Senin, 19 Mei 2008

Hilang tapi Terus Berjuang

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan!

KATA lawan!" dalam baris terakhir puisi bertajuk Peringatan yang dibuat di Solo pada 1996 itu lebih terkenal daripada penciptanya, Wiji Thukul. Tidak hanya di panggung pembacaan puisi, kata lawan!" sering diteriakkan di berbagai medan demonstrasi sampai sekarang. Kata lawan!" itu bahkan lebih ngetop dibanding judul puisi Thukul.

Kata itu seperti menjadi ikon demonstrasi melawan penguasa. Makin terasa kuat dan relevan karena sang penulis, yang bernama asli Wiji Widodo, sampai sekarang hilang tak tentu rimbanya. Dugaan kuat: Thukul sengaja dihilangkan". Lelaki kelahiran Kampung Sorogenen, Solo, 26 Agustus 1963, itu masih terus dicari keluarganya. Istri dan dua anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah, terus mempertanyakan nasib penyair mbeling itu.

Di mata Munir, Thukul luar biasa. Kalimat pendek itu menunjukkan pilihan hidup Wiji Thukul. Bukan pilihan yang mudah, Wiji Thukul telah membayarnya dengan mahal, dia telah menjadi korban praktek penghilangan orang," tulis Munir, Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, dalam pengantar buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru. Munir pun kemudian tewas diracun dan kasusnya belum tuntas hingga kini.

Wiji Thukul memang terbiasa bergaul dengan perlawanan. Dia dekat dengan aktivis gerakan mahasiswa di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kami sering menginap di rumahnya di kawasan kumuh di Solo, saat memperjuangkan tanah rakyat yang ditenggelamkan rezim Soeharto dalam proyek Kedungombo," kata bekas Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik, Budiman Sudjatmiko.

Seniman pelo (cadel) itu pun bergabung dengan partai yang dipimpin Budiman. Wiji memimpin Jaringan Kerja Kesenian Rakyat, sayap seniman partai itu. Semua kekuatan harus bersatu untuk melawan rezim otoriter dan militeristik," kata Budiman menirukan perkataan Wiji.

Memang terbukti, puisi Wiji lalu menjadi salah satu slogan dalam gerakan mahasiswa, petani, dan buruh. Kalimat terakhir Peringatan itu bagi gerakan sama dengan slogan saat proklamasi dulu: merdeka atau mati!'" ujar Budiman, yang kini Ketua Umum Relawan Pejuang Demokrasi, sayap pemuda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Budiman dan kawan-kawan tak melupakan Wiji. Saya ditangkap setelah peristiwa 27 Juli 1996, saya tak pernah ketemu Thukul sejak 1998," katanya.

Sebagai seniman, Wiji Thukul tidak termasuk yang alergi pada politik. Dengan tidak tahu soal politik, kita mudah saja dipermainkan. Kita harus jadi pelaku, bukan obyek," katanya dalam wawancara di buku terbitan Indonesia Tera, Juni 2000. Itu dibuktikan dalam puisi-puisinya.

Dengarlah Sajak Suara:

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam mulut bisa dibungkam namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan di sana bersemayam kemerdekaan apabila engkau memaksa diam aku siapkan untukmu: pemberontakan!
Memang suara tak bisa diredam dan dipenjarakan. Tapi pemilik suara itu bisa dihilangkan, walaupun puisinya tetap hadir di antara aksi dan unjuk rasa. Dalam puisi Udara, penyair jebolan Jurusan Tari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo, pada 1982 itu seakan-akan sudah tahu risiko ketajaman puisi yang ditulisnya.

dari udara sama dihirup udara di kampung udara di kuburan menyambut kematian! begitu miskin milik kita kalimat berat selamat datang!
Ia memang hilang, tapi lewat puisinya ia terus berjuang.

(88) Aku Ingin Jadi Peluru Penerbit: Indonesia Tera, Magelang (2000)

Potret Pembangkangan Rendra

TUBUHNYA yang tinggi dengan rambut yang tebal dikibarkan angin itu mampu menyihir para mahasiswa. Dia berdiri di atas panggung kampus sembari tangannya memegang setumpuk kertas berisi puisi yang dibacakannya. Dan Rendra, pemilik tubuh tinggi dan sepasang mata bak elang itu, akan membuang helai demi helai yang dibacakannya itu....

Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur, Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal keadilan, karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak diajar dasar ilmu hukum
Suara yang nyaring, menekan, dan menyihir itulah yang selalu diingat Hendardi, kini 50 tahun. Sajak Anak Muda yang dibawakan Willibrordus Surendra Broto Rendra atau W.S. Rendra, bagi Hendardi, telah menjadi sumber inspirasi melawan rezim Orde Baru. "Waktu itu saya baru masuk menjadi mahasiswa. Kakak angkatan kami ditangkapi dan ditahan, militer masuk kampus," katanya.

Hendardi saat itu mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, angkatan 1978. Dalam keadaan tertekan, puisi Rendra, bagi dia, mampu membangkitkan semangat. "Puisi-puisinya mendengung saat ada happening art dan mimbar bebas di kampus," ujar Hendardi.

Puisi itu pula, menurut bekas Ketua Dewan Mahasiswa ITB itu, yang membuatnya bertahan aktif dan tak kenal menyerah. Hendardi dan kawan-kawan menjadikan puisi Rendra bagian dari pleidoi para aktivis mahasiswa angkatan 1978 yang diadili, antara lain Herry Akhmady, Rizal Ramly, dan Indro Tjahyono.

Karya Rendra yang biasa dibacakan ketika ada demonstrasi dan mimbar bebas itu pada 1980 diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan, dalam buku kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi. Isinya menggambarkan situasi politik sejak 1973, tatkala Rendra masih di Yogyakarta, sampai 1978. Bahkan hingga pertengahan 1980-an sajak Rendra masih terasa menggedor-gedor semangat aktivis mahasiswa.

Tidak hanya puisinya, olah vokal dan ekspresi gerak Rendra juga memberikan pengaruh kuat. Ia sendiri mengaku mengagumi gaya pidato Soekarno yang penuh sihir. Sejumlah penyair pada pertengahan 1980-an masih meniru-niru gerak dan olah vokal penyair kelahiran 7 November 1935 di Solo itu. Ciri khas Rendra itu dengan mudah dijumpai dalam acara mimbar bebas mahasiswa masa itu.

Meski puisi Rendra pada masa awal kepenyairannya berbeda bentuk dan gaya (oleh Soebagio Sastrowardoyo dia dianggap terpengaruh Garcia Lorca), Rendra tetap lebih dikenal oleh mahasiswa untuk puisi pamfletnya. Seperti diutarakan A. Teeuw dalam kata pengantar buku Potret Pembangunan, yang menyebut Rendra sebagai pemberontak, seorang yang selalu sibuk melonggarkan kungkungan dan pembatasan. Tak mengherankan jika Rendra sempat mencicipi jeruji tahanan pada masa itu. Maklum, rezim ketika itu memang antikritik, apalagi yang setajam Sajak Mata-mata:

Ada suara bising di bawah tanah, ada suara gaduh di atas tanah, ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah, ada tangis tak menentu di tengah sawah. Dan, lho, ini di belakang saya, ada tentara marah-marah.

Harus diakui, roh Potret Pembangunan menjadi lebih hidup ketika dibacakan di hadapan khalayak ramai. Kepada Tempo, Rendra mengaku setiap kali beberapa baris puisi atau dramanya tercipta, dia memanggil anak-anak Bengkel dan mencoba membacakannya agar dia bisa mendengar sendiri bunyi puisinya. Hingga kini puisi Rendra masih membakar. Dengarkan puisinya berjudul Aku Tulis Pamplet Ini.

Aku tulis pamplet ini karena lembaga-lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah. Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan, menjadi peng-iya-an.

(87) Potret Pembangunan dalam Puisi Penerbit: Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta (1980)

Denyut Demonstran dalam Puisi

Anakmu yang berani Telah tersungkur ke bumi Ketika melawan tirani
-Salemba, Taufiq Ismail, 1966

SEBAIT sajak dalam kumpulan puisi Tirani dan Benteng itu menyeruak di tengah pergolakan politik 1966. Penyair Taufiq Ismail menulis puisi itu tatkala suhu politik negeri ini memanas. Gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia, Kabinet Dwikora, dan penurunan harga-dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat-sedang marak-maraknya.

Ketika itu Jakarta membara oleh lautan demonstran. Di jalanan Ibu Kota, di tengah ingar-bingar pengunjuk rasa, puisi-puisi Taufiq hadir dalam bentuk stensilan bersama ratusan pamflet dan spanduk, yang meneriakkan protes terhadap pemerintahan Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno.

