Selasa, 10 Maret 2009

Wajah Sjahrir dalam Kotak

IA memejamkan matanya. Rautnya seperti menahan kesakitan. Gips cetakan wajah Sjahrir itu seperti sebuah kepala. Kita seperti melihat kepala Sjahrir diawetkan. Sjahrir tertidur. Ia tampak lelah sekali.

Gips wajah Sjahrir itu disimpan dalam sebuah kotak kayu tebal cokelat dengan dua gembok kecil. Kayu persegi panjang itu dibuat seperti kotak plakat yang biasa dipakai sebagai kotak hadiah yang berisi kenang-kenangan untuk tamu. Bila penutup kotak plakat dibuka, biasanya isinya adalah hiasan atau cendera mata. Tapi kotak ini bila dibuka akan muncul wajah Sjahrir dengan ekspresi seperti tengah menghadapi sakratulmaut.

Gips cetakan paras Sjahrir yang betul-betul mirip kepala manusia itu tampak berat. Warna gips itu tadinya putih, tapi kini berubah kecokelatan. Namun, lantaran perubahan warna itulah, warna kepala makin menyerupai warna kulit wajah sesungguhnya. Bila kita amati seluruh wajah itu, sama sekali tidak ada retakan, menandakan gips itu demikian kuat.


Ketika Tempo menyentuh gips itu, terasa keras seperti terbuat dari semen. Betapapun terbuat dari materi bahan yang keras, tekstur wajah Sjahrir sangat detail tercetak. Kita sampai dapat melihat adanya kerutan di sekitar pelipis Sjahrir. Gurat-gurat di sekitar alis matanya. Dan bekas-bekas kumis serta jerawat di atas mulutnya. Demikian detailnya, seolah-olah lapisan jangat masih terus tumbuh di kepala itu.

�Sudah delapan tahun kotak itu tidak saya buka,� kata Upik. Ia tak tahu apakah gips itu dicetak pas tatkala Sjahrir berpulang pada 9 April 1966 atau ketika Sjahrir masih terbaring sakit di Zurich, Swiss. Semula bahkan Upik tak tahu-menahu ada patung wajah Sjahrir yang disimpan ibunya. Saat masih kanak-kanak, Upik tak paham mengapa ibunya selalu berurai air mata setiap kali menatap sesuatu yang diambil dari lemarinya. Rahasia itu baru terbuka ketika Upik beranjak remaja.

�Saya mungkin sudah SMA,� Upik, 48 tahun, mengingat-ingat. Waktu itu dia sedang membongkar lemari ibunya, Siti Wahjunah �Poppy� Sjahrir. Upik menemukan cetakan wajah itu. �Ini apa, Ma?� Upik kecil bertanya ke ibunya. �Itu topeng Papa dari rumah sakit,� Poppy menjawab singkat. Sifat Poppy, kata Upik, memang agak tertutup.

Upik kecil pun tak bertanya lebih lanjut. Tapi dia tahu, cetakan itu kenangan terakhir dari ayahnya, Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama di negeri ini. Hingga ibunya berpulang pada 8 Maret 1999, Upik tak pernah lagi membahas soal cetakan gips tersebut. Upik juga tak pernah membicarakan soal topeng Sjahrir itu dengan kakaknya, Kriya Arsjah �Buyung� Sjahrir.

�Saya tidak tahu, siapa yang membuat dan atas permintaan siapa topeng itu dibuat,� kata Upik. Menurut dia, selain ibunya dan kakaknya, hanya Dunia Pantiadi, pengasuhnya sejak kecil, yang mengetahui kisah di balik cetakan gips itu. Tapi Bu Dun, demikian Upik dan Buyung biasa memanggil, juga sudah meninggal.

Jelas, wajah itu oleh Poppy disimpan karena ia demikian menyayangi suaminya.

Zurich, Detik-detik Terakhir

Sutan Sjahrir meninggal di Zurich. Inilah kenangan Buyung dan Upik, anak-anak Sjahrir, tentang hari-hari terakhir kehidupan ayahnya.

"NICHT zu kurz�, catatan di atas secarik kertas itu dibawa Kriya Arsjah Sjahrir. Dalam perjalanan menuju tukang cukur, Buyung�begitu panggilan bocah berusia sembilan tahun itu�mencoba menghafalnya. Dan saat di tempat cukur, ia dapat berkata lantang kepada tukang cukur, �Nicht zu kurz,� yang artinya: jangan terlalu pendek. Bocah kelas 2 SD itu senang sekali.

Begitulah Buyung belajar bahasa Jerman sedikit demi sedikit dari sang ibu, Poppy Sjahrir. Saban sore, ia memberi kursus singkat kepada si sulung. Waktu itu, paruh kedua 1965, Poppy mendaftarkan Buyung ke sekolah umum di Zurich, kota terbesar di Swiss. Negara ini memiliki empat bahasa resmi: Jerman, Prancis, Italia, dan Romansh yang kurang populer.

Lokasi sekolah Buyung tergolong jauh untuk ukuran anak-anak, sekitar 400 meter dari flatnya yang kecil, di pinggiran Kota Zurich. Toh ia menempuhnya dengan berjalan kaki, sendirian, tiap pagi. Pada hari pertama saja ia diantar sang mama, yang mengurus administrasi pendaftaran. Padahal, hampir semua kawannya diantar orang tua.

Inilah pengalaman pertama Buyung tinggal di luar negeri. Keadaan yang menerbangkannya ke negeri ini. Ayahnya, Sutan Sjahrir, sudah dua kali terserang stroke, plus komplikasi cukup parah. Sang ayah tak bisa bicara, tangan kanannya sulit digerakkan. Awalnya, Poppy mengirim catatan medis kesehatan Sjahrir yang lengkap kepada Soekarno. Ia meminta suaminya diizinkan berobat ke luar negeri untuk menjalani fisioterapi.

Soekarno mengabulkan. Tapi, dalam surat izin, Presiden RI pertama ini mensyaratkan: asal tidak ke Negeri Kincir Angin. Alternatif negara netral, Swiss atau Swedia. Poppy pun memilih Swiss, dengan alasan ia �sedikit� bisa berbahasa Jerman. Soebandrio�saat itu Menteri Luar Negeri merangkap Kepala Badan Pusat Intelijen�diperintahkan mengurus paspor diplomatik untuk keberangkatan. Tak ada perubahan status Sjahrir, tetap sebagai interniran.

Pada 21 Juli 1965, pasangan suami-istri itu terbang meninggalkan Tanah Air, dari Bandara Kemayoran, Jakarta. Beberapa karib mengantar untuk mengucapkan selamat jalan. Bagi sebagian besar mereka, inilah terakhir kali melihat Sjahrir. Sebuah apartemen telah disiapkan di sana. Tempat yang cukup baik: dua kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan balkon menghadap ke danau.

Anak-anak mereka: Buyung dan Siti Robyah Parvati�akrab dipanggil Upik�menyusul sekitar tiga bulan kemudian bersama Ibu Dun, inang pengasuh mereka. Ibu Dun masih saudara Poppy di Solo, Jawa Tengah. Perjalanan panjang, sekitar 20 jam penerbangan, dan melelahkan itu sempat membuat Upik demam.

Menurut Buyung, Sjahrir selalu berlinang melihat dirinya pagi-pagi berangkat sekolah sendirian. Upik juga saat itu hampir setiap hari melihat ayahnya menangis. Upik saat itu lima tahun. Pada pagi hari ketika bangun tidur, misalnya, masih memakai piyama, ia selalu berlari kecil menuju kamar sang papa, menceritakan mimpi yang baru saja dialami. Sjahrir menangis. Sjahrir mendekap Upik. Si bungsu mengernyit. �Ma, kenapa sih kalau aku cerita kok Papa menangis,� tanya Upik. Poppy menjelaskan, Papa bukan menangis sedih, melainkan bahagia. �Papa enggak bisa bicara, enggak bisa menjawab pertanyaanmu.�

Tempat paling indah bagi Upik adalah sebuah rumah tidak jauh dari flatnya. Rumah bertaman mungil itu dilengkapi patung tujuh kurcaci lucu. Upik terpesona betul. Sampai-sampai, ia �memaksa� lewat rumah tersebut setiap kali hendak pergi ke mana pun, kendati ia harus mengambil jalan memutar. Cerita tujuh �sahabat� Upik ini diungkapkan kepada ayahnya. Lagi-lagi, mantan perdana menteri itu menjawabnya dengan tangis.

***

Sjahrir menjalani terapi 2-3 kali dalam sepekan. Dokter Schwarz, ahli fisioterapi Zurich, membantu Sjahrir menggerakkan tangan, belajar menulis, dan berartikulasi. Sjahrir dilatih bicara huruf vokal. �A, i, u, e, o,� Sjahrir diminta menirukan suara Schwarz.

Saat Sjahrir menjalani terapi di Zurich itu, beberapa temannya yang tengah berkunjung di Eropa menengoknya. Ada istri Idham, Sulaimansyah�adik Sjahrir yang tinggal di Belanda. Soemitro, yang dalam pengasingan sejak peristiwa PRRI/Permesta, juga pernah berkunjung. T.B. Simatupang membesuk ketika menghadiri Kongres Gereja Sedunia di Eropa. Mereka makan malam dan berbincang bersama. Sjahrir, yang tak dapat berbicara, menyimak dengan minat besar. Malah, ketika Simatupang pamit, Sjahrir bersemangat mengantar ke shuttle bus. Ia mengambil mantel, topi, dan syal.

Hamid Algadri, seperti diceritakan Rudolf Mrazek dalam buku Sjahrir, Politics and Exil in Indonesia, mampir di flat kecil Sjahrir saat ia melakukan perjalanan bisnis ke London, Inggris, beberapa hari setelah peristiwa 30 September 1965. Hamid melihat dalam flat Sjahrir surat kabar tampak bertebaran. Kepada Hamid, Sjahrir mengambil koran menunjukkan laporan, foto, seolah ingin bertanya tentang tragedi itu.

Pada 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto secara de facto menggantikan Soekarno. Poppy sedang di dapur kala itu, dan Sjahrir, seperti biasa, menonton televisi Jerman. Sjahrir menghambur ke dapur, menggandeng tangan Poppy, supaya bergegas menuju pesawat TV mengikuti sisa berita. Sjahrir berusaha mengungkapkan sesuatu, �Hhhhhhh,� tapi istrinya tak paham.

Sesudah peristiwa itu, kondisi Sjahrir drop. Pada April 1966, tanda-tanda tekanan darah sangat tinggi menyebabkan Poppy melarikannya ke rumah sakit Zurich. Para dokter mendiagnosis perdarahan di otak. Tidak ada harapan. Sjahrir mengalami koma selama tujuh hari. Poppy dua hari mendampinginya di rumah sakit, lalu pulang, namun tidak dapat tidur. Sepanjang malam Poppy berbicara dengan keluarga di Indonesia melalui saluran telepon jarak jauh.

Esoknya, Poppy kembali ke rumah sakit. Pada 9 April, Poppy, juga anak-anak, menyaksikan suaminya meninggal. Upik belum mengerti benar. Ia menganggap ayahnya sedang tidur saja. Poppy langsung mengirim kawat ke Bung Karno. Mohammad Roem, Subadio, Anak Agung, dan Mochtar Lubis masih di penjara ketika kabar itu datang. Tapi mereka mendengarnya dari Radio Nederland di Hilversum.

Pagi hari, 15 April 1966, enam hari setelah Sjahrir meninggal, negara, pers: radio, televisi, surat kabar, memberitakan dekrit yang diteken Soekarno yang masih resmi menjabat. Dekrit bertanggal hari Sjahrir meninggal, menyatakan Sjahrir sebagai pahlawan nasional dan memerintahkan pemakaman negara dengan penghormatan penuh.

