Senin, 19 Mei 2008

Mencari Bangsa dalam Bahasa

Ignas Kleden 

DALAM suatu retrospeksi, kita dapat mengatakan sekarang bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia mula pertama bersemi sebagai perjuangan untuk mengukuhkan rasa kebangsaan. Namun, pengertian tentang bangsa dan wujudnya berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan sosial politik.

Dari khazanah sastra dan budaya Melayu lama ada peribahasa yang sudah dikenal umum bahasa menunjukkan bangsa". Ada pula ungkapan orang berbangsa". Jelas bahwa kata bangsa" dalam ungkapan-ungkapan tersebut tak ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan, karena bangsa" dalam konteks itu menunjukkan keturunan orang baik-baik, yang jelas bibit, bebet, dan bobot"-nya, yaitu mereka yang termasuk dalam atau berada dekat dengan suatu nobility dan mendapat sebutan bangsawan. Dalam arti itu, orang biasa, rakyat kebanyakan, para commoners dianggap tidak termasuk dalam golongan orang berbangsa".

Tidak mengherankan bahwa saat mula berdirinya pada 1908, Boedi Oetomo mencantumkan sebagai misi utamanya usaha menyadarkan para anggota tentang keutamaan dan kebajikan orang Jawa, yaitu segala yang berhubungan dengan budi pekerti atau budi yang utama. Kita tahu, budi pekerti yang halus dalam kebudayaan Jawa, baik menyangkut tata krama maupun yang menyangkut tata negara, adalah nilai-nilai yang dikuasai oleh kaum priyayi, sedangkan orang kebanyakan mengemban tugas tata usaha dalam pertanian.

Gebrakan besar dilakukan oleh Tjipto Mangunkoesoemo dalam dua usul yang kemudian tidak diterima, yaitu mengubah Boedi Oetomo sebagai organisasi sosial menjadi organisasi politik dan memperluas keanggotaannya untuk semua penduduk bumiputra di seluruh Hindia Belanda. Penolakan ini dapat dipahami berdasarkan konteks masa itu. Menerima semua penduduk bumiputra yang berminat agar dijadikan anggota Boedi Oetomo akan sama dengan merevolusikan pengertian bangsa" yang hingga saat itu masih terbatas hanya pada orang berbangsa". Revolusi pengertian ini tidak berhasil sebagaimana diinginkan oleh Tjipto Mangunkoesoemo, karena Boedi Oetomo masih dipimpin oleh para ningrat.

Perubahan barulah terjadi dalam organisasi-organisasi politik yang muncul kemudian. Makna baru kata bangsa" diresmikan secara publik dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang para pencetusnya mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia... berbangsa yang satu, bangsa Indonesia" sambil menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia".

Soekarno, yang sangat mungkin berasal dari kalangan priyayi kecil (ayahnya seorang guru desa dan ibunya seorang perempuan Bali), bisa merasakan ketegangan antara wong cilik dan para ningrat. Dengan cerdik dia mengidentifikasikan dirinya dengan si Marhaen yang, dalam metafor Soekarno, tidak berarti seorang proletar, tapi lebih mirip seorang petit-bourgeois atau borjuis kecil yang mandiri secara ekonomi dan karena itu bisa lebih siap untuk merdeka secara politik.

Dalam sosiologi Marxian, seorang proletar adalah orang yang hidup tanpa memiliki alat-alat produksi. Apa yang ada padanya hanya tenaga kerja yang dipertukarkan dengan upah kerja. Sebaliknya, seorang Marhaen, dalam pengertian Soekarno, memiliki alat-alat produksi tapi dalam ukuran kecil: bidang tanah yang kecil, modal kecil, dan sedikit alat-alat untuk bekerja. Akibatnya, keuntungan juga serba kecil sehingga tidak memungkinkan akumulasi modal seperti yang dilakukan oleh kelas borjuasi dalam industri. Seorang proletar bergantung pada pemilik modal yang akan memberinya kerja, tapi Marhaen dapat mandiri dan tidak perlu bergantung pada siapa pun, meskipun hidupnya tidak dalam serba kecukupan.

Dalam tulisannya, Marhaen dan Proletar", Soekarno menjelaskan bahwa marhaenisme adalah gejala masyarakat feodal, sedangkan proletariat lahir dari sistem kapitalisme dan imperialisme. Seperti kita tahu, integrasi kaum proletar ke dalam bangsa" dilakukan oleh organisasi-organisasi politik kiri, dengan kristalisasinya yang terakhir dalam Partai Komunis Indonesia.

Pembentukan bangsa Indonesia rupa-rupanya berlangsung pada dua tingkat. Pada tingkat yang satu, kesadaran kebangsaan muncul dari pertentangan antara penduduk bumiputra dan pihak penjajah akibat diskriminasi terbuka yang dilakukan oleh ras putih terhadap ras berwarna. Bung Hatta dalam pidato pembelaannya, Indonesia Merdeka", di depan pengadilan Den Haag pada 9 Maret 1928, berbicara tentang the rising tide of colour atau pasang naik kulit berwarna, sedangkan Soekarno setahun sebelumnya menunjukkan suatu tendensi sejarah di Hindia Belanda yang bergerak naar het bruine front (menuju front sawo matang).

Pada tingkat lainnya, kebangsaan muncul dari usaha untuk memperkecil atau menghilangkan jarak sosial antara berbagai strata sosial dan kelas sosial. Lahirnya Sarekat Islam pada 1912, dengan pendahulunya Sarekat Dagang Islam, memberi suatu status sosial politik yang tegas kepada para pedagang.

Istilah dagang" dalam bahasa Melayu menunjuk perilaku orang yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain, suatu mobilitas ekstrem yang mendekati status homeless dan membuat mereka seakan terlepas dari orang berbangsa". Studi-studi sosiologi tentang trading minorities yang dimulai semenjak Georg Simmel hingga sekarang menunjukkan bahwa pedagang cenderung dianggap orang asing" dalam suatu masyarakat, dan kalau dia tidak dianggap asing, dia akan mengasingkan diri ke sebuah rantau supaya bebas bergerak tanpa diikat oleh aturan-aturan orang berbangsa.

Dapat dipahami bahwa mengumpulkan para pedagang dalam suatu organisasi politik, apalagi yang besar dan kuat seperti Sarekat Islam, merupakan jalan terbaik mengintegrasikan kaum pedagang ke dalam bangsa" dan menjadikan mereka kekuatan dalam perjuangan politik.

Lebih dari itu, muncul berbagai prakarsa agar sebanyak mungkin orang dapat berpikir dengan satu atau beberapa metode yang sama. Hatta dan Sjahrir mendirikan Partai Nasional Indonesia Baru untuk memperkenalkan cara berpikir politis serta memberikan pengetahuan tentang manajemen dan administrasi pemerintah. Tan Malaka menulis traktat filsafat yang luas dan solid untuk memperkenalkan cara berpikir rasional dan ilmiah guna mengikis alam pikiran yang dipenuhi berbagai kepercayaan takhayul. Bukunya, Madilog, barangkali tak disenangi sebagian orang karena asas materialisme yang ia anut. Sekalipun demikian, tanpa menerima apa pun dari paham materialisme, orang tetap dapat belajar banyak dari karya itu tentang metode logika dan dialektika dalam filsafat serta ilmu pengetahuan.

Kalau dipikir-pikir, aneh juga bahwa sekarang ini terdapat lebih dari 220 juta orang yang merasa mempunyai perhubungan satu sama lain karena mereka semua bernaung di bawah sebuah nama yang sama, yang kini dikenal dunia sebagai Indonesia". Menurut Bung Hatta, nama itu mula pertama dipakai oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda pada 1922. Penggunaan nama itu menimbulkan kecemasan di kalangan pemerintah kolonial. Sanggahan terhadapnya diajukan oleh Profesor Van Vollenhoven, ilmuwan Belanda yang mempunyai nama besar di kalangan akademisi Belanda dan di Hindia Belanda. Vollenhoven mengemukakan bahwa nama Indonesia" lebih luas daripada Hindia Belanda. Penduduk Hindia Belanda pada waktu itu, pada 1928, berjumlah 49 juta orang, sedangkan nama Indonesia" mencakup juga 15 juta orang di luar Hindia Belanda. Karena itu, pemakaian nama tersebut tidak tepat.

Dalam jawabannya, Bung Hatta menyatakan bahwa nama Indonesia" dipakai dalam arti ketatanegaraan dan karena itu tak bisa disanggah dengan alasan-alasan geografis dan etnologis. Kata Amerika" menunjuk suatu benua yang membujur dari kutub utara ke kutub selatan, tapi hanya satu negara yang memakai nama Amerika" dalam arti tata negara, yaitu Amerika Serikat, dan tak terdengar keberatan dari Kanada, Meksiko, Brasil, atau Bolivia.

R. Tagore, dalam sebuah seri ceramahnya tentang nasionalisme, pernah berkata, "Sejarah manusia dibentuk sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya. Kesulitan-kesulitan itu memberikan masalah dan meminta jawaban dari kita, dengan kematian dan degradasi sebagai hukuman bagi tak terpenuhinya tugas tersebut. Kesulitan-kesulitan ini berbeda pada rakyat yang berbeda-beda di muka bumi, tapi cara kita mengatasinya akan memberi kita suatu kehormatan khusus."

Kehormatan khusus! Tagore berbicara dalam bahasa Inggris dan memakai kata distinction. Kata itu jelas tak ada dalam bahasa Indonesia dan pada saat ini sangat mungkin juga tidak ada dalam bangsa Indonesia.

Ignas Kleden Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
(51) Jalan Tak Ada Ujung
Penerbit: PT Dunia Pustaka Djaya, Jakarta (1952)

MALAM di Pasar Senen. Di sebuah restoran, Guru Isa bersama Hazil dan Rakhmat menanti serdadu Belanda keluar dari Bioskop Rex. Lalu, terdengar dua kali ledakan. Di kemudian hari, Guru Isa dan Hazil tertangkap. Terkuaklah siapa di antara mereka yang betul-betul merdeka".

Menurut rohaniawan Mudji Sutrisno, novel karya Mochtar Lubis ini memotret kekacauan setelah 1945. Pesannya: jalan untuk merdeka merupakan lorong panjang yang gelap pekat. Perlu upaya keras melepas belenggu ketakutan, juga kemunafikan. Kebangkitan diperlihatkan oleh sosok Guru Isa yang keluar dari kepengecutan," kata Mudji.

Banyak tulisan mengulas karya ini, seperti M.S. Hutagalung, H.B. Jassin, dan A. Teeuw mengenai gaya bahasa, sosiologi, atau perwatakan. Ada juga telaah dari sudut filsafat eksistensialisme. Menurut Mudji, ceritanya sangat kontekstual dengan kondisi saat ini.