Puisi-puisi yang sarat dengan tema sosial itu berisi kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan, cita-cita, dan tekad. Taufiq baru saja dua tahun lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia, dan langsung berada di tengah hiruk-pikuk demonstrasi. Ia mengabadikan momen bersejarah itu melalui puisi-puisi yang ditulis sepanjang Februari-Maret 1966.

Taufiq menuliskan baris kata-katanya pada tumpukan kertas yang dijepit rapi dalam map merah cokelat. Ke mana-mana ia membawa map yang ditaruh dalam ranselnya. Menurut Taufiq, hampir setiap hari ia mengikuti demonstrasi mahasiswa. Ia merekam denyut demonstran. "Biasanya puisi saya tulis malam hari di asrama mahasiswa Pal Putih 6," katanya mengenang.

Tirani dan Benteng pertama kali diterbitkan di majalah Gema Psychologi Universitas Indonesia atas upaya sahabat Taufiq, Arief Budiman. "Ketika terbit, sebetulnya saya waswas juga, karena setiap saat tentara bisa menangkap," ujarnya. Makanya, waktu itu ia memakai nama samaran Nur Fadjar.

Boleh jadi, kalau tak "diselamatkan" Arief, puisi-puisi Taufiq akan ikut hilang bersama catatan hariannya di dalam tas ransel hijau kumal yang dicuri di halaman stasiun kereta Gambir, Jakarta Pusat, pada suatu pagi. Naskah yang selamat itu kemudian diterbitkan Penerbit Faset. Selain memuat Tirani dan Benteng, Faset menambahkan 32 puisi lagi, yang ditulis Taufiq sepanjang 1960-1965. Karya-karya yang melengkapi itu diberi subjudul: Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng.

Melalui 73 sajaknya dalam Tirani dan Benteng, Taufiq telah membangun tonggak penting dalam perjalanan sastra Indonesia. Penyair kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935 itu turut berkontribusi mengobarkan semangat melawan penguasa pada masanya.
Selain menyebar di jalanan Ibu Kota, puisi Taufiq dalam bentuk stensilan juga diperbanyak mahasiswa dari luar Jakarta, yang saat itu ikut berdemonstrasi di Jakarta. Merekalah yang menyebarkannya ke kota asal masing-masing, seperti Bandung, Bogor, dan Yogyakarta.

Di Jakarta, gaung Tirani dan Benteng kian bergema karena kerap dibacakan di radio Ampera. Ini stasiun radio bawah tanah milik mahasiswa yang getol menyiarkan berita demonstrasi. Menurut Taufiq, salah satu yang sering membacakan puisinya di radio itu adalah Salim Said.

Taufiq menyatakan, ketika menulis puisi-puisi itu tak sedikit pun berniat membakar militansi demonstran. "Waktu itu mengalir saja," katanya. "Situasi dan kondisi sungguh luar biasa. Itulah yang menginspirasi saya untuk menuliskannya". Dengarkan ini:

Kami tidak bisa dibubarkan Apalagi dicoba dihalaukan Dari gelanggang ini
Karena ke kemah kami Sejarah sedang singgah Dan mengulurkan tangannya yang ramah

Tidak ada lagi sekarang waktu Untuk merenung panjang, untuk ragu-ragu Karena jalan masih jauh Karena Arif telah gugur Dan luka-luka duapuluh satu

-Horison, Taufiq Ismail, 1966

(86) Tirani dan Benteng Penerbit: Yayasan Ananda, Jakarta (1993 - edisi baru)

Chairil Anwar dan Semangat Kebangsaan

oleh: Arif Bagus Prasetyo

SEMANGAT kebangsaan, atau nasionalisme dan patriotisme, memang seakan melekat pada citra Chairil Anwar (1922-1949). Chairil aktif berpuisi pada zaman revolusi, sebuah kurun mahagenting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Puisi-puisi awalnya ditulis pada masa pendudukan Jepang dan karya-karya terakhirnya diguratkan pada pengujung dasawarsa 1940-an.

Kepenyairan Chairil bersinar ketika Indonesia masih "bangsa muda menjadi, baru bisa bilang 'aku'" (Buat Gadis Rasid) sehingga masih harus berjuang keras mempertahankan diri dari berbagai kekuatan eksternal dan internal yang ingin menghapus eksistensinya. Chairil semasa hidupnya konon bergaul dengan para tokoh elite pejuang-pendiri negara-bangsa Indonesia, seperti Bung Karno dan Bung Sjahrir.

Kritikus H.B. Jassin (almarhum) menobatkan Chairil sebagai "Pelopor Angkatan 45", sebuah periodisasi sastra(wan) Indonesia yang dinamai dengan angka keramat tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dan yang terpenting, sejumlah puisi Chairil memang jelas-jelas mengumandangkan spirit perjuangan dan kejuangan bangsa.

Itulah kiranya sebagian faktor yang membuat Chairil cenderung dinilai sebagai sosok penyair yang, lebih daripada penyair Indonesia lainnya di sepanjang sejarah, paling representatif membawa pijar semangat kebangsaan. Banyak sudah pakar sastra Indonesia yang menyepakati bahwa nasionalisme/patriotrisme adalah bagian penting dari riwayat Chairil sang Penyair.

Sekadar contoh, dalam esai "Chairil Anwar Kita" (Aku Ini Binatang Jalang, 1986) yang menutup buku koleksi lengkap puisi Chairil, Profesor Sapardi Djoko Damono menulis: "Bagaimanapun, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan.... Bahkan sebenarnya... salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa."

Mendiang Dami N. Toda tegas menyatakan: "Sehubungan dengan kelibatan sosial yang bermakna patriotisme, Chairil Anwar sepenuhnya menginsafi getar denyut dan tuntutan bangsanya. Seluruh perjuangan estetik dengan seluruh peralatan analis rasional yang tajam diabdikan kepada bangsa." Karya Chairil Aku, Merdeka, Diponegoro, Cerita buat Dien Tamaela, Krawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Catetan Tahun 1946, dan Perjurit Jaga Malam, dalam pandangan Dami, "Adalah jelas sajak-sajak patriotik."

Pandangan khalayak awam tak berbeda dengan itu. Sampai sekarang, panggung perayaan Hari Kemerdekaan RI di kampung-kampung hampir tak pernah luput menampilkan "sajak-sajak patriotik" Chairil yang populer, seperti Aku dan Krawang-Bekasi. Bahkan kemungkinan besar, dalam ingatan masyarakat di Indonesia, hanya ada Chairil "sang penyair solider" yang berteriak, "Bagimu negeri... maju. Serbu. Serang. Terjang" (Diponegoro). Barangkali tak pernah terlintas dalam benak orang ramai bahwa ada Chairil "sang penyair soliter", dengan puisi yang mendesahkan kesadaran humanis tragis: "Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing" (Pemberian Tahu).

Tapi apa pendapat Chairil sendiri tentang "sajak-sajak patriotik" yang diciptakannya? Dalam sebuah kartu pos tertanggal 10 Maret 1944 yang dikirimkan kepada Jassin, Chairil menulis: "Begini keadaan jiwaku sekarang, untuk menulis sajak keperwiraan seperti Diponegoro tidak lagi," (Aku Ini Binatang Jalang, 1986). Faktanya, "sajak-sajak patriotik", yang tentunya dekat, bahkan lekat, dengan semangat kolektivisme, hanya mengisi sebagian kecil dari khazanah puisi Chairil. Sebagian besar puisi Chairil justru, meminjam ungkapan Sapardi, "mencerminkan sikap individualistis". Dan memang, analisis puisi Chairil yang dilakukan para sarjana sastra banyak yang menggarisbawahi "ideologi" individualisme sang penyair.

Chairil lebih banyak berpuisi tentang problem eksistensial yang dihadapi dengan heroik dan tragis oleh seorang individual sejati. Sang Aku dengan perih-megap-meriang banyak bertutur tentang hubungan asmara yang jalang dan/atau getir, kesepian, kehampaan hidup, pencarian religius, maut, dan pergolakan batin lainnya yang bersifat personal.

Tentu saja "keakuan" Chairil dalam puisi tidak mutlak harus dibaca sebagai "sikap individualistis" pribadi, tapi bisa juga dimaknai sebagai pernyataan eksistensial dari bangsa yang baru merdeka dan ingin mandiri, sebuah "bangsa muda menjadi" yang "baru bisa bilang 'aku'". Dami, misalnya, memasukkan puisi Aku dalam kelompok "sajak-sajak patriotik".

