehendak. "Itu memang ciri orang PSI, low profile," kata Rahman Tolleng, 71 tahun, aktivis-politikus simpatisan PSI.

Dalam banyak esainya, terutama dalam buku Sosialisme Indonesia Pembangunan (1982), Sjahrir menyerang pelbagai hal dengan sederet argumentasi yang meyakinkan. Ia menyerang komunisme sebagai ideologi yang mengkhianati sosialisme karena mengabaikan kemanusiaan, seperti Stalin di Rusia, Mao Zedong di Cina, Pol Pot di Vietnam. "Sosialisme yang kita perjuangkan adalah sosialisme yang memerdekakan manusia dari penindasan dan pengisapan oleh manusia," tulisnya.

Para penentangnya mengejek Sjahrir dengan sebutan "soska" alias sosialis kanan karena keterpukauannya kepada segala yang berbau Barat: mengkritik kekolotan, tradisi, dan primordialisme. Sejak muda, tokoh kelahiran Padang Panjang pada 5 Maret 1909 itu menyatakan telah berpisah dengan adat Minang.

Rahman Tolleng menyebut ideologi Sjahrir sebagai "republikanis-sosialis". "Karena dia menekankan partisipasi rakyat," katanya. Karena itulah Sjahrir mengubah sistem presidensial menjadi parlementer agar partisipasi itu bisa maksimal. "Tapi revolusi juga menjadi pilihan jika jalan parlemen sudah tak mungkin."

Sejarah mencatat jalan parlemen dan revolusi pun tak ditempuh Sjahrir. Sal Tas, seorang sosialis Belanda dan bekas suami istri-pertama Sjahrir, menyebut sahabatnya itu simbol tragedi Indonesia. Sjahrir orang yang "gugur dan gagal": meninggal di pengasingan dan PSI terpuruk.

Dalam Pemilihan Umum 1955 PSI hanya meraih dua persen suara dan lima kursi di parlemen. Justru Partai Komunis Indonesia, yang ia kritik ideologinya, menempati posisi keempat perolehan suara. Pada akhirnya, dalam politik, yang tampil adalah mereka yang bisa membujuk dan agitatif. Rakyat lebih senang kepada Bung Karno.

Sampai hari ini, Sjahrir lebih dikenal sebagai penganjur ideologi sosial demokrat. Menurut Vedi Hadiz, pengajar ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, ideologi Sjahrir adalah perpaduan antara tradisi sosial demokrat dan liberalisme.

Sosial demokrat Sjahrir, misalnya, terlihat pada perhatian dan gerakannya menumbuhkan pendidikan rakyat. Sedangkan liberalisme muncul dari sikapnya yang menjunjung hak dan kebebasan individu.

Dengan ideologi macam itu, Sjahrir tak begitu populer pada 1950-an. PSI membutuhkan suatu kelas menengah yang kukuh, suatu golongan masyarakat yang melek dan berpendidikan. Menurut Vedi, sekaranglah zaman yang cocok untuk sosialisme Sjahrir. Atom itu bisa meledak di zaman Internet ini.

Kolaborasi Dua Pejuang Sayap Kiri


DALAM Kongres Pemuda II 1928 di Jakarta, seorang pemuda mencuri perhatian para utusan yang datang dari berbagai daerah di Nusantara. Perawakannya kecil. Usianya pun masih muda, 19 tahun. Dibanding para pemuda lain seperti Muhammad Yamin (Jong Sumatera), Soegondo Djojopoespito (Jong Java), atau Mr Sunario (utusan Kepanduan), Sutan Sjahrir, sang pemuda itu, memang kalah "populer" dan tak berperan banyak dalam kongres ini. Tapi, dalam rapat-rapat di kongres itu, Sjahrir yang mewakili Jong Indonesie (Pemuda Indonesia) diakui sangat cerdas dan ikut memperjuangkan berdirinya negara Indonesia.

Dalam kongres yang melahirkan "Sumpah Pemuda" ini, Sjahrir pertama kali bertemu dengan Amir Sjarifoeddin (Jong Batak), bendahara panitia dan wakil ketua sidang kongres. Keduanya tak saling mengenal dekat. Tapi justru dari sinilah takdir keduanya bermula. Dua puluhan tahun kemudian, ketika kemerdekaan Indonesia terwujud, Sjahrir dan Amir bekerja sama menakhodai biduk pemerintahan, yang mewarnai sejarah republik ini.

Seusai kongres pemuda itu, Sjahrir dan Amir tak pernah bertemu lagi. Sjahrir melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden di Belanda. Di Negeri Kincir Angin ini, Sjahrir mempelajari sosialis dan menjadi anggota Perhimpunan Indonesia pimpinan Mohammad Hatta. Di dalam negeri, Amir memimpin Gerakan Indonesia (Gerindo) di masa pemerintahan kolonial Belanda.

Ketika pemerintah kolonial Belanda menangkap Soekarno dan melarang PNI, Sjahrir menghentikan studinya. Dia kembali ke Tanah Air pada 1931 dan memimpin PNI Baru, bersama Hatta, yang menyusul pulang. Pemerintah kolonial Belanda menangkap Hatta dan Sjahrir dengan tuduhan akan memberontak. Keduanya dibuang ke Boven Digul pada 1934, lalu diasingkan ke Banda Neira pada 1936. Saat Jepang mulai masuk ke Indonesia pada Januari 1942, pemerintah Hindia Belanda mengasingkan Hatta dan Sjahrir ke Sukabumi, Jawa Barat.

Di Sukabumi ini, Sjahrir dan Amir kembali bertautan. Menurut Rudolf Mrazek dalam bukunya berjudul Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, yang diterbitkan pada 1994, Amir mendatangi Sjahrir (juga Hatta) di Sukabumi. Orang yang memperkenalkan Amir dengan Sjahrir adalah Soejitno Mangoenkoesoemo, adik Tjipto Mangoenkoesoemo-tokoh Indische Partij dan salah satu tiga serangkai (Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto). Amir mengusulkan agar Hatta dan Sjahrir ikut ambil bagian dalam suatu skema kerja sama baru antara nasionalis Indonesia dan pemerintah kolonial Belanda. Dia juga menyebutkan suatu kemungkinan evakuasi jika tentara Jepang sampai menduduki Pulau Jawa.

Jepang akhirnya berhasil menguasai Indonesia. Selama masa pendudukan Negeri Matahari Terbit ini, Sjahrir memilih menjauhi "Saudara Tua" ini. Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis Dai Nippon (militer Jepang). Ini berbeda dengan tokoh pemuda lain seperti Soekarno dan Hatta, yang "bekerja sama" dengan Jepang. Sjahrir juga tidak terlibat dalam rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan proklamasi kemerdekaan.

Setali tiga uang dengan Sjahrir, Amir juga melakukan gerakan perlawanan bawah tanah terhadap Jepang. Tapi aktivitas Amir terendus Kenpeitai (polisi Jepang). Pada 30 Januari 1943, Amir ditangkap, dan 29 Februari 1944 dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer Jepang di Jakarta. Tapi, berkat intervensi Soekarno dan Hatta, hukuman mati itu diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Jepang hanya berkuasa sekitar tiga setengah tahun di Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaan. Amir keluar dari penjara seiring dengan kekalahan Jepang oleh Sekutu.

Kerja sama riil Sjahrir dan Amir akhirnya terwujud tatkala keduanya memimpin Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sjahrir menjadi ketua dan Amir menjadi wakil ketua dalam lembaga yang berfungsi seperti legislatif ini. Presiden Soekarno setuju Sjahrir membentuk kabinet parlementer pada 14 November 1945. Sjahrir menjadi perdana menteri, merangkap menteri dalam dan luar negeri dalam kabinet Sjahrir I. Adapun Amir menjadi Menteri Pertahanan Rakyat.