(52) Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei 
Penerbit: PT Gunung Agung, Jakarta (1954)

SASTRAWAN Gajus Siagian menggelari Hans Bague Jassin sebagai paus sastra Indonesia. Seolah seseorang tak sah menyandang gelar sastrawan sebelum namanya tersemat dalam buku ini. Beberapa pengarang dianggap sebagai kalangan luar", seperti Marga T., akhirnya masuk daftar Jassin.

Penyair Sapardi Djoko Damono mengatakan, walau karya Jassin bukan buku sejarah sastra, tokoh sastra dan karya yang diulas begitu banyak. Jarang ada orang yang menulis secara teratur dan berkesinambungan," kata Sapardi. Dengan buku ini, katanya, kita bisa lebih banyak melihat sastra Indonesia yang ternyata memiliki banyak corak.

(53) Revolusi di Nusa Damai
Penerbit: Harper & Brother (Revolt in Paradise, 1961), PT Gunung Agung (1964)

FILM Bali, Surga Terakhir membuat Muriel Pearson mengambil keputusan besar: meninggalkan Amerika Serikat menuju Pulau Dewata. Perjalanan dramatisnya dimulai dengan menumpang kapal barang. Nama K'tut Tantri diperoleh dari ayah angkatnya, seorang raja Bali. Ia masuk pergerakan kemerdekaan ketika Jepang menggantikan Belanda.

Cerita dengan gaya otobiografi ini ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tokoh-tokoh besar memberikan pengantar, seperti Presiden Soekarno dan Adam Malik. Buku ini membuka gambaran Indonesia dengan tidak subyektif," kata sejarawan Hilmar Farid. Menurut Hilmar, otobiografi tersebut menarik sebagai buku sejarah.

(54) Bebasari
Penerbit: Fasco Djakarta (Cetakan ke-2, 1953)

PESTA murid sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang tak jadi diisi pementasan drama. Pasalnya, pemerintah Belanda pada 1920 melarang Bebasari dipentaskan. Drama ini berkisah tentang pemuda yang hendak merebut kekasihnya, Bebasari, yang direnggut raksasa.

Penyair Goenawan Mohamad berkata, Bebasari adalah alegori terhadap kemerdekaan. Dorongan pembebasan pada kolonialisme begitu kuat. Mungkin karena itu pemerintah Belanda membeslahnya," kata Goenawan. Ini menunjukkan betapa kuatnya sebuah kata. Dalam menulis, Roestam sering menggunakan nama samaran seperti Rahasia Emas dan Rantai Emas.

(55) Burung-burung Manyar
Penerbit: Djambatan (1981)

MENGAMBIL alur perang kemerdekaan, Burung-burung Manyar memikat Dita Indah Sari. Aktivis buruh ini membaca karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya itu pada 1991 saat duduk di kelas tiga sekolah menengah atas. Teto dan Atik, dua tokoh utamanya, menggambarkan dengan baik pertarungan patriotisme melawan kolonialisme. Atik berani mengorbankan perasaannya untuk negara," kata Dita.

Mudji Sutrisno menilai buku itu juga melucuti sifat kolonial yang bisa hinggap pada siapa saja, termasuk kaum pribumi. Agar terbebas dari perilaku itu, menurut Mudji, harus dipupuk jiwa humanis seperti ditunjukkan Sutan Sjahrir. Dari situ akan tercapai kebangkitan hakiki. Bila perlu struktur negara yang bobrok harus dirombak demi generasi muda seperti burung manyar," kata Mudji.

(56) Sandhyakala Ning Majapahit
Penerbit: Pustaka Jaya (1971)


ZAMAN Indonesia purba bersemayam di hati Sanusi Pane. Setidaknya begitulah kata kritikus sastra H.B. Jassin. Angkatan Pujangga Baru itu banyak melahirkan karya berlatar kerajaan sebelum kolonialisasi seperti Sandhyakala Ning Majapahit, drama tentang masa-masa ambruknya Majapahit.

Lakon ini pertama kali dimuat dalam majalah bulanan Timboel pada 1932. Sandhyakala seakan menjadi buhul antitesis dengan Sutan Takdir Alisjahbana. Percakapan Damarwulan dengan Batara Wisnu dianggap sebagai pandangan yang mengabaikan dunia. Juga, menjerumuskan jiwa muda dalam kepasrahan. Kritik Takdir diuraikan dalam Layar Terkembang yang dianggap pro-budaya Barat. Menurut Jassin, Sanusi justru sintesis Timur dan Barat.

Hamka Menggebrak Tradisi

SEPUCUK surat mampir di meja Buya Hamka suatu siang pada 1938. Pengirimnya pemuda yang mengungkapkan kesannya pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Pemuda itu mengaku telah membaca karya itu berulang-ulang. Seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri," demikian tulis pemuda itu.

Banyak lagi surat dan telegram senada yang dialamatkan ke penulis bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu. Maklum saja, penggemarnya banyak. Sebelum buku itu diterbitkan Balai Pustaka pada 1938, Tenggelamnya Kapal dimuat dalam bentuk cerita bersambung di Pedoman Masyarakat, Medan, majalah mingguan yang dipimpin Hamka sendiri.

Yunan Nasution, kolega Hamka di Pedoman, mempunyai kisah tentang cerita bersambung itu. Setiap Rabu malam, saat terbitnya mingguan itu, di stasiun Kutaraja (Banda Aceh) banyak orang menunggu. Bukan hanya para agen penjual majalah, ratusan pembaca yang sudah tak sabar menanti kelanjutan Van Der Wijck turut menanti.

Cerita itu sebenarnya diilhami peristiwa nyata kapal Van Der Wijck. Kapal yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Tanjung Priok, Jakarta, itu tenggelam di Laut Jawa, timur laut Semarang, pada 21 Oktober 1936.

Novel itu berkisah tentang Zainuddin, yang gagal mempersunting Hayati karena perbedaan suku dan strata sosial. Zainuddin, yang berdarah campuran Minang-Bugis, dianggap tak pantas mengawini Hayati, orang Minang tulen keturunan pemuka suku di Batipuh, Padangpanjang, di negeri Minangkabau. Zainuddin berusaha mendobrak adat feodal saat itu.

Hamka juga melukiskan denyut perubahan di perkotaan Minangkabau. Perempuan tak lagi mengenakan baju adat yang tertutup rapat melainkan berpakaian modern ala gadis Eropa. Kaum lelaki mulai gemar menghamburkan uang di meja judi, seperti tokoh Aziz dalam buku itu.

Sang penulis begitu fasih dengan kultur masyarakat Minang dan perubahannya pada zaman itu, karena dia sendiri hidup dalam kum_paran masa tersebut. Hamka lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Sehingga dia bukan hanya merekam sejarah, melainkan juga pelakunya. Itulah yang membuat Hamka, yang wafat pada 24 Juli 1981, berhasil meninggalkan karya yang masih dibaca hingga kini.

Dalam sastra modern Indonesia, Hamka memang diakui sebagai penulis produktif. Ia telah membukukan sekitar 118 tulisan mencakup bidang agama, filsafat, dan sastra. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan novel monumentalnya, selain Di Bawah Lindungan Ka'bah. Meski sempat dituduh sebagai hasil plagiat, novel itu telah mencuatkan namanya, tak hanya di Indonesia, tapi juga sampai Malaysia. Di Indonesia Van Der Wijck dicetak 14 kali, dan di Malaysia dicetak 9 kali.

Hanya, posisi Hamka sebagai ulama sekaligus pengarang roman sempat dibuat repot. Sejumlah pembaca muslim ada yang menolak Van Der Wijck karena, menurut mereka, seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Hamka pun pernah dijuluki kiai cabul.

Hamka membela diri lewat tulisan di Pedoman Masyarakat No. 4 bertarikh 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Dia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.

(50) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1938)

Moeis Menyalahkan Pengasuhan Hanafi

NOVEL Salah Asuhan sungguh lebih dari sekadar roman. Ia juga merupakan pandangan kritis pengarangnya, Abdoel Moeis, terhadap dampak politik etis (Etische Politiek) yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda sejak awal abad ke-20. Moeis menyiratkan pesan, pendidikan Barat yang dinikmati sebagian kaum bumiputra seharusnya tak membuat mereka tercabut dari akar budayanya. Orang Timur jangan sekali-kali menjadi sepuhan Barat," ujar Mariam, ibu dari tokoh utama novel ini, Hanafi.

Sebagian sejarawan menganggap politik etis merupakan awal munculnya kesadaran berbangsa bagi bumiputra. Memang, salah satu rukun" dalam trias politika kebijakan ini adalah memperbanyak sekolah. Maka sejak 1903 Kerajaan Belanda giat membangun sekolah sejak tingkat Volk School (sekolah desa) hingga Algemeene Middelbare School (AMS). Dari bangku-bangku pendidikan inilah meletup bara semangat kebangsaan itu.

Tetapi, dalam pandangan Moeis, interaksi bumiputra dengan pendidikan dan kebudayaan ala Barat itu memercikkan ancaman lain: seseorang bakal tercabut dari akarnya. Seseorang akhirnya akan menjadi piatu" dari adat-istiadat leluhurnya. Moeis mewujudkan kegelisahannya itu dalam relasi rindu dendam antartokoh utama Salah Asuhan: Hanafi Corrie du Bussee Rapiah, serta Ibunda Hanafi.

Hanafi adalah tokoh yang paling terempas dalam gelombang krisis identitas itu. Tamat dari HBS di Betawi, serta lama bergaul dengan orang-orang Eropa, pemuda Melayu totok ini menjadi gandrung ingin menjadi warga kebudayaan Eropa.

Untuk mewujudkan impian itu, dia rela melepaskan cara berpikir dan adat Timur. Hal itu dilakukan bukan saja agar dapat mengawini Corrie perempuan blasteran Prancis-Minangtetapi karena pada akhirnya ia memang begitu membenci kebudayaan Timur itu.

Maka ringan saja ia lalu meletakkan gelar sutan pamenan yang disandangnya. Di dalam segala hitungan di kampung', anakanda tak usah dibawa-bawanya lagi, karena dengan rela hati ananda sudah keluar dari adat dan keluar dari bangsa," tulis Hanafi dalam suratnya kepada ibunda.

Dengan surat itu pula Hanafi memutuskan hubungannya dengan istri pilihan ibunda, Rapiah. ... jika ananda sudah tentu menjadi orang Belanda, istri ananda itu haruslah yang berpatutan benar dengan keadaan dan pergaulan ananda."

Demikianlah. Rapiah memang personifikasi dari masa lalu" yang hendak dibelakangi Hanafi. Rapiah adalah istri yang sudah memenuhi segala tuntutan adat. Sesungguhnya perceraian sepihak ini ibarat manifesto Hanafi yang memutuskan hubungan dirinya dengan bumi pertiwi.