Wakil Perdana Menteri Dr J. Leimena melayangkan surat kepada Poppy, mengabarkan pemberian penghargaan tersebut. Ia meminta persetujuan keluarga untuk pemakaman negara di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Poppy setuju. Tapi para karib menyusun sendiri kepanitiaan untuk pemakaman Sjahrir yang dipimpin Jusuf Jahja, dan Rosihan Anwar sebagai juru bicara. Anggotanya, Dr Soedarsono, Mariah Ulfah Subadio, Ali Boediardjo, Sudarpo Sastrosatomo, Wibowo, Dr A. Halim, Hamid Algadri, Djuir Mohammad, Idham, Sutan Sjahsam, Ali Sjahrir, Achmad Fauzy, Muher, dan Omar Tusin.

Di Zurich, beberapa orang Mesir yang tinggal di negeri ini dan tokoh-tokoh masyarakat Islam Swiss melayat. Mereka minta izin untuk menyolatkan jenazah di ruangan khusus, di rumah sakit. Lantas, diterbangkan ke Indonesia. Ibu guru Paraviccini, guru tempat Buyung menempuh pendidikan, sempat mencegah Buyung pulang ke Indonesia. Ia berjanji untuk menyekolahkan dan membesarkan murid kesayangannya itu di Swiss. Tapi Poppy menolak. �Buyung harus sekolah dan dibesarkan di negara di mana ayahnya berjuang memerdekakan Indonesia,� kata Poppy, seperti ditirukan Buyung.

Perjalanan menggunakan maskapai penerbangan Belanda KLM. Pertama singgah di Belanda. Sebuah upacara penghormatan telah disiapkan di Amsterdam. Kemudian berlanjut melalui Frankfurt, Kairo, dan transit di Bangkok. Mereka ganti pesawat Garuda Indonesia. Rombongan tiba di Bandara Kemayoran, 17 April. Peti jenazah telah ditutup dengan bendera merah putih. �Kami dijemput dan ada sedikit upacara di bandara,� demikian Upik mengenang.

Malamnya, keluarga menggelar tahlilan di kediaman Jalan Cokroaminoto 61, Menteng. Esok hari, menjelang tengah hari, jenazah diberangkatkan ke Kalibata, dengan iring-iringan yang sangat panjang. Bayangkan, bagian depan rombongan telah memulai proses pemakaman, sedangkan bagian belakang masih di dekat Hotel Indonesia.

Sekilas Cinta di Lereng Ceremai

Sjahrir mendekati putri Keraton Mangkunegaran. Membantah sempat bertunangan.

PADA suatu masa, tersebutlah Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, putri Keraton Mangkunegaran, Solo. Kecantikannya termasyhur ke mana-mana, begitu pula kepandaiannya menunggang kuda.

Sutan Sjahrir, pemuja wanita itu, tak urung menaruh hati pada sang putri. Setiap kali rapat kabinet digelar di Yogyakarta, sang Perdana Menteri mengutus sekretaris pertamanya, Siti Zoebaedah Osman, ke Puri Mangkunegaran, khusus mengantar kado.


�Aku yang deketin, bawain kado dan menyampaikan salam,� kata Ida�demikian ia disapa�ketika ditemui Tempo di rumahnya di Jalan Lombok, Jakarta Pusat, dua pekan lalu.

Kado dibeli di Jakarta. Isinya macam-macam, sampai tas dan arloji. Berapa nilainya? Ida tak ingat, kecuali bahwa kado untuk Nurul selalu yang terbaik. �Sjahrir tidak tanggung-tanggung membahagiakan hati seorang wanita,� kata sejarawan Rushdy Hoesein.

Tentu terlampir sepucuk surat tulisan tangan Sjahrir. Nurul ketika itu memang ditaksir pembesar dan raja. Mulai Bung Karno sampai Sri Sultan Hamengku Buwono IX. �Dia alim, cakep, dan tidak angkuh,� kata Ida, kini 85 tahun.

Sebagai �mak comblang�, Ida menceritakan watak Sjahrir kepada putri tunggal pasangan Mangkunegara VII dan Gusti Ratu Timur�putri Sultan Hamengku Buwono VII itu. �Dia menanyakan watak si Bung,� kata Ida, yang pernah diajar membatik oleh Nurul dan menginap di Istana Mangkunegaran.

Ketika ditemui Tempo di rumahnya di Bandung, Gusti Nurul bertutur lirih, �Saya dioleh-olehin gelang, jam, tas.� Tapi hubungan mereka lebih banyak melalui korespondensi. �Tulisannya jelek,� kata Nurul, kini 88, seraya tersenyum kecil.

Menurut Nurul, Sjahrir tidak pernah menemuinya di Istana Mangkunegaran. �Saya ketemu di Linggarjati,� kata Nurul, yang ketika itu diundang bersama abangnya, Mangkunegara VIII dan istri, serta ibunya. �Kami nginep di rumah perundingan Belanda-Indonesia.�

Selanjutnya mereka bertemu di Jakarta, jika Keraton Mangkunegaran diundang rapat ke Istana Presiden. �Ketemunya juga sebentar-sebentar.� Nurul sendiri sudah tak ingat apa yang pernah dibicarakannya dengan Sjahrir. Yang dia ingat, Sjahrir pernah membelai pipi dan dagunya.

Menurut Ida, Sjahrir pernah melamar perempuan yang pandai menari ini. Muhammad Akbar Djoehana, anak kakak perempuan Sjahrir, Nuning Djoehana, malah mengatakan Sjahrir dan Nurul sudah bertunangan. �Menurut ibu saya, mereka pernah tukar cincin,� katanya kepada Asmayani Kusrini dari Tempo.

Nurul membantah cerita ini. �Ndak pernah,� kata nenek 14 cucu itu. Sejarawan Rushdy Hoesein mengatakan, pacaran Sjahrir dan Nurul berjalan sekitar tiga tahun, sejak 1946.

Nurul, yang belajar menari sejak usia lima tahun, pernah tampil menari dalam pernikahan Juliana, anak Ratu Wilhelmina, di Belanda. �Itu sumbangan kebudayaan kita,� katanya, yang mengaku deg-degan ketika menari itu karena musik gamelan pengiring diputarkan langsung dari Keraton Solo melalui radio terputus-putus.

Sedari kanak-kanak, Nurul mengaku tidak berniat menikah dengan tokoh politik. �Risikonya banyak,� katanya. Ia ingin menikah dengan militer, dan terkabul.

Perempuan cantik ini akhirnya menikah dengan sepupunya, Soerjo Soejarso, yang pernah menjabat atase militer Republik Indonesia di Amerika Serikat. �Tapi, sewaktu dapat suami militer, kok seragam Indonesia enggak bagus, enggak kayak seragam tentara Belanda,� katanya tersenyum.

Nurul menikah pada 24 Maret 1951. Pada tahun yang sama, Sjahrir menikah dengan Poppy, putri dr. Saleh�dokter keraton.

Sang Pemuja dan Tuan Perdana Menteri

Poppy adalah istri dan pengagum terbesar Sjahrir. Ia tersenyum, dalam suka dan derita.

SEKRETARIS baru itu menarik perhatian �Tuan� Perdana Menteri. Bila melintas, sang bos suka menggoda. Alih-alih marah, Poppy Saleh, sekretaris yang digoda itu, hanya bersemburat merah pipinya. Dari ruang kantor perdana menteri, pergaulan sekretaris dan bos itu berlanjut menjadi kisah romantis. Sjahrir tak bertepuk sebelah tangan.

Rupanya bukan sebuah kebetulan. Poppy telah lama mengagumi bosnya. Itu sebabnya, �Sjahrir mudah mendekati Poppy, padahal ia perempuan yang enggak kenal lelaki,� kenang Siti Zoebaedah Osman, sekretaris pribadi Sjahrir, saat ditemui Tempo dua pekan lalu.

Ketika menjadi perdana menteri pada 14 November 1945, Sjahrir memutuskan mengangkat dua sekretaris. Yang menangani urusan pribadi berkantor di rumahnya di Jalan Jawa (sekarang Jalan H.O.S. Cokroaminoto) di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Tugas ini dipegang Ida�lengkapnya Zoebaedah�yang telah lama membantu Sjahrir.

Sekretaris yang lain mengurus kantor Perdana Menteri. Situasi politik yang pelik saat itu membuat Sjahrir mensyaratkan sekretarisnya haruslah wanita yang cerdas dan berpendidikan tinggi. Ia minta rekomendasi pada Soedjatmoko. Sang sahabat akhirnya membawa kakaknya, Poppy Saleh, candidaat jurist (kandidat sarjana hukum) dari Rechtshoschool atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.

Siti Wahjunah Saleh nama lengkap sekretaris itu. Lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 11 Mei 1920 dari pasangan Dr KRT Mohamad Saleh Mangundiningrat dan RA Isnadikin Tjitrokusumo. Tiga saudara Poppy yang lain adalah orang-orang yang di kemudian hari dikenal luas. Soedjatmoko pernah menjabat Duta Besar Indonesia di AS dan mantan Rektor Universitas PBB di Tokyo. Miriam Budiardjo merupakan salah satu pendiri Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia serta salah satu pendiri Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Nugroho Wisnumurti adalah mantan duta besar tetap Indonesia di PBB.

Poppy tak sekadar menemani Sjahrir di kantor. Seusai perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947, Gubernur Jenderal Belanda H.J. van Mook menggelar resepsi di Istana di Jakarta. Sjahrir menggamit Poppy di pesta yang menampilkan konser Rontgen Quartet dari Negeri Belanda itu.

Beberapa hari sesudah resepsi, Sjahrir terbang ke India. Pemerintah India rupanya mempersiapkan kejutan: di bandara New Delhi, mereka menghadirkan Maria Duch�teau, istri Sjahrir. Poppy yang ikut ke India kemudian tahu untuk pertama kali bahwa sang kekasih pernah menikah.

Sjahrir mengawini wanita Belanda itu di Medan pada 1932. Sebulan lebih menikah, Maria �ditendang� dari Indonesia. Pemerintah kolonial menganggap akad mereka tidak sah karena pengantin wanita masih berstatus istri orang. Maria juga dicurigai memiliki motif politik di negeri ini.

Reuni pasangan yang 15 tahun berpisah itu, yang semula diharapkan menjadi kejutan besar untuk Sjahrir, menjadi anti-klimaks. Jangankan menyambut hangat, Sjahrir hanya mencium kedua pipi Maria cepat-cepat. Suasana berubah canggung. Di kemudian hari, Maria mengeluhkan pertemuan New Delhi itu sebagai pertemuan yang �tak menyenangkan�. Ia mengatakan suaminya �sudah berubah�.

Abu Hanifah, delegasi Indonesia yang tiba di Delhi sebelum Sjahrir, menuturkan kesaksiannya dalam buku Robert Mrazek, Sjahrir: Politic and Exile in Indonesia, bahwa �ada seorang wanita Indonesia, muda dan menarik, kini menjadi idolanya. Ia ikut dengannya di pesawat.�

Tak sulit menebak �wanita Indonesia, muda dan menarik� itu. Ya, Poppy Saleh. Sjahrir dan Maria akhirnya berpisah pada 12 Agustus 1948. Meski mencintai pria yang sama, Poppy dan Maria tak pernah berseteru.

Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 23 Agustus 1949, Poppy datang sebagai aktivis Gerakan Wanita Sosialis. Di sela-sela konferensi, dua wanita Sjahrir itu sempat bertemu. Sayang, Poppy tak pernah mengungkap banyak isi pertemuan itu. Maria, konon, hanya sempat berkeluh kesah tentang sulitnya menjadi istri seorang pemberontak.

Poppy punya sisi kehidupan yang lain. Pada akhir 1949, ia mendaftar ke Universitas Leiden di Belanda. Setelah meraih gelar meester in de rechten pada 1950, Poppy melompat lagi ke London School of Economics di Inggris. Selama studi, ia berpisah dengan Sjahrir. �Menjaga jarak selama satu atau dua tahun untuk tahu apakah kami cocok untuk menikah,� cerita Poppy kepada Mrazek.