Sejarawan Rushdy Hoesein menduga, Sjahrir dan Amir mau bekerja sama karena dilatarbelakangi cita-cita yang sama untuk menguasai pemerintahan. "Mereka melihat peluang itu," katanya kepada Tempo. Itu terbukti dari menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Komite.

Adanya Maklumat X pada 3 November 1945 yang mengatur pembentukan partai membuat kerja sama Sjahrir dan Amir semakin erat. Amir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) dan Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis. Sama-sama berhaluan sosialis, pada Desember 1945 keduanya meleburkan Parsi dan Paras menjadi Partai Sosialis, dengan Sjahrir sebagai ketua umum. "Mereka memaklumkan diri sebagai kekuatan sayap kiri yang menguasai pemerintah," kata Rusdhy.

Di mata aktivis Rahman Tolleng, pengikut junior Sjahrir, fusi Paras dan Parsi masih menjadi misteri. Alasannya, Sjahrir anti-komunis meski berhaluan sosialis kiri. Padahal Bung Kecil-julukan Sjahrir-sangat mengerti bahwa Amir sedikit condong ke komunis. "Ini masih menjadi pertanyaan buat saya," ujarnya.

Keharmonisan hubungan Sjahrir dan Amir terus berjalan dalam Kabinet Sjahrir II pada 12 Maret 1946. Perdana Menteri Sjahrir mempertahankan Amir sebagai menteri pertahanan. Tapi kabinet Sjahrir semakin krisis seiring dengan keinginan Belanda menguasai kembali Indonesia. Ketika tersiar kabar bahwa akan ada perundingan dengan Belanda yang hanya mengakui Sumatera, Jawa, dan Madura, terjadilah penculikan Sjahrir yang dilakukan sekelompok tentara anak buah Tan Malaka-mengaku memiliki testamen (wasiat) memimpin republik dari Soekarno-Hatta-seperti Brigadir Jenderal Soedarsono dan Mayor Abdul Kadir Yusuf pada 3 Juli 1946. Nasib Tan Malaka sendiri akhirnya berakhir tragis ditembak oleh tentara.


Krisis Kabinet Sjahrir-berlanjut ke Sjahrir III-semakin menjadi-jadi setelah ada perjanjian Belanda dengan Indonesia di Linggarjati, Cirebon, pada 15 November 1946. Dalam Perjanjian Linggarjarti, Belanda hanya mengakui secara de facto Sumatera, Jawa, dan Madura. Indonesia juga berubah menjadi Republik Indonesia Serikat. Selain mendapat serangan dari sejumlah partai, Sjahrir juga dikritik oleh Amir. Amir konon mencela Perjanjian Linggarjati ini.

Di mata wartawan senior Rosihan Anwar, celaan Amir atas Perjanjian Linggarjati mengherankan. "Delegasinya juga ada Amir Sjarifoeddin," ujar Rosihan, yang saat perjanjian dilakukan menjadi wartawan harian Merdeka.

Toh Mosi tidak percaya akhirnya tetap menjatuhkan Sjahrir pada 2 Oktober 1946. Amir naik menjadi perdana menteri dalam Kabinet Amir Sjarifoeddin I. Seperti Sjahrir, Amir juga melakukan persetujuan Renville dengan Belanda. "Malah lebih mundur dibanding Linggarjati," kata Rahman Tolleng.

Perpecahan Sjahrir-Amir semakin kentara ketika ada Marshall Plan seusai Perang Dunia II, yang membagi Eropa menjadi blok Timur dan Barat. Uni Soviet memerintahkan blok komunis menentang kapitalis pimpinan Amerika Serikat. Rosihan Anwar dalam bukunya Perjalanan Terakhir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir, yang ditulis pada 1966, menyebutkan bahwa Amir ingin Partai Sosialis menempuh garis Marxis-Leninis-Stalinis dan meminta Indonesia memihak Moskow (Soviet). Tapi Sjahrir berpendirian, Partai Sosialis harus menempuh sosialis kerakyatan yang demokratis dan politik luar negeri yang bebas aktif.

Tak ayal, kongsi Sjahrir-Amir pecah. Sjahrir keluar dari Partai Sosialis dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI). Amir membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Jatuhnya Kabinet Amir Sjarifoeddin pada Januari 1948 memperparah perseteruan aliran politik itu. Bergabungnya FDR pimpinan Amir dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Muso-baru datang dari Moskow-yang bermuara pada pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, telah mengakhiri keberadaan Amir untuk selamanya dari ingar-bingar panggung politik Indonesia.

Nasib Sjahrir pun tak kalah tragis. Dalam Pemilihan Umum 1955, PSI jeblok, hanya mendapat lima kursi di DPR. Setelah muncul pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta), Soekarno membubarkan PSI dan menangkap Sjahrir. Si Bung Kecil pun sakit-sakitan dan akhirnya meninggal di Zurich, Swiss, pada 9 April 1966.

Kemenangan di Lake Success


SIDANG Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 14 Agustus 1947 di Lake Success, New York, Amerika Serikat. Seorang lelaki muda berwajah Melayu, berambut ikal, usianya 38 tahun, tingginya tidak mencapai 1,60 meter, mengurai pandangannya dengan tenang.

Dari caranya berbicara, kelihatan ia tak terpancing pernyataan provokatif Eelco R. van Kleffens, salah seorang yang mewakili kubu lawannya. Kleffens seorang pejabat senior kementerian luar negeri Belanda. Ketimbang menyusun argumentasi, Kleffens membeberkan aneka perilaku buruk kalangan "republiken". "Mana yang Anda percaya, mereka atau orang-orang beradab seperti kami," begitu ia menutup presentasinya, seperti yang terekam dalam dokumentasi video Des Alwi.

Lelaki itu, Sutan Sjahrir, menjawab kalem, argumentasinya tak beringsut dari satu titik: Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati. "Saya yakin anggota dewan dapat menilai, apakah tuduhan Belanda tersebut benar atau salah. Namun ada satu fakta yang hendak saya tekankan: pihak Belanda tidak membantah semua fakta yang terungkap pada pernyataan terakhir saya, di mana Belanda mengingkari Perjanjian Linggarjati. Ketimbang membantah pernyataan saya, pihak Belanda justru mengajukan tuduhan yang tak terbukti," katanya dalam bahasa Inggris yang cukup fasih.


Ia bercerita tentang kejayaan Indonesia seribu tahun silam dalam formasi Kerajaan Majapahit, kemudian menampilkan gambaran kontras. "Namun, karena penjajahan Belanda selama tiga setengah abad, bangsa kami mengalami kemunduran total," ujarnya. Sjahrir menepis anggapan bahwa kemerdekaan Indonesia pemberian Jepang, meminta bantuan PBB untuk bertindak sebagai penengah dalam konflik Indonesia-Belanda, dan meminta agar PBB mengeluarkan putusan untuk memaksa pasukan Belanda mundur dari daerah republik. Sayang, kedua permintaan itu tidak terpenuhi.

Meski begitu, menurut Charles Wolf, penulis buku The Indonesian Story: The Birth, Growth, and Structure of the Indonesian, kemenangan tetap berada di pihak republik muda itu. "Pidato Sjahrir menarik, canggih dan efisien," tulis Wolf. Itulah sebabnya, surat kabar berpengaruh di negeri Abang Sam, New York Herald Tribune, pada 15 Agustus 1947 menabalkan pidato Sjahrir sebagai "salah satu yang paling menggetarkan di Dewan Keamanan".