Tetapi Moeis melihat bahwa perpindahan budaya semacam itu tak hanya ditentang kaum asal Hanafi. Pada masa itu, kaum Eropa pun memandang hina pasangan Hanafi-Corrie (setelah mereka kelak menikah). Bahwa dengan besluit pemerintah, Hanafi sudah dinyatakan memiliki hak sama dengan hak bangsa Eropa (dengan nama baru Christiaan Han), orang Barat tetaplah memandangnya sebagai bumiputra belaka.

Menurut Haji A. Hamid, pengajar Universiti Sains Malaysia, novel Salah Asuhan ini menunjukkan hebatnya persoalan krisis identitas dalam wacana pascakolonial. Ia melihat Hanafi sedikit banyak sama dengan tokoh Husin dalam cerita pendek Cerita Sepanjang Jalan IX karya penulis Malaysia, Keris Mas. Keduanya mengalami kegamangan terhadap budaya leluhur," kata Hamid dalam sebuah seminar kesusastraan internasional di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sejak terbit pertama pada 1928, Balai Pustaka telah 30 kali mencetak ulang karya Moeis ini (cetakan terakhir pada 2004). Ini menunjukkan problem yang menjadi tema pokok Salah Asuhan ternyata tetap tersimpan melintasi zaman demi zaman. Hingga sekarang, persoalan krisis identitas dengan berbagai variannya masih saja diidap oleh bangsa yang telah merdeka hampir 63 tahun ini.

(49) Salah Asuhan Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1928)

Menyerang Lewat Layar Terkembang

LAYAR Terkembang adalah novel tipis belaka. Hanya 166 halaman. Romansa di dalamnya pun tak terlalu istimewa. Kisah cinta segitiga antara Yusuf, Maria, dan Tuti mudah ditebak akhirnya. Kematian Maria di akhir cerita bukanlah alasan bagi pembaca untuk berkaca-kaca. Tak ada pendalaman tokoh, plotnya pun amat sederhana. Tapi semua orang tahu, novel yang terbit pada 1936 ini memiliki peran penting dalam pembangunan karakter kebangsaan pada awal-awal pembentukan bangsa.

Dalam novel ini Sutan Takdir Alisjahbana menyampaikan idenya tentang di mana seharusnya bangsa ini berdiri, baik di masa lalu maupun di masa depan. Dengan cara ini Takdir menebalkan benang merah yang memisahkan kubunya dengan kubu Sanusi Pane dalam Polemik Kebudayaan. Ia menegaskan posisinya yang menginginkan sebuah perubahan revolusioner dalam cara berpikir bangsa Indonesia, yang belum jadi. "Ia ingin mengatakan bahwa sesuatu yang baru, integratif, dan progresif, hanya mungkin dibangun jika keterikatan dengan yang lama telah diputus," kata sejarawan Taufik Abdullah.

Tampak sekali Takdir menjadikan novel ini sebagai reaksi atas terbitnya Sandhyakala Ning Madjapahit buah tangan Sanusi Pane, yang terbit tiga tahun sebelumnya. Pada halaman 93 hingga 104 Takdir membahas khusus soal ini. Diceritakan, Maria dan Yusuf berlakon dalam drama Sandhyakala Ning Madjapahit.

Selepas pertunjukan, hati Tuti mengharu-biru. Tapi sejenak ia tersadar akan kesalahan perasaannya. Tuti berterus-terang mulai menyatakan ketidaksetujuan akan pertunjukan itu. "Tidak puas?" tanya Maria terheran-heran. "Sandiwara tadi bagus, sebenarnya bagus. Tetapi kebagusannya itu pada pikiran saya melemahkan hati dan tenaga...."

"Melemahkan hati dan tenaga" itulah sikap Sanusi Pane dalam pandangan Takdir. Bagi Takdir, bangsa ini harus tegas bersikap, tidak setengah-setengah memandang masa depan, tak boleh lagi menengok ke belakang, membangga-banggakan kejayaan masa lalu. "Kebudayaan pra-Indonesia telah mati semati-matinya," kata Takdir di tempat berbeda. Dengan ungkapan lain ia mengatakan, "Borobudur adalah mumi. Merenovasi Borobudur adalah merenovasi mumi."

Karena novel ini hanya dipakai sebagai alat untuk "menyerang" Sanusi Pane, Takdir tak hirau benar soal kualitas sastra. Alih-alih memperkuat plot dan karakter tokoh-tokohnya, Takdir justru banyak berceramah lewat mulut para tokoh dalam novel tersebut. Dan ini bisa dibaca sejak halaman pertama. Ia bicara tentang kemerdekaan bekerja dan konsep kebahagiaan baru dalam lima halaman (23-28), tentang agama sepanjang empat halaman (28-32), dan tentang peran perempuan (34-41).

Kisah cinta segitiga hanyalah sampiran untuk mendukung ide-ide tegas yang ingin ia sampaikan. Meski Takdir lebih dulu dikenal sebagai seorang sastrawan, banyak yang meyakini Takdir hanya menjadikan sastra sebagai sebuah media untuk menerangkan buah pikir dan filsafatnya agar lebih mudah diterima masyarakat. Ketika pertama kali membaca Layar Terkembang, kata Taufik, pembaca mungkin memihak Maria yang manis dan lincah. Tapi Maria kemudian meninggal karena TBC. "Takdir seakan-akan memastikan bahwa masa depan bukanlah milik Maria yang romantis dan manis, tapi kepunyaan Tuti yang rasional dan ingin mencapai sesuatu."

Meski pada akhirnya Indonesia lebih berpihak pada Sanusi Pane dan menolak ide Takdir yang mirip Mustafa Kemal Ataturk, Takdir enggan mundur dari idenya.

(48) Layar Terkembang Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1936)

Fondasi Dasar Bahasa Indonesia

"... tata bahasa ini berusaha sungguh-sungguh membuat orientasi baru tentang pemandangan bahasa Indonesia seluruhnya."
-Sutan Takdir Alisjahbana, Kata Pengantar Tata Bahasa Indonesia Jilid I, Cetakan Pertama, 1949

EXPERES dan extera. Bukan ekspres dan ekstra. Sutan Takdir Alisjahbana berkukuh. Ia keras kepala mengatakan huruf x mesti dipakai. Alasannya sederhana. "Huruf x sudah diterima dalam huruf Indonesia. Sebaiknya dimanfaatkan saja," kata Takdir dalam buku Tata Bahasa Indonesia Jilid I karangannya.

Takdir juga berpendapat, dalam bahasa Indonesia, dua konsonan tidak boleh berdempetan. Alasannya, bahasa Indonesia tidak memiliki gugus konsonan. Maka ekspres pun senasib dengan Inggris, yang ditulis Takdir Inggeris, atau krisis, yang ditulis kerisis.

Kecintaan Takdir terhadap bahasa tak muncul kemarin sore. Pada 1928, ketika Sumpah Pemuda bergema di dinding-dinding Kota Batavia, Takdir baru saja lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung. Ia, yang kala itu berumur 20 tahun, berdiri takjub mendengar gagasan Sumpah Pemuda, terutama tentang kesatuan bahasa.

Saat diterima sebagai pegawai Balai Pustaka dua tahun kemudian, Takdir kian sadar bahwa syarat dasar bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah sebuah bahasa Indonesia modern. Pada 1933, ia mendirikan majalah Poedjangga Baroe. Di situlah ia menuangkan gagasan-gagasannya tentang bahasa dan sastra, sekaligus memberikan contoh bagaimana menulis dalam bahasa Indonesia modern.

Takdir jeli melihat celah. Setelah Jepang memukul Belanda dan menghapuskan bahasa Belanda, bahasa Indonesia diberi peluang untuk lebih banyak digunakan dalam percakapan. Takdir kemudian bergabung dalam Komisi Bahasa Indonesia, yang turut dibidaninya, pada 20 Oktober 1942.

Tugas komisi itu adalah menentukan istilah-istilah modern, menyusun tata bahasa normatif, dan menentukan kata-kata umum dalam bahasa Indonesia. Hingga bubar, kata Takdir, komisi itu telah menemukan 7.000 kata baru dalam bahasa Indonesia.

Selepas kemerdekaan, Takdir memiliki percetakan sendiri. Dian Rakjat namanya. Pada 1949 dan 1950, ia menerbitkan Buku Tata Bahasa Indonesia Jilid I dan II. Dua jilid buku tata bahasa Takdir laku keras. Jilid pertama buku itu mengalami cetakan ke-24 pada 1958. Jilid kedua dicetak ulang sebanyak 18 kali hingga 1958.

"Waktu saya SMA di Bukittinggi, saya memakai tata bahasa Takdir," kenang Profesor Taufik Abdullah. Menurut sejarawan ini, tata bahasa Takdir sangat penting karena itu tata bahasa Indonesia pertama yang dibuat di luar ahli-ahli Belanda.

Kala itu, misalnya, juga ada buku Abraham Anthony Fokker tentang gramatika bahasa Indonesia, yang sejak sebelum zaman perang sampai dicetak ulang sebanyak empat kali hingga 1950. Buku lain yang kemudian muncul, susunan Sutan Muhammad Zain, Jalan Bahasa Indonesia, juga banyak dipakai oleh guru di sekolah.

Tapi, menurut ahli linguistik Profesor Harimurti Kridalaksana, hanya Takdir yang meletakkan persoalan bahasa sebagai suatu hal yang harus dipikirkan. Takdir mempersilakan pembaca turut memikirkan dan memberikan masukan terhadap tata bahasa yang ia susun. "Takdir menempatkan pembaca sebagai subyek yang aktif," kata Harimurti.

Namun tak semua gagasan Takdir dalam tata bahasa kita pakai hari ini. Experes kini kita tulis ekspres sebagaimana sex tetap kita tulis seks. Menurut Harimurti, penyelidikan terhadap bahasa-bahasa di Nusantara yang dilakukan Takdir belum tuntas betul. "Tata bahasa Takdir belum dibuktikan secara empiris," kata Harimurti.

Kendati begitu, Harimurti mengakui sumbangan besar Takdir dalam meletakkan fondasi bahasa Indonesia "yang baik dan benar". Takdirlah yang menemukan hukum "diterangkan-menerangkan" yang kita pakai hari ini.

Takdir juga bermimpi, sebagaimana bisa kita baca dalam kata pengantar cetakan ke-38 jilid pertama buku tata bahasanya. Pada 1972 itu, ia berharap kelak bahasa Indonesia bisa menjadi "... salah satu bahasa internasional kelima di dunia."

(47) Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta (1949)

Nasionalisme dan Preman di Surabaya

Novel Idrus menjungkirbalikkan gambaran kita tentang revolusi. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya ternyata menurut dia dikobarkan oleh preman-preman.

PAGI, 10 November itu, bom menghujani Surabaya. Para pemuda yang keras kepala telah menolak ultimatum Inggris. Dengan senjata rampasan dari Jepang dan bambu runcing-demikian kita baca di buku sejarah-Bung Tomo dan para pemuda melawan puluhan ribu serdadu Inggris dan Gurkha. Maka sampai hari ini pun kita mengenang peristiwa heroik itu sebagai Hari Pahlawan.