Masa menjaga jarak itu berakhir setelah studi Poppy selesai. Keduanya memutuskan menikah. Poppy ketika itu di London dan Sjahrir di Jakarta, tapi mereka memilih menikah di Kairo, Mesir. Penghulunya adalah Rektor Universitas Al-Azhar, Syekh Abdul Magud Selim, dan wali Poppy adalah Soedjatmoko, kakaknya.

Pasangan berusia 42 dan 31 tahun ini menghabiskan bulan madu di Kairo. Mereka tersenyum bahagia saat berpose di depan piramida dan sphinx. Ada yang tak biasa. Pengantin pria memboyong dua anak angkatnya dari Banda, tapi Poppy tak mengeluh.

Dua anak lahir dari perkawinan ini: Kriya Arsjah pada 1957 dan Siti Rabyah Parvati pada 1960. Baru sebentar hidup bersama keluarga kecilnya, pada 1962 sang ayah diseret ke penjara di Madiun, Jawa Timur. Sjahrir dituduh berniat menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno.

Poppy lagi-lagi harus bersabar dan membesarkan hati. Selama delapan bulan Sjahrir dikerangkeng, hampir setiap bulan Poppy datang berkunjung. Bertiga dengan Buyung (Kriya) dan Upik (Siti Rabyah)�panggilan dua anaknya�Poppy dengan setia menyusuri rel kereta api Jakarta-Madiun.

Ia harus mengurus berlembar surat izin masuk setiap menjenguk suaminya. �Tapi Mama tak pernah mengeluh. Dia jalani saja, yang penting bisa ketemu Papa,� kisah Upik. Dari balik terali, sang suami pun membalas. Hampir setiap hari Sjahrir menorehkan surat penuh rindu kepada istrinya.

�Cinta Mama sangat luar biasa. Sampai akhir hayatnya, yang Mama pikirkan hanya Sjahrir, Sjahrir, dan Sjahrir,� ujar Upik. Ketika Sjahrir wafat pada 1966, Poppy tenggelam dalam duka yang berkepanjangan. �Di depan kami dia tersenyum, tapi diam-diam Mama sering menangis.� Upik kerap memergoki ibunya sesenggukan di ranjang sambil menatap sebuah kotak. Baru belakangan ia tahu: kotak itu berisi gips cetakan wajah ayahnya, sesaat setelah wafat di Zurich.

Buyung punya cerita lain. Semenjak Sjahrir berpulang, ibunya semakin menyelami hal-hal spiritual. Poppy bahkan menanggalkan semua perhiasan dan tak lagi berdandan. �Mungkin itu kaulnya sebagai tanda setia kepada suami,� kata Buyung. Kesetiaan sang ibu sungguh membekas di benak kedua anaknya. �Kalau Mama mendewakan Sjahrir, maka saya memuja Mama Poppy,� cetus Upik.

Poppy pula yang meredakan amarah Buyung ketika si sulung dihina teman-teman di Sekolah Dasar Kepodang, Jakarta, dengan sebutan anak tahanan. �Papamu mengajarkan kita tidak jadi pendendam,� kata Poppy berulang kali. Sang ibu dengan setia menyiramkan kata-kata yang mendinginkan Buyung dan Upik yang sakit hati mengetahui ayahnya diseret ke bui oleh bangsanya sendiri. �Papa enggak pernah membenci orang-orang itu,� ujar Upik, menirukan ibunya.

Istri Sjahrir ini memang penuh kasih dan pemaaf. Namun, Minarsih Soedarpo, rekannya di Gerakan Wanita Sosialis, mengenang Poppy sebagai sosok yang tertutup. �Ia bukan tipe orang yang suka mengutarakan perasaan. Semua dipendam sendiri saja,� kata istri almarhum Soedarpo Sastrasatomo, aktivis PSI.

Menurut Mien, dalam banyak hal Poppy sebetulnya tertekan. �Saya tahu dia menderita, tapi tidak pernah diperlihatkan. Semua dijalani saja,� tuturnya kepada Tempo. Mien menduga Poppy kadang tertekan karena cara pandangnya sering berbeda dengan Sjahrir. Poppy sebetulnya tak sejalan dengan suaminya yang kerap memilih jalan konfrontatif dalam menghadapi masalah.

Namun Poppy tak pernah menampakkan wajah susah saat bersama Sjahrir. Bahkan, ketika suaminya dirawat di Zurich, Swiss, Poppy dengan setia membacakan koran, menyuapi, dan menemani suaminya setiap hari. Ia juga satu-satunya yang bisa �menerjemahkan� semua yang keluar dari mulut Sjahrir, yang sudah tak mampu bicara karena terserang stroke.

�Mama selalu menciptakan suasana happy dan damai, walau sedang susah,� kenang Upik. Suatu hari pada 1999, Poppy terjatuh di sebuah resepsi. Tulang panggulnya retak. Ia menolak dioperasi dan memilih dirawat di rumah. Kondisinya memburuk dari hari ke hari. Pada usia 79 tahun, Poppy berangkat menyusul pujaan hatinya.

Kees Snoek: Maria Ingin Membakar Surat-surat itu

SEBUAH "kebetulan" mengantar Kees Snoek mendapatkan "harta karun" berupa surat-surat Sjahrir kepada Maria Duchteau -istri pertamanya yang orang Belanda. Snoek sedang menulis biografi tentang penyair Belanda Charles Edgar Du Perron. Tak dinyana, sang penyair merupakan sahabat Sjahrir dan Maria.

Sjahrir menulis di atas kertas biru tipis. Surat yang dilayangkan pada 1931-1940 itu berjumlah 287 buah dengan panjang bervariasi antara 4 dan 7 halaman. "Tulisan tangan Sjahrir kecil-kecil dan sukar dibaca," ujar Snoek. "Sepertinya dia menulis secara terburu-buru". November mendatang ia akan menerbitkan surat-surat bersejarah itu.

Berikut ini wawancara koresponden Tempo di Belanda, Asmayani Kusrini, dengan Snoek.

Anda mengetahui hubungan Sjahrir-Maria Duchteau saat melakukan riset tentang Du Perron?

Untuk menulis biografi Du Perron yang bersahabat pena dengan Sjahrir, saya menghubungi Maria Duchteau pada 1993. Saya dan Maria saling bertulis surat karena saya masih tinggal di Selandia Baru, Januari 1994, ketika kembali ke Eropa, saya bertemu dengan Maria.


Jadi sebetulnya Anda tidak tertarik dengan Sjahrir?

Bukannya tidak tertarik, tapi sejarah Indonesia bukan bidang yang saya dalami. Saya tahu bahwa Maria adalah istri Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Dari hasil ngobrol dengan Maria, saya tahu bahwa Marialah yang menyusun buku Renungan Indonesia (diterjemahkan menjadi Out of Exile), semacam diari fiktif seorang pejuang Indonesia yang sebetulnya kumpulan dan kutipan dari ratusan surat-surat Sjahrir kepada Maria. Dia menyusun buku itu tentu dengan menghilangkan kalimat-kalimat pribadi, jadi buku itu terlihat seperti murni pemikiran seorang pejuang yang sedang memikirkan ide memerdekakan bangsanya.

Surat-surat itu ditulis tangan?

Maria menunjukkan surat-surat asli yang umumnya ditulis tangan di atas kertas tipis biru yang rapuh. Dia terpikir membakar surat-surat itu sebelum meninggal, karena menurut dia surat itu cuma surat cinta biasa. Saya bilang jangan, apalagi surat itu punya nilai sejarah walaupun konteksnya surat pribadi. Meski surat cinta, di dalamnya banyak cerita tentang perkembangan negeri, sastra, budaya, dan lain-lain. Dari surat-surat itu kita bisa tahu gambaran karakter yang menulisnya. Maria setuju.

Bagaimana Anda akhirnya memperoleh surat-surat itu?

Ketika Maria meninggal, saya terus berkorespondensi dengan suami keempatnya, Mr. Stall. Dari dialah saya mendapatkan surat-surat Sjahrir tersebut. Saya kemudian membacanya dan baru menyadari betapa surat-surat itu adalah surat berharga yang akan menjadi kerugian sejarah jika tidak diapa-apakan. Dari situlah saya berniat membuat buku.

Berapa banyak surat itu?

Semua surat ditulis pada 1931-1940, berjumlah 287 surat yang ditulis di atas 952 lembar kertas. Panjang surat bervariasi antara 4 dan 7 lembar, dengan tulisan tangan yang kecil-kecil serta sukar dibaca. Terlihat sekali surat-surat itu ditulis dengan cepat dan tergesa-gesa sehingga susah dipahami. Kadang saya menemui kesulitan untuk memahami tulisan maupun bahasa Belandanya. Jadi, untuk mengerti seluruh kalimat dari sebuah kata yang tidak terbaca, saya sesuaikan dengan konteksnya. Semua surat itu lengkap, mungkin ada satu-dua yang hilang tapi yang jelas tidak ada yang dibakar.

Dari mana saja Sjahrir menulis surat itu?

Surat awal masih ditulis di Eropa, selanjutnya ditulis dari berbagai tempat di Indonesia, misalnya Semarang, Medan, Jakarta, Bandung, Solo, Ambarawa, Cipinang, lalu Boven Digul.

Kapan surat itu akan Anda terbitkan sebagai buku?

Buku itu barangkali terbit pada November. Ini akan menjadi edisi terbatas dari KITLV Press karena mahal dan khusus untuk para spesialis dan kalangan akademisi. Tapi saya kira menarik juga untuk sejarawan Indonesia karena dalam buku-buku sejarah atau biografinya tidak pernah ada yang menceritakan perkembangan batin Sjahrir dalam masa perjuangan. Pada umumnya buku sejarah menulis hal yang sudah diedit, untuk kepentingan negara, jadi semua pahlawan Indonesia ditampilkan seideal mungkin. Tapi banyak yang lupa mereka juga manusia biasa dengan banyak kelebihan dan kekurangannya.

Kasih yang Tak Sampai

Sjahrir punya hubungan khusus dengan beberapa perempuan. Ia seorang flamboyan yang suka dansa dan gemar musik klasik. Pria yang amat mencintai anak-anaknya itu meninggal dalam kesunyian pengasingan-di sebuah flat sempit di Zurich, Swiss.


AMSTERDAM adalah kota yang menggairahkan Sjahrir. Dia menemukan idealisme di kota ini. Juga teman-teman sealiran. Salomon Tas, wartawan berhaluan kiri, yang saat itu menjabat Ketua Sociaal Democratische Studenten Club (Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat) Amsterdam, adalah salah satu sahabat dekat Sjahrir. Berdarah Yahudi, Tas lahir dalam keluarga sederhana, terdidik, serta amat antikolonial. Mahasiswa Hindia Belanda yang sedang bersekolah di negeri itu, termasuk Sjahrir, segera menjadi kawan-kawan dekatnya.

Persahabatan dengan Tas kian erat ketika kakak Sjahrir, Siti Sjahrizad-alias Nuning-harus kembali ke Hindia Belanda pada 1931. Di rumah Nuning di Amsterdam Selatan itu tadinya Sjahrir tinggal, sejak datang pada Juni 1929. Tas kemudian menawarkan apartemennya sebagai tempat tinggal Sjahrir.

Di apartemen itu, Tas tinggal bersama istrinya, Maria Johanna Duchteau, dan dua anak mereka yang masih kecil-kecil. Di rumah itu tinggal pula teman perempuan Maria bernama Judith van Wamel.

Tas, Maria, Judith, dan Sjahrir sama-sama menggemari sastra, film bermutu, dan musik. Mereka menonton film dan teater di Stadsschouwburg dan menghadiri pertemuan politik di bar Americain. Restoran terkenal Bohemien di kawasan Lange Leidse Dwaarstraat menjadi tempat berkumpul Sjahrir dan teman-temannya. Di restoran inilah Tas membentuk Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat.

Perkawanan itu ternyata melahirkan asmara antara Sjahrir dan Maria, istri Tas. Perempuan peranakan Belanda-Prancis ini berpikiran maju dan banyak membantu Tas dalam aktivitas politiknya. Pernikahannya dengan Tas pada tahun-tahun itu sedang gersang. Tas tidak punya waktu untuk Maria dan anak-anak mereka. Hidupnya hanya untuk politik.