Dari situlah dukungan dunia internasional mengalir. Bukan hanya dari para sahabat seperti India, Filipina, Australia, dan Suriah, tapi juga dari negara seperti Rusia dan Polandia. Komisi tiga negara yang beranggotakan Australia, Belgia, dan Amerika Serikat pun dibentuk sebagai mediator konflik Indonesia-Belanda. Yang terpenting, Belanda gagal menerapkan keinginannya: melakukan pendekatan unilateral melalui kekuatan bersenjata.

Kedatangan Bung Kecil dalam rapat Dewan Keamanan PBB melalui jalan terjal. Setelah agresi militer pertama Belanda pada 21 Juli 1947, kedudukan Indonesia semakin terjepit. Pasukan Belanda telah menguasai separuh Jawa. Posisi ibu kota di Yogyakarta pun terancam.

Melihat kondisi ini, Bung Karno mengeluarkan surat penunjukan duta besar keliling kepada Sjahrir. Sjahrir, yang baru saja mengundurkan diri dari posisi perdana menteri, segera bertindak. Ia menembus blokade Belanda menuju India. Nehru, sahabat lama Sjahrir, dengan antusias memberikan dukungan kepada Indonesia.

Pada 30 Juli 1947, India dan Australia resmi mengajukan surat permintaan agar kasus Indonesia dibahas dalam rapat Dewan Keamanan PBB. Meski mendapat tentangan dari Belanda dan trio kolonialis Inggris, Prancis, dan Belgia, permintaan kedua negara itu diterima melalui voting anggota dewan pada 12 Agustus 1947.

Paspor Pertama Indonesia

MINARSIH Wiranatakoesoemah, 24 tahun, sedang menyusui putri pertamanya ketika menerima kabar bahwa suaminya, Soedarpo Sastrosatomo, telah berangkat ke New York, Amerika Serikat. Kabar mendadak ini membuat dia menangis. Tak ayal, buah hatinya, Shanti Soedarpo, ikut menangis.

Soedarpo menjadi bagian dari delegasi Indonesia yang mengikuti sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memprotes agresi militer Belanda. Berangkat pada pertengahan Mei 1948, asisten Sutan Sjahrir itu bertugas menangani pers asing. Dua pekan kemudian, Minarsih menerima telegram.

Suaminya meminta ia segera menyusul. Minarsih segera membuat paspor pertamanya: paspor Indonesia dan Belanda. Dokumen itu kelar pada 8 September 1948. Yang menandatangani paspor itu Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Soerjotjondro.

Paspor itu-bersampul biru, setebal 48 halaman, berlaku selama tiga tahun-buah dari diplomasi Sjahrir pada Perjanjian Linggarjati, 25 Maret 1947. Sebelumnya, paspor untuk bepergian ke luar negeri dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Ini siasat Sjahrir. Saat itu, pemerintah Hindia Belanda menempuh berbagai cara untuk mengecilkan kemerdekaan Indonesia. Nah, dengan memiliki paspor sendiri, identitas Indonesia sebagai sebuah negara merdeka semakin tegas.

Minarsih memakai paspor Indonesia itu saat pesawat milik maskapai Belanda, KLM, yang ditumpanginya transit di kota-kota Asia seperti Bangkok (Thailand), Karachi (Pakistan), dan Kairo (Mesir). Minarsih baru memakai paspor Belanda saat pesawatnya mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda, pertengahan September 1947.

Dari sini Minarsih menuju New York. Ia masih mengingat sebuah kisah menarik lain di negeri yang ia kunjungi itu. Saat tiba di Amerika, ia menyodorkan dua paspor, paspor Indonesia dan paspor Belanda. Oleh petugas imigrasi Amerika, mungkin karena bingung pada kolom negara dalam dokumen visa Amerika Serikatnya kemudian tertulis tangan dalam bahasa Inggris: "Istri dan anak perempuan petugas Pemerintah Asing yang tidak diakui oleh pemerintah Amerika Serikat."

Lahirnya paspor pertama Indonesia adalah buah kecerdikan Sjahrir dalam diplomasi. Kepiawaiannya dalam diplomasi pun harum hingga ke mancanegara. "An Atomic Bomb of Asia" adalah julukan yang diberikan kepadanya oleh seorang diplomat India, Sarojini Naidu.

Linggarjati, Sebuah Jalan


VILA bergaya kolonial itu masih berdiri kukuh. Di atas lahan 2,4 hektare, bangunan bercat putih dan hijau lumut seluas 800 meter persegi itu seolah ingin merengkuh keindahan kaki Gunung Ciremai di Kuningan, Jawa Barat. Di bekas Hotel Rustoord itulah, di kawasan Linggarjati nan permai, 62 tahun lalu, digelar perundingan bersejarah antara Indonesia dan Belanda.

Sepanjang 11-14 November 1946, Sutan Sjahrir, perdana menteri berusia 37 tahun, memimpin pertarungan diplomasi tingkat tinggi. Anggotanya Mohammad Roem, Soesanto Tirtoprodjo-keduanya meester in de rechten-dan dokter Soedarsono.

Peran sejarah Sjahrir agak kurang terjelaskan bila kita mengunjungi vila yang sekarang menjadi museum Gedung Perundingan Linggarjati itu. Di dalam museum memang tersimpan berbagai memorabilia, mulai dari tanda tangan Sutan Sjahrir, foto perundingan, juga kursi dan meja sidang. Namun tak ada penjelasan bagaimana jalan perundingan, dan apa makna penting Linggarjati bagi Indonesia.

"Kami hanya tahu perundingan berjalan tertutup, sehingga tidak banyak informasi yang didapat," kata Sukardi, petugas Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kuningan, lembaga pengelola museum. "Kami sangat berhati-hati menjelaskan, karena salah sedikit sejarawan bisa datang kemari."

Di sekolah-sekolah selama ini cenderung diajarkan, Linggarjati adalah perjanjian yang menguntungkan Belanda. Hasilnya dianggap terlalu kompromistis. Linggarjati memutuskan, wilayah Indonesia secara de facto hanya Jawa dan Sumatera, dan Indonesia kemudian menjadi Republik Indonesia Serikat yang tergabung dalam Uni Indonesia Belanda.

"Linggarjati terutama dikritik oleh pengikut Tan Malaka, pengikut Bung Tomo, atau tentara, yang menuntut kemerdekaan 100 persen," kata wartawan senior Sabam Siagian. Sabam melihat, selama ini ada kesalahan menilai peran Sjahrir dalam Linggarjati.

Perundingan Linggarjati adalah hasil diplomasi berliku yang diusahakan Sjahrir. Setelah Proklamasi, situasi Indonesia sangat genting. Belanda datang kembali membonceng Sekutu. Mereka mendarat di Tanjung Priok pada 29 September 1945.

Pejabat NICA (Netherlands Indies Civil Administration) berpikir bisa berkuasa dengan menangkap dwitunggal Soekarno-Hatta. Kedua pemimpin ini dianggap berkolaborasi dengan Jepang. NICA bermaksud mengambil alih semua departemen dari tangan Jepang.

Pertempuran besar meletus di berbagai kota, menghadang Belanda yang bersembunyi di balik Sekutu. Semarang diguncang perang lima hari, 14-19 Oktober 1945. Sehari kemudian, Jenderal Sudirman dan Tentara Keamanan Rakyat bergelimang darah menahan laju tentara Sekutu di Ambarawa.

