Selasa, 12 Agustus 2008

Si Mata Nyalang di Balai Societeit

Tan Malaka membangun Persatuan Perjuangan di Purwokerto. Upaya menyerang politik diplomasi pemerintah.
-------------------
PURWOKERTO, kota kecil di selatan Jawa Tengah, menyala-nyala. Bintang Merah, bendera Murba, berderet-deret setengah kilometer dari alun-alun kota hingga Societeit, balai pertemuan merangkap gedung bioskop. Tiga ratusan orang memenuhi bangunan itu. Mereka wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan laskar.
Nirwan, guru Sekolah Rakyat dan aktivis Murba, mengingat petang itu, 4 Januari 1946, tepat seratus hari pasukan Sekutu mendarat di Jawa. �Orang berduyun-duyun ke kota ingin menyaksikan tamu yang datang,� ujar pria yang saat itu berusia 16 tersebut.
Rapat politik itu dihadiri antara lain para pemimpin pusat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan Persatuan Wanita Indonesia. Rakyat jelata berjejal-jejal. Mereka antusias, karena Panglima Besar Jenderal Soedirman juga di tengah-tengah mereka.
Nirwan menuturkan peserta rapat tiba dengan kereta api. Mereka yang tiba dari Purbalingga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, dan Solo turun di Stasiun Timur. Adapun peserta dari Jawa Barat turun di Stasiun Raya, kini stasiun di kota itu. Para kader Murba dari daerah dengan sukarela menyumbang pelbagai barang: sekadar beras atau gula merah. Tak hanya untuk konsumsi rapat, barang-barang yang terkumpul dijual untuk keperluan lain.
Murba ketika itu belum menjadi partai, melainkan gerakan rakyat jelata. Tan Malaka menggagasnya buat melawan kapitalisme dan penjajahan serta untuk menggapai kesejahteraan. Purwokerto dianggap merupakan basis kuat, karena itu Tan memilihnya untuk tempat kongres para pemimpin berbagai organisasi.
Di kota ini, Tan bersahabat kental dengan Slamet Gandhiwijaya. Tokoh Murba Purwokerto ini menjadi penyandang dana terbesar. Dari Slamet pula Nirwan mengenal sosok Tan Malaka. �Slamet menjual sawah untuk biaya kongres,� kata Nirwan, yang menjadi Ketua Agitasi dan Propaganda setelah Tan mendeklarasikan Partai Murba pada November 1948.
Slamet pernah dibuang ke Digul karena aktif di gerakan kiri menentang Belanda. Saat pendudukan Jepang, pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 1901 ini dipercaya memimpin sejumlah proyek pembangunan, seperti jalan dan waduk. Belum semua proyek rampung, Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Jepang kalah dan lari dari daerah pendudukannya di Asia Timur, termasuk Indonesia. Ketika Jepang menyingkir dari Jawa, menurut peneliti dan penulis buku tentang Tan Malaka, Harry A. Poeze, koper Slamet masih penuh uang. Duit ini yang dipakai untuk biaya gerakan politik.
Slamet tinggal di dekat Stasiun Kedungrandu, Kecamatan Patikraja, Banyumas, 10 kilometer dari Kota Purwokerto. Dulu, perusahaan kereta api Belanda, Serajoedal Stoomtram Maatschappij dan Serajoedal Staatspoor, mengoperasikan kereta api Cilacap-Stasiun Raya Purwokerto-Gombong yang melalui Kedungrandu. Jalur ini melintas di dekat aliran Sungai Serayu. Tapi pada 1936, dua perusahaan itu bangkrut.
Ada tiga rumah bekas petinggi perusahaan kereta api Belanda di Kedungrandu. Satu di antaranya ditempati keluarga Slamet. Di kiri-kanan rumah Slamet terhampar sawah. Di kejauhan tampak bukit-bukit hijau. Rumah Slamet menghadap ke utara, berpagar pohon petai cina. Di belakang rumah mengalir Kali Pematusan, sekaligus pembatas rumah dengan sawah. �Dulu saya suka memetik klandingan (petai cina) di situ,� ungkap Nasirun, 66 tahun, tetangga Slamet.
Rumah berarsitektur Belanda ini telah dilengkapi telepon dan garasi mobil. Darmuji, 76 tahun, penduduk setempat, mengenal Slamet sebagai priyayi terpandang dan kaya di Patikraja. Orang kebanyakan, termasuk Darmuji, umumnya takut bertamu. �Saya dan Den Slamet kan beda,� katanya.
Ketika pergi ke Purwokerto, Tan selalu menginap di sini. Di rumah ini pula Tan bertemu dengan Soedirman sebelum kongres. Slamet dan istrinya, Martini, memanggil Tan dengan sebutan Ohir. Mungkin diambil dari bahasa Belanda, ouheer, yang bermakna orang tua. Perintis Gunawan, 49 tahun, anak Slamet yang kini tinggal di Cireundeu, Tangerang, mendapat kisah ini dari ibunya.
Jika mendengar kabar mata-mata musuh mencari, Tan segera bersembunyi di perbukitan. Martini lihai merahasiakannya. �Kalau Tan lari ke selatan, ibu saya bilang larinya ke utara,� kata Perintis. Rumah Slamet dijaga Nero, anjing peliharaan. Ada juga kolam ikan. Di sini ada ikan yang dinamai Yopi. �Jika tangan Tan menaburkan pakan, Yopi langsung menyaut,� kata Perintis, mengingat kisah dari ibunya. Martini, yang kelahiran Purwokerto, 5 Oktober 1920, adalah aktivis perempuan Muhammadiyah, Aisyiah. Ia meninggal November tahun lalu.
Rumah Slamet sejak 1977 menjadi gedung Koperasi Unit Desa Patikraja. Memang, ia telah mengosongkan rumah itu seusai Agresi Belanda II pada Desember 1948. Ia membangun rumah di atas tanah milik sendiri, satu kilometer dari rumah lama. Slamet mengembalikan rumah lama kepada negara. Sejak itu rumah tidak dirawat. Kayu lapuk dan tembok ambrol. Kini, di atasnya berdiri bangunan baru sejumlah rumah. Bekas Stasiun Kedungrandu dibeli Si Kuan, pengusaha setempat, untuk penggilingan padi, yang hingga kini bertahan.
Di rumah baru, Slamet membuka usaha furnitur. Martini menekuni industri rumah kain batik. Slamet menempati rumah ini hingga ia meninggal 4 September 1966. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Nirwana, Purwokerto, sebagai perintis kemerdekaan. Kini, meja dan kursi tempat Tan berdiskusi dengan Soedirman sambil makan masih terawat. Meja kayu jati bulat telur itu semula hitam. Pelitur ulang mengubahnya menjadi cokelat.
Gedung pertemuan tempat Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto itu sejak 1964 hingga kini menjadi gedung Radio Republik Indonesia di Jalan Jenderal Soedirman. Menurut Soegeng Wijono, 70 tahun, ahli sejarah ekonomi Purwokerto, gedung itu beberapa kali berubah nama. Pada zaman Belanda bernama Societeit. Jepang masuk berganti nama Gedung Asia Bersatu. Setelah Republik berdiri, disebut Balai Prajurit. �Tapi orang-orang tua lebih suka menyebutnya Societeit,� kata Soegeng.
Untuk menuju Societeit, tempat kongres, Tan berangkat dari rumah Slamet menggunakan mobil yang ia bawa dari Yogyakarta. Banyak peserta kongres belum mengenal Tan. Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan 6 Januari 1946, seperti ditulis Harry A. Poeze dalam bukunya, menggambarkan peserta rapat terdiam menahan napas menyambut Tan naik podium.
Koran Indonesia saat itu umumnya terbit hanya dua halaman. Jarang sekali koran menulis gambaran suasana. Kedaulatan Rakyat melaporkan:
Umur beliau lebih dari 50 tahun. Tetapi kelihatannya lebih muda. Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Mata agak kecil tapi tajam. Melihat kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah dengan nyata karakter beliau yang kukuh, kuat, dan berdisiplin. Pakaian sederhana. Berkemeja dan bercelana pendek dan berkaos kaki panjang.
Nuansa ketidakpuasan menyelimuti kongres. Para peserta tak sepakat dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir. Tan geram dengan para pemimpin yang tak bereaksi atas masuknya Sekutu ke Indonesia.
Tan mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk pemerintah rakyat, membentuk tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.
Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Tan bertamsil: orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya. �Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan,� katanya.
Jenderal Soedirman tak kalah garang. Ia berpidato di kongres: �Lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.� Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.
Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada 15 Januari 1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan. Dibuka pukul 10 pagi, kongres ini dihadiri 141 organisasi. Panitia mengundang Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan anggota kabinet. Tapi, yang datang hanya Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, Jaksa Agung Gatot Taroenamihardjo, dan Panglima Besar Soedirman. Sultan Yogya dan Susuhunan Solo mengirimkan wakil mereka. Peserta menginap di Hotel Merdeka, Solo.
Setelah bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan ditangkap. Ia lalu dipenjarakan di sejumlah tempat: Wirogunan Yogyakarta, Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.
Ketika Tan dipenjara di Wirogunan pada 1946, anak muda Murba bernama Anwar Bey, kini 79 tahun, besuk bersama Abdullah, guru Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Adabiyah Padang, juga orang Pari�Partai Republik Indonesia. Anwar kelak menjadi wartawan Antara dan Sekretaris Wakil Presiden Adam Malik. Mereka diutus pemuda Sumatera Barat. Perjumpaan itu cuma setengah jam dan mereka tak banyak bicara karena diawasi sipir pendukung Hatta. �Tan hanya bilang teruskan perjuangan,� kata Anwar.
Konferensi itu sebenarnya direncanakan berlangsung di Malang, Jawa Timur, Desember 1945. Ketika itu, laskar dan tentara meninggalkan Surabaya setelah pertempuran 10 November 1945. Tapi, karena banyak wakil berada di Jawa Barat dan Jakarta, konferensi dimundurkan. Tan ke Cirebon menemui wakil-wakil organisasi dari pelbagai daerah. Selanjutnya, untuk pertama kalinya Tan bertemu dengan wakil organisasi dari kota-kota di Jawa pada 1 Januari 1946 di Demakijo, Godean, Yogyakarta. Mereka sepakat bertemu di Purwokerto.
Kelak, pertemuan Purwokerto diakui memberikan sumbangan besar. Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia.

Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi

Soekarno pernah memberikan testamen politik dan naskah proklamasi kepada Tan Malaka. Testamen itu belakangan dibakarnya.
--------------------------
SAYUTI Melik mengemban tugas penting. Tiga pekan setelah proklamasi, ia diminta Soekarno mencari Tan Malaka. Bung Karno mendengar desas-desus tokoh pergerakan itu ada di Jakarta.
Untungnya, Sayuti tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis buku Naar de Republiek Indonesia itu.
Pertemuan pun diatur. Soekarno meminta Soeharto, dokter pribadinya, menyediakan ruangan. Tapi ia merahasiakan siapa tamu yang akan datang. Dengan bersepeda, Sayuti menjemput Tan. Keduanya kemudian menuju rumah Soeharto�sekarang Apotek Titimurni�di Jalan Kramat Raya.
Kepada Soeharto, tokoh yang hidup 20 tahun dalam pelarian itu mengaku bernama Abdulradjak. Soeharto lalu membawa �Abdulradjak� ke kamar belakang. Di sana Soekarno sudah menunggu. Sayuti ikut masuk, Soeharto menunggu di luar. Semua lampu di rumah itu dimatikan. Pertemuan dua tokoh dalam gelap itu terjadi pada malam Lebaran, 9 September 1945.
Soekarno membuka pembicaraan. Ia bertanya tentang Massa Actie�buku yang ditulis Tan pada 1926. Kemudian keduanya bicara tentang nasib revolusi Indonesia. Dalam pertemuan dua jam itu, Tan mendominasi pembicaraan, sementara Soekarno lebih banyak diam. �Tan lebih berpengalaman dalam perjuangan,� kata Sayuti Melik. Kata-kata Tan tentang revolusi, kata Sayuti, belakangan hari sering dikutip Soekarno.
Ada pernyataan Tan yang sangat mengusik perhatian Bung Karno. Tan mengatakan, Belanda, dengan menumpang Sekutu, tidak lama lagi akan datang. Tan yakin, Jakarta akan jadi medan pertempuran. Itu sebabnya ia mengusulkan pemerintahan harus dipindahkan ke pedalaman.
Khawatir akan kemungkinan itu, Soekarno pun berkata, �Jika nanti terjadi sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi, saya harap Saudara yang melanjutkan.� Sebelum menutup pertemuan, ia memberi Tan sejumlah uang. Kesaksian Sayuti itu ditulis dalam kolom Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, dimuat di harian Sinar Harapan, September 1979.
Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi. Kali ini di rumah dokter Mawardi di Jalan Mampang. Mawardi adalah pemimpin Barisan Pelopor di masa pendudukan Jepang.
Seperti biasa, Sayuti ikut dalam pertemuan, tapi hanya boleh mendengarkan. Mereka bicara lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung percakapan, Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus obor kemerdekaan.
Tan tidak bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu. Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas kehormatan dan tanda kepercayaan. �Saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya idamkan,� katanya.
l l l
NIAT mengeluarkan testamen diucapkan Soekarno dalam rapat kabinet pada pekan ketiga September 1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam perjuangan. Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.
Ahmad Soebardjo tahu yang dimaksud Bung Karno tak lain adalah Tan Malaka. Ia tahu karena Tan pernah membicarakannya. Namun kelanjutan pembicaraan ihwal testamen baru terlaksana setelah Inggris akan mendarat. Juga ada selentingan, Sekutu akan menangkap Soekarno karena dianggap berkolaborasi dengan Jepang.
Situasi itu mendorong Soekarno bertemu dengan Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, dan Gatot Taroenamihardjo, di rumah Ahmad Soebardjo. Iwa dan Gatot saat itu Menteri Kesehatan dan Jaksa Agung. Pada 30 September, mereka sepakat menunjuk Tan sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta.
Kemudian Soekarno pergi ke rumah Hatta. Setelah menceritakan pertemuan itu, Bung Hatta memberikan jawaban: �Kenapa tidak bicara dulu kepada saya? Engkau mestinya kenal baik siapa itu Tan Malaka.�
Hatta menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar. Tongkat revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka mewakili aliran paling kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah, Wongsonegoro wakil kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman representasi kelompok Islam.
Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon Soebardjo mengajak bertemu. Soebardjo, bersama Tan dan Iwa, menyambut Soekarno-Hatta besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.
Ia mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa menyulut kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta juga mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain memperkenalkan diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.
Dalam pertemuan 1 Oktober itu, mereka juga setuju mengganti Soekiman dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok Islam. Soekarno lalu meminta Tan menyusun kata-kata testamen. Setelah semuanya setuju, naskah diketik Soebardjo dan dibuat rangkap tiga. Soekarno-Hatta lalu menandatanganinya. Soebardjo ditugasi memberikan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.
Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah Hatta memberi kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan kubunya kecewa, wasiat batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam bukunya Kesadaran Nasional, Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi menghambat penyampaian teks itu.
l l l
TAN memasukkan testamen ke tasnya. Ia lalu pergi keliling Jawa. Menurut Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto Nitimihardjo�salah seorang aktivis Menteng 31, markas perjuangan pemuda setelah Proklamasi dan kini Gedung Joang 45 di kawasan Cikini, Jakarta� amplop yang dibawa Tan tak hanya berisi wasiat politik, tapi juga teks proklamasi yang diketik Sayuti Melik. Bung Karno, menurut Hadidjojo, memberinya satu paket.
Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas usul Djohan Syahruhzah�belakangan menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia�Tan kemudian dikawal Des Alwi selama sepekan. Des waktu itu bergabung dengan laskar Pemuda Republik Indonesia dan sedang menjalankan tugas intelijen melancarkan perang informasi terhadap Sekutu.
Mereka menginap di Gubeng pada 9 November. �Malam itu saya sempat memijatnya,� kata Des, saat itu 18 tahun. Tan, yang mengaku bernama Hussein, lalu berkisah tentang pertempuran Shanghai, penyerangan tentara Cina terhadap Jepang pada 1932.
Pengetahuan Hussein membuat Des kagum. Anak angkat Sjahrir itu kemudian membawa Tan ke Sidoarjo. Di sana Des baru tahu, pria yang dikawalnya adalah Tan Malaka. Dari Sidoarjo, Tan berkeliling Jawa ditemani Djohan. �Saat itu hubungan Tan dengan kubu Sjahrir belum retak,� kata Hadidjojo.
Tapi pertalian itu cuma sebentar. Belakangan hubungan kedua kubu itu rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir. Lewat Persatuan Perjuangan�kumpulan 141 organisasi politik�Tan menentang kebijakan diplomasi yang dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir.
Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Ia bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah menyebar di radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara lain.
Namun Yamin dalam buku Sapta Darma menepis latar belakang itu. Ia mensinyalir, penahanan itu atas desakan Sekutu kepada Perdana Menteri Sjahrir agar perundingan berlangsung lancar. Mereka �diamankan� sebelum delegasi Indonesia bertolak ke Belanda. Dugaan Yamin belakangan terbukti. Dalam persidangan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin mengatakan Tan dan kelompoknya ditangkap karena sering melancarkan agitasi yang mengacaukan perundingan.
Sewaktu Tan di dalam sel inilah menyebar testamen politik palsu. Isinya menyatakan bahwa Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi kepada Tan Malaka seorang. Hatta menuding Chaerul Saleh otak dari kebohongan itu. Gara-gara itu, Hatta berniat mencabut keputusan pemberian testamen, tapi batal.
Dari penjara, Tan berhasil menyelundupkan amplop berisi testamen asli dan naskah proklamasi lewat kurir. �Amplop itu diterima ayah saya,� kata Hadidjojo. Maruto saat itu duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta.
Setelah dua tahun ia ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan dakwaan. Tapi bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi ilegal. Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang, Jawa Tengah.
Setelah Tan bebas, Maruto mengembalikan testamen dan naskah proklamasi kepadanya. Ia juga mengatur pertemuan antara Tan dan Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur sekitar November 1948. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal.
Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Tapi ia memutuskan pergi ke Kediri. Di sinilah, kata sejarawan Belanda Harry Albert Poeze, Tan dieksekusi pada 21 Februari 1949.
Sejak itu kasak-kasuk ihwal testamen meredup. Baru pada Mei 1972, polemik ahli waris revolusi mencuat di media massa. Moekhardi, mengutip buku George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), mengemukakan bahwa perancangan testamen itu taktik Tan Malaka merebut kekuasaan. Satu bulan kemudian, Sayuti menolak pendapat Kahin. Menurut dia, pertemuan dan pembuatan testamen atas prakarsa Soekarno.
Pekan berikutnya, giliran Soebagijo I.N.�atas hasil wawancara dengan Hatta�menulis, naskah testamen sudah diberikan Tan tapi belum ditandatangani. Soekarno akan memarafnya bila Bung Hatta setuju. Sedangkan Hatta menilai, sosok Tan di mata rakyat tidak populer. Buktinya, dalam perjalanan di Jawa, Tan beberapa kali hendak ditangkap.
Silang pendapat terus bermunculan. Perang pena di surat kabar reda setelah S.K. Trimurti�istri Sayuti�menulis surat pembaca di harian Sinar Harapan, akhir Oktober 1979. Trimurti membuka rahasia, Syamsu Harya Udaya menemuinya pada akhir 1964. Tokoh Murba, partai yang didirikan Tan, itu mengaku menyimpan testamen dan naskah Proklamasi. Syamsu memang sering menemani Tan sebelum sang tokoh tewas.
Daripada terus memercikkan perselisihan dan jadi rebutan, Trimurti menganjurkan testamen dihancurkan. Keduanya lalu menemui Aidit, yang dikenal dekat dengan Soekarno. Ketua Partai Komunis Indonesia itu mengatur pertemuan.
Soekarno kemudian mengundang ketiganya. Di Istana Negara, Trimurti menyerahkan seluruh naskah. Sementara teks proklamasi disimpannya, Bung Karno merobek-robek testamen dan membakarnya. �Setelah itu kami pulang dengan perasaan lega,� kata Trimurti. Kisruh surat wasiat padam di tengah bara api.

