Senin, 19 Mei 2008

Sepotong Sejarah Jakarta

CETAKAN pertama buku setebal 116 halaman ini diluncurkan pada 1977 oleh penerbit PT Dunia Pustaka Jaya. Sejak awal, Rosihan Anwar, sang penulis, membidik pembaca dari kalangan siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Tak aneh bila bahasa dan penyajiannya dibuat mudah dan tidak berbelit-belit. "Font dan gambarnya juga khas buku untuk anak," ujar wartawan senior Budiman S. Hartoyo, yang juga kolektor buku tua.

Sang penulis, yang saat itu wartawan harian Asia Raya, lalu koran Merdeka, merekam kejadian penting di bulan-bulan pertama setelah Proklamasi. Termasuk beberapa kejadian yang tidak sempat dilaporkan di korannya dulu. "Sensor Jepang saat itu sangat ketat," kata Rosihan.

Kejadian pada kurun 1945-1946 itu dimulai dengan keadaan Jakarta sehari setelah Proklamasi dibacakan. Kala itu Jakarta gelap-gulita karena ada ketentuan kusyuu keiho atau pemadaman lampu. Kabar kekalahan Jepang dari Sekutu tak tersiarkan, demikian pula berita Proklamasi yang baru saja dibacakan duet Soekarno-Hatta.

Buku ini juga bercerita tentang rencana rapat raksasa di Lapangan Ikada, yang sekarang menjadi Lapangan Banteng, sebagai unjuk kekuatan bahwa Indonesia benar-benar telah merdeka dan memiliki pemerintahan berdaulat. Ada pula kisah bentrokan pemuda dengan Netherlands Indies Civil Administration (NICA), yang mempersenjatai bekas serdadu Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) dan menteror rakyat. Termasuk kisah Maklumat 1 November 1945 yang menyerukan pendirian partai-partai politik.

Berikutnya, Rosihan mereportasekan lawatan Soekarno, Hatta, dan Sjahrir keliling Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk memperkenalkan diri kepada rakyat. Kunjungan itu juga digunakan Soekarno untuk memperkenalkan kondisi Indonesia kepada sejumlah wartawan asing.

"Buku ini berisi reportase yang baik dan sangat hidup," ujar Budiman. Selain menambah pengetahuan, buku ini diharapkan membangkitkan rasa kebangsaan bagi pembacanya.

(96) Kisah-kisah Jakarta
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta (1977)

Tirto dan Koran Pergerakan


GEDUNG Indonesia Menggugat, Bandung, 7 Desember 2007. Artis Dewi Yull tampak terharu menerima kenang-kenangan Panitia Seabad Pers Kebangsaan. Cendera mata tersebut berupa poster buyutnya, R.M. Tirto Adhi Soerjo, yang menegaskan peran tokoh itu di kancah pergerakan nasional Indonesia.

Tirto Adhi Soerjo alias Djokomono merupakan orang pribumi pertama yang mendirikan perusahaan pers. Surat kabarnya, Medan Prijaji, dianggap sebagai surat kabar pertama Indonesia yang pendanaan, pengelolaan, percetakan, penerbitan, dan wartawannya orang Indonesia asli. "Pada masa itu, surat kabar biasanya dimiliki dan dikelola oleh orang Tionghoa, Belanda, atau Indo Belanda," kata wartawan senior Rosihan Anwar.

Koran ini terbit pertama kali pada Januari 1907 dalam bahasa Melayu. Tapi perusahaan penerbitnya, NV Javaansche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften, didirikan pada 1904. Perusahaan itu berkantor di Jalan Naripan, Bandung, dengan modal awal 75 ribu gulden. Saat itu, Tirto baru berusia 24 tahun.

Sejak terbitan pertamanya, ia mengusung delapan asas: memberikan informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, tempat mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasi diri, membangun dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.

Di bawah logo Medan Prijaji, tercantum motonya: "Ja'ni swara bagi sekalijan radja2, bangsawan asali dan fikiran dan saoedagar2 anaknegri. Lid2 Gemeente dan Gewestelijke Raden dan saoedagar bangsa jang terperentah lainnja jang dipersamakan dengan anak negri di seloeroeh Hindia Olanda."

Dalam waktu singkat, Medan Prijaji beroleh simpati. Mulai 5 Oktober 1910, koran ini terbit tiap hari kecuali Jumat, Ahad, dan hari raya. Pelanggannya mencapai 2.000 orang. Motonya pun berubah menjadi "Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia"-sebuah semboyan yang cukup berani untuk masa itu.

Lewat media tersebut, Tirto melancarkan kritik pedas atas ketidakadilan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Terutama tindakan para kontrolir Belanda terhadap rakyat. Akibatnya, ia dibuang ke Pulau Bacan, Maluku Utara, dan Lampung.

Tirto, menurut Soebagijo Ilham Notodidjojo, adalah tokoh pergerakan yang paham fungsi pers saat itu. Menurut dia, ada tiga alat perjuangan yang dipergunakan ketika itu: pendidikan, olahraga, dan pers.

Di zaman itu, untuk mendirikan perusahaan pers, jelas diperlukan keberanian. "Berani ngutang dan berani menghadapi delik pers," kata Soebagijo. Soalnya, saat itu pemerintah Belanda sudah menerapkan pasal-pasal hatzaai artikelen atau pernyataan menebar kebencian.

Tak cuma berjuang melalui tulisan, Tirto dengan Medan Prijaji juga mengadvokasi rakyat yang tersangkut masalah hukum. Maka layak bila sekarang ada sekelompok orang yang hendak mengajukan Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji sebagai tonggak pers nasional.

(95) Koran Medan Prijaji (1907-1912)

Cerita dari Tanah Dingin

BERAPA jauhkah jarak Marseille-Paris? Pada 1926, ketika bangsa Indonesia sedang sibuk bergerak", itu bukan pertanyaan mudah. Bacaan terbatas. Koran berbahasa Indonesia bisa dihitung dengan jari. Orang yang pernah menginjak Eropa pun tak banyak.

Tapi pembaca harian Pandji Pustaka tahu: Cuma sejauh Banjarmasin-Long Iram di Kalimantan." Ini kata Adinegoro, yang ketika itu sedang berkelana keliling Eropa. Barangkali ada orang di Long Iram atau Bandjarmasin jang tertawa membatja ini, akan tetapi demikianlah jang sebenarnja," tulisnya, dalam ejaan asli.

Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Sutan bukanlah wartawan Pandji. Dia mahasiswa kedokteran di STOVIA yang gemar menulis. Mula-mula dia menulis untuk majalah Tjahaja Hindia, kemudian Pandji Pustaka.

Kegemaran menulis... membuat Djamaluddin menjadi gelisah," tulis Soebagijo I.N.wartawan Penyebar Semangat, Surabaya dalam bukunya: Adinegoro, Pelopor Jurnalistik Indonesia. Pada pertengahan 1926, Adinegoro tiba-tiba memutuskan merantau ke Tanah Dingin" (sebutan Eropa waktu itu) untuk belajar jurnalistik. Kala itu usianya baru 22 tahun.

Kisah perjalanan ke Eropa inilah yang diceritakan Adinegoro secara bersambung di harian Pandji Pustaka sepanjang 1926-1929. Bukan sekadar menulis laporan pandangan mata, dia mengaitkan pengalamannya dengan sejarah dunia dan membandingkan itu dengan Indonesia.

Dia berangkat naik kapal Tambora milik Rotterdamse Lloyd, Belanda, dari Pelabuhan Tanjung Priok. Dari sana, Tambora singgah di lebih dari dua lusin kota, berawal dari Singapura, lalu ke Medan, Sabang, Kolombo, Aden, Port Said, hingga Marseille, Prancis.

Di Singapura, misalnya, Adinegoro takjub dengan bandarnya yang meriah. Disini segalanja lebih murah, sebab Singapura ialah satu pelabuhan merdeka," tulisnya. Segala barang dagangan disini dibebaskan dari bia. Pakaian misalnja djauh lebih murah dari di Djawa."

Tujuan Adinegoro adalah Jerman. Namun, setiba di Marseille, dia memilih naik kereta melalui Belanda.

Di Paris, Adinegoro bertamu ke Mohammad Nazir, belakangan menjadi Duta Besar Indonesia di Prancis. Nazir memberi tahu dia ada profesor yang tengah menerjemahkan puisi Mohammad Yamin berjudul Tanah Air ke dalam bahasa Prancis.

Kala itu cuma ada beberapa puluh pemuda Indonesia yang belajar ke Eropa, kebanyakan di Belanda. Mereka tergabung dalam Indische Vereniging belakangan berubah menjadi Perhimpunan Indonesiayang pada masa itu dipimpin Mohammad Hatta.

Ketika singgah di Belanda, dia bertemu dengan sebagian dari mereka. Menurut catatan Adinegoro, kebanyakan pemuda Indonesia belajar di Amsterdam, beberapa di Utrecht. Adapun Utrecht digambarkan Adinegoro seperti Palembang. Banjak sungai-sungai ketjil dan terusan jang dilajari oleh sampan-sampan waktu pasang," tulisnya.

Cerita Adinegoro yang hidup dan kaya akan wawasan sejarah begitu digemari. Bahkan, menurut Soebagijo, anak-anak pun menyukainya. Ada bocah 11 tahun rela menyisihkan uang sakunya sekadar untuk berlangganan Pandji Pustaka. Agar dengan demikian dia dapat mengikuti cerita perlawatan Adinegoro di benua Barat," tulis Soebagijo dalam bukunya.