Sebaliknya, Sapardi mengatakan bahwa puisi yang sama mencerminkan sikap individualistis Chairil: "Boleh dikatakan berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis." Barangkali Dami membaca aku-lirik puisi Aku sebagai personifikasi bangsa Indonesia, suatu pars pro toto dari "kami bangsa Indonesia", sedangkan Sapardi membacanya sebagai manifesto ego-pribadi. Kedua tafsir sama-sama boleh jadi.

Namun, pembaca yang peka tentu sulit menghilangkan kesan bahwa "aku" dalam kebanyakan puisi Chairil cenderung muram, terkesan menjauh dari gelora semangat kolektif sebuah bangsa di tengah suasana revolusi. Kesan ini bahkan membayangi puisi dengan judul bergelora, Merdeka, yang oleh Dami juga digolongkan dalam "sajak-sajak patriotik". Setelah pada bait awal mengumandangkan kobar hasrat aku-lirik untuk "bebas dari segala" dan "merdeka", puisi dikunci dengan bait bernada sendu-pilu-kelu: "Ah! Jiwa yang menggapai-gapai, Mengapa kalau beranjak dari sini, Kucoba dalam mati."

Sebagian di antara "sajak-sajak patriotik" Chairil versi Dami ditulis pada tahun-tahun sesudah sang penyair menulis kartu pos yang menyatakan berhenti "menulis sajak keperwiraan": Catetan Tahun 1946 (1946), Cerita buat Dien Tamaela (1946), Persetujuan dengan Bung Karno (1948), Perjurit Jaga Malam (1948). Jika betul puisi-puisi tersebut adalah "sajak-sajak patriotik", berarti "keadaan jiwa" Chairil telah berubah dari kondisi dua tahun sebelumnya, sehingga ia memutuskan untuk kembali menulis "sajak keperwiraan".

Tapi ada kemungkinan lain: puisi-puisi tersebut bukan ditulis dengan maksud melayani patriotisme, melainkan untuk menunjukkan betapa susahnya sang penyair mempertahankan subyektivitas individualnya di tengah suasana revolusi yang menihilkan eksistensi pribadi, menyeret dan mengubah individu jadi massa, sekadar sekrup dalam sebuah mesin kolektif revolusioner raksasa bernama "bangsa Indonesia".

Ambil contoh Persetujuan dengan Bung Karno, puisi bernada patriotik-nasionalistis yang dicap Sapardi sebagai "sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang". Dalam puisi itu cukup jelas tergambarkan transformasi "aku" menjadi massa yang tersihir retorika Bung Karno yang terkenal mampu membius khalayak itu: setelah "sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu", "aku sekarang api aku sekarang laut".

Dengan mengoperasikan tafsir alternatif semacam ini, puisi-puisi "individualistis" Chairil pun dapat dibaca sebagai strategi intelektualisme defensif, ketika sang penyair membina suatu kehidupan introspeksi batin di seberang aktivitas revolusioner yang melimpah-ruah. Karena gelora revolusi mengancam subyektivitas individualnya, Chairil menulis puisi sebagai suatu mekanisme pertahanan diri, yang secara spiritual melindunginya dari ancaman "lenyap" terseret arus massa revolusioner.

Pada titik inilah, khazanah puisi Chairil kiranya dapat memberi pelajaran yang berharga bagi kita di sebuah era ketika otonomi kesadaran pribadi kian mudah terancam oleh gilasan mesin kekuasaan (politik, ekonomi, sosial, budaya, agama) yang berbahan bakar massa, seperti era kita sekarang.

Arif Bagus Prasetyo, Kritikus Sastra

(85) Deru Campur Debu Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta (1949)

Puisi: Roh Sebuah Gerakan

Puisi-puisi itu mengembuskan keberanian. Pada 1966, tatkala mahasiswa tertembak mati, sajak-sajak Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail adalah sebuah energi. Ketika pada 1978 kampus-kampus bergolak, sajak-sajak pamflet Rendra turut membakar, memberikan nyali kepada mahasiswa. "Aku tulis pamplet ini, karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah...." Adapun puisi Wiji Thukul paling populer dibacakan dalam rangkaian demonstrasi pada 1990-an: "Hanya satu kata: Lawan".

Inilah buku-buku puisi yang ikut berperan dalam mengkritik rezim. Kumpulan puisi yang mengikuti jejak, sajak-sajak si binatang jalang Chairil Anwar, yang kami anggap dari tahun 1945-an sampai kini pun mampu memberikan rasa perlawanan.

Selain itu, kami juga menyajikan komik yang dalam pandangan kami mampu membuat imajinasi anak-anak pada zamannya melayang pada sikap antikolonial.

Dari Perbendaharaan Lama

oleh: Taufik Abdullah

ALKISAH, tersebutlah perkataan bahwa Syekh Shaqiq Zahid memberikan nasihat kepada Sultan Harun al-Rasyid.

"Ya, Amirul Mukminin, ketahuilah olehmu yang mata air itu engkau juga dan segala menteri dan hulubalang dan lain daripada itu seperti segala sungai juga umpamanya. Jikalau mata air itu suci dan segala sungai itu keruh tiada mengapa. Tetapi jika mata air itu keruh dan segala sungai itu suci tiada berguna."

Maka sangatlah terharu Sultan mendengar perkataan ini karena Baginda merasakan juga akan kebenarannya. Syekh pun berkata lagi bahwa adapun "mata air" itu pangkal segala-galanya, karena ia adalah Sultan Khalifatur rahman dan Sultan Zilu'l-lahi fi-l alam. Sebab, jika tidaklah demikian halnya, "Raja itulah bayang-bayang iblis dan khalifah seteru Allah Ta'ala jua adanya." Tapi, walaupun raja itu "adil" dan kekuasaannya pun besar pula, "sungai-sungai" harus sadar bahwa raja tidak lebih daripada "hamba Allah", yang telah dikurniai Allah "kerajaan" dan "kebesaran". Karena itulah mereka harus menjaga kesucian atas kepercayaan yang telah diberikan Allah itu.

Dan Tajus-salatin atau "Mahkota Segala Raja-raja" adalah kitab yang dikarang untuk mengajarkan dan mengingatkan orang akan tanggung jawab kekuasaan, atau dengan kata lain, "kitab inilah tanda kurnia Allah Ta'ala akan kebajikan dunia dan akhirat". Kitab ini boleh dikatakan risalah teori politik Islam tertua yang dikarang dalam bahasa Melayu. Mungkin diterjemahkan dari bahasa Persia, tapi tampaknya kitab ini adalah karya asli yang dipengaruhi Persia.

Kitab ini ditulis pada 1603 di Aceh Darussalam oleh Buchari al-Juhara. Penulisan kitab tersebut pada tahun ini bukanlah suatu kebetulan sejarah belaka, karena di masa itu Aceh Darussalam berpuluh tahun dilanda kemelut takhta. Para sultan bisa bertahan beberapa lama saja-ada yang mati terbunuh, ada yang dimakzulkan, dan bahkan ada juga yang dipenjarakan. Tidaklah salah kalau dikatakan bahwa Tajus-salatin adalah kitab yang paling berpengaruh di bumi Nusantara ini. Menurut Babad Yogya, sebagaimana dikutip Peter Carey, kitab ini adalah bacaan kegemaran Hamengku Buwono I, sang pendiri Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menasihati saudaranya, Hamengku Buwono IV, agar mempelajari kitab yang telah dibacanya ini.

"Tajus-salatin," kata Carey, "adalah teks pertama yang disalin di Keraton Yogyakarta, setelah Perang Jawa-suatu periode yang menunjukkan suasana renaisans dalam penulisan babad setelah perampokan besar-besaran oleh Inggris pada 1812." Selama abad ke-19 kitab ini empat kali diterjemahkan ke bahasa Jawa. Jadi tak perlu heran kalau ada tulisan Ronggowarsito yang membayangkan pengaruh Tajus-salatin.

Sudah tentu pengaruh kitab ini sangat besar di daerah yang berbahasa Melayu. Konon Sultan Johor menolak ajakan Inggris ikut berdagang di Singapura, yang baru "dijualnya", karena terpengaruh oleh ajaran moral kitab ini. Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, yang biasa dianggap sebagai tokoh peralihan sastra Melayu "klasik" dan "baru", mengecam para raja di Tanah Semenanjung yang dianggapnya telah dekaden dan ketinggalan zaman . "Maka sebab itu," tulisnya, "patutlah segala raja-raja itu menaruh kitab Tajus-salatin dan memilih akan dia setiap hari."