Namun, di novelet berjudul Surabaya, Idrus menjungkirbalikkan "kesakralan" tersebut. Ia melukiskan pertempuran para pemuda melawan tentara Sekutu ibarat pertempuran antara para koboi dan bandit.

Para pemuda dideskripsikannya dengan revolver dan belati terselip di pinggang, berjalan dengan dada membusung. Sesekali mengacung-acungkan revolver dan menembakkannya ke arah Tuhan di langit. Bung Tomo tampil sebagai kepala pemberontak dengan rambut gondrong yang meruapkan bau apak, seperti bau bantal yang tak pernah dijemur. Sebelum tanggal 10 November itu, orang-orang yang mabuk kemerdekaan meninggalkan Tuhan lama dan menggantinya dengan Tuhan baru: bom, mitraliur, mortir....

Tak kalah dahsyat, Idrus menuturkan pula kisah-kisah di pengungsian selepas Inggris menggempur kota. Di tengah pengungsian, kejahatan merebak. Kemelaratan kian "bersimaharajarela". Kala itu, tutur Idrus selanjutnya, orang banyak bertingkah konyol. Seorang lelaki yang disangka telik sandi musuh, tanpa selidik, langsung dibunuh. Seorang perempuan yang kebetulan memakai selendang merah, baju putih, dan selop biru juga dituding sebagai mata-mata. Perempuan itu selamat dari kematian karena, setelah ditilik lebih jeli, selopnya ternyata berwarna hitam.

Lewat Surabaya yang dicetak oleh Merdeka Press pada 1947, Idrus mencuatkan kontroversi. Ia dicap kontrarevolusi. Sebab, ia seolah mencemooh revolusi dan mengejek perjuangan rakyat Surabaya.

Novelet ini merupakan karikatur dari pertempuran Surabaya dan revolusi secara umum. Di beberapa kota di Jawa masa itu memang muncul pejuang berlatar belakang bandit. Polah mereka bak koboi di wilayah tanpa hukum. Pada Oktober 1945, di Tegal, misalnya, sebuah komplotan bandit mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia. Selain merampok dan membagikan harta rampokan, para lenggaong-sebutan mereka-beraksi menumpas setiap orang yang dicurigai sebagai mata-mata Sekutu.

Kisah-kisah bandit yang menjelma jadi pejuang dan beraksi bak koboi tercatat dalam sejarah hingga beberapa tahun setelah Surabaya terbit. Boleh jadi, kala Idrus menulis Surabaya, kisah seperti itu kerap berseliweran ke telinganya.

Kala itu pula, kendati Bung Karno terus membakar semangat rakyat dengan pidato-pidatonya, situasi negeri tak kunjung lebih baik. Sebagian orang jadi ragu kepada Soekarno dan Hatta. Idrus berpikir seperti rakyat kebanyakan di masa itu. Ia dengan caranya yang sinis dan tajam mengemukakan pandangannya sendiri terhadap revolusi.

Suatu malam di bulan April 1954, Idrus diundang berdiskusi oleh redaksi majalah Konfrontasi di sebuah rumah di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Seseorang yang hadir mencecarnya, "Atas dasar apa patriot-patriot Indonesia Anda katakan hanya koboi?"

Idrus mengelak menjawab. "Saya sudah lupa ceritanya," katanya dengan suara lunak.

Mereka yang datang terus mengejar, menekannya: "Mengapa patriot Indonesia Anda anggap sebagai koboi?"

"Saya adalah spesialis dalam kejelekan-kejelekan. Sebab, dengan menceritakan kejelekan, kita bisa tahu kebaikan," kata Idrus, akhirnya.

(46) Surabaya Penerbit: Merdeka Press, Jakarta (1974)

Komedi Hitam untuk Jepang

SEPUCUK surat dialamatkan ke redaksi majalah Pantja Raja di pengujung November 1946:

"... oentoek mendjaga soepaja para bekas Heiho dan keloearganja jang berfikiran sehat djangan sampai djadi gila, maka dengan ini kami minta dengan hormat dan soedilah kiranja Toean, begitoe poela Toean Idroes menarik kembali karangannja itoe serta meminta maaf dengan setjara Ksatria.... Wassalam, Bekas Heiho jang berfikiran sehat."

Di awal November tahun itu, majalah Pantja Raja memuat karangan Idrus yang berjudul Heiho. Ini cerita pendek tentang seorang lelaki yang menjadi anggota Heiho karena berharap bisa membela Tanah Air tapi malah dituding sebagai antek penjajah oleh istrinya sendiri. Di akhir cerita, lelaki lugu itu dikisahkan tewas di sebuah pertempuran, sementara sang istri akhirnya kawin lagi dengan lelaki lain.

Kala sastra Indonesia terhuyung-huyung bangkit seusai tiarap di zaman Jepang, Idrus datang menggebrak. Idrus menulis dengan gaya yang belum banyak dianut penulis masa itu. Heiho adalah sebuah tragikomik, sebuah komedi hitam. Ditulis dengan gaya bahasa yang satir. Perhatikanlah kalimat-kalimatnya yang ringkas dan lugas. Sesekali kasar dan jenaka.

Dua tahun kemudian, pada 1948, cerita itu dibukukan dalam himpunan karangan Idrus berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (selanjutnya Dari Ave Maria). Dicetak oleh Balai Pustaka, tempat Idrus bekerja sebagai redaktur, ada 13 karangan di buku itu, diawali sebuah cerita pendek berjudul Ave Maria-diambil dari judul lagu klasik ciptaan Gounoud-dan ditutup dengan sebuah cerita pendek pula berjudul Jalan Lain Ke Roma. Seolah menandai periode penulisannya, Idrus membagi isi buku yang tak melulu cerita pendek itu menjadi tiga bagian: Zaman Jepang, Corat-coret di Bawah Tanah, dan Sesudah 17 Agustus 1945. Cerita pendek berjudul Heiho itu ada di bagian Corat-coret di Bawah Tanah.

Idrus menulis dua bagian pertama Dari Ave Maria sebelum kemerdekaan-di bawah pengawasan ketat sensor Keimin Bunka Shidoso atau Kantor Pusat Kebudayaan Jepang. Di masa itu, segala macam bentuk seni dan sastra bakal kena sensor bila tak sesuai dengan semangat Asia Timur Raya yang diusung Jepang. Contohnya adalah dibredelnya majalah Pujangga Baru yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana. Kantor Pusat Kebudayaan menganggap majalah itu berjiwa "Barat".

Dua karangan di bagian Zaman Jepang-cerita pendek Ave Maria dan naskah drama Kejahatan Membalas Dendam-juga kena "cekal". Seperti majalah Pujangga Baru, keduanya dianggap tak memiliki semangat "ketimuran". Ave Maria, dari judulnya, dianggap "kebarat-baratan". Bahkan Kantor Pusat Kebudayaan menemukan dosa yang lebih besar. Mereka menganggap di kedua tulisan itu tersembunyi anasir-anasir propaganda yang bisa menghasut rakyat untuk melawan Jepang.

Ketatnya sensor menyebabkan hanya segelintir kesenian, termasuk sastra, hidup di masa itu. Di antara mereka yang hidup ada kelompok sandiwara Maya pimpinan Abu Hanifah alias El Hakim, kakak kandung tokoh film Usmar Ismail. Kelompok sandiwara itu bisa bertahan karena cari aman dengan cara mementaskan naskah "biasa-biasa" sesuai dengan ketentuan Kantor Pusat Kebudayaan.

Sejak dua tulisannya dilarang beredar, Idrus tetap menulis kendati secara sembunyi-sembunyi. Karangan-karangannya lantas dia simpan di suatu tempat rahasia supaya tidak ditemukan oleh Kempetai. Di dalam Dari Ave Maria, karangan-karangan itu ada pada bagian Corat-coret di Bawah Tanah. Menariknya, Idrus menulis sebagian ceritanya saat ia bekerja di Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa, yang berada di bawah Seksi Propaganda Sendenbu, setelah pindah dari Balai Pustaka karena tak puas dengan gajinya yang kecil.

Demikianlah, bila seorang bekas anggota Heiho saja terpanggang hatinya membaca tulisan Idrus, apalagi Jepang. Maka tak satu pun cerita di dalam Corat-coret di Bawah Tanah terbit pada masa itu. Lelaki yang lahir di Padang, 21 September 1921, ini baru berani mempublikasikan Corat-coret di Bawah Tanah setelah bala tentara Tenno Haika itu hengkang.

Perkenalannya dengan pengarang seperti Sutan Takdir Alisjahbana di Balai Pustaka turut mempengaruhi proses kreatifnya sebagai penulis. Saat menulis Ave Maria dan Kejahatan Membalas Dendam, Idrus menampilkan tulisannya seolah ia adalah penerus tradisi generasi Pujangga Baru. Kedua karangan tersebut memang ditulis dengan gaya penulis masa itu. H.B. Jassin menyebutnya periode romantis.

Namun itu berubah di bagian Corat-coret di Bawah Tanah. Di bagian itu, Idrus tak lagi peduli dengan semangat generasinya. Kesengsaraan dan kemelaratan rakyat dalam cengkeraman Dai Nippon menyebabkan Idrus meninggalkan gaya romantik dan mulai menulis berdasarkan realitas sehari-hari. Menurut Jassin, sikap Idrus di Corat-coret di Bawah Tanah cocok dengan sikap rakyat di masa itu. "Sikap jiwa masa bodoh terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggap besar di masa itu," kata Jassin.

Setelah Jepang angkat kaki, Idrus tetap menunjukkan sikap yang mencemooh. Di dalam novelet Surabaya, yang terdapat di bagian Sesudah 17 Agustus 1945, ia seolah tak peduli dengan gegap-gempita revolusi (lihat "Nasionalisme dan Preman di Surabaya").

Idrus adalah saksi mata dari setiap peristiwa di dalam tulisannya. Dengan kata lain, setiap karangan di dalam Dari Ave Maria merupakan laporan aktual dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu. Idrus tak berdiri di luar sejarah. Ia adalah bagian dari sejarah itu sendiri.

Idrus telah melahirkan gaya penulisan baru. Menurut Jassin, bila Chairil Anwar disebut sebagai pelopor Angkatan '45 di bidang puisi, Idrus layak disebut sebagai pelopor Angkatan '45 dalam bidang prosa karena berhasil melakukan pembaruan bentuk tulisan. Tengoklah urutan tulisan dalam Dari Ave Maria. Urutan itu memperlihatkan suatu pencarian, baik dalam gaya bahasa maupun gaya berpikir. Saat Idrus mulai menulis tentang realitas, di sanalah, kata Jassin, Idrus tiba pada corak nieuw zakelijkheid atau "kesederhanaan baru". "Suatu kesederhanaan pengucapan yang sebelumnya tak dikenal. Kesederhanaan yang memerlukan kelincahan gerak berpikir," kata Jassin.