Pada 1932, setahun setelah Adinegoro kembali ke Jakarta, Balai Pustaka menerbitkan kisah-kisah di Pandji itu dalam buku Melawat ke Barat. Saya ingat bukunya laku keras," kata wartawan senior Rosihan Anwar. Melawat ke Barat, menurut Rosihan, memelopori sistem wartawan koresponden di media. Waktu itu ada juga orang yang pernah ke Barat, tapi hampir tak ada yang menulis cerita perjalanan dari luar," ujarnya.

Di Jakarta, Adinegoro sempat menjadi wartawan Pandji, lalu ke Medan menakhodai harian Pewarta Deli. Terakhir dia memimpin Persbiro Indonesia hingga kantor berita itu digabung dengan Antara pada 1962. Dia meninggal pada 1967 dan dimakamkan di Karet, Jakarta.

(93) Melawat ke Barat Publikasi: Pandji Pustaka, Jakarta (1927-1929)

Dari Angkot hingga Asimilasi

- Apa perbedaannya antara Orde Lama dan Orde Baru sekarang?

+ Ada perubahan, ada kemajuan, tapi tidak banyak.


DIALOG imajiner ini terdapat pada alinea awal Kompasiana edisi 31 Juli 1967. Ketika itu, Orde Baru masih balita. Rubrik itu menyoal keputusan Soeharto menunjuk Roeslan Abdulgani sebagai wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Padahal banyak pihak tak setuju.

Jadi, kesimpulan kita ialah bahwa dulu kita bungkem, pemerintah jalan terus," tulis kolom itu. Sekarang kita boleh bersuara, tapi pemerintah berjalan terus juga."

Lugas dan kritis, itu ciri Kompasiana, yang pertama kali muncul di harian Kompas pada 4 April 1966. Penulisnya P.K. Ojong, pendiri Kompas selain Jakob Oetama.

Pak Ojong ingin menulis rubrik itu, melanjutkan tulisannya di Star Weekly," kata Jakob, kini Pemimpin Umum Kompas. Star Weekly, koran asuhan Ojong, diberangus Soekarno pada Agustus 1957. Mungkin itu sebabnya, pada edisi perdana, Kompasiana membahas kebebasan pers.

Mengambil konteks tahun-tahun awal peralihan kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, Kompasiana membahas berbagai hal. Gaya tulisannya yang sederhana, kadang jenaka, tapi kritis, membuat rubrik itu cepat populer dan berpengaruh.

Masalah yang tampak sederhana bisa jadi serius di mata Ojong. Misalnya soal minimnya angkutan umum bagi masyarakat pinggiran Jakarta. Kalau Anda mau makan hati, berdirilah di pinggir Jalan Jatinegara sambil menanti kendaraan umum yang mesti membawa Anda ke Jakarta Kota," tulisnya pada 12 Mei 1966. Jaraknya cuma kira-kira 12 km, tapi sengsaranya tak seimbang."

Biaya pembuatan kartu tanda penduduk yang melambung hingga Rp 10 padahal aturan resminya cuma Rp 2,5 juga pernah dia singgung.

Meski mendukung Soeharto dan sering mengkritik Partai Komunis Indonesia, perlakuan Orde Baru terhadap bekas anggota partai itu membuat Ojong gerah. Dalam keadaan normal, setiap manusia Indonesia cuma mengenal empat status (hukum)," tulisnya pada 15 Juni 1968. Tapi sekarang... ada status eks tahanan."

Ojong banyak menggali gagasan dalam diskusi dengan temannya dari berbagai kalangan, antara lain Mohammad Roem, Soedjatmoko, dan Mochtar Lubis. Dia juga dekat dengan aktivis mahasiswa, seperti Soe Hok Gie.

Saya dua kali diundang makan ke rumahnya bersama Soe Hok Gie," cerita Aristides Katoppo, pendiri harian Sinar Harapan. Ketika itu, Aristides baru menjadi wartawan. Ojong selalu mengajak bicara tentang masa depan Indonesia."

Menurut Aristides, Kompasiana berisi" karena Ojong menyisipkan perspektif sejarah. Misalnya, ketika Presidium Kabinet Ampera menetapkan mulai 27 Desember 1966 semua warga negara Indonesia keturunan harus menanggalkan nama Tionghoa, Kompasiana berangkat dari Napoleon. Setelah berkuasa, Napoleon mewajibkan warganya menggunakan nama keluarga. Toh, transisi itu mudah karena orang Eropa punya tradisi menggunakan nama tempat, pekerjaan, serta warna kesukaan sebagai nama belakang.

Tapi tidak di Indonesia, menurut Ojong. Sebab, ada empat tradisi yang mempengaruhi pemberian nama: kebudayaan asli, Hindu, Arab/Islam, dan Eropa/Kristen. Maka itu dengan ini kami mengundang orang-orang yang lebih pandai untuk membantu kami memberi penerangan dan petunjuk," tulisnya di paragraf akhir.

Ojong pendukung asimilasi. Nama aslinya, Peng Koen Auwjong, dia ubah menjadi Petrus Kanisius Ojong, disingkat P.K. Ojong. Baginya, pembedaan warga negara menurut ras adalah garis" usang warisan kolonial.

Mochtar Lubis pernah membuat sebuah tajuk tentang sahabatnya itu di harian Indonesia Raya. Ketika itu, sebuah koran di Jakarta memojokkan Ojong hanya karena dia keturunan Tionghoa. Pak Mochtar marah dan menulis, Ojong jauh lebih Indonesia daripada Anda yang mengaku orang Indonesia asli," cerita mantan wartawan harian Indonesia Raya, Atmakusumah Astraatmadja.

Sayang, setelah 8 Februari 1971, Kompasiana menghilang. Jakob tak ingat pasti mengapa Ojong mengakhiri rubrik itu. Mungkin dia sibuk urusan bisnis Kompas," ujarnya.

P.K. Ojong meninggal pada 31 Mei 1980, di usia 59 tahun. Setahun kemudian, Gramedia menerbitkan kumpulan artikel Kompasiana dalam bentuk buku setebal 813 halaman. Judulnya Kompasiana: Esei Jurnalistik tentang Berbagai Masalah.

(92) Kompasiana Publikasi: Harian Kompas, Jakarta (1966-1971)

Menghadirkan Indonesia

nilah sekelompok wartawan yang menulis tentang Indonesia yang nyata: Tirto Adhi Soerjo, Adinegoro, Rosihan Anwar, Mohammad Radjab, P.K. Ojong, dan Gerson Poyk. Di ujung pena mereka, Nusantara menjadi tanah yang hidup dengan segala pesona dan karut-marutnya--bukan sekadar gugusan pulau yang membisu.

Inilah juga pelopor pertama pembuat atlas berbahasa Indonesia, ensiklopedia berbahasa Indonesia, dan kamus umum bahasa Indonesia. Mereka adalah Adinegoro, Adam Bachtiar, Sutopo, Todung Sutan Gunung Mulia, dan Wilfridus Joseph Sabarija Poerwadarminta.

Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional

oleh: Haidar Bagir

"MESKIPUN sains bisa membawa kita ke arah yang berlawanan, kemungkinan amat besar orang akan terus berdoa sampai akhir dunia, kecuali jika tabiat mental mereka berubah ke arah yang tak bisa kita ketahui sekarang. Dorongan untuk berdoa adalah suatu konsekuensi niscaya dari fakta bahwa, meskipun lubuk paling dalam dari diri-diri empiris manusia adalah berupa diri yang bersifat sosial, ia hanya dapat menemukan Socious (kawan agung)-nya yang memuaskan hati di suatu dunia ideal. Demikian psikolog dan filsuf Amerika Serikat, William James, meramalkan kehidupan manusia dalam bukunya tentang pengalaman religius yang kini telah menjadi klasik, Varieties of Religious Experience.

Mungkin cuma sebuah kebetulan bahwa buku tersebut terbit pada 1904, hanya empat tahun sebelum didirikannya Boedi Oetomo, yang diyakini sebagai momentum awal kebangkitan nasional Indonesia.

Kenyataannya, seabad lebih dari itu, tabiat mental manusia tetap tidak berubah-meski sains telah menjadi jauh lebih digdaya dalam semua bidang kehidupan mereka, dan meskipun ia seharusnya makin menggoyahkan keimanan manusia kepada religiusitas yang "tidak saintifik". Tidak seperti James, sosiolog sekaliber Peter Berger pun harus mengoreksi pandangannya tentang agama. Setelah melihat prospek agama akan meredup, dia pun beberapa tahun lalu menerbitkan buku suntingannya yang berjudul The Desecularisation of the World. Hampir di seluruh dunia, agama dan spiritualitas dinyatakannya menunjukkan gejala kebangkitan kembali.

Paradoksnya, justru kemakmuran ekonomi-yang diciptakan antara lain oleh sains dan teknologi modern-telah menyadarkan orang betapa kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ternyata tak terletak di situ. Justru ketidakpuasan dan kegelisahan, yang tadinya tersamarkan oleh kenyataan bahwa mereka belum makmur, menjadi terekspos setelah kemakmuran yang dimimpikan itu tercapai.

Bukan hanya Berger, berbagai survei dan penelitian memperkuat kesimpulan ke arah ini. Sebagai contoh, majalah Time beberapa waktu lalu malah secara terus terang mengontraskan temuannya tentang kegairahan baru yang mencolok di kalangan warga Amerika Serikat kepada agama dengan apa yang ditulis oleh majalah yang sama pada 1960-an. Time sendiri menunjukkan bahwa ramalannya tentang prospek buram agama ternyata sama sekali salah.

Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Saya yakin bahwa kita di Indonesia sama sekali tak terbebas dari gejala kebangkitan agama-dalam hal ini Islam-dan kegairahan baru terhadapnya. Mungkin kita hanya tertinggal 1-2 dekade dari Amerika Serikat dan Eropa. Dan tampaknya ketertinggalan itu juga akibat ketertinggalan di bidang yang mendorong kegairahan baru kepada agama dan spiritualitas di wilayah-wilayah tersebut-yakni kemakmuran ekonomi. Hingga lahirlah kelompok yang oleh Nurcholish Madjid disebut sebagai kelas menengah baru muslim. Kelompok yang mulai muncul secara menonjol pada pertengahan 1970-an ini adalah generasi pertama anak-anak kaum santri yang telah mengecap pendidikan modern.

Fenomena inilah, di antara beberapa sebab lain, yang merupakan faktor pendorong lahirnya Penerbit Pustaka Salman-sebagai kelanjutan penerbitan majalah bulanan Salman, yang sempat disebut-sebut sebagai Prisma-nya Islam. Saya berani menyebut penerbit yang lahir di lingkungan Masjid Salman Institut Teknologi Bandung-masjid yang mengalami langsung gejala lahirnya kelas menengah baru muslim-ini sebagai penerbit Islam pertama yang memperkenalkan buku-buku dengan pilihan tema, bahan, dan gaya penyajian modern. Yakni buku-buku yang telah berhasil keluar dari sekadar persoalan fikih dan pembahasan tradisional-tekstual lainnya menuju suatu dialog dengan kemodernan dan pemikiran-pemikiran inovatif-rasional, termasuk yang berasal dari sumber-sumber non-Islam (Barat).

Sebelum masa itu, hanya ada segelintir penerbit yang menerbitkan, lebih segelintir lagi, buku Islam seperti itu-yang belum sepenuhnya memenuhi semua syarat untuk disebut penerbit modern. Bulan Bintang dan Tintamas mungkin dapat disebut sebagai penerbit yang paling menonjol. Masa-masa di antara awal abad ke-20-yakni masa-masa kebangkitan nasional itu-dan paruh pertama abad ke-20 hanya menyaksikan amat sedikit karya seperti ini lahir dari pikiran segelintir elite muslim. Mereka umumnya tokoh yang sempat mengecap pendidikan modern, seperti Haji Agus Salim, Mohammad Roem, Syafruddin Prawiranegara, Soekarno, dan Hatta. Juga H.O.S. Cokroaminoto dan Mohammad Natsir. Tak pernah negeri ini, hingga sebelum 1970-an itu, menyaksikan munculnya-dan kemudian bermunculannya-penerbit Islam dengan sifat-sifat seperti ini, yang secara produktif mengisi pasar bebas pemikiran di negeri kita.

Sayangnya, Penerbit Pustaka Salman tak bernapas panjang. Karena itu, saya tak bisa menghindar dari keharusan menyebut Mizan sebagai pancang peneguh tren baru penerbit Islam modern ini. Selain menyajikan buku-buku bertema, berbahan, dan bergaya penyajian modern-ditambah dengan rancangan dan kemasan yang lebih sesuai dengan selera kelas menengah baru muslim itu-penerbit ini memperkenalkan lebih jauh pemikir-pemikir muslim berpendidikan Barat, seperti Ali Syari'ati, Fazlur Rahman, Muhammad Iqbal, Seyyed Husain Nasr, dan Ziauddin Sardar. Yang tidak kalah penting, Mizan pun banyak memperkenalkan karya penulis nonmuslim (Barat) tentang Islam, termasuk karya orientalis. Sebenarnya, meski mungkin tidak benar-benar terdidik di Barat, lebih banyak karya cendekiawan muslim dengan sifat yang sama diterbitkan juga. Termasuk karya Abul A'la al-Maududi, Murtadha Muthahhari, serta kelompok ulama Ikhwan yang lebih terbuka, seperti Muhammad Ghazali dan Yusuf Qardhawi.

Yang paling penting dalam konteks ini tentulah penerbitan karya-karya pemikiran cendekiawan muslim Indonesia. Untuk pertama kalinya tulisan-tulisan Nurcholish Madjid diterbitkan. Malah judul buku pertama Cak Nur hasil suntingan Agus Edi Santoso dan tim Mizan ini-Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan-belakangan masuk kosakata standar wacana pemikiran Islam di Indonesia dan dianggap mencirikan pemikiran Cak Nur. Selain buku Cak Nur lain, Mizan menerbitkan pula pemikiran Harun Nasution, M. Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat, M. Amien Rais, Kuntowijoyo, Ahmad Syafi'i Ma'arif, M. Quraish Shihab, dan sebagainya.

Kini jagat buku Islam di negeri kita sudah jauh lebih berkembang. Hampir-hampir tak ada lagi ruang, dalam spektrum luas kategori tema buku, yang tak dimasuki oleh puluhan penerbit Islam baru yang bertumbuhan di negeri ini. Buku pemikiran yang inovatif dan tak jarang berat serta masalah agama yang serius masih tetap banyak diterbitkan. Maka diperkenalkanlah pemikir-pemikir modern, bahkan postmodern: Hassan Hanafi, 'Abid al-Jabiri, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Abdul Karim Soroush, dan banyak lagi lainnya. Dari dalam negeri ada Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, M. Amin Abdullah, Mulyadhi Kartanegara, dan sebagainya. Juga ada novel-novel populer, buku-buku anak, serta buku-buku self-help.

Semuanya itu tampak amat akomodatif terhadap berbagai sumber dan konteks budaya yang tak bisa dibilang Islam, dan tak jarang ditulis oleh trainer-trainer muslim berpendidikan Barat, seperti Akram Ridha dan Ibrahim el-Fikky. Ada juga Amru Khalid dan A'idh al-Qarni yang, meski tidak berpendidikan Barat, karya-karyanya menampilkan ciri-ciri buku self-help Barat. Seabad setelah negeri muslim ini mencanangkan kebangkitan nasional, buku-buku Islam berkembang benar-benar seperti "cendawan di musim hujan".

Inilah suatu perkembangan yang membesarkan hati, kalau saja pemikiran dan praktek Islam yang diwakilinya dapat tetap memelihara sifat modern, rasional, dan terbuka dari agama ini. Dengan menjauhkan diri dari eksklusivisme, ia dapat benar-benar berdialog serta hidup berdampingan secara damai dan saling memperkaya dengan semua kultur, dan agama, yang tumbuh di negeri ini. Semangat zaman tampaknya akan berpihak pada kecenderungan seperti ini. Dengan demikian, ada harapan besar bahwa Islam dan buku-buku Islam di negeri ini akan berperan positif dalam menjamin kelanjutan kebangkitan dan tegaknya nation Indonesia yang multikulturalistik, maju, dan damai, tanpa kehilangan identitas-religiusnya.

Haidar Bagir, Kolumnis dan penerbit
(89) Wiro "Anak Rimba Indonesia"
Penerbit: Liong, Semarang (1956)

SAYA membaca Wiro kira-kira mulai kelas tiga sekolah rakyat. Pada 1957, saya membaca komik itu sampai jilid 10. Saya menangis ketika satu per satu hewan sahabat Wiro tewas ditembak Jepang.

Saya dan teman-teman sekelas menganggap Wiro sebagai Tarzan Indonesia. Tapi, dibandingkan dengan Tarzan, menurut saya, Wiro punya kelebihan. Gambarnya bagus, seperti gambar orang Indonesia. Saya dan teman-teman merasa lebih akrab.

Waktu itu komik dalam negeri bisa bersaing dengan komik luar negeri seperti Tarzan, Roy Rogers, Phantom, Rip Kirby, Superman, atau Flash Gordon. Saya lupa apakah komik luar negeri menjelang akhir 1950-an dilarang atau tidak. Seingat saya, saat itu memang mudah mendapatkan komik dalam negeri.

Bambang Bujono, wartawan senior dan seniman.

(90) Keulana
Penerbit: Firma Harris, Medan (1959)

TAGUAN Hardjo tak asing bagi saya. Ketika berumur delapan tahun, saya membaca karyanya. Sepulang sekolah, saya sempatkan diri menyambangi taman baca Persewaan Indah di kawasan Pakualaman, Yogyakarta. Di situlah kliping komik Taguan Hardjo dari sebuah koran tersusun. Saya lupa nama korannya. Komik utuhnya sangat sulit didapat walaupun sudah diterbitkan secara utuh.

Sungguh inspiratif tokoh dalam komik Taguan. Pendekar itu menjadi teladan bagi saya. Bukan cuma gemar mengembara, kejantanan pendekar ditunjukkan melalui nilai-nilai kejujuran yang diajarkan.

Komik Keulana baru saya baca dua tahun belakangan. Saya tertarik meriset komik itu karena memang hebat. Bagi saya, komik Taguan ajaib. Seperti relief, dan panelnya (bagian cerita) selalu selesai. Ia memiliki kemampuan seni gambar hampir sempurna. Detail dalam melukis perkampungan serta karakter orang sungguh eksotis. Ada sisi romantis alam indah permai dan laga aksinya yang sadistis.

Seno Gumira Ajidarma, penggemar komik.