Kitab ini dimulai dengan doktrin keagamaan, "Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya." Ada pula peringatan bahwa hidup ini tak ubahnya seperti "mimpi" saja, "Dan apabila ia jaga daripada tidurnya, suatu pun tiada diperolehnya daripada mimpi itu," karena dunia ini tidak lebih daripada "pemberhentian" atau "rumah" saja. Sekarang masuk, besok akan keluar. Dengan mengenal diri sendiri, manusia bisa mengenal Allah, maka ia pun menyadari juga hakikat ciptaan-Nya-dunia hanyalah tumpangan menjelang maut.

Jika saja ajaran kitab ini disederhanakan sekali, tampaklah bahwa segala bentuk dan corak kekuasaan semestinya bertumpu pada satu ajaran fundamental, yaitu terwujudnya keadilan. Tapi apakah "adil" itu? Maka dikatakanlah bahwa "yang adil itu kemuliaan agama, juga buat Sultan dan kebajikan sekalian manusia juga". Sesungguhnya bagi kekuasaan "pekerjaan adil adalah hikmat daripada Allah". Perbuatan adil sang penguasa sama dengan 60 kali beribadah haji.

Secara moral dan agama, legitimasi atau daulat kekuasaan ditentukan oleh perbuatan dan pancaran keadilan dari sang penguasa. Tanpa adanya keadilan, maka secara moral keabsahan kekuasaan itu telah lenyap-"hilang daulat daripada aniaya". Atau dalam rumusan yang lebih umum, "Raja adil raja disembah, raja tak adil raja disanggah." Tapi bagaimanakah bentuk "sanggahan" yang dibenarkan terhadap ketidakadilan itu? Maka salah satu versi Tajus-salatin pun mencoba menjawabnya dalam bentuk sebuah dialog. Penguasa yang tak adil itu sebenarnya "telah berpaling daripada hukum Allah dan menyangkal syariat itu seteru Allah Ta'ala dan seteru Rasul Allah. Maka haruslah kami berseteru dengan seteru Allah Ta'ala itu".

Jadi, kalau begitu dibolehkankah melakukan tindakan "durhaka" terhadap "daulat" atau berontak? Tajus-salatin pun memaparkan kisah Nabi Musa yang menyelamatkan umatnya dari aniaya Firaun. Musa dan umatnya selamat, tapi Firaun dihukum Allah ketika laut yang terbelah kembali menyatu. Jadi "sanggahan" tidak bisa disalin menjadi "durhaka" kepada "daulat". Hukuman akhir akan ketidakadilan ada di tangan Allah.

Pandangan ini juga diajarkan oleh Sejarah Melayu, kitab termasyhur yang menguraikan sejarah Malaka. Dikisahkanlah bahwa ketika Bendahara dan para pengikutnya mengetahui bahwa ia dan menantunya, Tun Ali, akan dibunuh Sultan Mahmud, ia melarang anak buahnya membela diri, "Hai, Hasan hendak membinasakan nama orang tua-tuakah? Karena adat Melayu, tiada pernah durhaka." Maka Bendahara dan pengikutnya pun dibunuh. Keinginan Sultan mempersunting Tun Fatimah, janda Tun Ali yang putri Bendahara, tercapai. Tapi sebuah ajaran terselip juga. Sultan Mahmud, yang telah mengangkat anaknya, Sultan Ahmad, sebagai penguasa, harus merasakan apa artinya kekalahan. Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511). Rupanya hukuman Allah atas ketidakadilan datang dari kekuatan luar. Dan pusat kerajaan pun harus pindah ke Johor.

Kisah pun dilanjutkan oleh Tuhfat an-Nafis, kitab yang sangat bagus yang ditulis Raja Ali Haji pada awal abad ke-19. Dikisahkanlah bahwa pada suatu saat Sultan Johor bertindak terlalu sewenang-wenang dan zalim. Sekali peristiwa, ketika ia pulang dari masjid, seorang hulubalang menikamnya, maka sejak itu ia pun diingat sebagai Sultan Mahmud Mangkat Didulang. Karena ia tidak meninggalkan keturunan, dinasti Malaka pun dianggap berakhir pula (1699) dan Bendahara ditabalkan sebagai sultan. Tapi beberapa waktu kemudian Raja Kecil, yang dibesarkan di Pagaruyung, datang ke Bintan dan menyatakan dirinya sebagai anak Sultan Mahmud yang dapat diselamatkan. Kini ia menuntut haknya. Sultan Bendahara terusir dari istana dan bahkan dibunuh di Pahang. Hanya, bukankah dengan begini Raja Kecil telah durhaka juga? Ketika itulah putra Sultan yang telah terbunuh itu mengadakan aliansi dengan Daeng Perani, bangsawan Bugis, lima bersaudara. Raja Kecil pun terusir dari Riau-Johor dan mendirikan Kerajaan Siak Sri Indrapura di Pulau Sumatera.

Hikayat Hang Tuah, kisah, bahkan mitos, kepahlawanan yang sangat terkenal yang dianggap terjadi di masa kejayaan Malaka, menjadikan "daulat" yang tidak adil sebagai problem. Karena Sultan percaya saja akan hasutan bahwa Hang Tuah telah mengkhianatinya, ia pun memerintahkan Bendahara membunuh laksamana yang setia ini. Tapi Bendahara hanya menyuruh Hang Tuah menyingkir. Hang Jebat, teman akrab Tuah, tidak bisa menerima kezaliman ini, ia pun men-"durhaka", bahkan berhasil mengusir Sultan dari istana. Ketika itulah Sultan menyesal, "Andai kata si Tuah masih ada." Bendahara mengatakan bahwa laksamana yang setia itu masih hidup.

Hang Tuah pun datang untuk menghadapi kedurhakaan temannya. Dalam perang tanding kedua sahabat itu, akhirnya Hang Jebat kalah. Sebelum mengembuskan napas terakhir, ia sempat berkata dengan kesedihan yang mendalam, "Aku lakukan ini karena engkau telah dizalimi, Tuah." Dengan sedih Hang Tuah menatap wajah temannya dan matanya menerawang entah ke mana (tapi ini adalah adegan terakhir film Hang Tuah yang diperankan P. Ramlee).

Ketika kisah-kisah yang sempat juga mempengaruhi kesadaran politik ini dikenang, batas antara "sanggahan" dan "durhaka" tertanyakan juga. Dalam suasana apakah "sanggahan" berhenti pada dirinya saja? "Kezaliman" seperti apakah yang bisa diselesaikan tanpa tergelincir pada "kedurhakaan"? Jadi mestikah diherankan kalau kemudian ketika hasrat untuk mendirikan negara-bangsa telah ternukilkan dalam hati, sistem "demokrasi" yang sehat pun ditampilkan ke muka. Demokrasi dianggap bukan sekadar pemenuhan hasrat modern, tapi terlebih lagi dirasakan sebagai penghambat jangan sampai "sanggahan" menyeberang menjadi "durhaka", ketika "daulat" telah menjadi zalim. Kalau penyeberangan itu terjadi, yang dihasilkannya hanyalah duka nestapa bagi semua. Wallahualam bissawab.

Taufik Abdullah Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(75) Perjuangan Kita Publikasi: Berbentuk pamflet mulai 14 November 1945. Pusat Dokumentasi Politik Guntur menerbitkan ulang pada 2001.

SUTAN Sjahrir menulis dalam salah satu pamflet: "Pemerintahan harus di-demokratiseer." Sesudah Proklamasi dikumandangkan, pamflet tersebut makin sering ditulis. Menurut Sjahrir, risalah itu adalah ikhtiar mengupas perkara pokok dalam perjuangan.

Perjuangan Kita membuat Sjahrir tampak berseberangan dengan Soekarno, yang terobsesi pada persatuan dan kesatuan. Sjahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."

Sjahrir banyak mengkritik sejumlah elite yang dianggapnya tidak pantas duduk dalam pemerintahan. "Hal itu terkait hubungan mereka dengan pihak penjajah Jepang," kata Ahmad Mansur Suryanegara, sejarawan Universitas Padjadjaran, Bandung. Pamflet Sjahrir membuat kalangan muda menjadi tergugah nasionalismenya.

(76) Melawan Melalui Lelucon Publikasi: Majalah Tempo 1975-1983. Kumpulan artikel diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo tahun 2000.

KUMPULAN tulisan Abdurrahman Wahid di majalah Tempo ini terentang antara tahun 1975 dan 1983. Temanya mulai dari politik, sosial, ekonomi, budaya, Islam, sampai pesantren. Pada periode itu, Orde Baru makin menunjukkan ototnya. "Pemerintah melakukan deideologisasi Islam," kata Ahmad Suaedy, Direktur The Wahid Institute.