Tidak perlu waktu lama bagi Sjahrir untuk merebut Maria. Sebenarnya itu tidak bisa disebut merebut karena Tas tahu hubungan sahabatnya dengan Maria. Bahkan dia sendiri sudah mulai berhubungan dengan Judith. Kees Snoek-yang mempublikasikan kembali surat-surat Sjahrir kepada Maria-menyatakan kepada koresponden Tempo di Belanda, Asmayani Kusrini, kehidupan mahasiswa pergerakan saat itu amatlah bebas.

Sjahrir serius menjalin cintanya dengan Maria. Ketika hendak pulang ke Hindia Belanda pada 1932, ia meminta Maria ikut. Kepada Mieske, panggilan sayangnya kepada Maria, Sjahrir menyatakan kekasihnya bisa membantu kaum perempuan di bidang pergerakan.

Sjahrir juga ingin menikahi Maria di Hindia Belanda kelak. Sesuai dengan rencana, dia pulang lebih dulu mengambil alih pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Menurut Snoek, ketika itu Hatta, yang diplot sebagai pemimpin, belum selesai studinya. "Sjahrir diputuskan kembali ke Indonesia lebih dulu," ujarnya.

Maria, rencananya, akan menyusul bersama anak-anaknya empat bulan kemudian jika perceraiannya dengan Tas sudah beres. Medan menjadi tempat pertemuan mereka.

Dari Batavia, Sidi-begitu Maria memanggil Sjahrir-berangkat ke Medan, sementara Maria dan dua anaknya berlayar dari Kolombo ke Medan. Pertemuan itu akhirnya berlangsung pada April 1932. Pada tanggal 10 bulan itu, Sidi dan Mieske menikah di sebuah masjid di Medan.

Keduanya menginap di rumah tempat Sjahrir tinggal sebelum bersekolah ke Jawa. Mereka tidak pulang ke Koto Gadang karena "tidak punya uang untuk pulang kampung." Rencananya, Sjahrir akan mengajak Maria ke Jawa.

Sjahrir rupanya tidak sadar tindakannya menikahi perempuan kulit putih bisa dianggap provokasi. Meski Medan ketika itu termasuk kota Hindia Belanda yang ramai, pasangan Sjahrir-Maria segera mengundang gunjingan. Apalagi mereka juga datang ke tempat-tempat pertunjukan musik, film, dan teater, yang ramai disambangi orang kulit putih.

Maria, yang gemar berkebaya dan memakai kain, segera mengundang perhatian orang Belanda. Mereka bertanya, mengapa Maria mengenakan pakaian pribumi. Empat hari setelah pernikahan mereka, Sumatran Post, koran terbesar di Medan saat itu, menulis tentang Maria: "Perempuan bersarung kebaya dalam penyelidikan polisi."

Sebulan lewat, polisi mulai menyelidiki dokumen pernikahan Maria. Mereka menemukan Maria menikah dengan Salomon Tas, aktivis pergerakan antikolonial. Selain itu, Tas ternyata belum menceraikan Maria secara resmi. Karena Maria menikah secara Islam pada saat belum bercerai, keruan saja para pemuka agama jadi ribut.

Lima pekan setelah pernikahan mereka, pada 5 Mei 1932, pernikahan Sjahrir dibatalkan oleh pemuka agama setempat. Lima hari kemudian, Maria dipulangkan ke Belanda. Yang membuat hati Sjahrir pedih, Maria tengah mengandung anak laki-laki mereka.

Keinginan Sjahrir untuk segera menyusul sang istri ke Belanda ternyata penuh rintangan. Rentetan kejadian tragis kemudian menimpa Sjahrir. Hatta akhirnya pulang dari Belanda, tapi mendapat kecelakaan ketika mengunjungi orang tuanya di Sumatera. Sjahrir kembali mengundurkan niat ke Belanda. Surat Maria juga sudah lama tidak datang.

Belakangan datang kabar dari Maria yang menyebut kematian bayi mereka sesaat setelah dilahirkan. Hubungan Sjahrir dan Maria kembali terjalin. Mereka kembali bersurat-suratan. Sjahrir meneguhkan niatnya menyusul Maria. Apalagi ia sudah mengantongi izin dari Pendidikan Nasional Indonesia untuk kembali bersekolah di Belanda.

Rencananya, ia berangkat menumpang kapal uap S.S. Aramis dari Batavia pada Maret 1934 dengan bekal uang kiriman Maria. Celaka, akhir Februari itu, Hatta ditangkap. Sjahrir, yang bersembunyi di rumah adik tirinya, Radena, ditangkap polisi sehari kemudian.

Meski pertemuan dengan sang kekasih hati lagi-lagi kandas, hubungan Sjahrir dan Maria kian hangat lewat surat-menyurat. Maria menjadi satu-satunya tempat curahan hati yang memahami kesulitannya.

Dua tahun setelah penahanan Sjahrir, mereka kemudian menikah kembali, 2 September 1936. Pernikahan jarak jauh itu diwakili oleh pelukis Salim. Sjahrir, yang berada dalam pembuangan di Banda Neira, berangkat ke kantor gubernur. Sayang, pernikahan jarak jauh menciptakan suasana yang tidak sehat dan penuh ketegangan.

Untuk meredam masalah, Sjahrir meminta Maria menyusulnya ke Banda Neira. Keinginan itu gagal karena Maria tak punya cukup uang.

Akhir 1939, ketika Maria sudah punya uang , tidak ada kapal lagi yang menuju Hindia Belanda. Perang Dunia II sudah berkobar. Kembali mereka hanya surat-menyurat.

Setelah Indonesia merdeka dan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama, tidak juga ada kabar baik bagi keduanya. Nyala cinta mereka mulai redup. Sebuah pertemuan di New Delhi, India, pada April 1947 menjadi penentu akhir perjalanan mereka.

Ketika itu, Nehru rupanya hendak membikin kejutan bagi Sjahrir. "Ia tidak bilang akan mengundang Maria," kata Snoek. Pada pikir Nehru, apalah salahnya mengundang Maria, yang masih jadi istri Sjahrir. Nehru tak tahu kala itu asmara sudah terjalin antara Sjahrir dan asistennya, Poppy.

Pertemuan setelah 15 tahun itu berlangsung dingin. Maria, bersama Nehru dan putrinya, Indira Gandhi, menyambut Sjahrir yang didampingi Poppy di bandar udara. Dalam sebuah wawancara pada 1988, Maria menyebut betapa Sjahrir sudah jauh berubah. "Mungkin karena ia sudah menjadi negarawan."

Sjahrir merangkul Maria dan menempelkan pipinya ke pipi Maria. Setahun kemudian, api cinta lama itu benar-benar padam. Keduanya memutuskan bercerai pada 12 Agustus 1948.

Belakangan, Maria menikah dengan adik Sjahrir, Soetan Sjahsyam, yang bersekolah di Belanda. Sejak kembali ke Belanda, Maria tinggal bersama Sjahsyam, yang ikut membesarkan anak-anak Maria dari perkawinannya dengan Tas.

Surat Pengagum Faust

"Aku relatif kurang populer di kalangan orang-orang nasionalis dan intelektual di Indonesia. Ini untuk sebagian besar disebabkan karena aku mempunyai apa yang disebut mereka itu "kecenderungan-kecenderungan Barat" dan beberapa orang malahan mengatakan aku "kebelanda-belandaan" (Banda Neira, 9 Maret 1936).

HAMPIR sebulan dibuang di Banda Neira, Sjahrir menuliskan kalimat itu. Dengan tutur kata yang tenang, tak meledak-ledak, Sjahrir selanjutnya memasuki perenungan mengapa makin lama di Indonesia tumbuh perasaan anti-Barat yang kuat. Sebuah sikap yang menurut dia merupakan bagian dari kompleks kurang harga diri sebuah bangsa.

Surat-surat terkenal Sjahrir dari pengasingan di Boven Digul dan Banda Neira, yang dalam edisi Indonesia diterbitkan dalam judul: Renungan dan Perjuangan, banyak membahas tema itu. Sjahrir pertama kali menjadi tahanan di penjara Cipinang, Jakarta. Ia masuk bui pada sekitar Februari 1934. Surat-suratnya dimulai dari bulan Maret. "Aku sama sekali tidak merasa diri seorang martir," demikian ia menulis. Berdiam di penjara, menurut dia, membuat dia berkepala dingin menghadapi segala sesuatu. Ia tak ingin hanyut dalam pemikiran romantis.

Itulah sebabnya mulai saat Sjahrir dipenjara di Cipinang, kita tak menemukan surat-suratnya yang bernada keluhan, umpatan, atau penderitaan. Sebaliknya surat-surat Sjahrir menukik pada renungan masalah sosial. Dalam bui ia tambah banyak membaca dan mempertimbangkan berbagai gagasan besar dunia. Di Cipinang itu ia misalnya banyak merenungkan persoalan pertentangan antara individu dan kolektivitas.

Ketika dibuang ke Boven Digul, surat-surat Sjahrir banyak bercerita tentang pengalamannya mengamati masyarakat setempat. "Di Digul ini aku mendapat kesempatan untuk menyelami lebih dalam struktur psikis-fisis bangsa kita." Surat-surat Banda Neira adalah surat-surat paling reflektif. Keelokan pantai Banda Neira, gunung apinya yang terlihat dekat, teluk yang laksana kaca licinnya, pulau-pulau kecil, pesta-pesta perkawinan masyarakat setempat, dimanfaatkan Sjahrir untuk menyegarkan pikirannya. Ia suka berenang dengan anak-anak ke laut. Ia suka pergi ke dermaga lama untuk melihat matahari terbenam.

Di Banda Neira pikiran-pikirannya tentang Barat makin eksplisit. Di suratnya bertanggal 31 Desember 1936, kita akan melihat adanya beberapa persamaan pikiran Sjahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana dalam konsep Barat: "Barat" bagiku berarti kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis. Itulah sifat Faust, sifat yang kusukai, dan aku yakin bahwa hanya Barat-yaitu dalam pengertian dinamis ini-yang bisa melepaskan Timur dari perbudakannya."

Selanjutnya lihatlah bagaimana saat Sjahrir menerangkan "Timur". Menurut dia, banyak intelektual Indonesia yang terperangkap oleh gambaran Timur yang sesungguhnya diidealisasi oleh beberapa filosof. Timur yang tenang, yang harmoni, suatu Timur yang tak pernah ada. "Timur seperti dilihat orang-orang Buddhis itu, hanya ada bagi mereka saja. Apakah masih ada Timur semacam itu di Hong Kong atau Shanghai, atau Batavia? Di mana-mana di Timur ini irama hidup, tempo sudah dipercepat. Ketenteraman jiwa yang sangat dihasratkan itu mungkin masih kedapatan di pelosok-pelosok."

Kita dapat melihat orientasi dasar Sjahrir terhadap Barat itu, amat melandasi sikap-sikap politiknya, misalnya: sikapnya terhadap nasionalisme yang ekstrem. Sjahrir mengkritik perjuangan politik yang di negeri ini cenderung harus mempunyai unsur moral yang kuat. "Politik untuk orang-orang kita di sini bukan berarti: perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Pemimpin-pemimpin haruslah pahlawan-pahlawan, nabi-nabi".

Ia juga mengkritik adanya kebencian yang tak kenal damai dengan Belanda. Pada Maret 1938, Sjahrir menulis surat bagaimana ia tak ingin terlibat dalam gerakan non-kooperasi. Sjahrir melihat gerakan non-kooperasi sudah diangkat menjadi soal kehormatan. Baginya, itu cermin dari mentalitas inferioritas. Pada titik itu, secara tajam ia menganggap nasionalisme yang ekstrem bisa menjadi timbul dari rasa rendah diri ini.