(91) Matinya Seorang Petani
Penerbit: Majalah Indonesia (1955)

DI tangan Agam Wispi, pesan politik atau ideologi tidak tinggal sebagai slogan-slogan mentah yang kehilangan daya seperti batu apung yang melayang ringan. Pesan politik bukan saja menjadi artistik, tapi juga menjadi lontaran batu granit tajam. Wispi adalah satu dari sedikit seniman Lekra yang mampu memadukan mutu karya dengan ideologi secara pas.

Di Lekra, perdebatan internal tentang bagaimana melahirkan karya realisme sosialis tak pernah kunjung henti. Wispi termasuk pemimpinnya di "lapangan", bersama tokoh seniman lain seperti Amarzan Loebis dan Putu Oka Sukanta.

Karya yang cuma politik atau ideologi tertentu sering kali ditampik di "lingkaran dalam", secara diam-diam atau terang-terangan. Misalnya, karya penyair dadakan dari kalangan pemimpin sering dipertanyakan kelayakan pemuatannya di lembar kebudayaan. Wispi salah satu yang melakukannya dengan lantang. Wispi menganggap ada kecenderungan penggampangan dalam menerapkan ideologi dan artistik dalam sebuah karya.

Intensitas kesenimanan Wispi mirip Chairil Anwar. Chairil pembaru, dan Wispi, yang dalam hal berpakaian jauh lebih necis ketimbang Chairil, juga pembaru.

T. Iskandar Thamrin, sastrawan.

Hilang tapi Terus Berjuang

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan!

KATA lawan!" dalam baris terakhir puisi bertajuk Peringatan yang dibuat di Solo pada 1996 itu lebih terkenal daripada penciptanya, Wiji Thukul. Tidak hanya di panggung pembacaan puisi, kata lawan!" sering diteriakkan di berbagai medan demonstrasi sampai sekarang. Kata lawan!" itu bahkan lebih ngetop dibanding judul puisi Thukul.

Kata itu seperti menjadi ikon demonstrasi melawan penguasa. Makin terasa kuat dan relevan karena sang penulis, yang bernama asli Wiji Widodo, sampai sekarang hilang tak tentu rimbanya. Dugaan kuat: Thukul sengaja dihilangkan". Lelaki kelahiran Kampung Sorogenen, Solo, 26 Agustus 1963, itu masih terus dicari keluarganya. Istri dan dua anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah, terus mempertanyakan nasib penyair mbeling itu.

Di mata Munir, Thukul luar biasa. Kalimat pendek itu menunjukkan pilihan hidup Wiji Thukul. Bukan pilihan yang mudah, Wiji Thukul telah membayarnya dengan mahal, dia telah menjadi korban praktek penghilangan orang," tulis Munir, Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, dalam pengantar buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru. Munir pun kemudian tewas diracun dan kasusnya belum tuntas hingga kini.

Wiji Thukul memang terbiasa bergaul dengan perlawanan. Dia dekat dengan aktivis gerakan mahasiswa di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kami sering menginap di rumahnya di kawasan kumuh di Solo, saat memperjuangkan tanah rakyat yang ditenggelamkan rezim Soeharto dalam proyek Kedungombo," kata bekas Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik, Budiman Sudjatmiko.

Seniman pelo (cadel) itu pun bergabung dengan partai yang dipimpin Budiman. Wiji memimpin Jaringan Kerja Kesenian Rakyat, sayap seniman partai itu. Semua kekuatan harus bersatu untuk melawan rezim otoriter dan militeristik," kata Budiman menirukan perkataan Wiji.

Memang terbukti, puisi Wiji lalu menjadi salah satu slogan dalam gerakan mahasiswa, petani, dan buruh. Kalimat terakhir Peringatan itu bagi gerakan sama dengan slogan saat proklamasi dulu: merdeka atau mati!'" ujar Budiman, yang kini Ketua Umum Relawan Pejuang Demokrasi, sayap pemuda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Budiman dan kawan-kawan tak melupakan Wiji. Saya ditangkap setelah peristiwa 27 Juli 1996, saya tak pernah ketemu Thukul sejak 1998," katanya.

Sebagai seniman, Wiji Thukul tidak termasuk yang alergi pada politik. Dengan tidak tahu soal politik, kita mudah saja dipermainkan. Kita harus jadi pelaku, bukan obyek," katanya dalam wawancara di buku terbitan Indonesia Tera, Juni 2000. Itu dibuktikan dalam puisi-puisinya.

Dengarlah Sajak Suara:

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam mulut bisa dibungkam namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan di sana bersemayam kemerdekaan apabila engkau memaksa diam aku siapkan untukmu: pemberontakan!
Memang suara tak bisa diredam dan dipenjarakan. Tapi pemilik suara itu bisa dihilangkan, walaupun puisinya tetap hadir di antara aksi dan unjuk rasa. Dalam puisi Udara, penyair jebolan Jurusan Tari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo, pada 1982 itu seakan-akan sudah tahu risiko ketajaman puisi yang ditulisnya.

dari udara sama dihirup udara di kampung udara di kuburan menyambut kematian! begitu miskin milik kita kalimat berat selamat datang!
Ia memang hilang, tapi lewat puisinya ia terus berjuang.

(88) Aku Ingin Jadi Peluru Penerbit: Indonesia Tera, Magelang (2000)

Potret Pembangkangan Rendra

TUBUHNYA yang tinggi dengan rambut yang tebal dikibarkan angin itu mampu menyihir para mahasiswa. Dia berdiri di atas panggung kampus sembari tangannya memegang setumpuk kertas berisi puisi yang dibacakannya. Dan Rendra, pemilik tubuh tinggi dan sepasang mata bak elang itu, akan membuang helai demi helai yang dibacakannya itu....

Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur, Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal keadilan, karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak diajar dasar ilmu hukum
Suara yang nyaring, menekan, dan menyihir itulah yang selalu diingat Hendardi, kini 50 tahun. Sajak Anak Muda yang dibawakan Willibrordus Surendra Broto Rendra atau W.S. Rendra, bagi Hendardi, telah menjadi sumber inspirasi melawan rezim Orde Baru. "Waktu itu saya baru masuk menjadi mahasiswa. Kakak angkatan kami ditangkapi dan ditahan, militer masuk kampus," katanya.

Hendardi saat itu mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, angkatan 1978. Dalam keadaan tertekan, puisi Rendra, bagi dia, mampu membangkitkan semangat. "Puisi-puisinya mendengung saat ada happening art dan mimbar bebas di kampus," ujar Hendardi.

Puisi itu pula, menurut bekas Ketua Dewan Mahasiswa ITB itu, yang membuatnya bertahan aktif dan tak kenal menyerah. Hendardi dan kawan-kawan menjadikan puisi Rendra bagian dari pleidoi para aktivis mahasiswa angkatan 1978 yang diadili, antara lain Herry Akhmady, Rizal Ramly, dan Indro Tjahyono.

Karya Rendra yang biasa dibacakan ketika ada demonstrasi dan mimbar bebas itu pada 1980 diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan, dalam buku kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi. Isinya menggambarkan situasi politik sejak 1973, tatkala Rendra masih di Yogyakarta, sampai 1978. Bahkan hingga pertengahan 1980-an sajak Rendra masih terasa menggedor-gedor semangat aktivis mahasiswa.

Tidak hanya puisinya, olah vokal dan ekspresi gerak Rendra juga memberikan pengaruh kuat. Ia sendiri mengaku mengagumi gaya pidato Soekarno yang penuh sihir. Sejumlah penyair pada pertengahan 1980-an masih meniru-niru gerak dan olah vokal penyair kelahiran 7 November 1935 di Solo itu. Ciri khas Rendra itu dengan mudah dijumpai dalam acara mimbar bebas mahasiswa masa itu.

Meski puisi Rendra pada masa awal kepenyairannya berbeda bentuk dan gaya (oleh Soebagio Sastrowardoyo dia dianggap terpengaruh Garcia Lorca), Rendra tetap lebih dikenal oleh mahasiswa untuk puisi pamfletnya. Seperti diutarakan A. Teeuw dalam kata pengantar buku Potret Pembangunan, yang menyebut Rendra sebagai pemberontak, seorang yang selalu sibuk melonggarkan kungkungan dan pembatasan. Tak mengherankan jika Rendra sempat mencicipi jeruji tahanan pada masa itu. Maklum, rezim ketika itu memang antikritik, apalagi yang setajam Sajak Mata-mata:

Ada suara bising di bawah tanah, ada suara gaduh di atas tanah, ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah, ada tangis tak menentu di tengah sawah. Dan, lho, ini di belakang saya, ada tentara marah-marah.

Harus diakui, roh Potret Pembangunan menjadi lebih hidup ketika dibacakan di hadapan khalayak ramai. Kepada Tempo, Rendra mengaku setiap kali beberapa baris puisi atau dramanya tercipta, dia memanggil anak-anak Bengkel dan mencoba membacakannya agar dia bisa mendengar sendiri bunyi puisinya. Hingga kini puisi Rendra masih membakar. Dengarkan puisinya berjudul Aku Tulis Pamplet Ini.

Aku tulis pamplet ini karena lembaga-lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah. Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan, menjadi peng-iya-an.