Soeharto mengerangkeng ruang gerak organisasi Islam, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kritik terhadap Orde Baru ibarat tabu pada masa itu. Untuk menyiasati, Abdurrahman Wahid menyelipkan humor dalam kolom-kolomnya. "Humor dalam tulisan ini mencairkan kemarahan mereka yang dikritik," kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mohamad Sobary. Humor memang kekuatan Abdurrahman.

Menurut Sobary, kolom Abdurrahman disesuaikan dengan semangat majalah berita ini. Tulisan cucu pendiri Nahdlatul Ulama Hasyim Asy'ari itu melompat jauh dari tipikal pemikiran kiai desa serta para sarjana ketika itu. Walau masih dalam tataran grand design dan bukan implementasi, kata Sobary, di sinilah letak kekuatan Abdurrahman Wahid.

(77) Polemik Soetatmo versus Tjipto Publikasi: Pamflet berjudul Nota van Schrieke. Dibukukan Yayasan Obor Indonesia pada 1986.

JULI 1918, dalam Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa di Solo, Jawa Tengah. Dua priayi ternama berdebat sengit mengenai corak nasionalisme yang diidamkan. Soetatmo Soerjokoesoemo gencar menawarkan nasionalisme Jawa versus Tjipto Mangoenkoesoemo yang lebih sreg dengan nasionalisme Hindia.

Bagi Soetatmo, suatu bangsa harus memiliki landasan bahasa dan kebudayaan yang kuat. Jawa, kata tokoh yang mewakili Boedi Oetomo di Volksraad, memiliki semua itu. Menurut dia, nasionalisme Hindia tidak memiliki landasan dan terjebak pada produk pemerintah kolonial Belanda. Tjipto tidak mau kalah. Dia menegaskan, nasionalisme Jawa mengabaikan unsur perkembangan sejarah dunia. Jawa, katanya, telah kehilangan kedaulatan dan hanya merupakan bagian dari Hindia yang dijajah Belanda.

Perdebatan dua tokoh itu diumumkan dalam selebaran berjudul Javaansche of Indische Nationalisme. Selebaran tersebut menjadi nomor ekstra majalah Wederopbouw. Menurut Budiawan, ahli ilmu sejarah dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, perdebatan ini kalah pamor dibanding polemik kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana yang mempertentangkan Timur dan Barat. Polemik Tjipto dan Soetatmo cuma perdebatan dua aliran pikiran yang berbeda.

(78) Polemik Kebudayaan Publikasi: Majalah Pujangga Baru (1935)

ARTIKEL berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru memprovokasi kaum intelektual pada 1935. Sutan Takdir Alisjahbana, si penulis artikel, mengusulkan Indonesia mengadopsi elemen Barat jika ingin menjadi bangsa maju. Yakni, intelektualisme, egoisme, individualisme, dan seni budaya Barat. Kebudayaan Indonesia baru, katanya, harus lepas dari budaya masa lalu.

Sanusi Pane, Adinegoro, Dr M. Amir, dan Sutomo mendebat pemikiran Takdir. Sanusi Pane yang pro-ketimuran menganggap Takdir kebarat-baratan dan tidak menghargai kearifan lokal. Pada 1948, Achdiat K. Mihardja mengumpulkan perdebatan itu dalam satu buku berjudul Polemik Kebudayaan.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Sapardi Djoko Damono, menilai pemikiran Takdir harus ditinjau kembali jika Indonesia ingin maju. "Bukan sekadar meniru, tapi kita harus bisa mencuri gaya, teknologi, dan pemikiran Barat," ujarnya.

Menurut budayawan Nirwan Dewanto, Polemik Kebudayaan masih aktual untuk diperdebatkan hingga saat ini. "Esai-esai Takdir saat Polemik Kebudayaan akan 'menghantui' siapa saja yang memikirkan sumber penciptaan kebudayaan Indonesia," kata Nirwan.

(79) The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States Publikasi: Basic Book, New York (1963)

AWAL 1950-an, Clifford Geertz melakukan riset di Indonesia untuk menjadi bahan disertasi doktor bidang antropologi. Pada 1963, terbit artikelnya berjudul The Integrative Revolution, yang menggambarkan Indonesia sedang dalam proses menjadi suatu bangsa. Upaya itu terganjal oleh sifat etnosentris dan kedaerahan. Padahal budaya daerah bisa dimanfaatkan sebagai sumber pengetahuan lokal guna memajukan bangsa.

Untuk mengelola kemajemukan, kata Geertz, perlu adanya revolusi integrasi. "Bisa saja Geertz berharap ada revolusi, tapi yang terjadi hanyalah involusi," kata Irwan Abdullah, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Tesis Geertz, yang menggambarkan lingkaran kemiskinan di pedesaan Jawa, sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pengambil kebijakan di Indonesia.

(80) Defisiensi Vitamin B1: Artikel tentang Eijkman dan Hasil Penelitiannya Publikasi: Temuannya memenangkan Nobel pada 1929

PENYAKIT beri-beri mewabah di Nusantara mulai 1880. Pemerintah Belanda mengirim tim ilmuwan ke tanah jajahan. Salah satunya Christiaan Eijkman. Dan mereka menemukan penyebab wabah, yakni defisiensi vitamin B1. Temuan ini mematahkan kesimpulan Robert Koch-penemu penyebab penyakit tuberculosis-bahwa semua penyakit disebabkan bakteri. Eijkman mendapat hadiah Nobel pada 1929 untuk temuan ini. Hasil penelitiannya, Beri-Beri en Voeding (Beri-beri dan Makanan"), dimuat di majalah kedokteran di Amsterdam, Nederlandsch Tijdschrift voor Geneeskunde, pada 1898.

Jerih payah Eijkman memicu penelitian di bidang kedokteran dan penyakit di Batavia pada masa itu. Pemerintah mendirikan Sekolah Kedokteran STOVIA yang kelak meluluskan sejumlah tokoh kebangsaan, antara lain Sutomo dan Tjipto Mangoenkoesoemo.

Menurut Sangkot Marzuki Batubara, Direktur Eijkman Institute for Molecular Biology, Bandung, temuan Eijkman dan STOVIA meningkatkan rasa percaya diri bangsa. Nusantara kemudian menjadi pusat penelitian penyakit tropis sampai sekarang.

(81) Student Indonesia di Eropa Publikasi: Harian Bintang Timoer 1926-1928. Kepustakaan Populer Gramedia membukukannya pada 2000

PERHIMPUNAN Indonesia boleh dikatakan Indonesia kecil yang terletak di tengah lautan besar bernama Eropa." Kutipan ini adalah bagian dari laporan jurnalistik Abdul Rivai untuk koran Bintang Timoer yang terbit di Batavia. Pada November 1926-Mei 1928, Rivai menjadi koresponden harian tersebut di Belanda.

Sebagai wartawan, dia menulis 41 artikel mengenai kehidupan mahasiswa Indonesia di Belanda. Tulisannya dapat membuka hati bangsa Indonesia terhadap daya upaya Perhimpunan Indonesia.

Sejarawan Hilmar Farid Setiadi menjelaskan laporan Rivai membuka cakrawala berpikir orang-orang di Tanah Air bahwa ilmu yang digunakan Belanda untuk menjajah bisa dipelajari.

(82) Pranakan Arab dan Totoknja Publikasi: Harian Matahari, Semarang (1934)

NAMA lengkapnya Abdurrahman Baswedan. Keturunan Arab yang lebih dikenal sebagai A.R. Baswedan ini pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Dia juga pernah menjadi Menteri Muda Penerangan Kabinet Sjahrir.

Sosok Baswedan mulai terkenal ketika harian Matahari, terbitan 1 Agustus 1934 di Semarang, memuat tulisannya tentang nasionalisme kaum peranakan Arab. Dia mengimbau mereka bersatu membantu perjuangan Indonesia. Dua bulan kemudian dia memelopori Sumpah Pemuda Keturunan Arab. Isinya persis sama dengan Sumpah Pemuda 1928. Baswedan juga menjadi ketua Partai Arab Indonesia yang bertujuan Indonesia merdeka.

Awalnya, banyak yang menentang seruan Baswedan. "Karena hal ini dianggap sebagai ajakan untuk turun kelas, dari kelas dua ke kelas tiga," kata Anies R. Baswedan, Rektor Universitas Paramadina sekaligus cucu A.R. Baswedan. Di masa itu, memang terjadi kesenjangan pandangan dan sikap antara kaum tua atau totok Arab dengan kalangan mudanya.