Ia menulis: "Aku hampir-hampir hendak mengatakan bahwa nasionalisme ialah proyeksi daripada kompleks inferioritas dalam hubungan kolonial antara bangsa yang dijajah dan bangsa yang menjajah. Jadi, dari semula dasar dari propaganda nasionalistis adalah suatu perasaan yang tidak rasional."

Manifesto Seorang Antifasis

BEBERAPA hari setelah menjadi perdana menteri, akhir November 1945, Sutan Sjahrir menghadiri rapat akbar di alun-alun Kota Cirebon, Jawa Barat. Ia berpidato dengan suara tenang. Seorang hadirin bertanya, "Mengapa dalam buku Perdjoeangan Kita tak satu pun disebut nama Tuhan?"

Sjahrir tertawa. Ia menjawabnya dengan sebuah cerita. Ketika kecil dan bersekolah di Medan, katanya, ia membaca buku-buku matematika yang ditulis seorang pastor. Meski yang menulis pastor, tak sekali pun ada nama Tuhan di sana. "Perdjoeangan Kita adalah buku politik yang penuh perhitungan. Buku itu tak ditulis berdasarkan emosi," kata perdana menteri 36 tahun itu.

Kisah ini diceritakan Hamid Algadri, bekas Menteri Penerangan yang menemani Sjahrir berpidato, dalam memoarnya. Dengan jawaban itu, kata Hamid, terlihat benar Sjahrir orang yang rasional.

Pamflet Perdjoeangan Kita ditulis dan diterbitkan pada 10 November 1945, lima hari sebelum Sjahrir menjadi perdana menteri, bertepatan dengan bentrok fisik para pemuda dengan tentara Inggris di Surabaya. Hari yang ditandai dengan pekik "Merdeka atau Mati" itu kini dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Bagi Sjahrir, peristiwa itu satu contoh Indonesia masih labil dan lemah. Setelah kekuasaan tiga setengah tahun Jepang berakhir, Indonesia disergap kerusuhan dan kekacauan. Laskar-laskar pemuda menyerang tentara Sekutu, toko-toko diserbu dan dirampok, pembunuhan warga Tionghoa, Indo, Ambon, dan Manado terjadi di mana-mana.

Dengan penuh gelora dan kritik tajam, Sjahrir melukiskan situasi Indonesia di awal kemerdekaan itu pada bagian pertama Perdjoeangan Kita. Dengan jernih Sjahrir menunjukkan bahwa kerusuhan, pemecahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok, serta agitasi kebencian kepada ras bangsa Jepang akan menimbulkan sebuah kekuatan fasis baru dari dalam negeri sendiri.

Ia mengkritik, pekik merdeka hanya simbol kosong dari euforia kebebasan. Proklamasi 17 Agustus 1945 ia hantam sebagai peluang menyusun kekuasaan tapi tak dipakai oleh para pemimpin karena mereka "terbiasa membungkuk dan berlari untuk Jepang dan Belanda". Sjahrir sendiri absen saat Soekarno-Hatta membacakan pernyataan Indonesia merdeka itu.

Bagian kedua pamflet ini mengurai bagaimana seharusnya Indonesia menyusun kekuatan dan menegakkan Republik. Bagi Sjahrir, kekuatan itu harus dimulai dengan "revolusi kerakyatan", revolusi yang dipimpin golongan demokratis, bukan nasionalistis yang membudak kepada fasis lain. "Politieke collaboratoren harus dipandang juga sebagai fasis, berdosa dan berkhianat pada perjuangan dan revolusi rakyat," tulisnya.

Kalimat inilah yang memicu kemarahan tokoh politik ketika itu. Jenderal Sudirman, pemimpin tentara Pembela Tanah Air yang dibentuk Jepang, menyebut pernyataan Sjahrir kurang bijak. Para menteri menyatakan oposisi frontal. Menurut Rosihan Anwar, wartawan Harian Pedoman yang meliput sidang Komite Nasional Indonesia Pusat di AMS Salemba, Menteri Pekerjaan Umum Abikusno Tjokrosujoso mengamuk ketika Sjahrir membacakan manifesto itu.

Meski ditentang kanan-kiri, Sjahrir jalan terus. Ia mengubah sistem presidensial dengan parlementer, sebagaimana keyakinannya dalam pamflet ini bahwa kedaulatan harus ada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Partai-partai harus dibentuk oleh mereka yang terdidik, berdisiplin, dan berpengetahuan modern untuk membawa rakyat ke dalam revolusi.

Pada bagian akhir pamflet ini, Sjahrir menjelaskan agak teknis soal menyusun alat-alat pemerintahan: bagaimana memfungsikan pangreh praja, polisi, dan petugas agraria. Ia menyerukan buruh dan tani diperkuat melalui pendidikan politik sebagai kekuatan revolusioner yang demokratis. Pemilihan-pemilihan harus dimulai di desa. Pemuda, sementara itu, harus menyokong buruh dan tani, bukan pemimpin revolusi itu sendiri.

Ia juga menyinggung soal politik luar negeri. Menurut Sjahrir, kemerdekaan sesungguhnya harus dicapai secara bertahap, rapi, dan elegan, bukan frontal dengan angkat senjata. Maka ia mempraktekkan politik diplomasi: berunding dengan Belanda dan Sekutu serta melecut simpati dunia internasional.

Sikap Sjahrir ini, menurut sejarawan Universitas Cornell, Amerika Serikat, Benedict Anderson, menenangkan dan menarik simpati Barat. Ben menyebut Sjahrir suara penting pemikiran modern Asia dengan Perdjoeangan Kita sebagai ekspresi terbaik ideologi politiknya. "Pamflet ini dokumen penting untuk mempelajari revolusi Indonesia dan lingkungan intelektual kaum pemimpinnya," tulis Ben dalam pengantar Our Struggle, Sutan Sjahrir pada 1968.

Tak Ada Patung Bung Kecil


BERDIRI di antara dua pria Belanda, lelaki itu terlihat mungil. Tapi ia tampak sangat percaya diri. Peristiwa 17 November 1945 itu terekam kamera juru potret harian Merdeka, Alex Mendur.

Sutan Sjahrir, pria kecil itu, baru selesai menghadiri pertemuan dengan Gubernur Jenderal Belanda Van Mook dan Panglima Sekutu di Indonesia, Jenderal Sir Philip Christison, di Jakarta. Gara-gara foto itulah koran-koran lantas memberinya julukan "Bung Kecil".

Bersama puluhan foto lain, foto itu dipajang di ruang utama Gedung Joang 45, Menteng 31, Jakarta, 28 Februari-31 Maret, sebagai bagian peringatan 100 tahun Sutan Sjahrir. Koleksi ini melukiskan si Bung di era perjuangan, kebersamaannya dengan keluarga, hingga detik-detik kematiannya di Zurich, Swiss.

Kehadiran foto-foto Sjahrir di Gedung Joang 45 terbilang istimewa. Di gedung itu seolah tak ada tempat untuk perdana menteri pertama Indonesia ini. Peran Sjahrir seperti tak sebesar Soekarno-Mohammad Hatta, Adam Malik, B.M. Diah, Soekarni, dan beberapa tokoh lain, sehingga tak dibuatkan patungnya untuk dipajang di sana.

Di salah satu papan informasi tertulis, ketika Belanda ingin kembali menguasai Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Perdana Menteri Sjahrir menolak karena berpegang pada slogan "Merdeka 100%". "Ini karangan musuh-musuh Sjahrir," kata Siti Rabyah Parvati, 48 tahun, putri Sutan Sjahrir, dua pekan lalu.

Slogan itu milik Tan Malaka, yang kala itu dipuja para pemuda anti-Sjahrir yang bermarkas di Gedung Joang 45. Nah, menurut sejarawan Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein, gedung ini merupakan salah satu monumen anti-Sjahrir.

Dulunya gedung itu hotel mewah Schomper I, milik L.C. Schomper, pengusaha Belanda. Setelah Jepang berkuasa, tempat itu menjadi salah satu basis Angkatan Baru Indonesia yang diketuai Soekarni.

Di tempat ini, anak-anak muda mendapat gemblengan dari Soekarno, Hatta, Amir Sjarifoeddin, dan Ki Hadjar Dewantara. Namun, setahun kemudian, gedung ini beralih fungsi menjadi kantor Pusat Tenaga Rakjat cabang Jakarta Raya, kemudian menjadi kantor Djawa Hokokai.

Jebolan asrama Angkatan Baru itu membentuk Komite Aksi sehari setelah Indonesia merdeka. Pemimpinnya bersebelas, di antaranya Soekarni, Wikana, dan Chaerul Saleh. "Kesebelasan" Menteng 31 ini bermarkas di Prapatan Sepuluh (sekarang Kwitang). Mahasiswa asrama kedokteran Ika Dai Gaku bergabung dengan kelompok ini.

Malam 22 Agustus 1945, kelompok yang mencetuskan ide "Penculikan Rengasdengklok" itu pecah seusai sebuah rapat di Prapatan Sepuluh yang dihadiri Sjahrir. Mengenakan celana pendek, kemeja putih, dan sepatu tenis, Sjahrir mengajak peserta bersedia berunding dengan Belanda.

"Kalian tidak tahu bahwa Sekutu menang perang dan Belanda salah satu anggota Sekutu," katanya dalam bahasa Belanda, seperti ditulis Alizar Thaib dalam buku 19 September dan Angkatan Pemuda Indonesia. "Sebaiknya kita bentuk organisasi. Biarlah orang-orang Belanda itu kita terima. Sesudah lima tahun, kita adakan pemberontakan."

Kelompok mahasiswa kedokteran menerima gagasan Sjahrir, tapi Chaerul Saleh dan kesatuannya menolak ide itu. Ketika Sjahrir menjadi perdana menteri, pemuda Menteng 31 kembali menentang keras program kabinetnya, yang lebih mengutamakan diplomasi.

Aktivis Menteng 31 lantas membentuk Angkatan Pemuda Indonesia. Mereka menggempur NICA, merebut sarana transportasi, dan mengibarkan Merah-Putih di mana-mana. "Suasana revolusi mulai menyala ketika itu," tulis Adam Malik dalam buku Mengabdi Republik jilid II: Angkatan 45.

Pada 19 November 1945, Sjahrir menetapkan Jakarta sebagai "kota diplomasi". Aktivis Menteng 31 bersama laskar rakyat pendukungnya hijrah ke Karawang, Jawa Barat. "Di sana markas mereka berpindah-pindah," kata Rushdy. Salah satunya Gedong Jangkung di Rengasdengklok, Karawang. Bangunan di pertigaan Pasar Rengasdengklok itu kini sudah menjadi tempat bisnis. Bagian depannya dijadikan gerai telepon dan kartu seluler. Bagian belakangnya malah menjadi rumah burung walet.

Jalan Bersimpang Setelah Proklamasi


SEBENARNYA begitu banyak kemiripan Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Keduanya berdarah Minang, mengecap pendidikan Belanda, dan menolak kerja sama dengan Jepang.


Ketika proklamasi dibacakan, Sjahrir dan Tan tak unjuk diri. Sjahrir memilih berada di tepi, hanya mengamati. Tan sedang di Banten dan baru mengetahui proklamasi setelah mengunjungi rumah Achmad Soebardjo, yang sudah dikenalnya sejak 1920-an. Tapi keduanya kemudian mendapat surat wasiat dari Soekarno. Presiden Soekarno menunjuk empat orang sebagai penggantinya bila dia ditangkap Belanda atau mati: Tan Malaka, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, dan Wongsonegoro.

Oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sjahrir dan Tan juga sempat ditawari posisi menteri di kabinet pertama, namun keduanya menolak. Penolakan ini membuat pendukung dan lawan politiknya tak habis pikir.

"Kami terus mendorongnya bertindak," ujar Subadio Sastrosatomo, salah satu pengikut Sjahrir. Pemuda yang kurang sabar dengan sikap Sjahrir, seperti Adam Malik, bahkan menuduh dia, "Sengaja menjauhkan diri dari kesibukan membangun dasar-dasar Republik Indonesia."