Tak berapa lama, Surabaya membara pada 10 November. Perang hadir di depan mata, dan Indonesia terancam kalah. "Adalah Sjahrir yang bisa membalik semua keadaan itu dalam waktu cepat," kata Rushdy Hoesein, pengamat sejarah dan peneliti Linggarjati. "Dia pasang badan."

Pada 14 November 1945, sistem presidensial diubah menjadi sistem parlementer. Sjahrir diangkat sebagai perdana menteri pertama. Inggris mengajak berunding. Pada 23 November, kabinet Sjahrir menjawab dengan maklumat, Indonesia tak sudi berunding selama Belanda berpendirian masih berdaulat di Indonesia.


Belanda lalu memblokade Jawa dan Madura. Tapi Sjahrir melakukan diplomasi cerdik. Meskipun dilanda kekurangan pangan, Sjahrir memberikan bantuan beras ke India pada Agustus 1946. Tindakan Sjahrir ini membuka mata dunia.

Sebelumnya, pada 1 Februari 1946, ia nyaris berhasil "memaksa" utusan Inggris, diplomat senior Sir Archibald Clark-Kerr, berbicara dengan Soekarno. Sayang, Soekarno, yang sudah berada di Yogya, menolak datang ke Jakarta.

Seperti bermain catur, sedikit demi sedikit Sjahrir terus mencoba menekan pemerintah Belanda melalui diplomasi. Ia terus-menerus mengupayakan agar Indonesia dan Belanda duduk di meja perundingan.

Kesempatan pertama datang dalam perundingan di Hoge Veluwe, Belanda, 14-16 April 1946. Ketika itu Indonesia mengajukan tiga usul: pengakuan atas Republik Indonesia sebagai pengemban kekuasaan di seluruh bekas Hindia Belanda, pengakuan de facto atas Jawa dan Madura, serta kerja sama atas dasar persamaan derajat antara Indonesia dan Belanda. Usul itu ditolak Belanda.

Peluang berunding dengan Belanda terbuka lagi ketika Inggris mengangkat Lord Killearn sebagai utusan istimewa Inggris di Asia Tenggara, sekaligus penengah konflik Indonesia-Belanda. Konsulat Inggris di Jakarta mengumumkan, selambat-lambatnya pada 30 November 1946 tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia.

Kabinet baru Belanda kemudian mengutus Schermerhorn sebagai Komisi Jenderal untuk berunding dengan Indonesia. Schermerhorn dibantu tiga anggota: Van Der Poll, De Boer, dan Letnan Gubernur Jenderal H.J. Van Mook.

Perundingan itulah yang kemudian terjadi di Linggarjati. Lokasi itu diusulkan oleh Maria Ulfah Santoso (Menteri Sosial), yang dekat dengan Sjahrir. Ayah Maria pernah menjadi regent (bupati) Kuningan.

Kebetulan, Residen Cirebon, Hamdani, dan Bupati Cirebon, Makmun Sumadipradja, juga sahabat Sjahrir. Delegasi Belanda mulanya mengkhawatirkan keamanan. Namun Sjahrir berhasil meyakinkan kemampuannya mengontrol wilayah tersebut.

Sjahrir, sebagai bekas aktivis gerakan sosialis di Belanda, ternyata telah mengenal Schermerhorn, yang berasal dari Partai Buruh. Meski demikian, sebagaimana diduga, perundingan berlangsung alot. Dari 17 pasal yang dibahas, deadlock terjadi pada pasal mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat.

Pasal ini disetujui setelah Schermerhorn, tanpa diikuti Sjahrir yang kelelahan, mengunjungi Presiden Soekarno yang menginap di Kuningan. Soekarno langsung menyetujui ketika diberi tahu bahwa Negara Indonesia Serikat berdaulat di bawah Kerajaan Belanda.

Sjahrir terkejut akan sikap Soekarno, namun tak bisa menolak ketika persetujuan itu disampaikan oleh Schermerhorn. Bagi Sjahrir, itu artinya Belanda hanya mengakui Republik secara de facto.

Sjahrir kemudian memasukkan pasal tambahan tentang arbitrase. Bila ada perselisihan menyangkut perjanjian tersebut, akan diajukan ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Pasal ini terbukti menjadi penyelamat ketika terjadi agresi Belanda ke wilayah Republik," kata Rusdi.

Setelah persetujuan diparaf pada 14 November 1946, kedua delegasi membawa rencana persetujuan itu ke masing-masing parlemen untuk disahkan. Republik Indonesia mengesahkan Perjanjian Linggarjati di Malang, Jawa Timur, dalam rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), 25 Maret 1947.

Di Belanda, pengesahan perjanjian mendapat hujan kritik pemerintah dan parlemen. Schermerhorn tersingkir dari panggung politik. Karena tak puas dengan penyelesaian Linggarjati, pada 20 Juni 1947 Belanda melancarkan aksi militer pertama dengan menduduki kota-kota penting Republik.

Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir memimpin delegasi Indonesia ke sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Succes, Amerika Serikat. "Pidato Sjahrir di Dewan Keamanan ini dimungkinkan karena adanya pasal arbritase di Linggarjati itu," kata Rusdi Husein.

Inilah momen yang membuat Indonesia tampil di kancah internasional. Nama Indonesia bergema di Lake Succes. Dan jalan ke arah itu dibuka dari kaki Gunung Ciremai.

Berkawan Lewat Diplomasi Beras

TRUK-truk besar milik tentara Inggris memenuhi jalan desa di wilayah Cikampek, Jawa Barat. Saat itu, 1946, wartawan Rosihan Anwar dalam perjalanan kembali ke Jakarta setelah meliput pertempuran pasukan Republik dengan tentara Netherlands Indies Civil Administration atau NICA di Bekasi. Ia melihat berkarung-karung beras diambil dari gudang penggilingan dan masuk truk.


Belakangan baru ia ketahui truk-truk itu bergerak ke pelabuhan Cirebon-yang dikutip sejarawan Rudolf Mrazek sebagai salah satu basis massa pendukung kelompok lama Sjahrir dan Hatta, Pendidikan Nasional Indonesia. Di sana telah bersandar kapal-kapal kargo asal India yang baru mengantarkan kain. Ribuan karung beras itu kemudian mengisi lambung kapal dan berangkat ke India dalam perlindungan angkatan laut Inggris.

Inilah "diplomasi beras" ala Sjahrir yang dimulai April 1946, ketika ia membuat penawaran yang sensasional di masa itu: mengirimkan setengah juta ton beras asal Jawa ke India, yang terancam kelaparan akibat gagal panen. Dia meminta beras itu ditukar dengan tekstil dan obat-obatan untuk Republik.

Dalam ingatan Rosihan, yang bertugas menanganinya adalah kawan-kawan lama Sjahrir. Salah satunya ekonom Saroso Wirodihardjo. "Rupanya beras itu diambil antara lain dari Cikampek," kata Rosihan. Dalam buku Prime Minister Sjahrir as Statesman and Diplomat tulisan Hamid Algadri, Menteri Penerangan masa itu, disebutkan juga nama diplomat dr Soedarsono (ayah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono).

Yang pertama kali menerbitkan berita tentang hal itu adalah Free Press of Journal di Bombay, India: "Indonesian's Goodwill Gesture towards India, Premier Sjahrir's offer of 500,000 tons of Rice." Penulisnya P.R.S. Mani, koresponden Free Press di Jakarta. Menurut resensi Rosihan terhadap buku Mani, The Story of Indonesian Revolution 1945-1950, berita itu disiarkan di Jakarta beberapa hari kemudian, diimbuhi pesan Perdana Menteri Jawaharlal Nehru kepada Sjahrir, yang memberi salam bagi rakyat Indonesia, "yang sedang berjuang dengan gagah berani untuk kemerdekaannya."