Jalan Sunyi Tamu dari Bayah

Menggagas konsep republik sejak 1925, Tan Malaka justru terlambat mengetahui proklamasi. Semboyannya membakar semangat dan mengilhami rapat akbar di Lapangan Ikada.
------------
IA memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussein. Datang dari Bayah, Banten Selatan, pria paruh baya itu bertamu ke rumah Sukarni di Jalan Minangkabau, Jakarta, awal Juni 1945. Di sana sudah ada Chaerul Saleh, B.M. Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto. Tamu jauh itu hendak menghadiri kongres pemuda di Jakarta.
Memakai baju kaus, celana pendek hitam, dan topi perkebunan ditenteng di tangan, tamu itu disambut tuan rumah. Setelah sedikit basa-basi, Hussein menyampaikan analisisnya tentang kemerdekaan dan politik saat itu. Situasi memang lagi genting. Penjajah Jepang sudah di tubir jurang.
Ulasan Hussein tentang proklamasi membuat Sukarni terpukau. Pikiran Hussein sama persis dengan tulisan-tulisan Tan Malaka yang selama ini dipelajari Sukarni. Setelah mendengar analisis Hussein, Sukarni makin mantap: proklamasi harus segera diumumkan.
Sejarah mencatat, Hussein adalah Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka yang tengah menyamar. Sejak awal Sukarni curiga, tamunya tak mungkin hanya orang biasa�meski ia tak berani bertanya. �Ia heran, bagaimana mungkin orang sekaliber Hussein hidup di wilayah terpencil,� kata sejarawan Belanda Harry A. Poeze.
Karni malah waswas. �Ia takut kalau Hussein mata-mata Jepang,� kata Anwar Bey, bekas wartawan Antara dan koresponden Buletin Murba. Kekhawatiran yang campur aduk memaksa Sukarni memindahkan rapat ke rumah Maruto Nitimihardjo di Jalan Bogor Lama�sekarang Jalan Saharjo, Jakarta Selatan. Sebelum pergi, Sukarni meminta tamunya menginap satu malam. Hussein tidur di kamar belakang.
Pada saat rapat, analisis Hussein mempengaruhi pikiran Sukarni. Ide-ide Hussein dilontarkannya dalam rapat. �Sukarni mendesak proklamasi jangan ditunda,� kata Adam Malik. Para pemuda setuju.
Sepulang rapat, Sukarni masih penasaran pada Hussein. Tapi lagi-lagi ia ragu bertanya. Sukarni baru bertemu besok paginya ketika tamunya mau pulang. �Ia berpesan agar Hussein mempersiapkan pemuda Banten menyongsong proklamasi,� kata Anwar Bey, kini 79 tahun.
Kesaksian itu terungkap pada saat Sukarni memberikan sambutan dalam acara Sewindu Hilangnya Tan Malaka di Restoran Naga Mas, Bandung, Februari 1957. Anwar Bey malam itu hadir di sana.
Dari pertemuan itu, Tan sendiri menafsirkan, Chaerul dan Sukarni mengenal ide-ide politiknya. Tapi ia belum berani membuka jati diri. �Saya masih menunggu kesempatan yang lebih tepat,� katanya dalam memoar Dari Penjara ke Penjara.
Ia lalu pulang ke Bayah, kembali bekerja sebagai juru ketik. Nama Hussein tetap digunakan. Saat itu usianya 48 tahun.
l l l
HUSSEIN kembali muncul di Jakarta pada 6 Agustus 1945. Ia membawa tas. Isinya celana pendek selutut, kemeja, dan kaus lengan panjang kumal. Kali ini yang dituju rumah B.M. Diah, Ketua Angkatan Baru, yang juga redaktur koran Asia Raya, satu-satunya koran yang terbit di Jakarta.
Utusan Bayah itu menanyakan kabar mutakhir situasi perang. Setelah satu jam Diah memberikan informasi, Hussein menyatakan pendapatnya. �Pimpinan revolusi kemerdekaan harus di tangan pemuda,� katanya.
Tapi hubungan Hussein dengan Diah berlangsung singkat. Besoknya Diah ditangkap Jepang gara-gara menuntut kemerdekaan dan menentang sikap lunak Soekarno-Hatta. Tahu Diah ditangkap, Hussein pulang ke Bayah.
Di sana ia terus bergerak. Tiga hari kemudian dia terlibat rapat rahasia dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Pertemuan satu setengah jam itu digelar di rumah M. Tachril, pegawai Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken�Gabungan Perusahaan Listrik Bandung dan Sekitarnya.
Di sini Hussein mengobarkan pidato yang menggelora. �Kita bukan kolaborator!� katanya. �Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan sebagai hadiah.� Kekalahan Jepang, menurut dia, tinggal menunggu waktu.
Pidato itu dilukiskan Poeze dalam buku terbarunya Verguisd en Vergeten Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949. �Sebagai rakyat Banten dan pemuda yang telah siap merdeka, kami bersumpah mewujudkan proklamasi itu,� kata Hussein di ujung pidatonya.
Bila Soekarno-Hatta tidak mau menandatangani, Hussein memberikan jawaban tegas: �Saya sanggup menandatanganinya, asal seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya.�
Hussein diutus kembali ke Jakarta. Ia diminta menjalin kontak dengan Sukarni dan Chaerul Saleh. Peserta rapat mengantarnya ke stasiun Saketi, Pandeglang. Hussein naik kereta ke Jakarta.
l l l
SITUASI Jakarta tidak menentu. Kebenaran dan desas-desus berkelindan satu sama lain. Kempetai, polisi militer Jepang, mengintai di mana-mana. Para pemuda bergerak di bawah tanah, bersembunyi dari satu rumah ke rumah lain. Usaha Tan Malaka menjalin kontak dengan pemuda tak kesampaian.
Kesulitan Tan bertambah karena kehadirannya tempo hari di rumah Sukarni menyebar dan menjadi pergunjingan. Para pemuda bingung siapa sebenarnya Ilyas Hussein. Karena itu para pemuda jaga jarak bila Hussein muncul.
Peluang Tan menjalin kontak kian teruk karena sikap hati-hatinya yang berlebihan. Sebagai bekas orang buangan dan lama hidup dalam pelarian, Hussein merasa di bawah bayang-bayang penangkapan.
Tan akhirnya berhasil menemui Sukarni di rumahnya pada 14 Agustus sore. Ia mengusulkan agar massa pemuda dikerahkan. Tapi Sukarni sibuk. Di rumah itu banyak orang keluar-masuk. Banyak pula hal yang disembunyikannya, termasuk berita takluknya Jepang.
Ia juga khawatir rumahnya digerebek Kempetai. Itu sebabnya, Sukarni pergi meninggalkan Hussein. Seperti sebelumnya, ia diminta menunggu di kamar belakang. Kali ini bersama dua orang yang tak dikenal.
Salah satunya Khalid Rasyidi, aktivis pemuda Menteng 31. Menurut Khalid, Hussein sempat bertanya di mana tempat penyimpanan senjata Jepang. �Ia menganjurkan perampasan senjata dalam rangka perjuangan kemerdekaan,� kata Khalid dalam ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, Agustus 1978.
Khalid juga yakin, Sukarni sudah tahu bahwa Hussein tak lain Tan Malaka. Soalnya, sebelum Khalid diminta menemui utusan Banten itu, Sukarni agak lama menunjukkan foto lama orang-orang pergerakan. �Di antaranya foto Tan Malaka waktu masih muda,� kata Khalid. Poeze menyangsikan hal itu. Menurut dia, Sukarni hanya menduga-duga.
Malam itu Sukarni sempat pulang. Tapi setelah itu menghilang. Hussein besoknya berusaha menemui Chaerul Saleh di Jalan Pegangsaan Barat 30, tapi Chaerul tidak ada di rumah. Karena di sepanjang jalan santer terdengar kabar Jepang menyerah perang, Hussein kembali ke rumah Sukarni. Tapi usahanya sia-sia.
Hussein tidak tahu, Sukarni dan Chaerul akan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Aksi itu dilakukan karena Soekarno-Hatta ngotot proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sedangkan pemuda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah berdebat di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta bersedia meneken proklamasi. Teks proklamasi disiapkan di rumah Laksamana Maeda.
Naskah itu besoknya dibacakan di pekarangan rumah Soekarno, di Pegangsaan Timur 56. Upacara berlangsung singkat. Penguasa militer Jepang melarang berita proklamasi meluas di radio dan surat kabar. Itu sebabnya, Tan tidak tahu ada proklamasi. Ia tahu setelah orang ramai membicarakannya di jalan-jalan.
Terbatasnya peran Tan itu, kata Poeze, sungguh ironis. Padahal Tan orang Indonesia pertama yang menggagas konsep republik dalam buku Naar de Republiek Indonesia, yang ditulis pada 1925. Buku kecil ini kemudian menjadi pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Soekarno.
Dalam buku Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Adam Malik melukiskan peristiwa itu sebagai �kepedihan riwayat�. Sukarni bertahun-tahun membaca buku politik Tan. Tapi pada saat ia membutuhkan pikiran dari orang sekaliber Tan, Sukarni sungkan bertanya siapa Hussein sesungguhnya. �Ia malah membiarkannya pergi jalan kaki, lepas dari pandangan mata,� kata Adam Malik.
Tan juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. �Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia.�
l l l
Setelah proklamasi, Tan berusaha menemui pemuda. Tapi mereka terus bergerak di bawah tanah. Pada 25 Agustus Tan akhirnya datang ke rumah Ahmad Soebardjo di Jalan Cikini Raya 82. Keduanya pernah bertemu di Belanda pada 1919. �Pembantu kami mengatakan ada tamu ingin berjumpa,� kata Soebardjo. Tamu itu duduk di pojok ruangan.
Soebardjo kaget. �Wah, kau Tan Malaka,� katanya. �Saya kira sudah mati.� Tan menjawab sambil tertawa. �Alang-alang tak akan musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya.� Setelah sempat bersenda-gurau, Soebardjo menawari Tan tinggal di paviliun rumahnya.
Sejak itu Tan diperkenalkan kepada beberapa tokoh seperti Iwa Koesoema Soemantri, Gatot Taroenamihardjo, Boentaran Martoatmojo. Ia juga dipertemukan dengan Nishijima Shigetada, Asisten Laksamana Maeda. Di depan Nishijima, ia bicara tentang revolusi, struktur politik, gerakan massa, hingga propaganda.
Nishijima terheran-heran. �Bagaimana mungkin orang yang tampak seperti petani ini bisa menganalisis segala-galanya dengan begitu tajam,� katanya. Setelah lebih dari dua jam berbincang, Soebardjo menjelaskan bahwa kawannya ini tak lain Tan Malaka. Nishijima terkejut. Ia bangkit lalu menjabat tangan Tan lebih erat.
Kepada tamunya, Soebardjo meminta keberadaan Tan dirahasiakan. Sepekan menetap di rumah Soebardjo, lewat perantara Nishijima, Tan pindah ke rumah pegawai angkatan laut Jepang di Jalan Theresia. Ia sempat ke Banten membangun jaringan gerilya, lalu balik ke Jakarta. Pada pekan kedua September, ia pindah ke Kampung Cikampak, 18 kilometer sebelah barat Bogor. Sejak itu ia bolak-balik ke Jakarta.
Di Jakarta, kaum pemuda terus bergerak. Mereka melihat pemerintah tidak bekerja mengisi kemerdekaan meski kabinet telah dibentuk. �Mereka cuma kumpul-kumpul di gedung Pegangsaan,� kata Adam Malik. �Seperti tidak ada rencana.�
Itu sebabnya, sebagian pemuda mengusulkan demonstrasi. Tapi sebagian lain ingin membentuk Palang Merah dan mengurus tawanan perang. Pemuda yang berkumpul di Jalan Prapatan 10, sekarang Jalan Kwitang, terbelah.
Pemuda prodemonstrasi meninggalkan Jalan Prapatan menuju Menteng 31. �Ini kesempatan kita mempraktekkan Massa Actie,� kata Sukarni mengutip buku Tan yang menjadi pegangan pemuda. Setelah itu mereka membentuk Komite van Actie. Komite ini mengambil alih sarana transportasi dan mengibarkan bendera Merah-Putih di mana-mana.
Karena kabinet belum ada kegiatan, Soebardjo�saat itu sudah Menteri Luar Negeri�meminta nasihat Tan yang lalu mengusulkan agar propaganda dilakukan lewat semboyan-semboyan. �Tan ikut mengusulkan kata-katanya,� kata Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto. Semboyan itu ditulis pemuda di tembok-tembok, mobil, dan kereta api hingga tersebar ke luar Jakarta, dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar menarik perhatian dunia.
Sejak itu Soekarno mendengar kemunculan Tan. Ia meminta Sayuti Melik mencarinya. Dua tokoh itu akhirnya diam-diam bertemu dua kali pada awal September 1945. Pertemuan itu menjadi rahim lahirnya testamen politik. Isinya: �Bila Soekarno-Hatta tidak berdaya lagi, pimpinan perjuangan akan diteruskan oleh Tan, Iwa Koesoema, Sjahrir, dan Wongsonegoro.�
Kasak-kusuk kehadiran Tan makin santer. Para pemuda membicarakannya di Menteng 31. Tan saat itu tinggal di rumah Pak Karim, tukang jahit di Bogor. Sukarni dan Adam Malik mencarinya ke sana. Mereka berhasil bertemu, tapi ragu identitas Tan. �Apalagi saat itu banyak muncul Tan Malaka palsu,� kata Hadidjojo.
Untuk memastikan, para pemuda membawa Soediro�kenalan Tan di Semarang pada 1922�beberapa hari kemudian. Sesudah itu mereka membawa guru Halim, teman sekolah Tan di Bukittinggi. Tan juga dicecar soal Massa Actie karena banyak Tan Malaka palsu tidak bisa menjelaskan isi buku tersebut.
Maruto bahkan menyarankan agar pemuda tidak begitu saja mempercayai Tan. Ia rupanya mendengar Tan sudah bertemu Soekarno. Tapi setelah mendengar kata-kata Tan, kaum pemuda yakin tokoh legendaris itu anti-fasis.
Tan juga sepakat dengan aksi pemuda Menteng 31. �Ia mengusulkan demonstrasi yang lebih besar,� kata Hadidjojo. Demonstrasi digelar untuk mengukur seberapa kuat rakyat mendukung proklamasi. Ide ini melecut pemuda menggelar rapat akbar di Lapangan Ikada. �Tan berada di balik layar,� kata Poeze.
Pemuda mendapat kuliah dari Tan tentang perjuangan revolusioner. Persinggungan pemuda dengan Tan berlangsung antara 8 dan 15 September 1945. Sekelompok pemuda, antara lain Abidin Effendi, Hamzah Tuppu, Pandu Kartawiguna, dan Syamsu Harya Udaya, diperkenalkan kepada Tan. Sukarni lalu mengirim Hamzah, Syamsu, dan Abidin ke Surabaya untuk mengorganisasi para pelaut.
Di Jakarta, kelompok pemuda menggelar rapat. Mereka menyiapkan demonstrasi pada 17 September�tepat sebulan setelah proklamasi. Tapi unjuk rasa diundur dua hari. Ada anekdot, tanggal itu dipilih karena para pemuda jengkel dimaki-maki Bung Karno bulan sebelumnya. �Bung Karno marah karena pemuda menggelar pawai di taman Matraman pakai obor dua hari setelah proklamasi,� kata Hadidjojo mengutip Maruto, ayahnya.
Pamflet aksi disebar dan ditempel di mana-mana. Sukarni keluar-masuk kampung, menemui kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, hingga kiai, agar datang ke Lapangan Ikada. Mahasiswa meminta Soekarno hadir juga. Tapi presiden pertama itu menolak.
Pada hari yang ditentukan, massa berbondong-bondong datang. Senapan mesin Jepang dibidikkan ke arah kerumunan. Tapi gelombang massa terus berdatangan. Jumlahnya diperkiran 200 ribu. Di bawah terik, mereka menunggu berjam-jam. Salah satu yang hadir almarhum Pramoedya Ananta Toer. �Itulah pertama kali saya saksikan orang Indonesia tidak takut lagi pada Dai Nippon,� kata Pram, saat itu berusia 20.
Sementara sidang kabinet pagi itu terbelah. Sebagian menteri setuju hadir di Ikada. Sedangkan yang menolak takut ada pertumpahan darah. Rapat berjalan alot. Pukul empat sore, Soekarno memutuskan datang menenteramkan rakyat yang sudah menunggu berjam-jam. �Saya tidak akan memaksa. Menteri yang mau tinggal di rumah silakan,� katanya.
Rombongan Soekarno-Hatta pergi menuju Ikada. Poeze menduga, Tan Malaka ikut dalam rombongan. �Ia satu-satunya yang memakai topi, jalan berdampingan dengan Soekarno menuju podium,� kata Poeze.
Di mimbar Soekarno berpidato lima menit. Suaranya lunak. Ia meminta rakyat tetap tenang dan percaya pada pemerintah, yang akan mempertahankan proklamasi. Massa diminta pulang. Setelah itu, barisan bubar meninggalkan lapangan.
Hasil demonstrasi itu menyesakkan Tan. Pidato itu, katanya, tidak menggemborkan semangat berjuang. �Tidak mencerminkan massa aksi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.�

DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI

Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.
Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya �Bapak Republik Indonesia�. Soekarno menyebutnya �seorang yang mahir dalam revolusi�. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.
Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini: kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.
-----------------
ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso�orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai�ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama�salah satunya Tan�apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: �...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.�
Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.
Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.
W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat �Indonesia tanah tumpah darahku� ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk �Khayal Seorang Revolusioner�. Di situ Tan antara lain menulis, �Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.�
Di seputar Proklamasi, Tan meno-rehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan �masih sebatas catatan di atas kertas�. Tan menulis aksi itu �uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan�. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.
Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.
Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer�dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. �Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,� ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.
Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.
Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. �Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,� tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.
Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, �Di depan Tuhan saya seorang muslim� (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.
Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya.

Senin, 19 Mei 2008

Dari Tempat yang Akan Datang

PADA akhirnya kematianlah yang memisahkan mereka. Chairil Anwar mungkin tak pernah bermimpi memiliki cucu, seseorang yang kelak mengagumi sajak-sajaknya. Mochtar Lubis, si wartawan jihad, kini punya pengikut: seorang cucunya berkarier sebagai jurnalis. Mohammad Hatta hanya bisa dikenal Athar, cucu lelakinya, dari foto dan buku-buku.

Pada akhirnya kematianlah yang memisahkan mereka. Para pendiri republik itu pergi dengan cita-cita yang mungkin tak sepenuhnya terlaksana: tentang demokrasi yang tegak berdiri, dan orang ramai hidup tanpa perut keroncong.

Di Karet, di karet (daerahku y.a.d)," kata Chairil. Pada akhirnya kematianlah yang memisahkan mereka.

Surat dari Ternate

oleh: Sangkot Marzuki

KALAU orang Indonesia ditanya siapa pencetus teori evolusi, jawabannya hampir pasti Charles Darwin. Jawaban ini mungkin akan dilengkapi keterangan bahwa teori itu lahir setelah pelayaran Darwin ke Galapagos.

Sebenarnya nama yang lebih tepat disebut adalah Alfred Russel Wallace. Ia menemukan teori ini setelah diilhami oleh keanekaragaman hayati Indonesia, yang disebutnya memiliki dua macam fauna yang sangat berbeda, sebesar perbedaan hewan Afrika dan Amerika Selatan. Bukan karena kebanggaan buta sebagai bangsa Indonesia jika nama Wallace lebih patut disebut, tapi karena demikianlah yang sesungguhnya.