Kendati banyak kesamaan, sedari mula bertemu, Sjahrir sudah menunjukkan tanda-tanda bakal bersimpang jalan dengan Tan. Mereka bertemu pertama kali di Bogor sekitar satu setengah bulan setelah proklamasi. Saat itu Sjahrir sudah menjabat Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat.

Dalam pertemuan itu, menurut George McT Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), Tan mengajak Sjahrir menggusur Soekarno-Hatta. Sjahrir mengelak halus. Dia mengatakan, "Kalau saja Engku punya popularitas sepuluh persen saja dari Soekarno, saya akan mempertimbangkan Engku sebagai presiden." Sjahrir memang sudah berkeliling Jawa dan menemukan betapa kuatnya pengaruh Soekarno.

Dalam pertemuan kedua di Serang, Banten, sekitar dua minggu kemudian, Tan mengusulkan berbagi peran dengan Sjahrir. "Saya akan berkeliling Jawa dan daerah lain. Dan Anda, kawan Sjahrir, akan memperkuat barisan di ibu kota Jakarta," kata Tan. Tapi Sjahrir tak menanggapi. "Malam itu, tak sepatah kata pun diucapkannya," ujar Tan.

Sejak itu keduanya berpisah jalan. Sjahrir, yang kemudian menjadi perdana menteri, melihat pengakuan kedaulatan dari negara lain itu penting, sehingga jalur diplomasi termasuk dengan Belanda perlu dibuka. Bagi Tan, pengakuan kemerdekaan, "Bukanlah syarat eksistensi Republik Indonesia." Dus, berunding dengan Belanda tak ada perlunya.

Dalam banyak hal, Sjahrir berbeda dengan Tan. L.N. Sitoroes, pengikut Sjahrir, mengatakan tak mungkin keduanya bisa bersama memimpin negara. "Tak mungkin terjadi. Salah satu di antaranya mestinya seorang Jawa," kata Sitoroes.

Namun "permusuhan" keduanya sebenarnya panas karena salah paham. Ketika Tan mendeklarasikan program minimum dan Persatuan Perjuangan pada 15 Januari 1946, banyak kalangan melihat itu sebagai oposisi terhadap Perdana Menteri Sjahrir. Tapi, menurut Subadio, Perjuangan hanyalah panggung untuk mendongkrak popularitas Tan. Dan yang diincar Perjuangan bukanlah Sjahrir, melainkan Soekarno.

Hubungan Sjahrir dengan Tan tambah buruk ketika sebulan setelah Persatuan Perjuangan berdiri, Tan dan beberapa anak buahnya ditangkap dan dibui. Tak jelas apa alasannya sebab tak ada pengadilan atas mereka. "Saya tidak mengerti siapa yang melakukan itu, mengapa dan atas wewenang apa," kata Tan, dua tahun kemudian.

Surat perintah penangkapan Tan diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Menurut Amir, dia bertindak berdasar perintah tertulis Sjahrir. Entah betul atau tidak pengakuan Amir, sebab tak pernah ditunjukkan surat perintah dari Sjahrir. Pengikut setia Tan, Adam Malik, meyakini penangkapan itu ulah Amir.

Posisi politik Sjahrir saat itu sebenarnya lemah dan terus melemah. Partai Masyumi dan PNI mengajukan mosi tak percaya terhadap kabinet Sjahrir pertama. Dalam kabinet Sjahrir berikutnya, pengaruh Soekarno-Hatta semakin benderang.

Perjalanan politik Tan bisa dibilang sudah tutup buku ketika dia masuk penjara. Pengaruhnya pelan-pelan terkikis. Apalagi setelah dia dituduh berada di balik penculikan Sjahrir di Surakarta pada pertengahan 1946. Tuduhan itu tak terbukti. Menurut Harry Poeze, sejarawan Belanda, otak di balik penculikan Sjahrir ini adalah Mayor Jenderal Soedarsono dan Mohammad Yamin.

Perseteruan Para Kolaborator

RAUT wajah Jenderal Sudirman menegang ketika membaca pamflet Perdjuangan Kita, sekitar November 1945. Pamflet itu merupakan program politik Sutan Sjahrir lima hari sebelum menjadi perdana menteri. Sjahrir menegaskan kemerdekaan penuh bisa diraih lewat diplomasi. Cara yang akan ditempuhnya pertama-tama "menyingkirkan semua kolaborator Jepang".


Sudirman marah karena Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) yang dipimpinnya tak lain bentukan Jepang. "Pernyataan itu kurang bijak dan menyinggung perasaan kalangan PETA," katanya kepada Adam Malik seperti tertuang dalam buku Mengabdi Republik (1978). "Jika diplomasi itu memecah persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijakan sendiri."

Sejak itu perseteruan Sudirman-Sjahrir tak terelakkan. Sudirman kemudian bergabung dengan Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan, kelompok yang menampung 141 wakil organisasi politik, tentara, dan pemuda radikal. Keduanya menjadi penentang paling keras politik diplomasi Sjahrir. Mereka mendesak Presiden Soekarno memecatnya.

Sudirman menganggap Sjahrir mengkhianati cita-cita proklamasi karena diplomasinya menyodorkan opsi pengakuan kemerdekaan kepada Jawa dan Madura saja, juga pembentukan Republik Indonesia Serikat. Menurut Sudirman, mestinya Sjahrir mendesak Belanda, Inggris, dan Sekutu mengakui kedaulatan seluruh wilayah Indonesia, setelah Jepang menyerah dalam Perang Pasifik.

Oposisi itu mengeras karena Soekarno-Hatta ternyata lebih condong kepada jalan Sjahrir. Orang Persatuan Perjuangan bahkan menuding Soekarno mengendalikan politik Sjahrir dari jauh.

Di tengah situasi panas itu, Muhammad Yamin yang merapat ke kubu Persatuan menemui Bung Karno di Istana Negara. Pertemuan yang ditafsirkan upaya makar itu kian menggolakkan suhu politik. Sjahrir mendadak meletakkan jabatan perdana menteri. Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin menangkap 12 pemimpin Persatuan. Bung Karno menyatakan keadaan darurat perang.

Tentara yang pro-Persatuan membalas penangkapan itu dengan menculik Sjahrir yang sedang berkunjung ke Solo pada 27 Juni 1946. Dengan kembali memimpin pemerintahan, Soekarno meminta Sjahrir dibebaskan. Untuk sementara perseteruan mereda sampai Soekarno kembali menunjuk Sjahrir sebagai perdana menteri, 2 Oktober 1946.

Perseteruan antarpemimpin sipil itu kian terbuka. Para pemuda Persatuan bahkan baku tembak dengan tentara ketika mencegat mobil yang ditumpangi Amir Sjarifoeddin.

Sjahrir, sementara itu, tetap melanjutkan diplomasi dengan menggelar Perundingan Linggarjati, Renville, hingga Konferensi Meja Bundar. Para penentangnya menuding perjanjian itu gagal dan memberi Sekutu peluang lebih lama bercokol di Indonesia. Sementara oleh pendukungnya, Sjahrir dianggap sukses karena soal pendudukan ini tetap menjadi isu internasional.

Rosihan Anwar, misalnya, menilai Sudirman terlalu terpengaruh gerakan radikal pendukung Tan Malaka, yang menginginkan konfrontasi. Menurut Rosihan, wartawan harian Pedoman dan simpatisan Partai Sosialis Indonesia, Sjahrir bukan tak sadar pertikaian di dalam itu melemahkan program politiknya sendiri.

Suatu kali, November 1946, Sjahrir meminta Sudirman yang sedang bergerilya di hutan-hutan Yogyakarta datang ke Jakarta. Sjahrir menawarkan gencatan senjata dengan Sekutu. Di luar dugaan, Sudirman mau dengan ajakan itu. "Tapi dia cuma sampai Cirebon," kata Rosihan, kini 87 tahun, tiga pekan lalu. "Dia takut ditangkap tentara Sekutu."

Sjahrir kembali meyakinkan bahwa Sudirman adalah pemimpin yang dihormati sehingga tak mungkin ditangkap. Kali ini bujukan itu dipenuhi Sudirman. Ia keluar dari hutan dan menemui Sjahrir di Istana.

Dengan gaya flamboyannya, Sjahrir menyambut jenderal besar yang paru kirinya sudah mati itu dengan upacara megah. "Saya lihat dia kagum dengan cara Sjahrir memperlakukannya," kata Rosihan. Setelah pertemuan itu Sudirman melunak dan tak lagi menyangka Sjahrir bersekongkol dengan Sekutu.

Menjelang meninggal, Januari 1950, Sudirman mengatakan kepada Sultan Hamengku Buwono IX, yang menjenguknya saat sakit, bahwa Sjahrir adalah pemimpin besar yang pantas memimpin Republik. "Saya dengar cerita ini dari Sultan sekitar Februari 1950," kata Rosihan.

Senin, 09 Maret 2009

Sosok Penyendiri dalam Tahanan

JIKA tembok itu bisa berkata, dia akan berkisah tentang seseorang yang pernah terkurung di baliknya. Tembok kukuh itu menjulang setinggi enam meter, membentengi bangunan tua tak terawat di Jalan Ahmad Yani 9, Madiun, Jawa Timur. Cat putihnya luntur termakan umur dan sebagian dindingnya bopeng dipenuhi lubang. Empat gardu pos pantau yang terpacak di setiap sudut menjadi ciri bangunan itu bekas rumah tahanan. Di sinilah, 47 tahun silam, Sutan Sjahrir dipenjarakan selama delapan bulan karena dituding berniat menggulingkan kekuasaan Soekarno.

Tidak mudah menemukan rumah tahanan Sjahrir ini. Di samping jalannya sudah berubah nama-dulu Jalan Wilis-masyarakat di sekitarnya tidak tahu bahwa Sjahrir pernah ditahan di tempat ini. Sejak 1980, rumah tahanan Detasemen Polisi Militer Madiun ini sudah tidak berfungsi. Masyarakat memberikan cap angker kepada tempat seluas 3.800 meter persegi ini.

Pintu jati bercat hijau setinggi tiga meter beratap genting lapuk di bagian depan merupakan satu-satunya akses masuk. Penjara ini memiliki enam blok, cukup untuk menampung 400 tahanan. Adalah Admin, purnawirawan TNI, yang diberi tugas menempati bangunan ini bersama istri dan kedua anaknya sejak 1991. Admin mengaku tak sanggup mengurus semua blok. "Tetapi saya sudah menganggap ini rumah sendiri, begitu juga dengan hantu-hantunya."

Dia menyulap bekas ruang administrasi dan kesehatan menjadi ruang keluarga. Bekas kantor kepala tahanan diubah menjadi garasi motor. Beberapa ruang juga dipakai sebagai kandang ayam. Blok B tampak tak terlalu kumuh. Persis di samping blok ini terdapat kamar tahanan khusus wanita.

Admin tak tahu persis keseharian Sjahrir karena saat itu dia belum bertugas. Menurut Kasboel Hadi Pranoto, 89 tahun-yang bertugas menjadi sipir penjara saat Sjahrir ditahan-di blok B inilah Sjahrir bersama Prawoto, Anak Agung, Subadio, Sultan Hamid, dan Mohammad Roem ditahan. Blok berbentuk L ini memiliki 13 kamar . Ada lima kamar yang cukup untuk menampung dua tahanan, dan delapan kamar lain, yang luasnya lebih besar, cukup untuk 15 tahanan. Sjahrir menjalani masa penahanan di salah satu kamar besar ini.

Sewaktu Tempo melongok ke blok itu, kamar-kamarnya sangat kotor. Setiap ruangan penuh sarang laba-laba. Atap kamar sudah berantakan. Jeruji jendela, lubang angin, dan pintu sel sudah berkarat. Halaman di depan penuh rumput liar setinggi dada. Di salah satu bagian dinding terpampang coretan "Sembahyanglah kamu sebelum disembahyangkan".