(87) Potret Pembangunan dalam Puisi Penerbit: Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta (1980)

Denyut Demonstran dalam Puisi

Anakmu yang berani Telah tersungkur ke bumi Ketika melawan tirani
-Salemba, Taufiq Ismail, 1966

SEBAIT sajak dalam kumpulan puisi Tirani dan Benteng itu menyeruak di tengah pergolakan politik 1966. Penyair Taufiq Ismail menulis puisi itu tatkala suhu politik negeri ini memanas. Gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia, Kabinet Dwikora, dan penurunan harga-dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat-sedang marak-maraknya.

Ketika itu Jakarta membara oleh lautan demonstran. Di jalanan Ibu Kota, di tengah ingar-bingar pengunjuk rasa, puisi-puisi Taufiq hadir dalam bentuk stensilan bersama ratusan pamflet dan spanduk, yang meneriakkan protes terhadap pemerintahan Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno.

Puisi-puisi yang sarat dengan tema sosial itu berisi kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan, cita-cita, dan tekad. Taufiq baru saja dua tahun lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia, dan langsung berada di tengah hiruk-pikuk demonstrasi. Ia mengabadikan momen bersejarah itu melalui puisi-puisi yang ditulis sepanjang Februari-Maret 1966.

Taufiq menuliskan baris kata-katanya pada tumpukan kertas yang dijepit rapi dalam map merah cokelat. Ke mana-mana ia membawa map yang ditaruh dalam ranselnya. Menurut Taufiq, hampir setiap hari ia mengikuti demonstrasi mahasiswa. Ia merekam denyut demonstran. "Biasanya puisi saya tulis malam hari di asrama mahasiswa Pal Putih 6," katanya mengenang.

Tirani dan Benteng pertama kali diterbitkan di majalah Gema Psychologi Universitas Indonesia atas upaya sahabat Taufiq, Arief Budiman. "Ketika terbit, sebetulnya saya waswas juga, karena setiap saat tentara bisa menangkap," ujarnya. Makanya, waktu itu ia memakai nama samaran Nur Fadjar.

Boleh jadi, kalau tak "diselamatkan" Arief, puisi-puisi Taufiq akan ikut hilang bersama catatan hariannya di dalam tas ransel hijau kumal yang dicuri di halaman stasiun kereta Gambir, Jakarta Pusat, pada suatu pagi. Naskah yang selamat itu kemudian diterbitkan Penerbit Faset. Selain memuat Tirani dan Benteng, Faset menambahkan 32 puisi lagi, yang ditulis Taufiq sepanjang 1960-1965. Karya-karya yang melengkapi itu diberi subjudul: Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng.

Melalui 73 sajaknya dalam Tirani dan Benteng, Taufiq telah membangun tonggak penting dalam perjalanan sastra Indonesia. Penyair kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935 itu turut berkontribusi mengobarkan semangat melawan penguasa pada masanya.
Selain menyebar di jalanan Ibu Kota, puisi Taufiq dalam bentuk stensilan juga diperbanyak mahasiswa dari luar Jakarta, yang saat itu ikut berdemonstrasi di Jakarta. Merekalah yang menyebarkannya ke kota asal masing-masing, seperti Bandung, Bogor, dan Yogyakarta.

Di Jakarta, gaung Tirani dan Benteng kian bergema karena kerap dibacakan di radio Ampera. Ini stasiun radio bawah tanah milik mahasiswa yang getol menyiarkan berita demonstrasi. Menurut Taufiq, salah satu yang sering membacakan puisinya di radio itu adalah Salim Said.

Taufiq menyatakan, ketika menulis puisi-puisi itu tak sedikit pun berniat membakar militansi demonstran. "Waktu itu mengalir saja," katanya. "Situasi dan kondisi sungguh luar biasa. Itulah yang menginspirasi saya untuk menuliskannya". Dengarkan ini:

Kami tidak bisa dibubarkan Apalagi dicoba dihalaukan Dari gelanggang ini
Karena ke kemah kami Sejarah sedang singgah Dan mengulurkan tangannya yang ramah

Tidak ada lagi sekarang waktu Untuk merenung panjang, untuk ragu-ragu Karena jalan masih jauh Karena Arif telah gugur Dan luka-luka duapuluh satu

-Horison, Taufiq Ismail, 1966

(86) Tirani dan Benteng Penerbit: Yayasan Ananda, Jakarta (1993 - edisi baru)

Chairil Anwar dan Semangat Kebangsaan

oleh: Arif Bagus Prasetyo

SEMANGAT kebangsaan, atau nasionalisme dan patriotisme, memang seakan melekat pada citra Chairil Anwar (1922-1949). Chairil aktif berpuisi pada zaman revolusi, sebuah kurun mahagenting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Puisi-puisi awalnya ditulis pada masa pendudukan Jepang dan karya-karya terakhirnya diguratkan pada pengujung dasawarsa 1940-an.

Kepenyairan Chairil bersinar ketika Indonesia masih "bangsa muda menjadi, baru bisa bilang 'aku'" (Buat Gadis Rasid) sehingga masih harus berjuang keras mempertahankan diri dari berbagai kekuatan eksternal dan internal yang ingin menghapus eksistensinya. Chairil semasa hidupnya konon bergaul dengan para tokoh elite pejuang-pendiri negara-bangsa Indonesia, seperti Bung Karno dan Bung Sjahrir.

Kritikus H.B. Jassin (almarhum) menobatkan Chairil sebagai "Pelopor Angkatan 45", sebuah periodisasi sastra(wan) Indonesia yang dinamai dengan angka keramat tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dan yang terpenting, sejumlah puisi Chairil memang jelas-jelas mengumandangkan spirit perjuangan dan kejuangan bangsa.

Itulah kiranya sebagian faktor yang membuat Chairil cenderung dinilai sebagai sosok penyair yang, lebih daripada penyair Indonesia lainnya di sepanjang sejarah, paling representatif membawa pijar semangat kebangsaan. Banyak sudah pakar sastra Indonesia yang menyepakati bahwa nasionalisme/patriotrisme adalah bagian penting dari riwayat Chairil sang Penyair.

Sekadar contoh, dalam esai "Chairil Anwar Kita" (Aku Ini Binatang Jalang, 1986) yang menutup buku koleksi lengkap puisi Chairil, Profesor Sapardi Djoko Damono menulis: "Bagaimanapun, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan.... Bahkan sebenarnya... salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa."

Mendiang Dami N. Toda tegas menyatakan: "Sehubungan dengan kelibatan sosial yang bermakna patriotisme, Chairil Anwar sepenuhnya menginsafi getar denyut dan tuntutan bangsanya. Seluruh perjuangan estetik dengan seluruh peralatan analis rasional yang tajam diabdikan kepada bangsa." Karya Chairil Aku, Merdeka, Diponegoro, Cerita buat Dien Tamaela, Krawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Catetan Tahun 1946, dan Perjurit Jaga Malam, dalam pandangan Dami, "Adalah jelas sajak-sajak patriotik."

Pandangan khalayak awam tak berbeda dengan itu. Sampai sekarang, panggung perayaan Hari Kemerdekaan RI di kampung-kampung hampir tak pernah luput menampilkan "sajak-sajak patriotik" Chairil yang populer, seperti Aku dan Krawang-Bekasi. Bahkan kemungkinan besar, dalam ingatan masyarakat di Indonesia, hanya ada Chairil "sang penyair solider" yang berteriak, "Bagimu negeri... maju. Serbu. Serang. Terjang" (Diponegoro). Barangkali tak pernah terlintas dalam benak orang ramai bahwa ada Chairil "sang penyair soliter", dengan puisi yang mendesahkan kesadaran humanis tragis: "Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing" (Pemberian Tahu).

Tapi apa pendapat Chairil sendiri tentang "sajak-sajak patriotik" yang diciptakannya? Dalam sebuah kartu pos tertanggal 10 Maret 1944 yang dikirimkan kepada Jassin, Chairil menulis: "Begini keadaan jiwaku sekarang, untuk menulis sajak keperwiraan seperti Diponegoro tidak lagi," (Aku Ini Binatang Jalang, 1986). Faktanya, "sajak-sajak patriotik", yang tentunya dekat, bahkan lekat, dengan semangat kolektivisme, hanya mengisi sebagian kecil dari khazanah puisi Chairil. Sebagian besar puisi Chairil justru, meminjam ungkapan Sapardi, "mencerminkan sikap individualistis". Dan memang, analisis puisi Chairil yang dilakukan para sarjana sastra banyak yang menggarisbawahi "ideologi" individualisme sang penyair.

Chairil lebih banyak berpuisi tentang problem eksistensial yang dihadapi dengan heroik dan tragis oleh seorang individual sejati. Sang Aku dengan perih-megap-meriang banyak bertutur tentang hubungan asmara yang jalang dan/atau getir, kesepian, kehampaan hidup, pencarian religius, maut, dan pergolakan batin lainnya yang bersifat personal.

Tentu saja "keakuan" Chairil dalam puisi tidak mutlak harus dibaca sebagai "sikap individualistis" pribadi, tapi bisa juga dimaknai sebagai pernyataan eksistensial dari bangsa yang baru merdeka dan ingin mandiri, sebuah "bangsa muda menjadi" yang "baru bisa bilang 'aku'". Dami, misalnya, memasukkan puisi Aku dalam kelompok "sajak-sajak patriotik".

Sebaliknya, Sapardi mengatakan bahwa puisi yang sama mencerminkan sikap individualistis Chairil: "Boleh dikatakan berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis." Barangkali Dami membaca aku-lirik puisi Aku sebagai personifikasi bangsa Indonesia, suatu pars pro toto dari "kami bangsa Indonesia", sedangkan Sapardi membacanya sebagai manifesto ego-pribadi. Kedua tafsir sama-sama boleh jadi.