Namun, sebagai pengarang, Idrus juga tak lepas dari pengaruh para pengarang lain. Di antara mereka yang mempengaruhi Idrus ada Vsevolod Ivanov, Ilya Ehrenburg, dan raja cerita pendek Rusia, Anton Chekov. Idruslah yang memperkenalkan Ivanov dan Chekov kepada pembaca Indonesia lewat terjemahannya. Chekov, kita tahu, adalah pengarang yang termasyhur dengan cerita-cerita tragikomiknya. Gaya satire Chekov tampak pada Corat-coret di Bawah Tanah. Bahkan judul itu sendiri mengingatkan kita pada Notes from The Underground-nya Fyodor Dostoyevsky, pengarang besar yang juga berasal dari Rusia.

Kendati banyak didamprat karena tulisannya dianggap menghina revolusi, di kalangan penulis sastra masa itu Idrus segera mendapat pengikut luas. Bukan kebetulan bila pascakemerdekaan karya prosa didominasi cerita pendek. Banyak penulis masa itu memuja tulisan lelaki yang berpulang pada umur 58 tahun itu. Salah satunya Pramoedya Ananta Toer. Suatu kali Pram berkata, "Ada dua pengarang kesukaan saya. Pertama, John Steinbeck. Kedua, Idrus."

(45) Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1948)

Nasionalisme dalam Belenggu Waktu

oleh: Radhar Panca Dahana

TUJUH puluh tahun barangkali rata-rata harapan hidup manusia sekarang. Seumur demikian umumnya manusia sudah "selesai". Jikapun ia masih hidup, atau tetap ingin hidup, sebenarnya ia harus mendapatkan makna baru hidupnya.

Mungkin itulah yang berlaku pada Belenggu, roman karya Armijn Pane, yang selesai ditulis tepat 70 tahun lalu. Ketika kita membacanya, saat ini, kita akan menemukan sebuah "hidup" yang baru, sebuah nilai baru, makna baru.

Lebih dari setengah abad lalu, roman karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1907 itu memancing bukan hanya decak kagum, melainkan juga caci maki. Tak kurang dari Sutan Takdir Alisjahbana (STA), pemimpin Pujangga Baru-tempat buku itu diterbitkan pertama kali dan kantor tempat Armijn bekerja- mengeluhkan isi roman itu yang bukan hanya, "... romantika yang gelap-gulita yang pesimistis... yang melemahkan semangat."
Dalam sebuah edisinya, Desember 1940, majalah Pujangga Baru menurunkan pelbagai komentar tentang roman yang menggegerkan itu. STA meremukkan karya itu sebagai "type yang tidak mengharukan saya". S. Djojopoespito menulis: "... sebab tidak terasa bagi saya akan kehalusan dan keindahan bahasa-(nya)".

Tapi, di bagian lain, Ida Nasution mengatakan: "Belenggu ialah perlambang pembaharuan bahasa ke arah bahasa Indonesia." M.R. Dayoh berpendapat, "Belenggu ini keuntungan mahabesar untuk literatur kita, untuk perjuangan semangat baru Indonesia."

"Semangat baru" inilah tampaknya yang kemudian lebih mengemuka pada publik. Ini membuat Dian Rakyat, penerbit milik STA, mencetak ulang novel ini beberapa kali. Hingga Zaman Baru, penerbit dari Kota Petaling Jaya, Malaysia, menerbitkannya kembali (dan menjadi rujukan utama tulisan ini) pada 1965.


Mencari Manusia

SEBAGAI karya puncaknya, Armijn memang tampak mencurahkan dengan sungguh kemampuan literer hingga isi terdalam dari hatinya, pikirannya yang kuat dan cerdas, serta akhirnya keyakinannya dalam menghadapi kenyataan zaman yang galau oleh semangat perubahan. Caci maki? Ia tak peduli. Dalam pengantar di edisi Malaysia, ia menegaskan, "Kalau Keyakinan (kapital dari pengarang-pen) sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan lain-lain." Dan itu ia tunjukkan dengan sangat liat-memikat lewat tokoh-tokohnya-terutama (Sumar)Tini-dalam romannya itu.

Tini, istri (Kar)Tono, protagonis dalam Belenggu, menemukan dirinya sebagai istri juga perempuan-yang problematis. Walau pada mulanya ia hanya berkeluh tentang perhatian suami yang habis untuk pekerjaan, cemburu pada perempuan-perempuan yang "diraba-rabanya", ia akhirnya juga menemukan konflik yang lebih dalam antara dirinya dan Tono. Tentang bagaimana seorang perempuan harus berperan sebagai perempuan, sebagai istri. Sebuah ide feminis yang sungguh sangat dini di negeri ini.

Ia menentang relasi perkawinan, sebagaimana pemahaman umum saat itu, yang menempatkan perempuan "... sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian, bersih-bersih, sekali setahun dijemur di luar. Menanti suami sampai (ia) suka membawa keluar." Dengan lidahnya yang tajam, ia menerjang pendapat semua orang, juga suaminya sendiri. Katanya, "Aku berhak menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia yang juga berkemauan sendiri."

Bahkan meminjam bibir temannya, dik Tati, ia melihat perkawinan sebagai paksaan kebudayaan yang tak seorang pun berani menyimpang darinya. "Tetapi sekarang (mbak)Yu," tulis dik Tati dalam sebuah suratnya, "sudah tiba waktunya (menolak perkawinan). Kalau mesti, aku rela binasa." Tini memang tidak sampai seekstrem dik Tati. Dalam pengertiannya yang baru, ia masih menghargai perkawinan. Bahkan membutuhkannya. Membutuhkan Tono. Begitupun suaminya. Tono pun membutuhkan perkawinan, butuh istri, membutuhkan Tini.

Namun justru dalam relasi dua kebutuhan itulah, tragik cerita ini kemudian terjadi. Tini dengan gagasan-gagasannya yang merdeka dan Tono dengan harapan-harapannya akan istri yang "berlutut, membukakan tali sepatu" atau "menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah". Tono yang sebenarnya ragu pada pendiriannya itu, pada dirinya sendiri yang terikat oleh angan-angan yang semu. Yang terbelenggu.

Seperti katanya, "... begitulah kita seperti di belenggu oleh angan-angan... oleh angan-angannya sendiri". Belenggu itu bukan lagi semacam penjara sosial, namun terali yang ia ciptakan sendiri. Dan bahkan ketika ia mencoba melepaskan belenggu itu, dengan berpaling kepada tokoh utama ketiga, Yah (Siti Rohayah, Ny. Eni, Siti Hayati), teman lama, seorang pelacur terpaksa, yang kemudian ia temukan sebagai pasien, Tono justru kian liat membuat dirinya terikat.

Dengan pembangunan cerita yang cukup dramatis, melalui gambar-gambar skenik yang filmis (di mana bagian-bagian cerita, seperti scene dapat berlompatan begitu saja, seketika, ke ruang dan waktu yang berbeda), Armijn Pane memperlihatkan konflik dalam diri seorang manusia yang mencoba menemukan kenyataan dirinya dalam satu situasi hidup yang sangat berbeda: zaman yang sangat kontemporer.

Bentuk monologue interieur dengan cakapan-cakapan yang cerdas juga saat berhadapan dengan kedua tokoh utama lainnya-tidak hanya memperlihatkan satu pergolakan batin yang dalam dan sugestif, tapi juga berhasil menciptakan ruang yang lebih lapang pada keberadaan manusia hingga lapisan-lapisan psikologis, filosofis hingga spiritualistis.

Tak mengherankan jika R.H. Lomme, pengamat sastra Indonesia kala itu, memandang roman ini sebagai karya yang eksistensialistis. Di mana, misalnya "... diulang-ulang pertanyaan ekstensial, seperti: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, apa perlunya cinta... kehidupan neraka, kita tertumbuk pada tembok... suasana keragu-raguan dan putus asa...", tulis Lomme dalam review-nya di majalah Mimbar Indonesia.

Tapi, lebih dari itu, ide Armijn tentang manusia yang mengalami krisis-karena dunia baru menyangsikan keberadaannya dan dunia lama tidak sepadan lagi dengan kebutuhannya-bukan hanya menjadi tema yang sejajar dengan apa yang diungkap oleh banyak pengarang di negeri lain (mulai dari Samuel Beckett sampai Albert Camus, dari George Orwell hingga Graham Green), tapi juga mendahului Chairil Anwar yang memposisikan dirinya sebagai "ahli waris kebudayaan dunia", maupun kaum Manifes Kebudayaan yang melihat dirinya sebagai organ dari "humanisme universal".


Belenggu Waktu

MAKA menyepakati S.K. Trimukti saat mengatakan, "apa yang diperjuangkan (Armijn) ialah semangat peradaban", saya melihat roman Belenggu menyodorkan pada kita realitas manusia Indonesia yang sebenarnya dibelenggu oleh dirinya sendiri. Sebuah kenyataan yang kita masih dapat dengan mudah menyaksikannya di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri, saat ini.

Yang membelenggu kita bukan kekuatan-kekuatan luar, entah itu negara agresor, industrialis global, kapitalis tamak, merek ternama atau Hollywood, tapi justru jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, dan imajinasi yang pandaklah yang memenjara kita. Jelas di situ tersirat, sebagai sebuah bangsa, waktu seolah berhenti dalam diri kita. Kita tidak mampu membuat waktu itu "berjalan". Karena kita tidak memiliki satu hal yang membuat roda waktu berderak: ide.

Bukannya "kebudayaan dunia" atau "humanisme universal" yang justru kita warisi. Namun justru belenggu "Tono dan Tini"-lah yang membuat kita kehilangan daya cipta, kehilangan Jawa yang melahirkan wayang dan Borobudur, Bali dan kecaknya, Riau dengan zapinnya, Aceh dengan seudati, atau Betawi dengan Mandra, yang darinya kita melihat bianglala kultural dari seluruh penjuru bangsa, di nusantara, di dunia.

Sebagaimana roman Armijn dituntaskan, keadaan begini pun perlu diselesaikan. Dunia baru mesti dikonstitusikan, dunia lama jangan dilalaikan, dan manusia harus ditegakkan. Seperti Tono, yang akhirnya menerima wejangan Mangunsutjipto, tokoh pergerakan Budi Utomo-yang mbalelo karena membela kejawaannya-dan ia menemukan dirinya yang "modern" tetaplah "Jawa", dunia baru itu adalah larutan baru dari ruang dan masa.

Adalah sebuah gagasan yang menemukan manusia, tidak hanya dalam koordinat yang jelas dalam peta dunia, tapi juga sosok yang tegas dalam identitas kelompoknya. Dan jika dapat kita ciptakan itu, maka dengarlah Armijn tatkala ia menyeru pada dirinya sendiri, "Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engkau, jangan enggan menempuh angin ribut, topan badai, ketempat pelabuhan yang hendak engkau tuju. Berlayarlah engkau ke dunia baru".