Beberapa petinggi Republik saat itu terenyak, apalagi pasca-Jepang pergi kondisi Republik masih sangat papa. Tapi Sjahrir sendiri kemudian mengulangi pesannya kepada Free Press. "Itu gambaran benar tentang situasi pangan dan kebutuhan kami akan barang-barang impor. Perkiraan paling rendah tentang panen tahun ini ialah lima juta ton, sedangkan perkiraan tertinggi tujuh juta ton."

Sjahrir mengatakan konsumsi rakyat Indonesia tak lebih dari empat juta ton. "Jikapun tidak ada surplus beras, saya pikir rakyat kami bersedia memberikan 500 ribu ton beras ditukar dengan tekstil. Saya rasa lebih dari wajar RI berbuat apa yang mungkin guna meringankan situasi pangan di India. Kami bersimpati terhadap rakyat India dan akan menyambut dengan baik terwujudnya hubungan ekonomi dan rohani antara RI dan India sebagai negara-negara merdeka."

Belanda marah bukan kepalang. Walau Belanda sepakat mengakui wilayah Republik meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura dalam Perjanjian Linggarjati, blokade ekonomi tetap berlaku. Wilayah udara dan laut Republik dijaga ketat militer Belanda. Impor atau ekspor dilarang. "Tapi Belanda mau apa? India sudah hampir merdeka waktu itu," kata Rosihan.

Nehru, yang terpukau oleh uluran tangan Sjahrir, lantas mengadakan Asians Relations Conference di New Delhi dan mengundang Sjahrir. Senewen menghadapi ini, kabinet Belanda di Den Haag menawari Sjahrir "mampir" ke Belanda. Pemimpin Belanda di Indonesia, Letnan Jenderal Hubertus Van Mook, bahkan menawarkan tumpangan dengan pesawat KLM. Tapi Bung Kecil menampik. Ia memilih pesawat milik Biju Patnaik, pebisnis Bengali dan teman akrab Nehru. Nehru sendiri menyambutnya dengan hangat di bandara. Seusai konferensi, Sjahrir tak langsung pulang. Ia melawat ke Kairo, Mesir, dan berlanjut ke Suriah, Iran, Burma, dan Singapura. Makin bobollah blokade Belanda atas Republik.

Sukses diplomasi beras itu tak lepas dari strategi Sjahrir merengkuh "kawan" segera setelah perang berakhir. Hanya dua minggu setelah resmi menjadi perdana menteri (sekaligus Menteri Dalam dan Luar Negeri) pada akhir November 1945, Sjahrir menandatangani perjanjian dengan pasukan Sekutu: memulangkan serdadu Jepang dan tawanan perang. Perundingan dilakukan Wakil Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Secara teknis, seluruh operasi pemulangan berada di tangan Tentara Keamanan Rakyat, di bawah Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang dan Allied Prisoners of War and Internees (POPDA).

"Yang memimpin Mayor Jenderal Soedibjo, bekas perwira Koninklijk Nederlands Indische Leger, dan kemudian dilanjutkan Mayor Abdoel Kadir, eks perwira Pembela Tanah Air," tulis Mayjen TNI R.H.A. Saleh, penyusun buku Sekitar Operasi Pemulangan Tentara Jepang dan Evakuasi APWI di Pulau Jawa.

Pada paruh pertama 1946, Panitia merepatriasi lebih dari 35 ribu serdadu Jepang dan sekitar 28 ribu (versi lain menyebut 36.280 orang) tawanan perang dari kamp-kamp konsentrasi di Pulau Jawa. Lebih dari separuhnya adalah orang Eropa yang pernah tinggal di Indonesia. Sebagian kecil lainnya serdadu Australia, Amerika, dan Inggris yang terjebak ketika Jepang masuk. "Ini bukti kesuksesan Republik mengorganisasikan diri dan menghargai hukum internasional," Hamid menulis.

Buah dari repatriasi dan diplomasi beras ala Sjahrir itu, menurut Hamid, adalah ketika Sjahrir berkukuh membuka blokade ekonomi Belanda dengan mengekspor komoditas seperti karet dan kopra ke Amerika Serikat dan Inggris-dua negara yang langsung mengakui kedaulatan Indonesia pasca-Linggarjati. Kapal-kapal dari dua negeri itu datang ke pelabuhan di Indonesia. Belanda senewen karena ekspor itu bisa menggelontorkan uang segar. "Belanda mencoba menghentikan dengan membuntuti kapal-kapal itu, yang tentu saja diprotes keras," Hamid menulis.

***

Hubungan Sjahrir dengan dunia luar sepanjang 1945-1947 sering dikutip sebagai kesuksesan. Tapi Mrazek mengutip sejumlah arsip tua yang menyebutkan bahwa yang terjadi sebenarnya bukan tanpa cacat. Bahkan saat itu Sjahrir sering merasa tak nyaman, lelah, dingin, dan kecewa. Misalnya saat dalam beberapa laporan Sjahrir disebut-sebut sebagai "bom atom dari Asia" atau "an enfant chari of the Asian conference". Saat itu sesungguhnya Sjahrir terlambat tiba di konferensi Asia di New Delhi. Ia hanya sempat menghadiri penutupan, sementara anggota delegasinya-kecuali ketua delegasi Haji Agus Salim-banyak yang tak seideologi dengannya.

Mengutip keterangan Sjahrir kepada Schermerhorn, partner rundingnya dalam Perjanjian Linggarjati, yang sama-sama sosialis, Bung Kecil sungguh kecewa melihat rumah Nehru yang bagai istana. "Dengan tiga pelayan yang lompat melayani begitu saya masuk," kata Sjahrir, mencerca karakter ningrat dan ketimuran yang sangat ia benci.

Kepada Liga Muslim di India, ia mengkritik dengan mempersamakannya dengan Masyumi, yang dianggapnya "menghalangi berkembangnya pikiran-pikiran modern". Di Kairo, Sjahrir tampak tak gaul, tak kenal siapa-siapa. Di Burma, ia mengkritik masyarakat yang terlalu didominasi kultur Buddha. Siam (Thailand) dicercanya sebagai negeri yang "lapuk dan koruptif". Bahkan Agus Salim, yang ia tunjuk untuk melobi negara-negara Timur Tengah, pernah mengeluh kepada istrinya di Yogyakarta bahwa Sjahrir bersikap "dingin": sudah tiga minggu tak membalas suratnya.

Ketika Sjahrir tiba di New York, di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai ambassador-et-large, pada Agustus 1947, kedatangannya hanya dimuat dalam beberapa baris artikel di halaman terakhir New York Times dan Herald Tribune. Dua kali berpidato di hadapan Dewan Keamanan, Sjahrir dan delegasinya meminta bantuan Amerika Serikat untuk menghadapi Belanda. Ia kecewa dengan sikap dingin tuan rumah. Dalam pertemuan dengan Soebandrio di London sesudahnya, Sjahrir mengeluh. "New York adalah suatu kekecewaan," katanya, "tak ada yang diraih di situ."

Tapi sejarah kemudian berkata lain. Penampilannya di Lake Success (markas Perserikatan Bangsa-Bangsa) itulah yang kemudian mendorong pembentukan komite khusus untuk Indonesia. Urusan Republik resmi menjadi masalah internasional. Dukungan untuk Belanda semakin lemah, apalagi setelah pemerintah Hatta sukses menekan kudeta komunis di Madiun, 1948.