(83) Masalah Tionghoa di Indonesia: Asimilasi vs Integrasi Publikasi: Mingguan Star Weekly 6 Februari 1960-25 Juni 1960. Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran membukukannya pada 1999

MINGGUAN Star Weekly menjadi saksi sekaligus medan perdebatan tokoh Tionghoa yang menganut paham asimilasi dan integrasi. Polemik ini dipicu perjanjian dwikewarganegaraan yang ditandatangani Republik Rakyat Cina dan Indonesia. Sebagai akibat perjanjian itu, sejak 20 Januari 1960 orang-orang keturunan Tionghoa harus memilih menjadi warga Indonesia atau Cina.

Sepanjang 6 Februari sampai 25 Juni 1960, mingguan itu menurunkan tajuk rencana, artikel, dan liputan tentang isu sensitif ini. Sejumlah tokoh seperti Ong Hok Ham, Yap Thiam Hien, dan Lauw Chuan Tho alias Junus Jahja berdebat tentang konsep asimilasi atau integrasi.

Mereka yang setuju gagasan asimilasi berharap keturunan Tionghoa berbaur sehingga lebih mudah diterima warga pribumi. Sebaliknya, yang setuju konsep integrasi menuntut etnik Tionghoa diakui sebagai salah satu suku Indonesia dan tetap mempertahankan kebudayaannya.

Menurut Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Yoseph Adi Prasetyo, konsep asimilasi yang diusung Junus Jahja dan kawan-kawan sudah tidak relevan pada masa sekarang. Karena masyarakat Tionghoa sudah mempunyai kebebasan, baik secara ekspresi kebudayaan maupun identitas.

(84) Penduduk dan Kemiskinan Penelitian: Studi kasus di pedesaan Jawa. Diterbitkan oleh Bhratara Karya Aksara (1976)

PADA awal Orde Baru, peneliti Universitas Gadjah Mada, Masri Singarimbun dan D.H. Penny dari Australia, melakukan penelitian di wilayah pedesaan Jawa. Mereka menemukan fakta bahwa kemiskinan timbul karena penduduk terlalu banyak sementara lahan semakin sedikit. Akibatnya, ada tenaga berlebih di sektor pertanian.

Menurut antropolog Universitas Gadjah Mada Sjafri Sairin, buku inilah yang pertama kali secara jujur dan berani mengatakan kemiskinan memang terjadi dan ada di Indonesia. "Dulu menyebut kemiskinan seolah merongrong pemerintah," katanya. Buku itu juga menyadarkan banyak akademisi untuk mengkaji kemiskinan secara intensif. Teori-teori yang menjelaskan ihwal kemiskinan lantas berkembang dan diperkaya dengan teori dari luar. Antara lain budaya kemiskinan oleh Oscar Lewis.

Tulisan Masri membuat isu kependudukan menjadi perhatian banyak peneliti dan akademisi berbagai universitas. "Pusat studi kependudukan kemudian menjamur di banyak universitas," Sjafri menambahkan.

Merogoh Hati Si Bung

"Kita sama tua dengan revolusi. Kita anak kandung revolusi! Di manakah Harian Rakjat dan golongannja pada petjahnja Revolusi 45 dan waktu berhadapan dengan kolonialisme Belanda?"...

PERNYATAAN gagah dan tudingan panas yang dimuat surat kabar Merdeka pada "Djumat, 3 Djuli 1964" itu mengarah ke Harian Rakjat. Ketika itu, silat kata di kedua surat kabar tersebut sudah hampir berlangsung satu bulan. Nyaris menggapai klimaks.

Sehari sebelumnya, Harian Rakjat memuat tulisan panjang bertajuk "Merdeka Sudah Jelas Sekali Membela Tuan Tanah". Lewat tulisannya itu, koran corong Partai Komunis Indonesia ini menangkis tudingan Merdeka yang menganggapnya sebagai "kaum rebelli" alias pembangkang.

Sebutan pembangkang itu bersumber dari tindakan Barisan Tani Indonesia, sayap Partai Komunis Indonesia, yang gencar mengkampanyekan "aksi sepihak" di berbagai daerah. Yang disebut aksi sepihak ini adalah merebut tanah dari tuan tanah atau petani kaya dan membagikannya ke petani miskin.

Dalam pembelaannya, Harian Rakjat yang dipimpin Njoto, Naibaho, dan Soepeno, membalas: "Kalau djiwa kita sudah tidak boleh lagi "djiwa rebelli", dan kalau menuntut pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dengan segala djalan djuga tidak boleh, maka kita harus bertanja kepada harian itu-Apakah menurut Merdeka revolusi sudah selesai?

***

SILANG sengketa Merdeka yang condong ke Partai Nasional Indonesia dengan Harian Rakjat milik Partai Komunis memang telah berurat berakar. Saling balas kata keduanya tentu tidak bisa dipisahkan dari persaingan politik kedua partai haluan mereka.

Bagi Partai Nasional, gerak-gerik Partai Komunis ini memang semakin mengkhawatirkan. Padahal, semula diperkirakan kekuatan partai ini sudah tertumpas habis setelah pemberontakan Madiun 1948. Namun dalam pemilihan umum September 1955, Partai Komunis tampil mencengangkan.

Partai yang dipimpin D.N. Aidit ini menjadi partai terbesar keempat dengan 16,4 persen suara. Suara mereka memang di bawah Partai Nasional Indonesia, yang meraup 22,3 persen. Tapi posisi Partai Komunis ini jauh lebih bagus ketimbang Partai Sosialis Indonesia yang dianggap berpengaruh di elite pemerintahan tapi hanya kebagian 2 persen suara.

Menurut M.C. Ricklefs, sejarawan dari Universitas Monash, Australia, dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern, penampilan Partai Komunis ini mengejutkan banyak elite politik di Jakarta dan membuat Partai Nasional mulai cemas. Perebutan pengaruh antara Partai Nasional, Masyumi, Partai Komunis, Nahdlatul Ulama, dan juga militer, semakin sengit. Hal itulah yang membuat sistem parlementer ketika itu sulit bertahan. Kabinet muncul dan jatuh bergantian.

Lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Sistem parlementer tutup buku, dan pengaruh politik Soekarno kembali menguat.

Pidato-pidato Presiden Soekarno yang penuh jargon menjadi kebijakan negara. Orasi 17 Agustus 1959 yang bertajuk "Penemuan Kembali Revolusi Kita", misalnya, kemudian ditetapkan menjadi garis besar haluan negara. Pidato itulah yang kemudian disebut Manifesto Politik.

Kata Soekarno, "... Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita-sesudah pengalaman pahit hampir sepuluh tahun-kembali kepada Undang-Undang-Dasar 1945, Undang-Undang-Dasar Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita kembali kepada djiwa Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun penemuan kembali Revolusi...."

Dalam menggelorakan revolusi itu, Partai Komunis menjadi sekutu terdekat Presiden Soekarno. Di mata Herbert Feith, dalam artikelnya Dinamika Demokrasi Terpimpin, langkah Soekarno merangkul Partai Komunis ini juga untuk mengimbangi pengaruh militer yang terus menguat. Di sisi lain, Partai Komunis memanfaatkan lengan kekuasaan Soekarno untuk menangkis "serangan" angkatan darat dan seteru-seteru politiknya. Antara Soekarno dan PKI terciptalah simbiosis yang nyaris sempurna.

Partai Nasional, kekuatan politik yang pernah sedemikian dekat dengan Soekarno, agak diabaikannya. Menurut pengamat politik Nazaruddin Sjamsudin, Bung Karno menganggap partai ini tidak memiliki semangat revolusioner. Partai Nasional juga tidak punya alasan cukup kuat untuk berseteru dengan militer.

Dalam situasi seperti itulah polemik Merdeka melawan Harian Rakjat lahir. Masing-masing berusaha meraih hati Bung Karno dan mengklaim sebagai Manipolis (Manifesto Politik) sejati. "Pada mulanya kita Manipol, hingga akhir Manipol.... Dus kita adalah Manipolis sejati," Merdeka menulis.

Tak hanya mengklaim sebagai Manipolis sejati, Merdeka juga menuding Harian Rakjat dan Partai Komunis menyembunyikan tujuan sebenarnya. Merdeka meragukan kesetiaan Partai Komunis terhadap Manifesto Politik. Sebab partai berlambang palu arit itu sudah mempunyai ideologi, yakni Marxisme-Leninisme.