Siapakah Wallace? Mengapa dia terlupakan dan justru Darwin yang mendapat semua kehormatan sebagai pencetus teori akbar tersebut? Hikmah apa yang dapat diambil dari sejarah karya ilmiah Wallace di tanah air kita?
***

Wallace lahir di Desa Usk, Monmouthshire, Wales, pada 1823. Tidak seperti Charles Darwin, dia bukan berasal dari keluarga kaya. Ia harus segera bekerja-jadi guru di Leicester, Inggris-setamat dari Hertford Grammar School.

Ia memulai karier sebagai penjelajah alam dengan bertualang di hutan tropis Brasil yang berakhir tragis. Dalam pelayaran pulang ke Inggris pada 1852, kapalnya terbakar bersama seluruh koleksi serta catatannya. Toh, dengan mengandalkan ketajaman otaknya, ia masih dapat menuliskan pengalamannya dalam Travels on the Amazon and Rio Negro, yang terbit pada 1853.

Setahun kemudian ia bertolak ke Singapura. Inilah pangkalannya dalam menjelajahi Nusantara-dari Maluku, Kalimantan/Borneo, Jawa, Sulawesi, serta Lombok dan pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara, sampai beberapa pulau dekat Papua, seperti Kei serta Rajah Ampat. Selama delapan tahun, dengan bantuan dari para raja di Indonesia dan Malaysia kala itu, seperti Raja Sarawak dan Sultan Ternate, ia mengumpulkan, mempelajari, serta mencatat puluhan ribu spesimen-terutama mamalia, burung, dan serangga. Koleksi spesimen dan catatan pengamatannya secara berkala dikirim ke Inggris, termasuk kepada sejawatnya, Charles Darwin.

Kala di Sarawak, pengamatan Wallace sampai pada mata rantai asal-usul spesies. Dia menemukan: perubahan pada spesies terjadi mengikuti urutan yang alami. Masalahnya, ia belum tahu mengapa dan bagaimana makhluk hidup berubah menjadi bentuk baru yang berbeda satu dengan lain dalam banyak hal; mengapa dan bagaimana spesies menjadi begitu teradaptasi untuk cara hidup yang khas; serta mengapa dan bagaimana spesies-antara menghilang seperti tersaksi dari fosil geologi.

Jawaban atas pertanyaan itu ditemukan tiga tahun kemudian di Ternate. Waktu itu ia sedang gering parah-kemungkinan besar terjangkit malaria-sehingga hanya bisa berbaring dan berpikir. Kala itu ia menyadari bahwa dalam dunia hewan, individu yang sehat umumnya terhindar dari penyakit. Yang terkuat, tercepat, dan tecerdik terhindar dari musuh. Pemburu terbaik terhindar dari musim buruk.

Tiba-tiba saja segalanya menjadi jelas bagi Wallace. Semua proses ini pada akhirnya bermuara pada perbaikan ras. Individu yang inferior akan mati lebih dulu, sedangkan yang superior bertahan-dengan kata lain, the fittest would survive. Eureka, inilah proses evolusi yang mendasari munculnya spesies baru.

Wallace segera menulis ide besar tersebut. Dua hari kemudian ia mengirimkannya kepada Charles Darwin. Surat dari Ternate itu mengagetkan Darwin yang sedang memikirkan soal yang sama dan menggemparkan para ilmuwan di Inggris.

Pada 1 Juli 1858, perkumpulan ilmuwan Inggris, Linnean Society, menggelar presentasi ilmiah untuk mengupas temuan itu. Surat dari Ternate karya Wallace bersama beberapa cuplikan buram makalah karya Darwin dibacakan di hadapan Linnean Society tanpa dihadiri Darwin ataupun Wallace. Dalam pengantar presentasi yang disiapkan Charles Lyell dan Joseph Hooker-keduanya kawan dan mentor Darwin-dideklarasikan bahwa Darwin dan Wallace secara terpisah telah melahirkan teori yang menjelaskan kemunculan beragam bentuk makhluk hidup. Mengapa Darwin ikut disebut?

Menurut pendukung Darwin, dan opini inilah yang berkembang dominan sekarang, Darwin sudah hampir siap mengumumkan pemikirannya waktu surat dari Ternate tiba. Argumentasinya adalah bahwa Darwin, sesudah pelayaran terkenalnya dengan H.M.S. Beagle ke Kepulauan Galapagos, telah 20 tahun memikirkan teori yang dapat menjelaskan misteri keunikan makhluk hidup di kepulauan itu. Surat dari Ternate dengan demikian sekadar memacu dia menulis buku yang setahun kemudian dipublikasikan dengan judul The Origin of Species-asal-usul spesies.

Sebagian ahli sejarah ilmu pengetahuan mempertanyakan keabsahan argumentasi ini. Soalnya, dalam presentasi di depan Linnean Society kala itu, hanya fragmen tulisan Darwin yang dapat dibacakan, padahal presentasi Wallace merupakan konsep pemikiran lengkap yang tertulis layaknya makalah ilmiah. Menurut kaidah ilmu pengetahuan modern, Wallace jelas memiliki prioritas (paten) dibanding Darwin dalam kepemilikan intelektual teori evolusi atau teori seleksi alam. Beberapa ahli sejarah bahkan curiga Darwin mengambil ide Wallace secara tak patut. Kata-kata kunci teori evolusi yang dipakai Darwin di kemudian hari, seperti natural selection dan survival of the fittest, adalah ekspresi Wallace dalam surat dari Ternate.

Kala itu, Wallace mungkin tidak mempunyai kekuatan untuk mempertahankan temuannya. Dia hanya pengamat alam amatir berumur 35 tahun, relatif tidak dikenal, dan telah lebih dari empat tahun tinggal jauh di hutan-hutan tropis. Ia baru kembali ke Inggris pada 1862 dan buku terkenalnya yang berjudul The Malay Archipelago baru terbit pada 1869. Sebaliknya, Darwin, 14 tahun lebih tua, sudah mapan sebagai bagian dari masyarakat ilmiah Inggris. Ia kaya raya dengan rumah besar di Kent.

Sekarang, Linnean Society telah kembali pada pendapat bahwa Darwin dan Wallace merupakan co-discoverer-penemu bersama-teori evolusi. Hanya, adil atau tidak, setelah 150 tahun, sangat sulit bagi masyarakat untuk mengingat Wallace. Darwin tetap dikenal umum sebagai Bapak Teori Evolusi dan teori tersebut tetap dikenal sebagai Darwinisme.

***

Bagi Indonesia, warisan terbesar Wallace justru sejarah yang terlupakan itu. B.J. Habibie-waktu itu Menteri Riset dan Teknologi-mengatakan bahwa untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, Indonesia memerlukan idola dan ikon yang terjamah sebagai contoh nyata. Untuk sebagian besar putra-putri kita, nama-nama besar, seperti Albert Einstein, Isaac Newton, dan Thomas Alva Edison, sama saja dengan nama-nama khayal, seperti Superman, Batman, dan Wonder Woman.

Wallace-juga penerima anugerah Nobel Kedokteran Christiaan Eijkman-adalah nama besar dalam jagat ilmu pengetahuan dunia. Bedanya dengan Einstein atau Newton, keduanya dapat dengan nyata teraba melalui bukti-bukti peninggalan mereka, yang dengan mudah teridentifikasi sebagai bagian dari sejarah bangsa kita.

Sayangnya, di Indonesia pun Wallace masih terlupakan. Di Kota Kuching di Sarawak, lokasi tempat Wallace bekerja dan menulis "Surat dari Sarawak" rapi terurus. Di Bantimurung, dekat Makassar, Sulawesi Selatan, tempat Wallace lama bekerja, dan di Ternate, Maluku Utara, tempat teori akbar mengenai evolusi lahir, sama sekali bersih dari tanda-tanda yang mengingatkan adanya penemuan paling besar pada abad ke-19 itu. Sayang sekali.

Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekul Eijkman dan Ketua Yayasan Wallacea Indonesia

W. J. S. Poerwadarminta Bapak Kamus Indonesia

WILFRIDUS Joseph Sabarija Poerwadarminta (12 September 1904-28 November 1968) masuk angkatan orang Indonesia pertama yang memperkenalkan bahasa Indonesia di luar negeri setelah peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda. Ketika menjadi dosen bahasa Melayu di Sekolah Bahasa Asing di Tokyo (1932-1937), ia sering mengatakan kepada orang Jepang bahwa Indonesia sudah punya bahasa nasional sendiri. Barangkali ia mengatakannya dengan begitu saja, tidak berlandaskan sebuah kesadaran politik. Barangkali juga kecintaannya kepada bahasa Indonesialah yang mendorong dia memuliakan bahasanya itu di negeri asing. Tapi kita tahu, baru pada 1938 bahasa Indonesia boleh dipakai dalam sidang-sidang di Dewan Rakyat Hindia-Belanda, yaitu sejak Mohammad Hoesni Thamrin berpidato dengan bahasa itu di sana.

Dalam ingatan kita, Poerwadarminta adalah seorang ilmuwan, bukan politikus. Ia ilmuwan swadidik bersahaja yang berperan besar dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia. Minatnya kepada bahasa sudah terlihat ketika ia berusia sekitar 20 tahun. Sambil mengajar di sebuah sekolah dasar di kota kelahirannya, Yogyakarta, ia mengambil kursus pelbagai bahasa, seperti bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Sanskerta, Jerman, Jawa Kuno, Melayu, dan Jepang, sampai ia menguasai semua bahasa itu. Tercatat ia sudah menghasilkan sedikitnya 25 buku sebagian besar berupa kamus lima diktat kuliah bahasa, serta sejumlah tulisan yang tersebar di beberapa media cetak.

Ia mencurahkan sebagian besar pikirannya pada perkamusan, satu bidang yang tak kalah penting dibanding upaya orang lain, seperti Sutan Takdir Alisjahbana atau Armijn Pane, dalam meletakkan dasar-dasar tata bahasa Indonesia. Julukan Bapak Kamus Indonesia disandangkan kepadanya bukan hanya karena karya unggulnya, Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952), menjadi dasar pengembangan kamus bahasa Indonesia kontemporer. Ia pun menyusun beberapa kamus lain, di antaranya Baoesastra Djawa I (bersama C.S. Hardjasoedarmo dan J.Chr. Poedjasudira, 1930); Baoesastra Walandi-Djawi (1936); Baoesastra Djawa II (1939); Kamus Nippon-Indonesia, Indonesia-Nippon (1942); Indonesisch-Nederlands Woordenboek (bersama A. Teeuw, 1950); serta Kamus Latin-Indonesia (bersama K. Prent dan J. Adisubrata, terbit secara anumerta pada 1969). Ia malah sedang menyusun kamus Prancis-Indonesia ketika ajal menjemputnya.