(44) Belenggu Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta (1940)

Perlawanan Abadi Siti Nurbaya

SITI Nurbaya belum mati. Entah sejak kapan nama itu menjadi lambang perempuan modern yang tertindas kekolotan adat. Boleh dibilang, tak ada tokoh fiktif sastra Indonesia modern yang bisa menandingi nilai personifikasi sosok perempuan ini.

Tokoh sentral dalam roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli itu telah hadir di ruang-ruang kelas sekolah sejak diterbitkan Balai Pustaka pada 1922. Siti Nurbaya bahkan mengilhami beberapa sutradara untuk mengangkat kisahnya ke layar kaca. Di Padang, Siti Nurbaya hadir seperti sosok riil. Ada jembatan atas namanya, ada pula makam lengkap dengan cungkup dan kelambunya.

Siti Nurbaya memang telah mempengaruhi kehidupan nyata. Yang menarik, beberapa lama setelah roman itu lahir, terjadi perubahan dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau, terutama berkaitan dengan kawin paksa. Roman ini kemudian menjadi counter-culture, yang mengejek setiap orang tua ketika hendak memaksa anak perempuannya kawin dengan perjodohan paksa: ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya.

Siti Nurbaya adalah roman Marah Rusli yang paling masyhur di angkatan Balai Pustaka. Marah Rusli dinilai sebagai salah satu pelopor yang mengakhiri zaman kesusastraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam karya-karyanya bukan lagi istana-sentris dan hal-hal bersifat fantasi belaka, melainkan gambaran realitas masyarakat pada masa itu.

Roman Siti Nurbaya berkisah tentang percintaan melodramatis Siti Nurbaya dengan Syamsul Bahri. Namun orang tua Siti tak menyetujui. Siti pun menikah dengan Datuk Maringgih, orang tua kaya berhati licik. Siti akhirnya meninggal diracun anak buah Datuk Maringgih. Syamsul pun mati.

Siti Nurbaya menarik karena roman ini mampu membangun pemahaman baru akan kegelisahan perempuan terhadap adat dan kebudayaan yang mencengkeram mereka. Cerita ini sekaligus menggambarkan pengorbanan perempuan Siti Nurbaya untuk kedua orang tuanya dengan menikahi Datuk kaya demi melunasi utang orang tua.

Ini yang membuat roman tersebut kuat. Rusli kelahiran Padang, 7 Agustus 1889 mengalirkan gagasannya hingga terasa mendahului zamannya. Lewat dialog tokoh-tokohnya, Rusli menyampaikan gagasan tentang kekolotan di kalangan bangsawan yang merugikan, kearifan hidup pada zaman perubahan, corak perkawinan ideal, keburukan poligami, serta masalah hubungan laki-laki dan perempuan.

Lewat romannya itu, seperti pernah ditulis sejarawan Taufik Abdullah di majalah Tempo, Rusli seakan menginginkan reformasi sosial. Ia mencita-citakan perkawinan tanpa paksaan. Ia juga menentang keras poligami. Secara karikaturis ia mengecam kebiasaan bangsawan yang kawin tanpa tanggung jawab.

Alhasil, roman setebal 271 halaman itu (Balai Pustaka, Jakarta, 1990) masih bisa dikatakan relevan hingga sekarang. Perbenturan modern-tradisional, Barat-Timur, dan feminin-maskulin, tak pernah lekang digerus zaman. Andai usia Rusli yang wafat pada 17 Januari 1968 itu bisa lebih panjang, boleh jadi ia akan melihat sendiri bahwa apa yang dirasakannya pada tahun-tahun lampau masih bisa dijumpainya hari-hari ini.

(43) Siti Nurbaya Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1920)

Tetralogi Buru dan Indonesia 'Modern'

oleh: Eka Kurniawan

TETRALOGI Buru bisa dibilang merupakan upaya Pramoedya Ananta Toer untuk menjawab: apa itu menjadi Indonesia. Pada akhir 1950-an, ketika perkara menjadi Indonesia sedang hangat-jika tak bisa dikatakan panas-ia mulai memikirkan satu seri novel yang bisa mencari dan melacak jejak-jejak nasionalisme Indonesia.


Jawaban Pramoedya adalah kembali ke akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Itulah memang masa subur benih-benih nasionalisme Indonesia. Dalam hal ini, Pramoedya berhasil menemukan tokoh ideal anak kandung semangat ini: Tirto Adhi Soerjo. Bukan politikus yang kelak menjadi presiden pertama semacam Soekarno atau aktivis kiri yang bergerak tanpa batas geografis semacam Tan Malaka, melainkan seorang wartawan sekaligus penulis roman.

Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918) adalah perintis surat kabar dan kewartawanan nasional. Melalui Tirto, Pramoedya bisa mencomot simbol-simbol nasionalisme Indonesia, terutama karena Tirto merupakan pendiri surat kabar pertama berbahasa Melayu, Medan Prijaji. Tirto pula yang mengerti fungsi organisasi sebagai motor gerakan nasional, dengan membentuk Sarekat Dagang Islam.

Begitulah Pramoedya kemudian mempergunakan Tirto sebagai model untuk tokoh Minke dalam tetralogi Buru. Karya ini meliputi empat rangkaian novel, yang saling bersambung sekaligus masing-masing bisa dianggap karya terpisah: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).

Melalui karya ini, Pramoedya sekaligus memperlihatkan betapa nasionalisme Indonesia pada dasarnya merupakan anak kandung yang sah dari modernisme (sekali lagi modern-isme) Indonesia. Barangkali bahkan bisa dikatakan tetralogi Buru sebagai sebuah karya modern dalam makna yang sesungguhnya: di sanalah "identitas" menjadi penting dan manusia serta kemanusiaan menjadi perkara utama di atas segalanya. Dengan kata lain, modernisme merupakan tema pokok karya ini dan dari sanalah nasionalisme Indonesia terbentuk.

Digambarkan, Minke adalah protagonis dengan latar belakang anak priyayi, feodal Jawa. Itu menjadi latar belakang yang kontras, karena kemudian Minke bicara mengenai pencerahan, revolusi Prancis, serta kesetaraan (misalnya dikisahkan bagaimana ia lebih suka memilih bahasa Melayu yang tak mengenal strata daripada bahasa Jawa yang berjenjang-jenjang).

Tokoh ini bukan tanpa karakter tragis sama sekali: di satu sisi ia mencoba membebaskan diri dari kungkungan feodalisme, di sisi lain ia demikian terpukau oleh modernisme yang dibawa oleh orang Eropa; keterpukauan yang kadang harus diingatkan oleh teman-teman Eropanya juga. Di satu sisi ia belajar dari orang-orang Eropa untuk membebaskan diri dari belenggu tradisinya, tapi sekali lagi, di sisi lain ia harus melawan orang-orang Eropa ini demi merebut kembali tafsir akan kepribumiannya. Jangan dilupakan pula: ia jatuh cinta kepada gadis Indo, gadis Cina, dan putri Maluku. Di sini ada sejenis kritik tersembunyi: semuanya dilihat dari kepala orang Jawa (Minke) dan menjadi "modern" seolah-olah sekadar menjadi "tidak Jawa" (atau menikah dengan orang bukan Jawa).

"Modern" tak hanya layak dimeteraikan kepada novel-novel ini menyangkut temanya, tapi juga atas bagaimana karya ini ditulis Pramoedya. Ditulis dalam bentuk sejenis memoar, tetralogi Buru memperlihatkan karakter utama dari apa yang disebut modern: segala sesuatu dipersonifikasikan ke dalam diri, subyek. Begitulah bagaimana Indonesia, tepatnya sejarah Indonesia yang sedang bergerak di pergantian abad itu, dilihat dari cara pandang Minke. Meskipun begitu, di beberapa tempat kita bisa menemukan bagaimana subyek ini bergerak dari tokoh satu ke tokoh lain (misalnya Nyai Ontosoroh) hanya untuk menemukan semesta yang tetap dilihat dengan cara dipersonifikasi.

Secara mengejutkan, di novel keempat, Rumah Kaca, kita menemukan bahwa apa yang selama ini menjadi subyek tak lebih dari obyek. Hanya dengan cara mengetahui apa itu "modern", kita bisa mengerti permainan ini.

Di novel ini, tafsir mengenai keindonesiaan jelas bukan suatu proyek gemilang yang berakhir bahagia. Minke meninggal di masa ketika kebanyakan orang justru mulai melupakannya, sendirian, dan terasing. Demikian pula penafsiran ini tak juga kunjung gemilang ketika novel tersebut mulai dipikirkan pengarangnya. Barangkali Pramoedya tak akan pernah menuliskan tetralogi Buru seandainya apa yang disebut Indonesia telah terang-benderang dan tak ada masalah. Kenyataannya, pada awal 1960-an keadaan demikian gawat: persaingan antara Partai Komunis dan militer nyata terlihat; Soekarno memimpin dengan demokrasi yang "terpimpin"; Perang Dingin merongrong di luar dan di dalam perbatasan. Tetralogi Buru bisa dikatakan merupakan usaha lebih lanjut Pramoedya dari apa yang telah dilakukan Tirto Adhi Soerjo setengah abad sebelumnya.

Novel ini seolah melengkapi nasib tragis untuk menemukan tafsir menjadi Indonesia yang diangankannya. Meskipun telah direncanakan sejak akhir 1950-an, tetralogi Buru baru ditulis sekitar 12 tahun kemudian di pembuangan.

Inilah yang diperoleh Indonesia dalam usahanya menjadi "modern" pada 1965. Pemberontakan yang gagal oleh segerombolan orang yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September menjadi awal perburuan orang-orang komunis dan simpatisannya. Pramoedya, yang dikenal sebagai salah satu Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat, organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia, menjadi salah satu yang kemudian ditangkap oleh tentara. Itu untuk ketiga kalinya ia masuk tahanan: pertama kali dijebloskan ke penjara oleh Belanda di masa agresi militer karena ketahuan membawa selebaran gelap; kedua, ditahan A.H. Nasution di masa Soekarno karena menerbitkan buku Hoa Kiau di Indonesia, yang membela keberadaan etnis Cina.

Ia sempat ditahan di penjara Salemba, kemudian dipindahkan ke Nusakambangan. Pada 16 Agustus 1969, Pramoedya memulai hari-hari pembuangannya yang terentang hingga sepuluh tahun di Pulau Buru. Bersama ribuan tahanan politik lainnya, ia menebang kayu, membuka lahan, berternak ayam, dan dilarang menulis. Izin untuk menulis baru ia terima empat tahun kemudian dan dari sanalah ia menulis beberapa karya penting, di antaranya empat serangkai novel yang kemudian lebih banyak dikenal sebagai karya Buru, mengacu ke tempat novel-novel itu ditulis dan pengarangnya ditahan.