Klaim Merdeka itu diledek Harian Rakjat. Menurut Njoto dan kawan-kawannya, pernyataan Merdeka itu justru kontradiktif. "Bung Karno sendiri bilang Manipol itu suatu proses yang panjang," tulis Njoto. "Dus, tidak mungkin sejak lahir sudah menjadi Manipolis."

Valina Singka Subekti, pengamat politik Universitas Indonesia, dalam artikelnya Sukarno dan Marhaenisme, sepakat dengan penilaian Merdeka. Menurut Valina, Partai Komunis sebenarnya tidak mendukung Soekarno. Bahkan, kendati Harian Rakjat royal mengumbar puja-puji setinggi langit kepada Bung Karno, Aidit dan barisannya diam-diam berniat mengganti ideologi negara dan suatu ketika akan melengserkan Si Bung.

Rabu, 8 Juli 1964. Polemik Merdeka lawan Harian Rakjat dipaksa tutup. Sehari sebelumnya, penanggung jawab redaksi kedua koran, Hiswara Darmaputera di kubu Merdeka dan Dahono mewakili Harian Rakjat, dipanggil Kejaksaan Agung.

Jaksa Busono, yang mewakili Jaksa Agung, meminta kedua surat kabar mengakhiri silat kata. Menurut dia, polemik itu dapat membahayakan "persatuan tenaga-tenaga revolusioner", yang sangat dibutuhkan dalam kampanye pengganyangan Malaysia. Kata jaksa Busono, "Itu bisa menyebabkan rakyat tidak bersatu pikiran mengenai revolusi."

(74) Polemik Manifesto Politik Publikasi: Harian Rakjat dan Merdeka (3-8 Juli, 1964)

Pergolakan yang Tak Pernah Padam

BUKU kecil berwarna hijau dengan gambar kepalan tangan yang gempal di sampulnya itu saya kenal pertama kali sewaktu masih belajar di pesantren pada awal 1980-an. Saya melihat sejumlah santri dengan sembunyi-sembunyi membaca buku itu. Agar tak ketahuan, mereka menaruh buku itu di sela-sela kitab berbahasa Arab. Dari luar, mereka tampak seolah-olah membaca kitab, padahal sedang menikmati sebuah buku yang dianggap "berbahaya" oleh banyak tokoh Islam.

Buku Pergolakan Pemikiran Islam yang berisi catatan harian Ahmad Wahib itu sudah menimbulkan "pergolakan" yang hebat di kalangan Islam sejak diterbitkan oleh LP3ES untuk pertama kali pada 1981. Kegemparan yang ditimbulkan buku ini melanjutkan heboh serupa yang disulut oleh pidato Nurcholish Madjid pada Januari 1970. Baik Wahib maupun Cak Nur lahir dari rahim yang sama, yakni Himpunan Mahasiswa Islam, organisasi mahasiswa Islam terbesar saat itu.

Gagasan Wahib dan Cak Nur memang menimbulkan kegemparan karena menabrak sejumlah doktrin yang sudah dianggap selesai. Sebaliknya, di mata anak-anak muda seperti mereka, doktrin-doktrin itu justru dipandang sebagai kebuntuan. Keprihatinan Wahib dan Cak Nur sebetulnya sederhana: kenapa Islam berdiri di luar perubahan-perubahan sosial yang terjadi, tanpa bisa memberikan arahan? Inti keprihatinannya satu: kontekstualisasi-bagaimana Islam nyambung dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi, bukan agama antik yang hanya peduli pada siksa kubur, neraka, surga, dan bidadari.

Jika kita lihat sosiologi umat Islam pada 1970-an, akan terlihat bahwa pergolakan dalam tubuh umat Islam itu adalah sebentuk reaksi terhadap perubahan politik dan sosial yang begitu cepat saat itu. Pemerintah Orde Baru sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dan modernisasi. Kalau kita telaah perdebatan Islam pada periode itu, tema modernisasi (juga westernisasi) menjadi topik utama yang selalu dipercakapkan dengan sengit oleh para aktivis muslim. Yang menarik, tema ini menjadi perdebatan keras terutama di kalangan intelektual Islam "modernis" yang mewarisi tradisi Partai Masyumi. Kalau kita baca catatan harian Wahib, akan kelihatan betapa sejumlah anak muda seperti dirinya dan Cak Nur kecewa terhadap kalangan "sepuh" di Masyumi yang bersikap terlalu "ideologis" dalam memandang perubahan-perubahan yang terjadi.

Tak aneh jika salah satu tema utama yang menjadi keprihatinan anak-anak muda seperti Wahib adalah pertanyaan berikut ini: apakah Islam sebuah ideologi atau bukan? Jawaban Wahib jelas: mereka menampik Islam sebagai ideologi. Sikap ini sebetulnya mudah dipahami. Dalam pandangan Wahib, ideologi cenderung tertutup. Ini tak sesuai dengan visinya tentang Islam sebagai agama yang terus bergerak sesuai dengan perkembangan sejarah.

Gagasan Wahib ini sejajar dengan pandangan para pemikir Islam liberal di segala penjuru dunia hingga sekarang: mereka menolak pandangan kaum revivalis, seperti Maududi, Qutb, dan Khomeini, yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi yang dapat menandingi ideologi sekuler seperti kapitalisme dan komunisme.

Bagi Wahib, Islam bukanlah ideologi, melainkan agama yang selalu membuka diri terhadap segala bentuk interpretasi. Jika Islam menjadi ideologi, ia akan cenderung melakukan fiksasi, yakni mengunci diri sebagai formula-jawaban (al-hall) yang dianggap valid dan relevan untuk selama-lamanya, seraya menolak kemungkinan tafsir baru.

Saya menduga catatan harian Ahmad Wahib telah menjadi bahan bacaan bagi puluhan ribu anak muda Islam di seluruh Indonesia. Bersama catatan harian lain milik Soe Hok Gie, yang juga diterbitkan LP3ES, catatan harian Wahib merupakan semacam "katekismus" atau bacaan wajib bagi sejumlah aktivis Islam pada 1980-an dan 1990-an.

Buku itu memang tidak mengetengahkan pemikiran yang sudah matang. Apa yang tertulis di sana adalah lintasan ide yang-meminjam istilah yang populer pada 1960-an-"belum sudah", gagasan yang masih dalam proses. Dulu banyak kalangan, termasuk Profesor H.M. Rasjidi (pengkritik paling gigih gerakan pembaruan Cak Nur), yang menyesalkan kenapa buku yang berisi gagasan yang belum selesai itu diterbitkan dan diketengahkan kepada umat.

Menurut saya, daya pikat buku Wahib justru terletak pada kebelumsudahannya itu. Ia merangsang anak-anak muda untuk mempertanyakan hal-hal yang telah dianggap selesai dalam Islam, bukan buru-buru mencari jawaban. Ia istimewa justru karena mengajak generasi baru untuk menjelajah, bukan mengulang formula jawaban yang sudah tersedia di kalangan umat selama ini.

Magnet buku Wahib sekarang mungkin sudah mulai pudar. Anak-anak muda yang tak puas dengan interpretasi kaum ortodoks Islam bisa menimba ilham dari pemikir Islam kritis dari berbagai penjuru dunia. Mereka bisa membaca Mohamed Arkoun, Hassan Hanafi, Abdullahi Ahmed an-Na'im, Khaled Abou el-Fadl, Muhammed Abed al-Jabiri, dan sebagainya, selain para pemikir muslim Indonesia sendiri yang datang setelah Wahib.

Tapi kita tak boleh melupakan jejak panjang yang telah ditinggalkan catatan harian Wahib ini di kalangan ribuan aktivis muslim di Indonesia. Meski buku Wahib sudah tak lagi dibaca luas sekarang, kegelisahan dan keberaniannya untuk mempersoalkan doktrin-doktrin Islam yang telah mapan terus diwarisi oleh generasi muda Islam hingga saat ini. Pergolakan Wahib tak pernah padam.

Sejak dulu, kalangan ortodoks Islam selalu ingin menyingkirkan jauh-jauh keragu-raguan seperti tecermin dalam pikiran-pikiran Wahib itu-keraguan yang di mata mereka hanya akan mengganggu kemurnian akidah umat. Tapi usaha itu tampaknya tak akan pernah bisa berhasil. Pergolakan demi pergolakan terus muncul dalam tubuh umat Islam-sesuatu yang, bagi saya, menandakan gejala yang positif.

Pergolakan itu menandakan bahwa umat Islam terus-menerus mencari formula baru yang tepat untuk menjawab keadaan yang terus berubah. Islam memang agama "sempurna", seperti sering dikatakan oleh para juru dakwah. Tapi kesempurnaan Islam bukan barang yang telah jadi, melainkan sebaliknya: sebuah proses yang melibatkan keberanian untuk terus menafsir ajaran-ajaran yang sudah telanjur dianggap mapan.