Sepulang dari Jepang, sepanjang 1937-1942, ia bekerja di bagian penerjemahan penerbit Balai Pustaka, lalu ditempatkan sebagai juru bahasa di kantor Kempetai. Dan pada 1946 ia dipindahkan ke bagian perpustakaan Museum Nasional.

Setelah berkali-kali dimutasi di lingkungan Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada saat yang sama ia masih terus mengajar bahasa Indonesia di beberapa sekolah serta perguruan tinggi di Jakarta sejak Januari 1953 ia bertugas di Lembaga Bahasa dan Budaya Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia sebagai pemimpin bagian leksikografi. Pada 1960 ia mengundurkan diri dari pekerjaannya. Tapi ia masih membantu Lembaga Bahasa dan Budaya Cabang Yogyakarta, sambil mewariskan ilmunya di Taman Siswa serta menjadi dosen di beberapa universitas terkemuka Yogyakarta dan Semarang.

Sebelum dan pada masa sekitar Poerwadarminta menyelesaikan kamusnya yang bersejarah, di tengah masyarakat sudah beredar cukup banyak kamus, baik ekabahasa maupun dwibahasa, termasuk kamus yang berukuran besar. Tapi mengapa kemudian Kamus Poerwadarminta yang dipandang sebagai tonggak dan dipergunakan sebagai rujukan dalam pengembangan kamus bahasa Indonesia?

Menilik cara kerjanya, tak pelak Poerwadarminta layak disebut sebagai peletak dasar leksikografi di Indonesia. Tiap kata, entah dari khazanah kontemporer entah lama, ia catat dalam kartu disertai keterangan mengenai sumber, batas-batas arti, serta bagaimana penggunaannya. Bersama sekian teks yang telah ia ambil kata-katanya, semua bahan tersebut kemudian ia simpan baik-baik. Sebuah ketelatenan yang amat menakjubkan, dan ini baru merupakan langkah awal dari satu pekerjaan mahapelik. Langkah berikut menghadapkan dia pada dua soal genting, yaitu merumuskan makna sesuatu kata dan menentukan pilihan di antara sekian varian bentuk kata. Dalam soal yang pertama, tanpa rasa segan dan malu-malu ia bertukar pikiran dengan orang yang ia pandang lebih ahli, seperti Poerbatjaraka, C. Hooykaas, atau A. Teeuw. Namun, ketika sampai pada keharusan menetapkan pilihan, ia tegas mengedepankan otoritasnya sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip ilmu bahasa.

Pernah ia katakan, kata-kata yang tercantum di dalam kamusnya sudah digunakan di lima tempat (Medan, Jakarta, Surabaya, Ujungpandang, dan Ambon), dalam lima buku atau majalah, oleh lima penulis yang berbeda-beda. Dari sudut ini, Kamus Poerwadarminta bersifat sinkronis, artinya ia menyajikan pemberian arti kata dalam bahasa Indonesia kontemporer. Tapi kamus itu juga berwatak diakronis, karena mengetengahkan kata-kata Melayu lama dari abad ke-17 hingga ke-19. Jangan lupa, ia hidup pada masa ketika kosakata dari khazanah Melayu lama masih subur, sementara kosakata terutama dari Barat mulai datang membanjir. Dalam kalimat Poerwadarminta: �Sebagai tjermin tjorak perkembangan dan pemakaian bahasa Indonesia pada dewasa ini, maka kamus ini pun terpaksa masih bersipat mendua, lama dan baru."

Di belahan dunia lain, ketika tradisi perkamusan mulai diterangi cahaya ilmu, penyusunan kamus lebih ditujukan untuk memelihara kemurnian bahasa. Lihat misalnya, kamus yang disusun oleh Bapak Kamus Inggris, Samuel Johnson, Dictionary of the English Language (1755), atau karya Bapak Kamus Amerika, Noah Webster, An American Dictionary of the English Language (1828). Poerwadarminta bukan tidak sadar akan konsekuensi pilihannya. Ia sendiri menyatakan kamusnya bukanlah kamus standar atau baku, melainkan kamus deskriptif yang mencatat sambil merumuskan arti dan penggunaan tiap kata sebagaimana kata itu hidup di tengah pemakainya. Menjelang seminar bahasa Indonesia pada 1968, ia sempat mengutarakan pikiran mengenai pentingnya kamus baku, selain dua jenis kamus lain, yaitu kamus ilustratif dan tesaurus dalam bahasa Indonesia.

Poerwadarminta sendiri mungkin tidak tahu, setelah memasuki abad ke-20, pendekatan normatif Johnson dan Webster sudah ditinggalkan orang. A New English Dictionary on Historical Principles (1934) dan Webster's Third New International Dictionary (1961), misalnya, berbeda dengan kamus Johnson dan Webster, sekadar mencatat dan menafsirkan pemakaian sebuah kata atau istilah secara cermat tanpa hasrat mendiktekan mana bentuk yang betul serta mana yang salah. Jelas Kamus Poerwadarminta mengikuti prinsip ini. Ia hanya berharap kamusnya dapat memenuhi keperluan-keperluan jang praktis dalam batja-membatja segala matjam bacaan". Sedari awal ia pun sudah membayangkan keperluan memperbaiki dan memperbaruinya setiap sepuluh atau 15 tahun. Baginya, kamus tak mungkin kekal.

Pilihan pendekatannya tersebut secara tak terelakkan memang mengakibatkan ada tuntutan penyempurnaan terus-menerus. Namun sayang, sejarah berkata lain. Sampai meninggalnya, ia tidak pernah berkesempatan melakukan penyempurnaan tersebut. Sejak pertama terbit pada 1952, baru pada 1976 di cetakan kelima Kamus Poerwadarminta diolah kembali" oleh Pusat Bahasa. Penyempurnaan kedua kita lihat pada cetakan ke-13 pada 2003. Hanya entah mengapa, sejak di tangan Pusat Bahasa, teks-teks pengantar yang ditulis Poerwadarminta tak lagi bisa kita jumpai di sana.

Tahun ini kita memasuki 40 tahun wafatnya Bapak Kamus Indonesia itu. Kamus Umum Bahasa Indonesia hasil jerih payahnya telah memberi sumbangan yang tak ternilai dalam pembakuan kosakata bahasa Indonesia lewat usaha keras yang cermat, sistematis, dan menuruti prinsip-prinsip leksikografi. Seperti bangsa Anglo Saxon menyebut Roget's Thesaurus atau orang Belanda menyebut Kamus Van Dale, mungkin baik bila kita mengenangkan namanya dengan menyebut kamus babon yang ia susun: Kamus Poerwadarminta.

Eko Endarmoko dan Anton M. Moeliono, Kedua penulis pencinta bahasa Indonesia.

(100) Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta
Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1952)

Tanda Bangsa Berbudaya

ALFRED Simanjuntak, 87 tahun, terus terang menyatakan kekagumannya pada tokoh satu ini. Saat pencipta lagu Bangun Pemudi Pemuda tersebut masih berusia dua tahun, si tokoh sudah menjadi anggota Volksraad alias parlemen Hindia Belanda. Pada usia 20-an Alfred pernah bertemu dengannya di sebuah gereja di Jalan Kramat, Jakarta Pusat. Berbincang dengannya pun menjadi kemewahan luar biasa. Terlebih bila melihat namanya. �Sudah Todung, Sutan, Gunung, Mulia lagi," kata Alfred.

Rasa hormat Alfred terhadap Profesor Doktor Todung Sutan Gunung Mulia (1896-1966) bukan semata melihat keturunan dan aktivitas politiknya. �Perhatiannya terhadap pendidikan dan agama sungguh luar biasa," ujarnya. �Dialah orang Batak yang paling terhormat." Tak mengherankan bila Alfred menjadi salah satu penggagas untuk mengabadikan namanya menjadi Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia pada 1971.

Mulia memang dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional yang berfokus pada pendidikan dan agama. Dia pernah mengikuti konferensi pekabaran injil sedunia di Yerusalem. Sesudah Indonesia merdeka, dia pernah menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada 1945-1946.

Kapasitasnya inilah yang membuatnya terpilih menjadi Pemimpin Redaksi Ensiklopedia Indonesia bersama Profesor K.A.H. Hidding. Ensiklopedia tiga volume ini diterbitkan W. Van Hoeve Bandung pada 1955. Inilah ensiklopedia pertama yang menggunakan bahasa Indonesia.

Ensiklopedia ini muncul di tengah hiruk-pikuknya pemilihan umum 1955. Dalam pendahuluannya, Mulia menekankan pentingnya pengetahuan bagi bangsa yang baru lahir. Saat itu Indonesia baru sepuluh tahun menyatakan kemerdekaannya. �... tak disangkal lagi, bahwa kini sangat dibutuhkan suatu ensiklopedia jang semata-mata ditudjukan kepada kepentingan Indonesia...."

Penerbit Van Hoeve Bandung, yang sudah beroperasi sejak 1930-an, ditutup pada 1957 ketika Indonesia mencanangkan nasionalisasi. Ia muncul kembali pada 1974 dengan nama PT Ichtiar Baru Van Hoeve dan membuat Ensiklopedia Indonesia dengan pemimpin redaksi Hassan Shadily pada 1980.

Direktur Utama Ichtiar Baru, L. Pasmans, mengatakan bahwa ensiklopedia mengenai Indonesia sudah banyak beredar dalam bahasa Belanda. Misalnya Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, yang terbit pada 1927. Ensiklopedia terbitan Brill dan Nijhoff ini semuanya memuat pengetahuan tentang Indonesia.

Pasmans mengatakan, ensiklopedia Mulia itu boleh jadi tidak terlalu berpengaruh langsung kepada orang banyak. Namun ensiklopedia ini, menurut dia, menjadi tonggak perkembangan bangsa Indonesia. �Setiap negara yang berbudaya mempunyai ensiklopedia," katanya.