Inilah harga yang harus dibayar novel "modern" di Indonesia yang konon "modern".

Eka Kurniawan, Penulis

Terbakar Pesona Revolusi

J.J. Rizal

"REVOLUSI itu persis orang membakar sampah. Ia bukan sekadar membuang, melemparkan, dan menabun semua yang kotor, juga tak berguna. Ia melapangkan. Membawa hawa bebas. Membakar sampah mengingatkan saya pada revolusi." Itu jawaban Pramoedya Ananta Toer atas pertanyaan iseng saya ketika mendapati dia asyik di velbak kecil di dekat rumahnya, jongkok membakar sampah: "Apa Bung hobi membakar sampah?"

Dalam memoar pembuangannya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram memang pernah menulis surat berkepala "Nilai Tanpa Sampah" untuk Et, anaknya nomor dua. Ia mengelaborasi revolusi yang dialaminya ketika pecah di Jakarta tak lama setelah proklamasi dan terus merembet ke daerah pinggirannya. Pram terpesona oleh revolusi. Bahkan sampai napas terakhir pun ia terus terbakar oleh apinya yang dikenangkan sebagai "keindahan tiada tara", karena "yang terpancar dari dalamnya kebijaksanaan, kecerdasan, keberanian".

Dari letup api revolusi itu pula Pram terinspirasi menulis romannya yang paling dini, Di Tepi Kali Bekasi. Sebuah harta karun unik yang untungnya bisa selamat dari rampasan intel Belanda, dan meski itu cuma seperempatnya dari naskah keseluruhan, tetap bisa menunjukkan kepada kita potret revolusi yang menggugah dengan nilai-nilai moral kemerdekaannya yang sudah tak ada lagi, yang sangat fokus, penuh detail serta ragam kelir. Sohor memang karya-karya revolusi Idrus, seperti Surabaya (1947), Perempuan dan Kebangsaan (1949), atau Jalan Tak Ada Ujung (1952) Mochtar Lubis. Namun, cerita Pram itu jauh menonjol di atasnya dan lebih dari naskah mana pun yang mampu memaksa kita menimbang kembali berbagai anggapan, pendapat, serta klise tentang revolusi dan ide kebangsaan (nation) serta perkaitannya dengan pemuda.

***

DENGAN gaya lirik yang mengingatkan kita pada gaya gambang rancag yang menjadi tradisi penduduk aslinya, Pram membuka Di Tepi Kali Bekasi dengan memuliakan dan mengagungkan Bekasi dengan sejarah panjangnya sebagai daerah protes sosial dan perlawanan. Sejak zaman particuliere landerijen (tanah-tanah partikelir), zaman Jepang, sampai kemerdekaan. Dalam sejurus saja, Pram sudah mengarahkan kita bahwa revolusi dan perkaitannya dengan ide kebangsaan Indonesia bukan penyimpangan pada suatu masa sesudah perang lantaran pendudukan Jepang. Ia berakar dan tumbuh sejak dulu sebagai konsekuensi dari, dan jawaban atas, berbagai perubahan yang timbul dalam masyarakat serta kehidupan ekonomi yang bersumber dari kolonialisme dengan beambtenstaat (birokrasi kekuasaan kolonial) yang digelayuti feodalisme.

Demikianlah Pram memainkan rancag pembukanya, yang memang pada tradisi aslinya diperuntukkan salah satunya sebagai piranti prosesi "membuka palang pintu". Ia menjebol dan selanjutnya membawa kita memasuki panggung utama ceritanya: revolusi sebagai momen pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia menentukan masa depan sendiri, dan bukan konflik politik dalam pengertian yang normal. Revolusi tidak harfiah anti-asing, tapi melawan kebejatan dan keberdosaan sistem kolonial itu tidak hanya bagi orang yang tertindas, melainkan juga bagi penindasnya, karena yang terakhir ini pun kehilangan kemanusiaannya dengan mengabdi pada sistem itu.

Di sana, tokoh utama yang tampil adalah angkatan muda: Farid, pemuda Jakarta yang hatinya terbakar oleh revolusi. Saking panas oleh api revolusi, ia rela melemparkan, membuang segala perkaitan hidupnya dengan semua yang kotor dan tertular kolonial demi kemerdekaan serta pembebasan dari kesewenang-wenangan. Karena itu, roman ini-meminjam istilah Keith Foulcher-adalah perwujudan pemuda ideology, ideologi pemuda revolusi.

Namun, yang menarik, Pram, dalam menggambarkan ideologi pemuda Farid ketika memikirkan perjuangan, masih menggunakan kata bakti, suatu kata yang mengingatkan kita pada pemuda Soetomo, pendiri Budi Utomo. Soetomo dalam otobiografinya, Kenang-kenangan (1934), memakai kata itu bersama darma sebagai konsep perjuangannya. Ada kontinuitas sejarah, tapi diperlihatkan pula perubahan yang terjadi.

Di zaman Soetomo, pemuda-pemuda memasuki sekolah untuk kemajuan-istilah khas zaman sebelum perang yang dalam alam penjajahan digunakan intelektual muda bagi tujuan mereka yang sangat mulia. Sebaliknya, di zaman Farid, para pemuda malah "bersatu hati meninggalkan kemajuan", seraya masuk arus revolusi yang dianggap sebagai "sekolah tinggi" bagi cita-cita memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan nilai-nilai moralnya yang dipertaruhkan. Selain itu, sementara pemuda Soetomo menjadikan pepatah kacang mangsa ninggal lanjaran (jangan lupakan pendahulu) sebagai kiblat gerak perjuangannya, Farid memilih "orang tua dikesisikan... anak tak membutuhkan orang tuanya". Kalau perlu, ayahnya sendiri serta "seluruh angkatan tua dari zaman penjajahan dengan semangat budak" hancur terbakar.

Sejak bagian pertama romannya, Pram sudah memperlihatkan bagaimana perselisihan angkatan itu terjadi. Farid ngotot pergi ke Cikampek. Nasihat dan rengekan bapaknya dianggap angin lalu. Bukan tak ada usaha membangun pengertian, tapi sia-sia. Farid mengambil cuti untuk menjenguk, tapi yang ditemuinya: ayahnya telah jadi Netherlands Indies Civil Administration. Farid pun pergi dan melupakan ayahnya, masa lalunya. Sebuah simbolisasi yang dalam kenyataan zamannya memang terjadi.

***

BOLEH jadi proklamasi bukan kata-kata yang heroik, adem-adem saja, dan rada janggal, lantaran sarat dibebani sikap kehati-hatian, keraguan, serta kebingungan. Soekarno-Hatta dibayangi konsekuensi percaturan politik kekuasaan internasional. Orok Republik mesti diselamatkan. Caranya adalah tidak lagi memperkuat gerakan dan kemurnian ideologinya. Berkompromi. Dari sinilah titik perselisihan pemimpin-pemimpin yang tua dengan para pemuda. Para pemuda justru menganggap proklamasi-meminjam kata angkatan muda saat itu, Chairil Anwar-telah "menyediakan api" untuk "maju, serbu, serang, terjang". Bagi mereka, revolusi mesti segera dilakukan. Sebab, ada banyak ancaman terhadap kemerdekaan dan nilai-nilai moralnya. Proklamasi adalah point of no return, atau lebih tepatnya, setiap langkah mundur berarti kegagalan total yang hina. Berkompromi sama artinya dengan membiarkan orok Republik tercemar kolonialisme dengan kebejatan dan keberdosaan sistemnya.

Perselisihan itu memang akhirnya tak terdamaikan dan keduanya menempuh jalan revolusi sendiri-sendiri setelah peristiwa Ikada, 19 September 1945. Para pemimpin yang tua meninggalkan Jakarta membawa orok Republik ke pedalaman "demi" Sekutu, yang secara implisit berarti menyerahkan Jakarta ke tangan Belanda. Sementara itu, para pemuda dengan lusinan strijdorganisaties alias badan perjuangan yang seketika bermunculan di dalam dan sekitar Kota Jakarta memasuki musim baru, "musim bersiap". Di mana-mana orang lazim memekik, "Bersiap!"-artinya melakukan serangan. Saban-saban terdengar pekik "Merdeka atau mati", salam "Merdeka", yang mengandung arti jiwa besar tak takut mati. Api revolusi menyala. Tapi tanpa pemimpin dan mencari bahan-bahan nyala apinya secara mandiri.

Revolusi pun jadi tak berkarakter dan bangkit kecemasan dehumanisasi, kemerosotan moral, serta korupsi. Dan dalam romannya tersebut Pram sendiri mengakui dan memberikan tempat, tapi baginya semua itu tak harus mengaburkan kita dari kenyataan pokok makna revolusi yang ingin ditunjukkannya: "suatu epos tentang revolusi jiwa-dari jiwa jajahan dan hamba di jiwa merdeka".

Seperempat cerita roman yang selamat itu memang tak membawa kita sampai pada nasib akhir proses revolusi jiwa. Namun, kita semua tahu revolusi itu memang melengkung pada akhirnya, berlangsung hanya beberapa bulan, yang hanya bisa dihitung dengan jari, kemudian yang menyusul adalah perang kemerdekaan dan dikapitulasi oleh lobi dan koktail Konferensi Meja Bundar.

Namun, dari studi sejarah, dapatlah kita ketahui hasilnya. Ben Anderson, dalam sebuah esainya yang menantang, "Old State, New Society", mengungkapkan bahwa jalan yang dipilih para pemimpin tua-berbareng semangat revolusi yang memudar tinggal kenangan-membuat orok Republik darahnya dikotori darah negara lama dengan kolonialisme dan kebejatan serta keberdosaan sistem beambtenstaat yang ditumpangi feodalisme. Darah yang seiring dengan perkembangan usia dan membesarnya orok itu semakin menampakkan wajah serta tabiat aslinya yang sangat kita benci. Dan seperti dikatakan Pram berulang-ulang, hasil serta sumbangan dari bangsa Indonesia yang seperti itu kepada rakyatnya dan dunia hanyalah yang buruk-buruk, sampah belaka.

Ayo, ikut Pram! Bakar!

(41) Di Tepi Kali Bekasi Penerbit: Hasta Mitra, Jakarta (1951)

Jalan Pejal Menuju yang Modern

Justru dari novellah kita mendapat potret lain tentang revolusi. Revolusi tidak sekudus yang dibayangkan. Di sana ada cita-cita untuk membuat perubahan dalam masyarakat, membuat bangsa ini menjadi modern. Tapi itulah proses yang tidak sepenuhnya berlangsung mulus.

Novel-novel yang kami pilih kami anggap novel berpengaruh yang mampu menyajikan pergolakan batin, harapan, dan juga ketidaksiapan masyarakat menghadapi hal-hal baru, konflik antara adat dan agama. Pendeknya, berbagai problem yang menyebabkan banyaknya ganjalan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa modern.