Sjahrir ditahan di sini sejak pertengahan Maret 1962. Sebelum ke Madiun, Sjahrir ditahan di salah satu rumah di Jalan Daha, Kebayoran, Jakarta, selama tiga bulan. Akibat menderita tekanan darah tinggi, Sjahrir sempat dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta. Itulah sebabnya, Sjahrir bertahan di Madiun hingga 18 November 1962.

Menurut Kasboel Pranoto, selama di penjara, Sjahrir terkenal pendiam. Hal ini juga dibenarkan oleh teman Sjahrir sesama tahanan Madiun, Mohammad Roem, seperti diutarakan Rosihan Anwar kepada Tempo. Menurut Kasboel, Sjahrir dan kawan-kawannya diperlakukan sangat manusiawi dan selalu bebas berolahraga di luar tahanan. Makanan dan kesehatan pun terjamin. Roem juga mengakui hal ini. Namun, kata Roem, Sjahrir tidak pernah bergabung untuk main badminton setiap hari di jalan depan sel mereka. Sjahrir juga absen main bridge atau scrabble setiap malam. "Tetapi, ketika kami diberi kesempatan main tenis dan berenang di luar penjara, Sjahrir ikut," kata Roem.

Rosihan, yang mengunjungi Sjahrir pada Oktober 1962, menjumpai Sjahrir dalam keadaan baik, hanya mengeluh tidak bisa mengikuti perkembangan di luar penjara lebih lengkap. Anak kedua Sjahrir, Upik, yang pernah berkunjung ke Madiun, menuturkan ayahnya lebih senang membaca dan menulis di kamar. Sjahrir juga rajin mendengarkan radio. "Papa tidak pernah marah apalagi dendam. Memang pembawaannya begitu," kata Upik.

Menurut Roem kepada Rosihan, secara umum hari-hari di Madiun berjalan begitu sedap. Kasboel juga membenarkan hal itu. "Tidak pernah ada intimidasi dan penyiksaan," katanya. Ketika Sjahrir ditahan di Jalan Daha, ia juga menerima perlakuan yang sama. Bersama Roem dan Prawoto, dia ditahan di sebuah rumah yang memiliki kolam renang. Keluarga tidak pernah diberi kesempatan mengunjungi tempat ini. "Tempatnya dirahasiakan," kata Rosihan.

Sayangnya, tidak ada jejak tentang rumah itu. Saat Tempo menyusuri Jalan Daha, setiap sudut jalan penuh sesak oleh rumah baru yang mewah. Warga sekitar kawasan itu mengaku tidak tahu soal rumah ini, termasuk ketua RW Soemarsono, yang sudah 35 tahun tinggal di jalan tersebut. Kedua anak Sjahrir, anak angkat Sjahrir Des Alwi, dan Rosihan Anwar juga mengaku kurang banyak mengetahui soal rumah ini. Namun keempatnya mengungkapkan hal yang sama soal kondisi Sjahrir saat ditahan di Jalan Daha. "Sjahrir mulai merasakan siksaan batin karena terpisah dari keluarganya. Ia jauh lebih menderita dibanding ketika dibuang Belanda, karena saat itu Sjahrir bujangan."

Tiga Serangkai Ahli Waris Revolusi

Hubungan Sjahrir dengan tokoh-tokoh revolusi Indonesia tak selalu harmonis. Dengan Soekarno, yang mengangkatnya sebagai perdana menteri, ia bentrok soal cara berunding dengan Belanda. Dengan Tan Malaka, ia tak akur perihal ideologi. Dan Sudirman tersinggung karena Sjahrir menyebutnya antek Jepang.


SUASANA rapat Pemuda Indonesia di Bandung itu tiba-tiba mencapai suhu tinggi. Soekarno diinterupsi oleh Suwarni. Ketua Putri Indonesia itu protes karena Soekarno terlalu sering mencampuradukkan bahasa Indonesia, Belanda, dan Sunda dalam ceramahnya. Ia juga gerah karena Bung Besar terlalu menggebu membanggakan Partai Nasional Indonesia-partai yang ia dirikan dan baru seumur jagung. "Bung, ini bukan tempat buat propaganda PNI," kata Suwarni ketus.

Soekarno terkejut. Ia tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu. Dia marah dan balas menyerang Suwarni dalam bahasa Belanda. Melihat kejadian itu, Sutan Sjahrir-pimpinan pertemuan-langsung mengetukkan palu. Dia meminta Soekarno tidak bicara melipir ke mana-mana. Pemuda 18 tahun itu bahkan minta Soekarno tidak bicara kasar kepada perempuan. Ia mengingatkan Soekarno tidak memakai bahasa Belanda. Sudah jadi ketentuan, bila perhimpunan itu bertemu, penggunaan bahasa Indonesia wajib hukumnya.

Teguran itu manjur. Setahun sebelum Sumpah Pemuda, pemakaian bahasa Indonesia memang digalakkan. Pada masa itu, banyak pemuda yang belepotan dalam berbahasa Indonesia. Bahasa ini menarik minat karena dinilai bebas dari tradisi feodal. Soekarno, yang usianya lebih tua sembilan tahun dari Sjahrir, menyadari kekeliruannya. Ketua Partai Nasional Indonesia itu minta maaf.

Kejadian pada akhir 1927 itu berbekas buat Soekarno. Dia tidak pernah lupa sosok Sjahrir. Ia sering datang ke pertemuan Pemuda Indonesia. Sebaliknya, Sjahrir sesekali mengikuti perdebatan di kelompok Soekarno. Pemuda Indonesia dan PNI, kata Soekarno, "Satu kesatuan yang tak terpisahkan."

Tapi pertalian keduanya hanya sejenak. Pada Juni 1929, Sjahrir meneruskan studi ke Belanda. Di negeri ini ia bertemu Mohammad Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia. Berkat bimbingan dan dorongan Hatta, Sjahrir masuk Perhimpunan Indonesia. Hatta mendidik Sjahrir, Abdullah Sukur, dan Rusbandi. Enam bulan berselang, Sjahrir menjadi pembicara utama dalam pertemuan organisasi itu. Pada Mei 1930, Sjahrir sudah jadi orang nomor dua di perhimpunan itu.

Rudolf Mrazek, dalam bukunya Sjahrir, Politics and Exile in Indonesia, melukiskan bahwa di antara Sjahrir dan Hatta terdapat kesamaan yang kuat. Lahir dari tanah Minang, mereka sama-sama menyerap pengalaman dari sistem pendidikan etis kolonial. Mereka juga sama-sama berutang budi kepada kerabat keluarga yang membantu menyekolahkan hingga ke Belanda. Itu sebabnya di antara keduanya tumbuh rasa saling pengertian yang kuat. "Sjahrir hormat sekali kepada Hatta," ucap Rosihan Anwar, wartawan senior. Sebaliknya, Hatta sayang pada Sjahrir.

Keduanya juga punya pandangan yang sama. Menurut mereka, study club yang didirikan Abdoel Karim Pringgodigdo di Jakarta dan Inoe Perbatasari di Bandung harus mengutamakan pendidikan rakyat. Gerakan perlawanan setelah Soekarno ditangkap ini menamai dirinya "golongan merdeka".

Hatta menyarankan "golongan merdeka" menerbitkan jurnal, yang memiliki misi untuk pendidikan rakyat. Pendidikan, kata Sjahrir, harus menjadi tugas utama pemimpin politik. Keduanya sama-sama ingin berkecimpung dalam pendidikan sepulangnya dari Belanda. Akhir Agustus 1931, "golongan merdeka" dari berbagai kota melebur menjadi Pendidikan Nasional Indonesia.

Namun keterlibatan mereka dengan politik Tanah Air menuai kritik. Mahasiswa Indonesia yang dekat dengan Partai Komunis Belanda menuduh Hatta bertindak di luar ketentuan Perhimpunan. Dalam pertemuan pada November 1931, Hatta dipecat dari organisasi itu. Sjahrir satu-satunya yang menentang keputusan tersebut. Ia pun meninggalkan perhimpunan.

Keduanya lalu berencana pulang ke Tanah Air. Tapi Hatta harus merampungkan sisa studinya. Akhirnya disepakati, Sjahrir pulang lebih dulu pada November 1931. Bila sudah rampung, Hatta menyusul ke Indonesia, Sjahrir kembali ke Belanda melanjutkan kuliahnya. Nyatanya, Sjahrir tidak pernah balik lagi ke Belanda.

Keduanya sibuk memimpin Pendidikan Nasional Indonesia. Mereka ditangkap polisi Belanda pada Februari 1935. Sembilan bulan kemudian dibuang ke Boven Digul. Pada 1936 dikirim ke Banda Naira, dan kembali ke Jawa pada Januari 1942 sebelum Jepang datang.

Enam bulan kemudian, Sjahrir dan Hatta bertemu Soekarno yang baru pulang dari pengasingan di Palembang. Hari itu juga ketiganya rapat di rumah Hatta. Mereka sepakat: Soekarno-Hatta bekerja sama dengan Jepang, dan Sjahrir bersama Persatuan Mahasiswa di Jakarta menyusun perlawanan bawah tanah.

Hubungan ketiganya terus berlanjut. Sjahrir, sesudah proklamasi, menjadi Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Soekarno setuju Sjahrir membentuk kabinet parlementer. Sjahrir diangkat menjadi perdana menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Ketika ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta, Sjahrir seminggu sekali naik kereta api menemui Soekarno-Hatta. "Langkah demi langkah dia laporkan ke Soekarno-Hatta," kata Rosihan. Soekarno bahkan melindungi Sjahrir saat kabinet pertama hendak digulingkan oleh Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Hubungan baik itu, kata dia, berlanjut hingga perundingan Linggarjati. Kepemimpinan Sjahrir bertahan hingga tiga kabinet.

Setelah itu ia menjadi penasihat istimewa presiden. Saat Belanda melancarkan aksi militer kedua pada Desember 1948, Soekarno-bersama Agus Salim dan Sjahrir-diasingkan ke Brastagi dan Prapat, Sumatera Utara. Sedangkan Hatta, bersama Menteri Pendidikan Ali Sastroamidjojo dan Sekretaris Negara A.K. Pringgodigdo ditahan di Pulau Bangka.

Nah, di Prapat inilah, kata Rosihan, Sjahrir merasa kesepian. Sekali waktu Soekarno mandi dan melantunkan lagu One Day When We Were Young cukup keras. Sjahrir merasa terganggu. Dia berteriak, "Hous je mond (tutup mulutmu)." Soekarno bilang ke Agus Salim, "Siapa dia, marah-marah dan berani bentak. Saya ini kepala negara". Sjahrir juga pernah mengkritik Soekarno yang meminta kemeja Arrow kepada pengawal Belanda. "Kamu kan presiden, jaga gengsi dong," kata Sjahrir. Soekarno jengkel.

Hubungan keduanya kian renggang setelah Perdana Menteri Belanda Willem Drees datang ke Jakarta, awal 1949. Dress minta berunding dengan Sjahrir sebagai sesama orang sosialis. Sjahrir memenuhinya. Tetapi pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa. "Sjahrir menolak mengikuti permintaan Belanda," kata Rosihan. Tetapi Sjahrir tidak kembali ke Prapat karena diizinkan menetap di Jakarta. Soekarno marah. Ia menganggap Sjahrir mengkhianati perjuangan. "Kenapa dia tak kembali ke sini? Kalau begitu dia tak setia," ujarnya.

Cerita itu didapat Rosihan dari Mohammad Roem. Roem mendapat cerita itu dari Agus Salim, katanya. Rosihan pernah menanyakan percekcokan itu kepada Soekarno pada awal 1951. Saat itu mereka tengah melihat rumah di Prapat tempat Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim ditahan. "Betulkah ada ruzie (percekcokan), bung?" Soekarno tidak menjawab.

Puncak keretakan Sjahrir-Soekarno terjadi awal 1962, saat iring-iringan Presiden di Makassar dilempar bom. Sjahrir ditangkap atas peristiwa itu. Menurut A.H. Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas, Soekarno otak di balik penahanan itu. Surat dikeluarkan Soekarno sebagai Penguasa Perang Tertinggi. Surat itu diteken Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Nasution sebagai Menteri Pertahanan.