Namun, pembaca yang peka tentu sulit menghilangkan kesan bahwa "aku" dalam kebanyakan puisi Chairil cenderung muram, terkesan menjauh dari gelora semangat kolektif sebuah bangsa di tengah suasana revolusi. Kesan ini bahkan membayangi puisi dengan judul bergelora, Merdeka, yang oleh Dami juga digolongkan dalam "sajak-sajak patriotik". Setelah pada bait awal mengumandangkan kobar hasrat aku-lirik untuk "bebas dari segala" dan "merdeka", puisi dikunci dengan bait bernada sendu-pilu-kelu: "Ah! Jiwa yang menggapai-gapai, Mengapa kalau beranjak dari sini, Kucoba dalam mati."

Sebagian di antara "sajak-sajak patriotik" Chairil versi Dami ditulis pada tahun-tahun sesudah sang penyair menulis kartu pos yang menyatakan berhenti "menulis sajak keperwiraan": Catetan Tahun 1946 (1946), Cerita buat Dien Tamaela (1946), Persetujuan dengan Bung Karno (1948), Perjurit Jaga Malam (1948). Jika betul puisi-puisi tersebut adalah "sajak-sajak patriotik", berarti "keadaan jiwa" Chairil telah berubah dari kondisi dua tahun sebelumnya, sehingga ia memutuskan untuk kembali menulis "sajak keperwiraan".

Tapi ada kemungkinan lain: puisi-puisi tersebut bukan ditulis dengan maksud melayani patriotisme, melainkan untuk menunjukkan betapa susahnya sang penyair mempertahankan subyektivitas individualnya di tengah suasana revolusi yang menihilkan eksistensi pribadi, menyeret dan mengubah individu jadi massa, sekadar sekrup dalam sebuah mesin kolektif revolusioner raksasa bernama "bangsa Indonesia".

Ambil contoh Persetujuan dengan Bung Karno, puisi bernada patriotik-nasionalistis yang dicap Sapardi sebagai "sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang". Dalam puisi itu cukup jelas tergambarkan transformasi "aku" menjadi massa yang tersihir retorika Bung Karno yang terkenal mampu membius khalayak itu: setelah "sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu", "aku sekarang api aku sekarang laut".

Dengan mengoperasikan tafsir alternatif semacam ini, puisi-puisi "individualistis" Chairil pun dapat dibaca sebagai strategi intelektualisme defensif, ketika sang penyair membina suatu kehidupan introspeksi batin di seberang aktivitas revolusioner yang melimpah-ruah. Karena gelora revolusi mengancam subyektivitas individualnya, Chairil menulis puisi sebagai suatu mekanisme pertahanan diri, yang secara spiritual melindunginya dari ancaman "lenyap" terseret arus massa revolusioner.

Pada titik inilah, khazanah puisi Chairil kiranya dapat memberi pelajaran yang berharga bagi kita di sebuah era ketika otonomi kesadaran pribadi kian mudah terancam oleh gilasan mesin kekuasaan (politik, ekonomi, sosial, budaya, agama) yang berbahan bakar massa, seperti era kita sekarang.

Arif Bagus Prasetyo, Kritikus Sastra

(85) Deru Campur Debu Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta (1949)

Puisi: Roh Sebuah Gerakan

Puisi-puisi itu mengembuskan keberanian. Pada 1966, tatkala mahasiswa tertembak mati, sajak-sajak Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail adalah sebuah energi. Ketika pada 1978 kampus-kampus bergolak, sajak-sajak pamflet Rendra turut membakar, memberikan nyali kepada mahasiswa. "Aku tulis pamplet ini, karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah...." Adapun puisi Wiji Thukul paling populer dibacakan dalam rangkaian demonstrasi pada 1990-an: "Hanya satu kata: Lawan".

Inilah buku-buku puisi yang ikut berperan dalam mengkritik rezim. Kumpulan puisi yang mengikuti jejak, sajak-sajak si binatang jalang Chairil Anwar, yang kami anggap dari tahun 1945-an sampai kini pun mampu memberikan rasa perlawanan.

Selain itu, kami juga menyajikan komik yang dalam pandangan kami mampu membuat imajinasi anak-anak pada zamannya melayang pada sikap antikolonial.

Dari Perbendaharaan Lama

oleh: Taufik Abdullah

ALKISAH, tersebutlah perkataan bahwa Syekh Shaqiq Zahid memberikan nasihat kepada Sultan Harun al-Rasyid.

"Ya, Amirul Mukminin, ketahuilah olehmu yang mata air itu engkau juga dan segala menteri dan hulubalang dan lain daripada itu seperti segala sungai juga umpamanya. Jikalau mata air itu suci dan segala sungai itu keruh tiada mengapa. Tetapi jika mata air itu keruh dan segala sungai itu suci tiada berguna."

Maka sangatlah terharu Sultan mendengar perkataan ini karena Baginda merasakan juga akan kebenarannya. Syekh pun berkata lagi bahwa adapun "mata air" itu pangkal segala-galanya, karena ia adalah Sultan Khalifatur rahman dan Sultan Zilu'l-lahi fi-l alam. Sebab, jika tidaklah demikian halnya, "Raja itulah bayang-bayang iblis dan khalifah seteru Allah Ta'ala jua adanya." Tapi, walaupun raja itu "adil" dan kekuasaannya pun besar pula, "sungai-sungai" harus sadar bahwa raja tidak lebih daripada "hamba Allah", yang telah dikurniai Allah "kerajaan" dan "kebesaran". Karena itulah mereka harus menjaga kesucian atas kepercayaan yang telah diberikan Allah itu.

Dan Tajus-salatin atau "Mahkota Segala Raja-raja" adalah kitab yang dikarang untuk mengajarkan dan mengingatkan orang akan tanggung jawab kekuasaan, atau dengan kata lain, "kitab inilah tanda kurnia Allah Ta'ala akan kebajikan dunia dan akhirat". Kitab ini boleh dikatakan risalah teori politik Islam tertua yang dikarang dalam bahasa Melayu. Mungkin diterjemahkan dari bahasa Persia, tapi tampaknya kitab ini adalah karya asli yang dipengaruhi Persia.

Kitab ini ditulis pada 1603 di Aceh Darussalam oleh Buchari al-Juhara. Penulisan kitab tersebut pada tahun ini bukanlah suatu kebetulan sejarah belaka, karena di masa itu Aceh Darussalam berpuluh tahun dilanda kemelut takhta. Para sultan bisa bertahan beberapa lama saja-ada yang mati terbunuh, ada yang dimakzulkan, dan bahkan ada juga yang dipenjarakan. Tidaklah salah kalau dikatakan bahwa Tajus-salatin adalah kitab yang paling berpengaruh di bumi Nusantara ini. Menurut Babad Yogya, sebagaimana dikutip Peter Carey, kitab ini adalah bacaan kegemaran Hamengku Buwono I, sang pendiri Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menasihati saudaranya, Hamengku Buwono IV, agar mempelajari kitab yang telah dibacanya ini.

"Tajus-salatin," kata Carey, "adalah teks pertama yang disalin di Keraton Yogyakarta, setelah Perang Jawa-suatu periode yang menunjukkan suasana renaisans dalam penulisan babad setelah perampokan besar-besaran oleh Inggris pada 1812." Selama abad ke-19 kitab ini empat kali diterjemahkan ke bahasa Jawa. Jadi tak perlu heran kalau ada tulisan Ronggowarsito yang membayangkan pengaruh Tajus-salatin.

Sudah tentu pengaruh kitab ini sangat besar di daerah yang berbahasa Melayu. Konon Sultan Johor menolak ajakan Inggris ikut berdagang di Singapura, yang baru "dijualnya", karena terpengaruh oleh ajaran moral kitab ini. Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, yang biasa dianggap sebagai tokoh peralihan sastra Melayu "klasik" dan "baru", mengecam para raja di Tanah Semenanjung yang dianggapnya telah dekaden dan ketinggalan zaman . "Maka sebab itu," tulisnya, "patutlah segala raja-raja itu menaruh kitab Tajus-salatin dan memilih akan dia setiap hari."

Kitab ini dimulai dengan doktrin keagamaan, "Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya." Ada pula peringatan bahwa hidup ini tak ubahnya seperti "mimpi" saja, "Dan apabila ia jaga daripada tidurnya, suatu pun tiada diperolehnya daripada mimpi itu," karena dunia ini tidak lebih daripada "pemberhentian" atau "rumah" saja. Sekarang masuk, besok akan keluar. Dengan mengenal diri sendiri, manusia bisa mengenal Allah, maka ia pun menyadari juga hakikat ciptaan-Nya-dunia hanyalah tumpangan menjelang maut.

Jika saja ajaran kitab ini disederhanakan sekali, tampaklah bahwa segala bentuk dan corak kekuasaan semestinya bertumpu pada satu ajaran fundamental, yaitu terwujudnya keadilan. Tapi apakah "adil" itu? Maka dikatakanlah bahwa "yang adil itu kemuliaan agama, juga buat Sultan dan kebajikan sekalian manusia juga". Sesungguhnya bagi kekuasaan "pekerjaan adil adalah hikmat daripada Allah". Perbuatan adil sang penguasa sama dengan 60 kali beribadah haji.