Jalan Terjal Perdana Menteri

NOVEMBER 1945. Sedan hitam bertanda X sedang melaju. Bendera merah-putih berkibar di bempernya. Tiba-tiba, saat mobil itu menyusuri Jalan Cikini Raya, Jakarta, sekelompok serdadu Belanda menghadang. Entah apa sebabnya, Kopral Ritchard mengarahkan pistolnya ke sopir sedan itu. Satu letusan menyalak, dan meleset. Pada tarikan kedua, hanya ada bunyi tek. Senjata Ritchard ternyata macet.


Geram, anggota Netherlands Indies Civil Administration (NICA) asal Ambon itu beserta kawanannya mendekat. Sang sopir, yang berperawakan pendek, keluar. Beberapa orang di mobil belakang turut serta-salah satunya Abdul Halim. Mereka meyakinkan bahwa orang yang barusan dibidik adalah Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Bukannya mereda, mereka bertambah garang. Rombongan Sjahrir diperintah menghadap tembok.

Sjahrir tetap tenang. Ia memasukkan tangan ke kantong celana untuk mengambil jam besarnya sambil menanyakan waktu saat itu ke serdadu dalam bahasa Inggris. Bukan mendapat jawaban, Sjahrir malah kena bogem keras popor pistol. Insiden ini diselesaikan pasukan Inggris yang tengah berpatroli. Sjahrir melanjutkan perjalanan ke kantor perdana menteri di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 dengan mata bengkak. "Gila si Kecil, mereka hampir membunuhnya," kata Halim, yang dikutip Rudolf Mrazek dalam bukunya, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia.

Kejadian ini langsung tersebar. Radio Republik Indonesia menyiarkan berita menggemparkan bahwa Sjahrir ditembak. Mendengar hal itu, Sjahrir buru-buru menyuruh Sekretaris Kementerian Penerangan Hamid Algadri menemui Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin untuk menghentikan siaran. "Sjahrir khawatir orang-orang Belanda yang masih berada di tahanan Jepang akan habis dibunuh oleh pemuda Republik," kata Hamid kepada Tempo, Agustus 1991.

Sjahrir takut penyerangan terhadap dirinya akan memicu aksi balasan. Jika itu terjadi, bisa mengancam citra yang tengah dibangun. Ia sedang menunjukkan kepada dunia bahwa revolusi yang terjadi adalah perjuangan bangsa beradab dan demokratis untuk lepas dari kolonialisme. Putra Padang Panjang ini ingin menangkis propaganda Belanda bahwa Indonesia hanyalah gerombolan orang brutal, pembunuh, atau perampok.

Langkah ini diambil Sjahrir sejak diserahi tampuk pemerintahan sebagai perdana menteri pada 14 November 1945. Ia mengambil garis diplomasi. Menurut dia, untuk mempertahankan kemerdekaan, yang harus dilakukan Indonesia adalah menggelar perjanjian dengan Belanda agar mengakui berdirinya Indonesia. Dalam proses ini, ia berusaha menutup semua dalih Negeri Kincir Angin itu untuk memojokkan Indonesia sebagai negeri yang tak aman sehingga perlu campur tangan asing.

Pada pertengahan Desember, ia mengeluarkan kebijakan politik militer. Semua kekuatan bersenjata, baik tentara maupun laskar, harus keluar dari Jakarta. Sjahrir mengumumkan Jakarta sebagai kota internasional. Agar program ini menarik perhatian dunia, digelarlah pameran kesenian yang dipublikasikan oleh sejumlah wartawan luar negeri.

Setelah itu, Sjahrir mulai mengenalkan Indonesia di forum-forum internasional, seperti Konferensi Asia di New Delhi pada 1946. Tak hanya itu, Sjahrir juga mencuri perhatian dengan memberikan bantuan kemanusiaan berupa sumbangan beras.

Tak semua setuju terhadap langkah Sjahrir berunding dengan bekas penjajah. Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia menolak. Kelompok penentang paling keras adalah Persatuan Perjuangan yang dimotori Tan Malaka. Sjahrir dianggap terlalu banyak memberikan konsesi kepada Belanda. Ia dan para pengikutnya diejek sebagai "anjing-anjing Belanda".

Menghadapi perlawanan para oposan, Sjahrir tak ambil pusing. Menurut dia, berjuang di meja perundingan punya keuntungan politis memperoleh pengakuan kekuasaan de facto. Ia jalan terus, apalagi Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta berdiri di belakangnya. "Dia tidak pikirin orang-orang yang mencacinya. Dia enggak marah. Katanya, itu hak orang," kata Siti Zubaidah, sekretaris pribadi Sjahrir.

Didiamkan seperti itu, perlawanan Persatuan Perjuangan makin kencang. Menurut sejarawan Rushdy Hoesein, Tan Malaka beberapa kali menggelar aksi massa terbuka, seperti di Purwokerto, untuk menentang kebijakan Sjahrir. Maka, dalam suatu rapat kabinet, Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin mengungkapkan kejengkelannya. Ia mengatakan Tan tak pernah berhenti membikin kekacauan negara. "Dia mempunyai ide menangkap Tan," kata Rushdy.

Persiapan digelar. Semua gerak-gerik Persatuan Perjuangan diendus. Pada Maret 1946, garis kiri keras ini hendak mengadakan rapat akbar di Madiun. Dengan membawa surat dari Amir, sejumlah utusan berangkat ke kota itu untuk menangkap Tan Malaka. Tan sempat kabur dan menyelinap di rumah Wali Kota Madiun Soesanto Tirtoprodjo. Soesanto menyerahkan Tan dengan jaminan Tan tak akan diapa-apakan.

Walau Tan telah menjalani tahanan rumah, bukan berarti perlawanan berhenti. Mereka selalu memantau perundingan Indonesia-Belanda. Babak baru perjanjian dimulai di Linggarjati. Klimaks pertentangan terjadi pada 3 Juli 1946.

Alkisah, pada 26 Juni tahun itu, Sjahrir pergi ke Banyuwangi untuk meninjau rencana bantuan beras bagi India. Dalam perjalanan pulang, rombongan mampir ke Solo. Malam itu, 27 Juni, rencananya Sjahrir bermalam di Loji Gandung, tempat Residen Surakarta. Penjagaan sudah ketat. Namun Sjahrir lebih memilih bermalam di Javasche Bank, kini Bank Indonesia.

Tiba-tiba Komandan Batalion dari Divisi III Yogyakarta Mayor Abdul Kadir Yusuf menangkap Sjahrir. Mayor Jenderal Soedibjo dan Sumitro Djojohadikusumo, yang mendampingi Sjahrir, turut diciduk. Pendukung Tan Malaka ini juga membawa Maria Ulfah dan Siti Zubaidah. "Untungnya, dokumen-dokumen dapat saya selamatkan," kata Zubaidah mengenang peristiwa 63 tahun lalu itu.

Rusdi mengatakan pemicu gerakan ini adalah ceramah Hatta pada 26 Juni di Yogyakarta saat merayakan Isra Mikraj. Dalam pidato keagamaan itu, Hatta sempat mengatakan perundingan sudah hampir final dengan kesepakatan Indonesia secara de facto diakui sebagai negara. Namun wilayahnya hanya sebatas Jawa, Sumatera, dan Madura. Sjahrir dianggap Tan keterlaluan karena menjual negara.Mereka memutuskan penculikan.

Menurut Maroeto Nitimihardjo, Ketua Partai Rakyat, A.K. Yusuf berani bertindak sejauh itu lantaran mendapat restu dari atasannya, Komandan Divisi Mayor Jenderal Soedarsono. Jenderal ini, kata Maroeto, memerintahkan Yusuf menculik Sjahrir setelah mendapat restu dari Jenderal Besar Sudirman.