Mulia menyusun ensiklopedia ini dengan menggunakan ejaan Suwandi, yang berlaku mulai 1947. Adapun untuk istilah, ia berpedoman pada Komisi Istilah. Dia juga menelusuri istilah dari majalah Medan Bahasa, Bahasa dan Budaja, Kamus Umum, Pembina Bahasa Indonesia, hingga Kitab Logat Melajoe.

Pasmans mengatakan, sebagian istilah umum dalam ensiklopedia Mulia kemungkinan terjemahan dari ensiklopedia terbitan Belanda. Adapun untuk muatan lokalnya Mulia menggali sendiri bersama para ahli. Mulia telah mengumpulkan 22 ribu kata pokok plus peta berwarna serta historiografi. Penjelasannya masih relatif singkat sehingga rata-rata bisa 10 lema dalam satu halaman. �Pada 1950-an itu sangat luar biasa," ujar Pasmans.

Dalam kata pengantarnya, Mulia menyebut telah mengundang sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu, meski tidak disebutkan satu per satu. Hanya tema mengenai agama Islam yang tegas disebut berada di bawah pengawasan Mohammad Natsir. Tokoh pendidik itu meninggal pada 11 November 1966 di Amsterdam, Belanda. Keinginannya untuk menyebarkan pengetahuan berlanjut ke Ensiklopedia Indonesia pimpinan Shadily. Ada pula Ensiklopedia Nasional Indonesia terbitan PT Cipta Adi Pustaka, 1988-1991. Semua sesuai dengan harapan dalam tulisannya, �...kini djalan terbuka bagi segenap orang Indonesia untuk memperluas dan memperdalam pengetahuannja mengenai kebudajaan dan ilmu pengetahuan dari seluruh dunia."

(99) Ensiklopedia Indonesia
Penerbit: W. Van Hoeve, Ltd, Bandung, (1955) 

Kisah Atlas dari Amsterdam

AJAKAN itu datang dari sahabat jauh di negeri Belanda, awal 1950. Mattheus van Randwijk, Kepala Redaksi dan Direktur Majalah Mingguan Vrij Nederland, meminta Djamaludin Adinegoro datang ke Belanda. Randwijk punya agenda penting. Bersama Cornelis de Koning, koleganya di Vrij Nederland, ia ingin memperbanyak penerbitan buku untuk Indonesia. Salah satunya membuat atlas.

Mereka mencurahkan energi pada usaha penerbitan dan penjualan buku setelah majalah yang dikelolanya goyah ditinggal pelanggan. Vrij Nederland dianggap terlalu memihak Indonesia.

Adinegoro menerima ajakan Randwijk. Ia rela meninggalkan Mimbar Indonesia, surat kabar yang ikut dirintisnya sejak 1947, karena upaya penerbitan buku itu untuk menjembatani hubungan Indonesia dan Belanda. "Kami sekeluarga sampai boyongan ke Amsterdam," kata Anita Bachtul Chatam, anak kedua Adinegoro, Selasa pekan lalu.

Di kota itu, Adinegoro bersama istri dan lima anaknya tinggal di rumah Paulus Potterstraat. Di bangunan lima lantai itu mereka menempati lantai dasar hingga lantai dua. Lantai sisanya dihuni keluarga lain. "Kamar dan ruangannya kecil-kecil," kata Anita, kini 71 tahun, mengenang. "Tapi rumah kami menjadi tempat berkumpul mahasiswa Indonesia."

Hampir dua tahun di sana, Adinegoro menghabiskan waktu untuk mengerjakan atlas. Ia dibantu Adam Bachtiar dan Sutopo. "Om Bachtiar bolak-balik Jakarta-Amsterdam," ujar Anita. Kebetulan Adam Bachtiar bersaudara dengan Adinegoro. Ibu mertua Bachtiar kakak kandung Adinegoro. Adapun Sutopo adalah kolega Bachtiar. Ia guru etnologi di sekolah menengah tinggi di Jakarta, yang dipimpin Bachtiar.

Pada masa itu belum ada percetakan yang memadai untuk membuat peta di Jakarta. Itu sebabnya, gambar kartografi atlas dibuat NV Cartografisch Instituut Bootsma-Falkplan di Den Haag. Sementara itu, gambar dan naskah dicetak di percetakan offset NV Boek-en Kunstdrukkerij V/H Mouton & Co., juga di Den Haag.

Falkplan adalah salah satu pembuat atlas yang masih terkenal di negeri itu. "Mereka sekarang menerbitkan peta-peta lipat untuk wisatawan," kata Jaap Erkelens, bekas Kepala Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde. Adapun Mouton & Co. dikenal karena sering menerbitkan buku-buku seni budaya.

Tiga serangkai itu tidak sendirian. Selama proses pengerjaan, mereka bekerja sama dengan W.F. Heinemeyer dan J.E. Romein, ahli geografi Belanda. Keduanya, kata Jaap, dilibatkan karena berpengalaman menyusun edisi revisi atlas Bos pada 1930-an. Atlas Bos adalah atlas sekolah yang sangat terkenal di negeri itu. Terbit sejak akhir abad ke-19, atlas ini sudah dicetak ulang hingga ratusan kali. Nama Bos sendiri diambil dari nama belakang si perancang atlas, yang juga guru sekolah menengah di Negeri Kincir Angin itu.

Dari kolaborasi itu, terbitlah buku Atlas Semesta Dunia pada 1952. Inilah atlas pertama yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sejak Republik merdeka. Pada tahun yang sama setelah atlas itu muncul, trio Adinegoro, Bachtiar, dan Sutopo-tanpa Heinemeyer dan Romein-juga menerbitkan Atlas Semesta Dunia untuk Sekolah Landjutan.

Dua atlas itu diterbitkan NV Djambatan di Amsterdam. Perusahaan tersebut didirikan Randwijk dan De Koning bersama beberapa penerbit di Belanda empat tahun sebelumnya. Nama Djambatan diambil dari De Brug-Djambatan, yayasan yang didirikan Vereniging Nederland-Indonesia pada 1946 untuk menjembatani ketegangan hubungan Indonesia-Belanda masa itu.

Di Jakarta, Randwijk dan De Koning mendirikan Opbouw-Pembangoenan. Tugas yayasan ini memperluas jaringan penerbitan majalah dan buku. Belakangan De Koning mendirikan cabang NV Djambatan di Jakarta, yang kemudian menjadi cikal bakal PT Penerbit Djambatan pada 1954.

***

KETERTARIKAN Adinegoro pada pembuatan atlas bukan tanpa sebab. "Selain sebagai jurnalis, Ayah mengenyam pendidikan kartografi," kata Anita. Ilmu itu dipelajarinya di Jerman.

Ia merantau ke Eropa pada 1926 setelah merasa tidak cocok dengan ilmu kedokteran yang dipelajarinya di STOVIA. Sebelum tiba di Jerman, dengan naik kapal Tambora milik Totterdamse Lloyd, Belanda, Adinegoro singgah di beberapa negara. Persinggahan itu ditulisnya dalam kisah perjalanan di harian Pandji Pustaka dari 1926-1929.

Di Jerman, pria kelahiran Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904, itu tinggal di Berlin, Muenchen, dan Wuzburg. Satu semester untuk belajar jurnalistik, empat semester mendalami geografi dan kartografi, serta dua semester studi filsafat dan jurnalistik. Empat tahun di Jerman, ia kembali ke Indonesia.

Sejak itu Adinegoro memimpin harian Pewarta Deli di Medan, menjadi Kepala Perwakilan Pemerintah Pusat di Sumatera pada zaman revolusi, dan ikut mendirikan Kedaoelatan Rakjat di Bukittinggi.

Saat kesehatannya ambruk, Adinegoro memutuskan hijrah dari Bukittinggi ke Jakarta. Untunglah di sana ada Adam Bachtiar yang menyediakan paviliun buatnya. Bachtiar memang masih terhitung kemenakan Adinegoro. Ia dilahirkan di Pariaman, Sumatera Barat, 5 Maret 1905. Tamat dari Hoogere Burger School di Pariaman, Bachtiar meneruskan studi ke Amsterdam, mempelajari etnologi. Ia bisa melanjutkan studi karena peran Gerrit Jacob Nieuwenhuis.

Nieuwenhuis saat itu Ketua Dewan Pendidikan di Departemen Pengajaran di Jakarta. "Ia menjadi bapak angkat ayah saya," kata Nasti Mardjono Reksodiputro, 72 tahun, putri kedua Bachtiar.

Pulang dari Belanda, Bachtiar mengajar di Allgemeine Middelbare School di Yogyakarta, pindah sebentar ke Bandung, lalu mengajar calon pegawai negeri di Mosvia, Magelang. Bachtiar kemudian mendirikan sekolah menengah tinggi di Jakarta pada awal pendudukan Jepang. Ia bahkan diam-diam menggelar kegiatan sekolah di rumahnya di kawasan Gondangdia Lama, Jakarta, saat sekolah itu ditutup.

Kecintaannya pada dunia pendidikan mendorongnya ikut terlibat dalam pembuatan Atlas Semesta Dunia. Setelah itu, Bachtiar, yang pernah menjadi anggota Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), pindah ke Malang menjadi Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru. Perguruan itu kemudian berganti nama menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kini namanya menjadi Universitas Negeri Malang.

Enam tahun setelah atlas itu terbit, Bachtiar wafat. Ia dikebumikan di pemakaman Samaan, Malang. Adinegoro menyusul sembilan tahun kemudian dan dimakamkan di Karet, Jakarta.

***

JERIH payah Adinegoro dan Bachtiar mencipratkan hasil. Atlas Semesta Dunia itu membawa pengaruh bagi pembuatan atlas generasi selanjutnya. "Atlas ini menjadi referensi," kata Sukwarjono, 63 tahun, Kepala Laboratorium Desain, Konstruksi, dan Analisis Peta Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Atlas itu menjadi atlas pertama buatan orang Indonesia yang berani menunjukkan identitas bangsa.