Secara moral dan agama, legitimasi atau daulat kekuasaan ditentukan oleh perbuatan dan pancaran keadilan dari sang penguasa. Tanpa adanya keadilan, maka secara moral keabsahan kekuasaan itu telah lenyap-"hilang daulat daripada aniaya". Atau dalam rumusan yang lebih umum, "Raja adil raja disembah, raja tak adil raja disanggah." Tapi bagaimanakah bentuk "sanggahan" yang dibenarkan terhadap ketidakadilan itu? Maka salah satu versi Tajus-salatin pun mencoba menjawabnya dalam bentuk sebuah dialog. Penguasa yang tak adil itu sebenarnya "telah berpaling daripada hukum Allah dan menyangkal syariat itu seteru Allah Ta'ala dan seteru Rasul Allah. Maka haruslah kami berseteru dengan seteru Allah Ta'ala itu".

Jadi, kalau begitu dibolehkankah melakukan tindakan "durhaka" terhadap "daulat" atau berontak? Tajus-salatin pun memaparkan kisah Nabi Musa yang menyelamatkan umatnya dari aniaya Firaun. Musa dan umatnya selamat, tapi Firaun dihukum Allah ketika laut yang terbelah kembali menyatu. Jadi "sanggahan" tidak bisa disalin menjadi "durhaka" kepada "daulat". Hukuman akhir akan ketidakadilan ada di tangan Allah.

Pandangan ini juga diajarkan oleh Sejarah Melayu, kitab termasyhur yang menguraikan sejarah Malaka. Dikisahkanlah bahwa ketika Bendahara dan para pengikutnya mengetahui bahwa ia dan menantunya, Tun Ali, akan dibunuh Sultan Mahmud, ia melarang anak buahnya membela diri, "Hai, Hasan hendak membinasakan nama orang tua-tuakah? Karena adat Melayu, tiada pernah durhaka." Maka Bendahara dan pengikutnya pun dibunuh. Keinginan Sultan mempersunting Tun Fatimah, janda Tun Ali yang putri Bendahara, tercapai. Tapi sebuah ajaran terselip juga. Sultan Mahmud, yang telah mengangkat anaknya, Sultan Ahmad, sebagai penguasa, harus merasakan apa artinya kekalahan. Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511). Rupanya hukuman Allah atas ketidakadilan datang dari kekuatan luar. Dan pusat kerajaan pun harus pindah ke Johor.

Kisah pun dilanjutkan oleh Tuhfat an-Nafis, kitab yang sangat bagus yang ditulis Raja Ali Haji pada awal abad ke-19. Dikisahkanlah bahwa pada suatu saat Sultan Johor bertindak terlalu sewenang-wenang dan zalim. Sekali peristiwa, ketika ia pulang dari masjid, seorang hulubalang menikamnya, maka sejak itu ia pun diingat sebagai Sultan Mahmud Mangkat Didulang. Karena ia tidak meninggalkan keturunan, dinasti Malaka pun dianggap berakhir pula (1699) dan Bendahara ditabalkan sebagai sultan. Tapi beberapa waktu kemudian Raja Kecil, yang dibesarkan di Pagaruyung, datang ke Bintan dan menyatakan dirinya sebagai anak Sultan Mahmud yang dapat diselamatkan. Kini ia menuntut haknya. Sultan Bendahara terusir dari istana dan bahkan dibunuh di Pahang. Hanya, bukankah dengan begini Raja Kecil telah durhaka juga? Ketika itulah putra Sultan yang telah terbunuh itu mengadakan aliansi dengan Daeng Perani, bangsawan Bugis, lima bersaudara. Raja Kecil pun terusir dari Riau-Johor dan mendirikan Kerajaan Siak Sri Indrapura di Pulau Sumatera.

Hikayat Hang Tuah, kisah, bahkan mitos, kepahlawanan yang sangat terkenal yang dianggap terjadi di masa kejayaan Malaka, menjadikan "daulat" yang tidak adil sebagai problem. Karena Sultan percaya saja akan hasutan bahwa Hang Tuah telah mengkhianatinya, ia pun memerintahkan Bendahara membunuh laksamana yang setia ini. Tapi Bendahara hanya menyuruh Hang Tuah menyingkir. Hang Jebat, teman akrab Tuah, tidak bisa menerima kezaliman ini, ia pun men-"durhaka", bahkan berhasil mengusir Sultan dari istana. Ketika itulah Sultan menyesal, "Andai kata si Tuah masih ada." Bendahara mengatakan bahwa laksamana yang setia itu masih hidup.

Hang Tuah pun datang untuk menghadapi kedurhakaan temannya. Dalam perang tanding kedua sahabat itu, akhirnya Hang Jebat kalah. Sebelum mengembuskan napas terakhir, ia sempat berkata dengan kesedihan yang mendalam, "Aku lakukan ini karena engkau telah dizalimi, Tuah." Dengan sedih Hang Tuah menatap wajah temannya dan matanya menerawang entah ke mana (tapi ini adalah adegan terakhir film Hang Tuah yang diperankan P. Ramlee).

Ketika kisah-kisah yang sempat juga mempengaruhi kesadaran politik ini dikenang, batas antara "sanggahan" dan "durhaka" tertanyakan juga. Dalam suasana apakah "sanggahan" berhenti pada dirinya saja? "Kezaliman" seperti apakah yang bisa diselesaikan tanpa tergelincir pada "kedurhakaan"? Jadi mestikah diherankan kalau kemudian ketika hasrat untuk mendirikan negara-bangsa telah ternukilkan dalam hati, sistem "demokrasi" yang sehat pun ditampilkan ke muka. Demokrasi dianggap bukan sekadar pemenuhan hasrat modern, tapi terlebih lagi dirasakan sebagai penghambat jangan sampai "sanggahan" menyeberang menjadi "durhaka", ketika "daulat" telah menjadi zalim. Kalau penyeberangan itu terjadi, yang dihasilkannya hanyalah duka nestapa bagi semua. Wallahualam bissawab.

Taufik Abdullah Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(75) Perjuangan Kita Publikasi: Berbentuk pamflet mulai 14 November 1945. Pusat Dokumentasi Politik Guntur menerbitkan ulang pada 2001.

SUTAN Sjahrir menulis dalam salah satu pamflet: "Pemerintahan harus di-demokratiseer." Sesudah Proklamasi dikumandangkan, pamflet tersebut makin sering ditulis. Menurut Sjahrir, risalah itu adalah ikhtiar mengupas perkara pokok dalam perjuangan.

Perjuangan Kita membuat Sjahrir tampak berseberangan dengan Soekarno, yang terobsesi pada persatuan dan kesatuan. Sjahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."

Sjahrir banyak mengkritik sejumlah elite yang dianggapnya tidak pantas duduk dalam pemerintahan. "Hal itu terkait hubungan mereka dengan pihak penjajah Jepang," kata Ahmad Mansur Suryanegara, sejarawan Universitas Padjadjaran, Bandung. Pamflet Sjahrir membuat kalangan muda menjadi tergugah nasionalismenya.

(76) Melawan Melalui Lelucon Publikasi: Majalah Tempo 1975-1983. Kumpulan artikel diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo tahun 2000.

KUMPULAN tulisan Abdurrahman Wahid di majalah Tempo ini terentang antara tahun 1975 dan 1983. Temanya mulai dari politik, sosial, ekonomi, budaya, Islam, sampai pesantren. Pada periode itu, Orde Baru makin menunjukkan ototnya. "Pemerintah melakukan deideologisasi Islam," kata Ahmad Suaedy, Direktur The Wahid Institute.

Soeharto mengerangkeng ruang gerak organisasi Islam, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kritik terhadap Orde Baru ibarat tabu pada masa itu. Untuk menyiasati, Abdurrahman Wahid menyelipkan humor dalam kolom-kolomnya. "Humor dalam tulisan ini mencairkan kemarahan mereka yang dikritik," kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mohamad Sobary. Humor memang kekuatan Abdurrahman.

Menurut Sobary, kolom Abdurrahman disesuaikan dengan semangat majalah berita ini. Tulisan cucu pendiri Nahdlatul Ulama Hasyim Asy'ari itu melompat jauh dari tipikal pemikiran kiai desa serta para sarjana ketika itu. Walau masih dalam tataran grand design dan bukan implementasi, kata Sobary, di sinilah letak kekuatan Abdurrahman Wahid.

(77) Polemik Soetatmo versus Tjipto Publikasi: Pamflet berjudul Nota van Schrieke. Dibukukan Yayasan Obor Indonesia pada 1986.

JULI 1918, dalam Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa di Solo, Jawa Tengah. Dua priayi ternama berdebat sengit mengenai corak nasionalisme yang diidamkan. Soetatmo Soerjokoesoemo gencar menawarkan nasionalisme Jawa versus Tjipto Mangoenkoesoemo yang lebih sreg dengan nasionalisme Hindia.

Bagi Soetatmo, suatu bangsa harus memiliki landasan bahasa dan kebudayaan yang kuat. Jawa, kata tokoh yang mewakili Boedi Oetomo di Volksraad, memiliki semua itu. Menurut dia, nasionalisme Hindia tidak memiliki landasan dan terjebak pada produk pemerintah kolonial Belanda. Tjipto tidak mau kalah. Dia menegaskan, nasionalisme Jawa mengabaikan unsur perkembangan sejarah dunia. Jawa, katanya, telah kehilangan kedaulatan dan hanya merupakan bagian dari Hindia yang dijajah Belanda.