Kejadian itu membuat Soekarno marah. Soekarno kemudian memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto menangkap Mayor Jenderal Soedarsono, tapi ditolak dengan alasan tak mau melawan atasan kecuali diperintahkan Jenderal Sudirman. Maka Soekarno mengumumkan sendiri melalui radio agar Perdana Menteri dibebaskan. Sjahrir bebas setelah disekap tiga hari.

Di sela-sela usaha kudeta itu, kata Maroeto, Mohammad Yamin menyiapkan maklumat pergantian Kabinet Sjahrir II. Dengan alasan desakan kuat dari rakyat, dia mengajukan 10 nama untuk menggantikan kabinet Sjahrir, yaitu Abikusno Tjokrosujoso, Ahmad Soebardjo, Budiarto Martoatmodjo, Buntaran Martoatmodjo, Chaerul Saleh, Gatot Tarunamihardja, Mohammad Yamin, Sunario, Tan Malaka, dan Wahid Hasyim.

Petisi yang disetujui Jenderal Sudirman ini dibawa Mayor Jenderal Soedarsono ke Soekarno. Di kantor kepresidenan di Yogyakarta, Soekarno mempersilakan para tamunya menunggu di ruang sebelah. Ternyata Soekarno tak lagi menemui mereka. Sang tamu malah diborgol.

Setelah suasana tenang, Sjahrir kembali diserahi posisi perdana menteri. Penentang Perjanjian Linggarjati ternyata tak hanya dari Persatuan Perjuangan. Apalagi Sjahrir kehilangan dukungan sayap kiri dalam kabinetnya setelah Amir membelot. Ia akhirnya mundur dan menyerahkan tampuk pimpinan ke Soekarno.

Kudeta Sunyi Triumvirat

HARI itu, 15 Agustus 1945, Jepang akhirnya takluk kepada tentara Sekutu. Di saat-saat akhir kekuasaannya, Jepang sempat menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Maka dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia oleh Jepang. Soekarno dan Hatta menjadi ketua dan wakil ketua Panitia Persiapan.


Sjahrir tak percaya dengan janji itu. Bersama sejumlah aktivis pergerakan lainnya, seperti Adam Malik, Soekarni, Chaerul Saleh, dan Kusnaeni, ia tak ingin kemerdekaan Indonesia didapat sebagai hadiah dari Jepang. Para pemuda menuduh Soekarno-Hatta sebagai kolaborator Jepang. Hanya, meski berbeda paham, Sjahrir mengakui rakyat di daerah sangat mendukung kemerdekaan dan kepemimpinan Soekarno-Hatta.

Kemerdekaan Indonesia akhirnya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Teks Proklamasi disusun sehari sebelumnya di rumah Laksamana Maeda oleh Soekarno bersama Hatta, Soebardjo, Nishijima (ajudan Maeda), dan dua orang Jepang lainnya.

Lima hari setelah kemerdekaan diumumkan, Komite Nasional Indonesia Pusat, yang beranggotakan 137 orang, dibentuk. Kelompok pemuda mendorong Sjahrir menjadi Ketua Komite. Sjahrir menolak. Ia masih menanti, sejauh mana Komite mencerminkan kehendak rakyat.

Pada bulan-bulan pertama kelahiran Republik, pemerintahan kabinet presidensial dipimpin kaum nasionalis pro-Jepang. Kondisi ini membuat Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II, setelah merobohkan Jepang, sulit mengakui keberadaan Republik Indonesia. Sekutu menganggap Indonesia masih di bawah kendali Jepang. Lemahnya kepemimpinan di pemerintahan juga telah melahirkan gerakan-gerakan bersenjata yang memanfaatkan situasi demi kepentingan masing-masing.

Pada 7 Oktober 1945, 40 anggota Komite Nasional meneken petisi untuk Presiden Soekarno. Mereka menuntut Komite menjadi badan legislatif, bukan pembantu Presiden. Selain itu, menteri kabinet harus bertanggung jawab kepada Dewan, bukan Presiden. Beredar kabar, di balik petisi itu ada Adam Malik, Soekarni, Chaerul Saleh, serta para politikus senior yang tidak puas dengan Soekarno.

Suatu hari datanglah Nyonya Sri Mangoensarkoro disertai dua pemuda dari Barisan Pelopor, Soebadio dan Soekarni. Mereka mendesak Sjahrir mau memimpin Komite. "Komite harus bersih dari Jepang dan revolusioner," kata Soekarni. Sjahrir menerima "panggilan" para pemuda.

Sikap Sjahrir ini, menurut Y.B. Mangunwijaya dalam tulisannya, "Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus", kelak sering ditafsirkan sebagai "kebimbangan". Tapi sebenarnya, "Keputusan Sjahrir itu merupakan keharusan dan keputusan yang dingin bahwa untuk menghadapi dunia internasional dibutuhkan tokoh non-Jepang murni."

Rapat Komite Nasional kedua pada 16 Oktober 1945 merupakan salah satu titik penting perjalanan politik Sjahrir. Sjahrir diangkat menjadi Ketua Komite. "Secara aklamasi," tulis Mangunwijaya.

Rapat yang dihadiri Wakil Presiden Mohammad Hatta itu-Presiden Soekarno tidak hadir-berlangsung ricuh. Saling serang terjadi antara kelompok pro dan kontra Jepang. Kendati demikian, kedua kubu sama-sama menyadari usaha membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka menghadapi rintangan berat. Belanda, yang merupakan bagian dari Sekutu, sangat ingin menjajah Indonesia lagi. Sedangkan Sekutu belum menerima kemerdekaan Indonesia. Sjahrir, yang sebelumnya sudah memprediksi sikap Sekutu itu, berpendirian, menghadapi Belanda, termasuk Sekutu, tidak bisa lagi dengan senjata, tapi harus lewat diplomasi.

Rapat juga diwarnai pandangan sejumlah tokoh bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat tak bisa dibentuk cepat. Presiden Soekarno pun, dalam berbagai tulisan, disebutkan berpendapat demikian. Dengan suara bulat, akhirnya rapat memutuskan, sebelum Majelis dan Dewan terbentuk, kekuasaan Presiden dialihkan ke Komite. "Usul ini diterima Presiden Soekarno, meski dia tidak hadir," papar Rushdy Hoesein, sejarawan Universitas Indonesia.

Sebagai landasan pengalihan kekuasaan itu, pemerintah lantas menerbitkan Maklumat Nomor X yang ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta. "Maklumat ini berarti Presiden menyerahkan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Komite Nasional," Rushdy melanjutkan. Presiden tak lagi berhak membuat undang-undang. Mulai saat itu juga Komite menjadi badan legislatif yang bertugas menyusun undang-undang dan garis-garis besar haluan negara. Maklumat Nomor X menandakan berakhirnya kekuasaan luar biasa Presiden dan riwayat Komite Nasional sebagai pembantu Presiden.

Dalam rapat itu juga dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang melaksanakan tugas Komite sehari-hari. Sjahrir ditunjuk sebagai Ketua Badan Pekerja, sementara Amir Sjarifoeddin menjadi wakilnya.

Pada 11 November 1945, Sjahrir diangkat sebagai formatur kabinet baru yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional, bukan Presiden Soekarno. Pada 14 November 1945, Sjahrir, yang kala itu berusia 36 tahun, diangkat sebagai perdana menteri. Dia juga menjabat menteri luar negeri dan dalam negeri sekaligus. Amir, selain sebagai wakil perdana menteri, menjadi menteri penerangan dan keamanan umum.