Sementara pada atlas-atlas sebelumnya penamaan kota dan pulau memakai bahasa Belanda, atlas ini memakai bahasa Indonesia. Misalnya dari Buitenzorg menjadi Bogor, Fort de Kock menjadi Bukittinggi, Celebes menjadi Sulawesi. "Perubahan itu menimbulkan rasa kebangsaan pada masa itu," ujar Yusuf Razak, 68 tahun, salah satu penyusun Atlas Indonesia dan Semesta Dunia (2002).

Yang menarik, perubahan juga tampak dari bagaimana atlas itu memandang dunia. Jaap menilai para penyusun atlas menempatkan Indonesia sebagai pusat: memberikan perhatian lebih buat Indonesia dan memandang dunia dari sudut pandang Indonesia. Atlas itu menunjukkan Indonesia sebagai negara otonom. "Bukan lagi sekadar ekor dari Belanda," katanya.

Ini berbeda dengan atlas pendahulu yang melihat dunia dari sudut Eropa atau Amerika, dengan mengesampingkan Asia. Padahal Asia masa itu sudah berbeda ketimbang sebelumnya. "Asia sudah mempunyai peranan di dunia dan Indonesia mengambil kedudukan yang penting dalam lingkungan Asia," demikian kecap dapur dari tim redaksi atlas itu.

Atlas itu juga tak cuma menonjolkan gambar, tapi memuat keterangan soal bahan mentah, hasil bumi, industri, perhubungan, serta flora-fauna. Bahkan atlas tersebut menampilkan teks panjang-lebar soal sejarah, etnologi, sosiologi, ekonomi, dan politik tiap negara-disertai keterangan statistik dan gambar-gambar.

Noorhadi Rahardjo, kolega Sukwarjono dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, mengatakan visualisasi data geografi Indonesia dalam bentuk atlas yang disertai deskripsi itu sangat brilian-terlebih untuk ukuran masa itu. "Sayang, kenapa atlas yang bagus itu tidak pernah dicetak ulang," kata Jaap menambahkan.

(98) Atlas Indonesia
Penerbit: N.V. Djambatan, Jakarta (1952)

Lawatan ke Pelosok Negeri

SEKELOMPOK wartawan melakukan lawatan ke Sumatera, Singapura, hingga Malaysia pada 1947. Mereka dipimpin seorang pegawai tinggi Departemen Penerangan Republik Indonesia, Parada Harahap. Muhammad Radjab, wartawan kantor berita Antara, kemudian menuliskan perjalanan itu ke dalam sebuah buku, Tjatatan di Sumatera.

Buku itu diterbitkan Dinas Penerbitan Balai Pustaka dan dilansir pertama kali pada 1949. Bentuknya laporan perjalanan, lengkap dengan tanggal peristiwa. Selain Radjab, ikut serta Suardi Tasrif dari harian Berita Indonesia dan Rinto Alwi dari koran Merdeka. Mereka sudah menuliskan laporan perjalanan di koran masing-masing.

Radjab dalam pengantar bukunya menyebutkan, meski tak resmi berbagi tugas, masing-masing penulis melakukan pengamatan yang berbeda. Suardi Tasrif, misalnya, mengamati soal ekonomi, sementara Rinto Alwi lebih berfokus pada masalah politik. Ia sendiri lebih memperhatikan kondisi masyarakat serta kebiasaan dan kehidupan rakyat, yang baru saja merdeka.

Program lawatan wartawan ini, menurut tokoh pers nasional Soebagijo Ilham Notodidjojo, dilakukan tidak hanya ke Sumatera, tapi juga ke daerah lain. Tujuannya agar masyarakat di suatu daerah mengetahui kondisi daerah lain. "Sehingga menumbuhkan rasa nasionalisme di antara masyarakat Indonesia," ujarnya.

Buku setebal 227 halaman ini bercerita tentang segala hal yang disaksikan, dirasakan, dan dipikirkan penulis dalam perjalanannya. Misalnya kondisi alam dan adat istiadat seperti tradisi kawin paksa di Bukittinggi. Juga kebiasaan sogok-menyogok yang dikenal sebagai wang ajam yang dilakukan polisi dengan pedagang pembawa hasil bumi. Sogokan ini ditemukan dalam perjalanan antara Bukittinggi dan Pekanbaru.

Radjab juga menyempatkan diri berdialog dengan rakyat kecil serta para pemimpin lokal dan tokoh politik di daerah-daerah itu. Pandangan mereka ternyata amat beragam. Masyarakat Tapanuli, misalnya, meminta pembesar Sumatera diberi keleluasaan menjalankan aturan dan politik sendiri. Ini terkait dengan ketidaksabaran mereka atas sikap pemerintah pusat yang dinilai tidak memiliki ketegasan dalam setiap perundingan dengan Belanda.

Juga ada perbandingan sikap dan semangat orang Sumatera dengan masyarakat Singapura dan Malaysia, yang dinilai lebih berdisiplin dan bekerja keras. Masyarakat Indonesia dinilai masih suka bermalas-malasan, dan banyak kebiasaan buruk serta paham keliru yang harus dibuang.

Pendek kata, buku ini memberikan gambaran masyarakat Indonesia di sudut yang jauh dari Jakarta pada masa awal setelah Proklamasi.

(97) Catatan di Sumatera
Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1949)

Mati Ketawa Keliling Indonesia

SEBUAH tulisan Pramoedya Ananta Toer di koran Bintang Timur pada 1963 menancap di benak Gerson Poyk. Pram, pengasuh pojok kebudayaan Lentera, menganjurkan kepada mereka yang berminat menjadi penulis agar memiliki jiwa nasionalis. "Caranya, kenali Indonesia," kata Gerson, kini 77 tahun.

Maka Gerson pun berhenti mengajar di sebuah sekolah menengah pertama di Ternate, Maluku selain karena gaji guru tidak pasti. Gerson menjajal profesi baru sebagai wartawan Sinar Harapan. Menjadi jurnalis, pikirnya, punya kesempatan mengenali dan berkeliling Indonesia. Tapi hanya tujuh tahun ia bertahan. Alumnus sekolah guru agama di Surabaya ini kemudian menjadi wartawan lepas.

Mulai 1970, tulisan perjalanan Gerson muncul di banyak media. Ia lebih bebas menyambangi tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi wartawan. Gerson melaporkan pelbagai hal: dari kisah dua gadis miskin yang menjadi pelacur di Jatiluhur, turis mabuk di Bali, petani karet di sekitar Sungai Kapuas yang terimbas embargo ekonomi Malaysia, hingga upacara adat di Merauke.

Tulisannya ringan dan jenaka, seringan hatinya ketika mengunjungi tempat-tempat itu. Ia tak pernah merencanakan kepergian dengan susah. Tiba-tiba ingin pergi ke Papua, berangkatlah ia ke sana, tak peduli kantong cekak. Gerson biasa mengembara tanpa sepeser pun uang. Ia pernah menjual jaket untuk ongkos pulang dari Bojonegoro, Jawa Timur.

Menurut Gerson, ada saja orang atau lembaga yang memberikan sangu untuk jalan-jalan. Sjam, misalnya. Pemilik majalah Selekta di Jakarta itu selalu berbaik hati memberinya ongkos. Gerson menebusnya dengan beberapa tulisan. Pada 1970-an, honor satu artikel Rp 3.000, setara dengan 37 kilogram beras.

Pada 1986, Gerson memboyong Hadiah Adinegoro, penghargaan tertinggi bidang jurnalistik kala itu. "Perjalanan dari Padang Sabana Timor dan Sumba" yang dimuat majalah Sarinah, 13 Oktober 1986, membuat pria kelahiran Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, itu menyisihkan 37 karya tulis lainnya. Hadiah uang yang dia peroleh, ditambah hadiah-hadiah sastra dan beasiswa ke Amerika, dipakai untuk membeli tanah dan rumah.

Kritikus sastra Hans Bague Jassin menilai Gerson sebagai penulis yang memelopori nilai-nilai kedaerahan. Cerita pendek atau novelnya diilhami dan menyajikan kisah yang dekat dengan hidup sehari-hari, seperti Sang Guru, Matias Akankari, atau Di Bawah Matahari Bali.

Wartawan dan penyair Eka Budianta menganggap catatan perjalanan Gerson sebagai reportase tentang Indonesia paling penting hingga sekarang. Dalam soal ini, Eka menyejajarkan Gerson dengan Pramoedya Ananta Toer. "Gerson, lewat tulisan-tulisannya, telah membuat kita jatuh cinta kepada Indonesia dan pulau-pulaunya," katanya.

Menurut Eka, dibanding penulis lain, dulu atau sekarang, Gerson paling menjiwai dalam menulis budaya lokal. Tulisannya tentang Maluku atau Sumbawa mampu membawa pembaca membayangkan dua provinsi yang kala itu masih minim publikasi. "Ia membuka wawasan kita terhadap keadaan Indonesia timur," kata Eka.

Selain dengan gaya tulis yang renyah, Gerson menyampaikan laporannya dari sudut pandang personal plus pengalaman pribadi sebagai bumbu. Ia, yang hidup di Ternate, misalnya, menulis budaya Maluku dengan menyisipkan kepedihan seorang guru miskin. Di Bali, ia mereportase aktivitas turis dan menghubungkannya dengan persilangan budaya.

Kecuali beberapa cerpen dan novel, reportase-reportase Gerson itu belum dijilid. Di ruang kerjanya yang kumuh di Depok, bapak tiga anak itu menyimpan guntingan koran dan majalah yang memuat tulisannya. Dengan biaya sendiri, hasil berkebun dan menjual obat penurun kolesterol, Gerson berencana menerbitkan tulisan-tulisan di bawah judul "Mati Ketawa Keliling Indonesia".

Di usia senja, ia masih bugar dan terus menulis. Ceritanya yang paling anyar soal Pulau Miangas, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur, yang ia kunjungi saat menghadiri undangan sebuah kelompok teater. "Begitulah, karena Abang Pram, saya jadi pengembara seumur hidup," katanya sambil mengguncang bahu.

(94) Perjalanan Keliling Indonesia Publikasi: Media cetak nasional dan daerah (1970-1980-an)
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India