Perdebatan dua tokoh itu diumumkan dalam selebaran berjudul Javaansche of Indische Nationalisme. Selebaran tersebut menjadi nomor ekstra majalah Wederopbouw. Menurut Budiawan, ahli ilmu sejarah dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, perdebatan ini kalah pamor dibanding polemik kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana yang mempertentangkan Timur dan Barat. Polemik Tjipto dan Soetatmo cuma perdebatan dua aliran pikiran yang berbeda.

(78) Polemik Kebudayaan Publikasi: Majalah Pujangga Baru (1935)

ARTIKEL berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru memprovokasi kaum intelektual pada 1935. Sutan Takdir Alisjahbana, si penulis artikel, mengusulkan Indonesia mengadopsi elemen Barat jika ingin menjadi bangsa maju. Yakni, intelektualisme, egoisme, individualisme, dan seni budaya Barat. Kebudayaan Indonesia baru, katanya, harus lepas dari budaya masa lalu.

Sanusi Pane, Adinegoro, Dr M. Amir, dan Sutomo mendebat pemikiran Takdir. Sanusi Pane yang pro-ketimuran menganggap Takdir kebarat-baratan dan tidak menghargai kearifan lokal. Pada 1948, Achdiat K. Mihardja mengumpulkan perdebatan itu dalam satu buku berjudul Polemik Kebudayaan.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Sapardi Djoko Damono, menilai pemikiran Takdir harus ditinjau kembali jika Indonesia ingin maju. "Bukan sekadar meniru, tapi kita harus bisa mencuri gaya, teknologi, dan pemikiran Barat," ujarnya.

Menurut budayawan Nirwan Dewanto, Polemik Kebudayaan masih aktual untuk diperdebatkan hingga saat ini. "Esai-esai Takdir saat Polemik Kebudayaan akan 'menghantui' siapa saja yang memikirkan sumber penciptaan kebudayaan Indonesia," kata Nirwan.

(79) The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States Publikasi: Basic Book, New York (1963)

AWAL 1950-an, Clifford Geertz melakukan riset di Indonesia untuk menjadi bahan disertasi doktor bidang antropologi. Pada 1963, terbit artikelnya berjudul The Integrative Revolution, yang menggambarkan Indonesia sedang dalam proses menjadi suatu bangsa. Upaya itu terganjal oleh sifat etnosentris dan kedaerahan. Padahal budaya daerah bisa dimanfaatkan sebagai sumber pengetahuan lokal guna memajukan bangsa.

Untuk mengelola kemajemukan, kata Geertz, perlu adanya revolusi integrasi. "Bisa saja Geertz berharap ada revolusi, tapi yang terjadi hanyalah involusi," kata Irwan Abdullah, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Tesis Geertz, yang menggambarkan lingkaran kemiskinan di pedesaan Jawa, sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pengambil kebijakan di Indonesia.

(80) Defisiensi Vitamin B1: Artikel tentang Eijkman dan Hasil Penelitiannya Publikasi: Temuannya memenangkan Nobel pada 1929

PENYAKIT beri-beri mewabah di Nusantara mulai 1880. Pemerintah Belanda mengirim tim ilmuwan ke tanah jajahan. Salah satunya Christiaan Eijkman. Dan mereka menemukan penyebab wabah, yakni defisiensi vitamin B1. Temuan ini mematahkan kesimpulan Robert Koch-penemu penyebab penyakit tuberculosis-bahwa semua penyakit disebabkan bakteri. Eijkman mendapat hadiah Nobel pada 1929 untuk temuan ini. Hasil penelitiannya, Beri-Beri en Voeding (Beri-beri dan Makanan"), dimuat di majalah kedokteran di Amsterdam, Nederlandsch Tijdschrift voor Geneeskunde, pada 1898.

Jerih payah Eijkman memicu penelitian di bidang kedokteran dan penyakit di Batavia pada masa itu. Pemerintah mendirikan Sekolah Kedokteran STOVIA yang kelak meluluskan sejumlah tokoh kebangsaan, antara lain Sutomo dan Tjipto Mangoenkoesoemo.

Menurut Sangkot Marzuki Batubara, Direktur Eijkman Institute for Molecular Biology, Bandung, temuan Eijkman dan STOVIA meningkatkan rasa percaya diri bangsa. Nusantara kemudian menjadi pusat penelitian penyakit tropis sampai sekarang.

(81) Student Indonesia di Eropa Publikasi: Harian Bintang Timoer 1926-1928. Kepustakaan Populer Gramedia membukukannya pada 2000

PERHIMPUNAN Indonesia boleh dikatakan Indonesia kecil yang terletak di tengah lautan besar bernama Eropa." Kutipan ini adalah bagian dari laporan jurnalistik Abdul Rivai untuk koran Bintang Timoer yang terbit di Batavia. Pada November 1926-Mei 1928, Rivai menjadi koresponden harian tersebut di Belanda.

Sebagai wartawan, dia menulis 41 artikel mengenai kehidupan mahasiswa Indonesia di Belanda. Tulisannya dapat membuka hati bangsa Indonesia terhadap daya upaya Perhimpunan Indonesia.

Sejarawan Hilmar Farid Setiadi menjelaskan laporan Rivai membuka cakrawala berpikir orang-orang di Tanah Air bahwa ilmu yang digunakan Belanda untuk menjajah bisa dipelajari.

(82) Pranakan Arab dan Totoknja Publikasi: Harian Matahari, Semarang (1934)

NAMA lengkapnya Abdurrahman Baswedan. Keturunan Arab yang lebih dikenal sebagai A.R. Baswedan ini pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Dia juga pernah menjadi Menteri Muda Penerangan Kabinet Sjahrir.

Sosok Baswedan mulai terkenal ketika harian Matahari, terbitan 1 Agustus 1934 di Semarang, memuat tulisannya tentang nasionalisme kaum peranakan Arab. Dia mengimbau mereka bersatu membantu perjuangan Indonesia. Dua bulan kemudian dia memelopori Sumpah Pemuda Keturunan Arab. Isinya persis sama dengan Sumpah Pemuda 1928. Baswedan juga menjadi ketua Partai Arab Indonesia yang bertujuan Indonesia merdeka.

Awalnya, banyak yang menentang seruan Baswedan. "Karena hal ini dianggap sebagai ajakan untuk turun kelas, dari kelas dua ke kelas tiga," kata Anies R. Baswedan, Rektor Universitas Paramadina sekaligus cucu A.R. Baswedan. Di masa itu, memang terjadi kesenjangan pandangan dan sikap antara kaum tua atau totok Arab dengan kalangan mudanya.

(83) Masalah Tionghoa di Indonesia: Asimilasi vs Integrasi Publikasi: Mingguan Star Weekly 6 Februari 1960-25 Juni 1960. Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran membukukannya pada 1999

MINGGUAN Star Weekly menjadi saksi sekaligus medan perdebatan tokoh Tionghoa yang menganut paham asimilasi dan integrasi. Polemik ini dipicu perjanjian dwikewarganegaraan yang ditandatangani Republik Rakyat Cina dan Indonesia. Sebagai akibat perjanjian itu, sejak 20 Januari 1960 orang-orang keturunan Tionghoa harus memilih menjadi warga Indonesia atau Cina.

Sepanjang 6 Februari sampai 25 Juni 1960, mingguan itu menurunkan tajuk rencana, artikel, dan liputan tentang isu sensitif ini. Sejumlah tokoh seperti Ong Hok Ham, Yap Thiam Hien, dan Lauw Chuan Tho alias Junus Jahja berdebat tentang konsep asimilasi atau integrasi.

Mereka yang setuju gagasan asimilasi berharap keturunan Tionghoa berbaur sehingga lebih mudah diterima warga pribumi. Sebaliknya, yang setuju konsep integrasi menuntut etnik Tionghoa diakui sebagai salah satu suku Indonesia dan tetap mempertahankan kebudayaannya.

Menurut Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Yoseph Adi Prasetyo, konsep asimilasi yang diusung Junus Jahja dan kawan-kawan sudah tidak relevan pada masa sekarang. Karena masyarakat Tionghoa sudah mempunyai kebebasan, baik secara ekspresi kebudayaan maupun identitas.

(84) Penduduk dan Kemiskinan Penelitian: Studi kasus di pedesaan Jawa. Diterbitkan oleh Bhratara Karya Aksara (1976)

PADA awal Orde Baru, peneliti Universitas Gadjah Mada, Masri Singarimbun dan D.H. Penny dari Australia, melakukan penelitian di wilayah pedesaan Jawa. Mereka menemukan fakta bahwa kemiskinan timbul karena penduduk terlalu banyak sementara lahan semakin sedikit. Akibatnya, ada tenaga berlebih di sektor pertanian.

Menurut antropolog Universitas Gadjah Mada Sjafri Sairin, buku inilah yang pertama kali secara jujur dan berani mengatakan kemiskinan memang terjadi dan ada di Indonesia. "Dulu menyebut kemiskinan seolah merongrong pemerintah," katanya. Buku itu juga menyadarkan banyak akademisi untuk mengkaji kemiskinan secara intensif. Teori-teori yang menjelaskan ihwal kemiskinan lantas berkembang dan diperkaya dengan teori dari luar. Antara lain budaya kemiskinan oleh Oscar Lewis.

Tulisan Masri membuat isu kependudukan menjadi perhatian banyak peneliti dan akademisi berbagai universitas. "Pusat studi kependudukan kemudian menjamur di banyak universitas," Sjafri menambahkan.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India