Pindahnya kekuasaan Presiden Soekarno ke tangan Sjahrir ini membuat sejumlah kalangan beranggapan Maklumat Nomor X tak ubahnya usaha kudeta yang halus. "Tidak berdarah dan tidak bersuara. The silent coup," begitu tulis B.M. Diah dalam bukunya, Butir-butir Padi. Diah adalah tokoh pemuda yang ketika itu berseberangan dengan Sjahrir.

Diah menilai yang dilakukan kelompok pemuda, termasuk Sjahrir, hanyalah demi kekuasaan. Menurut dia, tak ada bukti yang menunjukkan kemerdekaan Indonesia bikinan Jepang. Ketika Sjahrir mengetahui rakyat begitu menghormati dan mencintai Soekarno, "Tetap saja mereka (kelompok pemuda) berusaha memisahkan dwitunggal Soekarno-Hatta," tulis Diah.

Usaha kelompok pemuda untuk mengegolkan Sjahrir, menurut Diah, dimulai dengan menambah anggota Komite Nasional yang pro-Sjahrir. Mereka kemudian mengajukan petisi kepada Presiden Soekarno agar Sjahrir ditampilkan sebagai pemimpin perjuangan untuk kemerdekaan.

Dirancang pula agar Sjahrir menjadi perdana menteri. "Padahal Undang-Undang Dasar 1945 tidak membenarkan pemimpin negara dijadikan perdana menteri," papar Diah. Bagi seseorang yang mengetahui arti perubahan undang-undang, kata Diah, tindakan itu bernama "coup d'etat". Rapat Komite Nasional pada 16 Oktober, menurut Diah, hanyalah rekayasa untuk menyingkirkan Soekarno-Hatta. "Halus dan kasar bukanlah soal," ujar Diah.


Memang banyak yang setuju dan tidak setuju dengan Sjahrir. Tapi sejarah memperlihatkan, begitu dia menjadi Ketua Badan Pekerja Komite Nasional, lahir Maklumat Nomor X yang memungkinkan lahirnya partai-partai politik di Indonesia. Meski dia mengorbit demikian cepat dan masa kekuasaannya singkat-sesudah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Sjahrir tak lagi memegang jabatan dalam pemerintahan-peran yang dimainkan dan dampak dari misi yang dibawanya menentukan posisi Indonesia di mata dunia. "Sjahrir mampu meyakinkan Sekutu bahwa Republik Indonesia bukan bikinan Jepang," kata Rushdy.

Sjahrir, demikian tulis Mangunwijaya, bukan pengganti, melainkan pelengkap paling tepat dan vital bagi Soekarno-Hatta. "Mereka adalah triumvirat de facto, Soekarno, Hatta, Sjahrir."

Cirebon Merdeka Lebih Dulu

TUGU berwarna putih dengan ujung lancip menyerupai pensil itu berdiri tegak di tengah jalan di dekat alun-alun Kejaksan, Cirebon. Tugu yang sama, dengan tinggi sekitar tiga meter, menancap di halaman Kepolisian Sektor Waled di kota yang sama.


Tak banyak warga Cirebon tahu dua tugu tersebut merupakan saksi sejarah. Di tugu itu, pada 15 Agustus 1945, dokter Soedarsono membacakan teks proklamasi. "Hanya para sesepuh yang mengingat itu sebagai tugu peringatan proklamasi 15 Agustus," tutur Mondy Sukerman, salah satu warga Cirebon yang aktif dalam Badan Pekerja Pengaktifan Kembali Partai Sosialis Indonesia. Kakek Mondy, Sukanda, aktivis Partai Sosialis Indonesia, hadir saat proklamasi ini dibacakan di kota udang itu.

Saat Soedarsono membacakan teks proklamasi, sekitar 150 orang memenuhi alun-alun Kejaksan. Sebagian besar anggota Partai Nasional Indonesia Pendidikan. Cirebon memang merupakan salah satu basis PNI Pendidikan.

Soedarsono sendiri adalah tokoh gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir di Cirebon. Setelah siaran radio BBC pada 14 Agustus 1945 mewartakan kekalahan Jepang oleh Sekutu, Sjahrir berambisi menyiarkan kemerdekaan Tanah Air secepatnya. Sjahrir menunggu Bung Karno dan Bung Hatta untuk menandatangani teks proklamasi sebelum 15 Agustus 1945. Sjahrir khawatir proklamasi yang muncul selewat tanggal itu dianggap bagian dari diskusi pertemuan antara Soekarno, Hatta, dan Marsekal Terauchi di Saigon. Ternyata harapannya tidak tercapai.

Ada dua versi asal-usul penyusunan teks proklamasi versi Cirebon. Menurut Maroeto Nitimihardjo, lewat kesaksian anaknya, Hadidjojo Nitimihardjo, Soedarsono tak pernah menerima teks proklamasi yang disusun Sjahrir. Maroeto adalah salah satu pendiri PNI Pendidikan.

Informasi diperoleh Maroeto ketika bertemu dengan Soedarsono di Desa Parapatan, sebelah barat Palimanan, saat mengungsikan keluarganya selang satu hari sebelum teks dibacakan di Cirebon. Soedarsono mengira Maroeto membawakan teks proklamasi dari Sjahrir.

"Saya sudah bersepeda 60 kilometer hanya untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir, saya akan membuat proklamasi di Cirebon," ungkap Hadidjojo dalam buku Ayahku Maroeto Nitimihardjo: Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan, yang pekan-pekan ini akan diterbitkan. Sayang, jejak teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono tak berbekas. Tak ada yang memiliki dokumennya.

Kisah berseberangan diungkap Des Alwi, anak angkat Sjahrir. Menurut Des, teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono adalah hasil karya Sjahrir dan aktivis gerakan bawah tanah lainnya.

Penyusunan teks proklamasi ini, antara lain, melibatkan Soekarni, Chaerul Saleh, Eri Sudewo, Johan Nur, dan Abu Bakar Lubis. Penyusunan teks dikerjakan di Asrama Prapatan Nomor 10, Jakarta, pada 13 Agustus. Asrama Prapatan kala itu sering dijadikan tempat nongkrong para anggota gerakan bawah tanah.

Des hanya mengingat sebaris teks proklamasi versi kelompok gerakan bawah tanah: "Kami bangsa Indonesia dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami tak mau dijajah dengan siapa pun juga."

Dalam buku Rudolf Mrazek berjudul Sjahrir, Sjahrir mengatakan teks proklamasinya diketik sepanjang 300 kata. Teks itu bukan berarti anti-Jepang atau anti-Belanda. "Pada dasarnya menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau diserahkan ke tangan pemerintahan kolonial lain," kata Sjahrir seperti ditulis dalam buku Mrazek. Sjahrir pun mengatakan kehilangan teks proklamasi yang disimpannya.

Selain mempersiapkan proklamasi, Sjahrir dengan semangat tinggi mengerahkan massa menyebarkan "virus" proklamasi. Stasiun Gambir dijadikan arena untuk berdemonstrasi. Stasiun radio dan kantor polisi militer pun sempat akan diduduki. Kala itu, Des dan sekelompok mahasiswa bergerak hendak membajak stasiun radio Hoosoo Kyoku di Gambir agar teks proklamasi tersebar. Usaha tersebut gagal karena Kenpeitai menjaga rapat stasiun radio tersebut.

Tapi simpul-simpul gerakan bawah tanah terus bergerak cepat, menderu-deru dari satu kota ke kota lain, menyampaikan pesan Sjahrir. Dan keinginan Sjahrir agar proklamasi Indonesia segera didengungkan itu pun sampai di Cirebon.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India