Pramoedya Ananta Toer, Idrus, Armyn Pane, Abdoel Moeis, Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, adalah nama untuk itu. Dalam bagian ini kami juga memilih sebuah buku tata bahasa yang kami anggap buku penting yang sanggup membebaskan kita dari kemelayuan lama dan memberikan fondasi bagi bahasa Indonesia sebagai bahasa tulis-menulis yang modern.

Menggugat Budi Utomo

Asvi Marwan Adam 

MAKNA diperingatinya suatu peristiwa menurut Mona Ozouf adalah menunjukkan bahwa kita masih tetap sama seperti dulu dan akan tetap seperti itu pada masa mendatang. Sejarawan Prancis itu berbicara tentang fungsi pengawetan peristiwa bersejarah. Namun peringatan kebangkitan nasional justru sengaja dilakukan secara intensif pada saat-saat bangsa kita mengalami kesulitan besar. Ketika Indonesia yang wilayahnya sangat terbatas mendapat tekanan dari dalam negeri serta kemungkinan serangan dari pihak Belanda, di Yogyakarta pada 1948 hari lahir Budi Utomo diperingati sebagai tonggak "kebangoenan nasional".

Sepuluh tahun kemudian, 20 Mei 1958, peringatan 50 tahun Budi Utomo di Istana Merdeka berlangsung meriah. Dalam acara tersebut, Presiden Soekarno berpidato: "Kenapa kita tanggal 20 Mei 1958 ini mengadakan peringatan hari Kebangkitan Nasional setjara hebat? .... Memang benar, Budi Utomo adalah satu serikat jang ketjil. Tudjuannja pun belum djelas sebagai tudjuan kita sekarang ini. Tetapi Saudara-saudara, marilah kita tindjau terbangunnja Budi Utomo itu dari sudut jang lain.... Benar 20 Mei 1908 sekedar satu "kriwikan" kata orang Djawa-dan belum "grodjogan". Jang kita peringati ialah bahwa 20 Mei 1908 itu berisi kemenangan satu azas, kemenangan satu beginsel. Tidak ada satu bangsa jang tjukup baik untuk memerintah bangsa lain. No nation is good enough to govern another nation."

Alasan peringatan kebangkitan nasional pada 1958 dapat diperkirakan, yakni berkenaan dengan situasi Tanah Air waktu itu. Sebelumnya, pada 1957, pemerintah mengenang Sumpah Pemuda 1928 dengan skala besar pada saat beberapa daerah bergejolak. Ketika itu, diperlukan semangat persatuan, maka Sumpah Pemuda dirayakan. Setelah PRRI/Permesta dapat dipadamkan, sehingga kondisi daerah masih porak-poranda akibat perang saudara itu, didambakanlah kebangkitan nasional. Tujuan lain adalah menggalang semangat rakyat untuk membebaskan Irian Barat.

Belakangan ini muncul gugatan, mengapa 20 Mei, hari lahir Budi Utomo, yang dipilih sebagai hari kebangkitan nasional. Memang organisasi itu diakui sebagai organisasi modern pertama di tanah air kita, tapi ruang lingkup keanggotaannya masih terbatas pada orang Jawa (priayi). Menurut A.K. Pringgodigdo, "Walaupun Budi Utomo perkumpulan buat seluruh Jawa dan oleh karena itu bermula mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa perantaraan, sudut sociaal-cultureel Budi Utomo hanya memuaskan untuk penduduk Jawa Tengah."

Lebih jauh lagi, penggagas Budi Utomo, Dr Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917), berpandangan bahwa kebudayaan Jawa dilandasi oleh ilham Hindu-Buddha. Ia rupanya berpendapat bahwa sebagian penyebab kemerosotan masyarakat Jawa adalah kedatangan agama Islam dan berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Belanda (Ricklefs, 1994: 248-9). Klaim ini dipertanyakan sejarawan Australia, Adrian Vickers. Di dalam tulisan Wahidin ataupun Soetomo, ujarnya, tidak ditemukan unsur anti-Islam, kecuali mengagumi Islam ala Jawa.

Budi Utomo pada dasarnya merupakan lembaga yang mengutamakan aspek kebudayaan dan pendidikan serta jarang memainkan peran politik yang aktif. Budi Utomo sudah mandek sejak awal karena kekurangan dana dan kelangkaan kepemimpinan yang dinamis. Organisasi ini mendesak pemerintah menyediakan lebih banyak pendidikan Barat, tapi tuntutan itu tidak begitu berarti.

Di pihak lain, Gubernur Jenderal Van Heutsz menyambut baik Budi Utomo sebagai tanda keberhasilan politik etis. Sesuai dengan keinginannya: suatu organisasi pribumi moderat yang dikendalikan pejabat yang "maju". Pada Desember 1909, organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah oleh pemerintah Hindia Belanda.

Suhartono dari Universitas Gadjah Mada juga memandang positif organisasi ini. "Budi Utomo bukan hanya dikenal sebagai salah satu organisasi nasional yang pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai salah satu organisasi yang terpanjang usianya sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia.... Lahirnya BU menampilkan fase pertama dari nasionalisme Indonesia. Fase ini menunjuk pada etno-nasionalisme dan proses penyadaran diri terhadap identitas bangsa Jawa (Indonesia)" (Suhartono, 1994: 32).

Bahkan Adrian Vickers mengemukakan bahwa lahirnya Budi Utomo bisa dipertimbangkan sebagai hari jadi Indonesia karena organisasi modern yang pertama ini menggunakan bahasa Melayu dan menggemakan rasa cinta tanah air. Menurut Vickers, organisasi ini bersifat "politis" juga karena memajukan kaum cendekiawan.

Bila terdapat pro-kontra terhadap Budi Utomo, dewasa ini muncul wacana untuk mengalihkan posisi terhormat itu kepada Sarekat Islam. Menurut Sartono Kartodirdjo, Sarekat Islam dalam periode awal perkembangannya merupakan "banjir besar", dalam arti bahwa massa dapat dimobilisasi serentak secara besar-besaran, baik dari kota-kota maupun daerah pedesaan. Timbullah suatu pergolakan yang melanda seluruh Indonesia. Gerakan massa semacam itu dianggap sebagai ancaman langsung terhadap penguasa kolonial. Pemerintah Hindia Belanda menghadapi masalah ini dengan hanya mengizinkan Sarekat Islam lokal, sehingga organisasi itu terisolasi satu sama lain. Dengan demikian, Sarekat Islam terpecah belah dan tidak dapat berkembang sebagai gerakan nasional (Kartodirdjo, 1990: 109-110)

Upaya menjadi organisasi yang tampil lebih awal terpantul dalam penentuan hari lahir Sarekat Islam. Pada 1956, muncul upaya untuk menjadikan Syarikat Dagang Islamiyah, yang merupakan embrio dari Sarekat Islam, sebagai tonggak kebangkitan nasional oleh penulis Tamar Djaya. Disebutkan Tamar bahwa organisasi itu didirikan oleh Samanhoedi pada 16 Oktober 1905. Namun hal ini dibantah oleh Deliar Noer. Kalangan lain beranggapan bahwa Syarikat Dagang Islamiyah didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo di Bogor pada 5 April 1909.

Bagi pemerintah kolonial Belanda, jelas Budi Utomo yang dipandang penting. Organisasi itu sesuai dengan politik etis yang dicanangkannya pada awal abad ke-20, yang ingin meningkatkan pendidikan, tapi tanpa terjun ke politik praktis. Sedangkan Sarekat Islam lebih dipandang sebagai gerakan yang berbahaya, sehingga pengakuan pemerintah kolonial terhadap perhimpunan ini hanya bersifat lokal. Pandangan serupa diteruskan oleh pemerintah Orde Baru, yang memandang organisasi seperti Budi Utomo lebih cocok dengan program stabilitas nasional. Bahkan selalu ditekankan bahwa organisasi tersebut tidak bersifat kedaerahan.

Ada yang mempertanyakan apakah organisasi yang diuraikan di atas dapat dianggap sebagai pelopor kebangkitan nasional, mengingat sifat dan statusnya yang belum sepenuhnya "meng-Indonesia" karena masih menggunakan label etnis dan agama. Sebelum Budi Utomo lahir, terdapat organisasi lain yang di antaranya bergerak dalam bidang pendidikan. Pertama, Tiong Hwa Hwee Koan, yang dibentuk pada 1901 dan mendirikan sekolah-sekolah bagi keturunan Tionghoa. Kedua, Jamiat Khair, organisasi keturunan Arab yang didirikan pada 1905, yang juga menyediakan sekolah bagi kalangan mereka. Tentu kedua organisasi itu tidak dapat disebut sebagai pelopor kebangkitan nasional.

Bila Tiong Hwa didirikan untuk keturunan Tionghoa, Jamiat Khair bagi keturunan Arab, dan Budi Utomo bagi etnis Jawa (dan di Jawa Barat juga bagi Sunda), Sarekat Islam untuk umat Islam. Sarekat Islam bukan partai terbuka karena penganut Kristen tidak bisa menjadi anggotanya. Namun ada penulis yang beranggapan bahwa pada saat itu Sarekat Islam sengaja memakai label agama karena itulah milik bangsa Indonesia yang tersisa, sedangkan yang lain semuanya sudah dirampas Belanda. Wajar saja, menurut pendapat ini, agama dijadikan sarana pemersatu. Tentu layak pula disebut peran Indische Partij dan dua organisasi besar agama, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Sebelum 28 Oktober 1928, terdapat tiga organisasi yang memakai nama Indonesia. Partai Nasional Indonesia didirikan Soekarno pada 1927. Di Negeri Belanda, Indische Vereniging berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1925. Sebelumnya, Perserikatan Komunis Hindia Belanda mengadakan Kongres di Jakarta pada Juni 1924 dan selanjutnya menggunakan nama Partai Komunis Indonesia. Partai yang revolusioner ini pada 1926/1927 memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda di Banten dan Silungkang, Sumatera Barat. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan, para aktivis antipenjajahan itu dibuang ke Digul, Papua. Tentu para Digulis itu adalah perintis kemerdekaan nasional yang patut dikenang.

Tulisan di atas menggambarkan betapa besarnya peran politis dari pemerintah untuk memperingati hari bersejarah demi kepentingan saat itu. Ketika Budi Utomo dipertanyakan posisinya, sebagian orang menyodorkan Sarekat Islam sebagai pengganti. Namun keduanya tidak seratus persen memenuhi syarat. Organisasi lain yang diajukan sebagai alternatif, seperti Partai Nasional Indonesia, Perhimpunan Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia, juga harus ditelaah kembali. Hikmah dari perdebatan ini adalah kebangkitan nasional itu bukanlah sebuah tonggak, melainkan suatu proses yang terus berlangsung.

Asvi Marwan Adam Ahli peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India