Tapi, kata Nasution, saat surat diteken, nama Sjahrir belum muncul. "Saya hanya diminta menandatangani blangko kosong," katanya. Nama-nama tersangka akan ditulis setelah pemeriksaan. Nyatanya, setelah surat diteken, Sjahrir ditangkap di rumahnya pukul empat pagi, 16 Januari 1962.

Menurut Des Alwi, anak angkat Sjahrir, seorang wartawan bernama Manopo pernah menemui Nasution. Manopo berpesan agar Soekarno waspada bila bepergian ke Makassar karena Sjahrir dan Mohammad Roem akan membunuhnya. Nasution tidak percaya laporan itu. "Kamu ngomong begini bisa ditangkap," Nasution menggertak. Tapi laporan itu, kata Des, sampai ke tangan Soekarno lewat orang-orang komunis. Soekarno percaya.

Hatta pernah mengirim surat kepada Soekarno mempertanyakan penahanan itu. Ia mengkritik hukuman penjara yang gaya kolonial. Tuduhan keterlibatan Sjahrir dalam perbuatan teror itu, kata Hatta, tidak masuk akal. Tapi surat itu tidak digubris. "Bung Karno sudah paranoid," kata Rosihan.

Sejak itu kondisi fisik Sjahrir merosot. Soekarno akhirnya mengizinkannya berobat ke Zurich, Swiss, pertengahan 1965. Ia wafat 9 April 1966. Menurut Des, gelar pahlawan nasional sudah disiapkan satu bulan sebelumnya. Hatta lalu mengatur pemakaman. Ia juga yang berpidato. "Saya tahu Hatta sedih betul," kata Rosihan.

Patah Arang Kawan Seiring

Bersama Agus Salim, Charles Tambu, Sumitro Djojohadikusumo & Soedjatmoko, di Lake Success, 1947.
SUATU siang pada awal 1957. Jaksa Agung Muda Intelijen Priyatna Abdurrasyid mendatangi kediaman Sumitro Djojohadikusumo di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dia membawa surat perintah penangkapan Bung Cum-demikian Sumitro, tokoh teras Partai Sosialis Indonesia, biasa dipanggil kawan-kawan dekatnya.

"Waktu itu saya memang mendapat perintah menangkap Sumitro. Ketika saya tanya apa kesalahannya, jawaban atasan saya: tangkap saja, titik," kata Priyatna kepada Tempo dalam sebuah wawancara pada Agustus 2008.


Pada 1956-1957, gerakan pemberantasan korupsi memang sedang gencar. Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi sampai level menteri dibongkar. Namun, kata Priyatna, belakangan Presiden Soekarno memprotes melihat hampir semua menteri yang ditangkap berasal dari Partai Nasional Indonesia. "Bung Karno sempat tanya, mana menteri dari Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia," kata Priyatna, yang ketika itu anggota Tim Pemberantasan Korupsi Kejaksaan Agung.

Salah satu pentolan Partai Sosialis Indonesia di parlemen saat itu adalah Djoeir Moehamad. Dia mengaku masih ingat koran-koran yang berafiliasi pada Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia, seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur, terus memberitakan kasus dugaan korupsi Sumitro. "Ada desakan agar dia diajukan ke pengadilan," tulisnya dalam buku Memoar Seorang Sosialis yang terbit pada 1997.

Sumitro tentu heran dengan tudingan itu. Kepada Priyatna, dia sempat bertanya, apa kesalahannya. Priyatna tak bisa menjelaskan. "Pokoknya, perintahnya adalah tangkap, titik," katanya. Bung Cum menolak. Setelah bernegosiasi sebentar, Priyatna mengaku setuju membiarkan Sumitro "menghilang". Priyatna tak pernah menyesali perbuatannya. "Saya lakukan itu dengan keyakinan dia tidak bersalah," katanya kemudian.

Dengan restu Sjahrir, Sumitro menyeberang ke Sumatera. Di sana, dia bergabung dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta.

***

"WAKTU itu memang ada isu bahwa Sumitro melakukan korupsi, memberikan dana kepada PSI dalam pemilihan umum," kata wartawan senior Rosihan Anwar, awal Februari lalu. "Saya kira isu itu ada benarnya, tapi jumlahnya kecil. Tidak seperti sekarang ini, besar-besar."

Minarsih Soedarpo, kawan dekat keluarga Sjahrir, mengaku masih ingat ketika Sumitro, yang tersudut oleh berbagai kabar rencana penangkapan dirinya, bergegas menemui Sjahrir. "Oleh Sjahrir, dia diminta ke Padang, Sumatera Barat, membantu mengajar di Universitas Andalas," kata Minarsih, istri tokoh Partai Sosialis Indonesia, Soedarpo Sastrosatomo. Dalam diskusi dengan Tempo tiga pekan lalu, Minarsih (Mien) Soedarpo memastikan Sjahrir tak pernah mengutus Sumitro untuk bergabung dengan PRRI/Permesta.

Pada Mei 1957, Sumitro naik kereta api dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Merak, Banten. Asisten pribadinya, Priasmoro, turut mendampingi. "Dari Merak, Sumitro naik perahu bermotor ke Lampung, terus naik kereta api ke Palembang, lalu ke Padang," tulis Djoeir.

Pada Januari 1958, tersiar kabar telah terjadi pertemuan penting di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Para petinggi militer yang memberontak terhadap Jakarta, Letnan Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Maluddin Simbolon, Kolonel Dahlan Jambek, dan Kolonel Ventje Sumual, berkumpul di sana. Sumitro Djojohadikusumo juga bergabung. Pada Februari 1958, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dideklarasikan. Sumitro didaulat menjadi Menteri Perhubungan dan Pelayaran Kabinet PRRI.

Keterlibatan Sumitro dalam pemberontakan di Sumatera mengejutkan pengurus pusat Partai Sosialis Indonesia. "Sjahrir sudah menegaskan kepada Sumitro, boleh melakukan oposisi, tapi jangan bentuk pemerintah tandingan," kata tokoh Partai Sosialis Indonesia, Soebadio Sastrosatomo, saat diwawancarai Rosihan Anwar pada November 1994. "Sumitro tidak menggubris ucapan Sjahrir," ujar Rosihan kepada Tempo.

Sebelum deklarasi PRRI, sejumlah petinggi Partai Sosialis Indonesia sudah berusaha mengingatkan Sumitro. Djoeir Moehamad diutus menemui Sumitro di Padang. Setelah Djoeir gagal, giliran Soedarpo Sastrosatomo yang menjumpai Bung Cum. Terakhir, kakak Soedarpo, Soebadio Sastrosatomo, berbicara panjang dengan Sumitro di Singapura. Semuanya gagal menarik Sumitro dari PRRI.

"Waktu itu Sjahrir berpesan kepada Soedarpo agar menanyakan kepada Sumitro berapa kebutuhan hidup sehari-hari dia sekeluarga," kenang Mien. Tak disangka, Sumitro tersinggung ditanyai seperti itu. "Dia marah sekali," kata perempuan 72 tahun yang daya ingatnya masih kuat dan jernih ini. Sumitro balik menuding kawannya telah kehilangan semangat revolusioner. "Kita mesti bikin revolusi, kita mesti melawan Soekarno," kata Sumitro seperti diingat Soebadio.

Setelah pertengkaran itu, Sumitro dan rekan-rekannya di Partai Sosialis Indonesia putus hubungan.

Ketika diwawancarai Tempo pada 1999, Sumitro punya penjelasan berbeda 180 derajat. Dia mengaku mendapat restu Sjahrir untuk memberontak. "Dua hari sebelum ke Sumatera, saya berbicara dengan Sjahrir. Saya bilang, 'Bung, saya mau hijrah dan bergabung dengan daerah.' Sjahrir mengatakan, 'Oke, Cum. Tapi kok daerah seperti tersingkir sendiri. Ada Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda. Usahakan semua itu agar bisa bersatu'," kata Sumitro.

Saat itu, Sumitro terus terang mengaku sudah tak sejalan lagi dengan Partai Sosialis Indonesia. "Saya tidak mungkin kembali. Setiap kali saya masuk kabinet, saya dibilang bukan wakil PSI. Kalau gagal, mereka bilang itu kesalahan saya. Kalau berhasil, mereka bilang, 'Dia (Sumitro) orang kita.' Bagaimana itu?" kata Sumitro getir.

***

PERJUANGAN PRRI/Permesta tak berumur panjang. Di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dan Jenderal Abdul Haris Nasution, Tentara Nasional Indonesia memukul balik pasukan pemberontak.

Mundurnya bala bantuan Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA)-yang balik kanan setelah salah satu pilotnya, Allan Pope, tertembak jatuh di Ambon pada Mei 1958-menjadi faktor penentu gagalnya PRRI/Permesta. Pasukan terakhir kaum gerilyawan ini turun gunung dan menyerah pada 1961.

Sumitro sendiri lari ke luar negeri. Bersama keluarganya, dia hidup sebagai buron selama sepuluh tahun. Demi keamanan, Sumitro tak mau tinggal di satu tempat lebih dari dua tahun. Dia berpindah-pindah dari Singapura, Hong Kong, Kuala Lumpur, Zurich, London, sampai Bangkok.

Masa pelarian itu, kata Sumitro, adalah periode paling pahit dalam hidupnya. "Bahagiakah orang yang menjadi buron, dimaki-maki, berpindah-pindah negara, tanpa paspor, uang, dan kewarganegaraan, tanpa bisa memastikan apa yang akan terjadi setelah itu?" katanya dalam wawancara 10 tahun silam itu.

Rasa pahit tak hanya dirasakan keluarga Sumitro. Pada 21 Juli 1960, pimpinan Partai Sosialis Indonesia dipanggil menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, Jakarta. Sjahrir datang, didampingi pengurus pusat partai: Djohan Sjahruzah, Soebadio Sastrosatomo, T.A. Murad, dan Djoeir Moehamad. Mereka diminta menjelaskan posisi Partai Sosialis Indonesia terkait dengan pemberontakan PRRI/Permesta.

Sepekan kemudian, Sjahrir mengirim surat jawaban ke Istana. "Sekalipun kami paham dan membenarkan perjuangan daerah, pembentukan pemerintahan pusat yang baru di samping pemerintahan yang ada kami anggap sebagai malapetaka," tulis Sjahrir, seperti dikutip Djoeir Moehamad dalam buku memoarnya, "Perpecahan bangsa pasti tidak membawa penyelesaian, bahkan sebaliknya."

Namun jawaban Sjahrir tidak bisa mengubah pendirian Soekarno. Pada 17 Agustus 1960, Presiden membubarkan Partai Sosialis Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 201 Tahun 1960. Dua tahun kemudian, Sjahrir dan sejumlah tokoh Partai Sosialis Indonesia lain ditangkap. Pada April 1966, Sjahrir meninggal sebagai tahanan politik.

***

LIMA tahun setelah tragedi pembubaran Partai Sosialis Indonesia, pecah Gerakan 30 September 1965. Rezim berganti. Naik ke kursi presiden, salah satu tindakan politik pertama Soeharto adalah merangkul kembali musuh-musuh Soekarno. Para pentolan PRRI/Permesta tidak lagi dikucilkan. Tak terkecuali Bung Cum.

Soeharto bahkan secara khusus mengutus salah satu tangan kanannya, Ali Moertopo, menjemput Sumitro di Bangkok, Thailand, pada November 1966. Enam bulan kemudian, Sumitro pulang ke Indonesia, langsung diangkat menjadi Menteri Perdagangan pertama Orde Baru.

Meski Sumitro sudah kembali ke lingkaran elite kekuasaan, perseteruan lama dengan bekas kawannya sebarisan di Partai Sosialis Indonesia terus berlanjut. "Dalam sejumlah pertemuan, meski sudah bertemu muka, Sumitro tak pernah menyapa saya," kata Rosihan. Mien Soedarpo membenarkan. Katanya, "Hubungan kami sudah patah arang."
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India