Kita pantas mengenang buku Wahib ini sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah perdebatan ide-ide Islam di Indonesia. Bukan hanya itu. Buku ini juga layak kita kenang dalam proses "membangsa" (nation building) secara keseluruhan. Sudah tentu, proses membangsa terjadi tidak saja melalui pidato yang gemuruh dari Bung Karno atau indoktrinasi Pancasila seperti pernah dilakukan Orde Baru dulu. Proses membangsa juga bisa terjadi melalui sebuah catatan harian seperti ditulis oleh Wahib itu.

Ulil Abshar Abdalla, Mahasiswa philosophiae doctor kajian Islam di Universitas Harvard dan peneliti di Freedom Institute, Jakarta.

(73) Pergolakan Pemikiran Islam Penerbit: LP3ES, Jakarta (1981)

Bertukar Gagasan di Jalan Sunyi

Dua kepala lebih baik dari satu.

Dimulai dari Soetatmo Soerjokoesoemo yang beradu gagasan soal nasionalisme dengan Tjipto Mangoenkoesoemo pada 1918. Lalu Sanusi Pane dan kawan-kawan berdebat soal kebudayaan dengan Sutan Takdir Alisjahbana pada 1935. Hampir 30 tahun kemudian, Njoto berpolemik dengan Burhanudin Muhammad Diah soal manifesto politik Soekarno.

Di sudut lain, tak hirau oleh tempik sorak perdebatan, ada yang memilih jalan sunyi: menulis catatan harian. Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib, untuk menyebut dua di antaranya. Tapi pengaruh catatan itu merentang jauh bertahun-tahun kemudian, melampaui zamannya. Semuanya, langsung atau tidak, membentuk konsep "Indonesia" di kepala kita.

Catatan Abadi Para Demonstran

HASIL suntingan Ismid Hadad dan Fuad Hashem sudah kelar. Buku Catatan Seorang Demonstran siap naik cetak pada 1972. Tapi buku yang berisi kumpulan catatan harian Soe Hok Gie itu akhirnya masuk laci. "Gie telanjang menyebut sejumlah nama yang dianggapnya bobrok. Padahal situasi sosial politik pada saat itu masih rawan," kata Daniel Dhakidae, salah seorang penggagas penerbitan buku tersebut.

Gagasan itu datang dari Yayasan Mandalawangi, yang didirikan teman-teman Gie. Untuk mengenang salah satu tokoh demonstran angkatan 1966 itu, mereka berencana menerbitkan catatan harian yang ditulisnya sejak dia berumur 15 tahun hingga 8 Desember 1969. Sayang, buku tersebut urung terbit. Baru 11 tahun kemudian, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bisa menerbitkan buku tersebut. Itu pun bukan dari naskah asli, tapi dari hasil fotokopi yang dimiliki Daniel.

Bukan cuma perjalanan naskah yang panjang. Pengaruh buku ini juga merentang jauh melewati zamannya. Aktivis mahasiswa dan demonstran menjadikan buku itu sebagai bacaan wajib. Pendiri Partai Rakyat Demokratik yang juga aktivis 1990-an, Budiman Sudjatmiko, misalnya, mengatakan Catatan menawarkan kepahlawanan. Ia melihat Gie sosok muda, cerdas, dan jujur. "Dia berani berdebat, beda pendapat, dan mengambil risiko," kata Budiman, yang kini aktif di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Ia membaca Catatan sejak duduk di kelas II Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah 1 Yogyakarta, sepuluh tahun silam. Pada saat itu, diskusi menjadi menu rutin kalangan mahasiswa Yogyakarta. Di antara mereka, terselip sejumlah pelajar seperti Budiman. "Buku itu juga dibaca hampir semua aktivis Forum Kota," kata Koordinator Forum Kota Adian Napitupulu. Forum yang beranggotakan aktivis mahasiswa dari 56 kampus di Jakarta dan sekitarnya ini punya andil menumbangkan Soeharto pada 1998.

Di masa kini, Catatan tetap menjadi menu utama para demonstran. Setidaknya itulah yang dilakukan Kurnia Yudha, 25 tahun, mahasiswa Sastra Prancis Universitas Gadjah Mada yang juga kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Jauh sebelum membaca Catatan, ia adalah pentolan geng motor. Semasa di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, ia jago trek-trekan di kota kelahirannya, Blitar, Jawa Timur.

Bandul hidup Yudha mendadak berbalik ketika ia duduk di kelas III sekolah menengah atas, pada 2000. Seniornya yang sudah kuliah di Yogyakarta meminjami dia fotokopi Catatan. Sejak itu, ia terobsesi menjadi aktivis. Setahun kemudian, Yudha menyusul kuliah di Yogyakarta dan keinginannya tersalurkan. Pada peringatan Hari Buruh 1 Mei lalu, ia bersama sejumlah temannya ditangkap polisi Jakarta Selatan karena berdemonstrasi di depan Wisma Bakrie, Kuningan, Jakarta. "Kami tak punya izin," katanya, Jumat dua pekan lalu.

Gie memang layak jadi panutan. Anak keempat penulis dan redaktur sejumlah surat kabar dan majalah, Soe Lie Piet, ini lahir pada 17 Desember 1942 ketika perang berkecamuk di Pasifik. Gie masuk sekolah dasar khusus etnis Cina, Sin Hwa School, Jakarta. Kemudian ia diterima di Sekolah Menengah Pertama Strada. Selanjutnya, Gie masuk Sekolah Menengah Atas Kanisius. Pada 1961, ia melanjutkan pendidikan di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan lulus delapan tahun kemudian. Ia lalu mengajar di almamaternya.

Ketika kuliah, hari-hari Gie penuh dengan rapat, demonstrasi, serta menyebarkan pamflet dan propaganda. Ia tidak diam ketika pemerintah Soekarno abai terhadap kemelaratan. Ekonomi mengalami depresi. Kebijakan sanering, memotong nilai uang hingga tinggal separuh, justru mengakibatkan keadaan makin runyam. Karena itu, Gie berharap mahasiswa terlibat dalam perjuangan bangsanya. Itu, kata dia, karena mahasiswa adalah sedikit orang bahagia yang terpilih sehingga bisa kuliah.

Pada 1966, ketika mahasiswa tumpah ke jalan, Gie bergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Ia termasuk di barisan paling depan. Gagasan Gie juga tersebar di Kompas, Sinar Harapan, dan Harian Kami. Ia masuk organisasi Gemsos, Gerakan Mahasiswa Sosialis. Ketika keadaan ekonomi makin kacau, Gie resah. Dia mencatat, "Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak."

Gie menjadi salah satu arsitek long march, aksi jalanan di Jakarta, menuntut harga bensin dan karcis bus kota turun. Dia pernah nekat merebahkan diri di depan panser tentara pembela Soekarno dan memaksanya berhenti. Gie bukan orang lapangan, tapi ia aktor intelektual di balik demonstrasi jalanan Jakarta masa itu. Gie juga salah seorang tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-militer pada 1966 sehingga Soekarno tumbang.

Jiwa pemberontak Gie mulai tumbuh saat dia masih berumur 14 tahun, kelas II sekolah menengah pertama. Ia mendapat nilai ujian 8 untuk pelajaran ilmu bumi, tapi diubah oleh gurunya menjadi 5. Gie, orang nomor tiga paling pandai di kelas, merasa nilai yang diberikan guru itu sewenang-wenang. Akibat ulah guru ini, Gie menulis dalam catatan harian: "Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu.... Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu."

Ketika di sekolah menengah atas, Gie punya pengalaman tak terlupakan. Seorang gembel memakan kulit mangga di dekat rumahnya di Kebon Jeruk, Jakarta. Rupanya, ia kelaparan. Gie lalu menyodorkan uangnya yang tinggal dua setengah rupiah untuk si pemakan kulit tadi. Gie sangat terpukul oleh kejadian itu. Soalnya, dua kilometer dari situ, Gie menggambarkan "paduka" di istana tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik.

Mereka, seperti ditulis Gie pada 10 Desember 1959, adalah orang yang sedang berkuasa saat itu, yang dibesarkan di zaman Hindia Belanda. Yang dituding Gie adalah Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau M. Yamin. Gie mengakui mereka pejuang yang gigih. Tapi, di mata Gie, mereka telah mencederai perjuangan. Soekarno berkhianat pada kemerdekaan. Yamin telah memalsukan sejarah Indonesia. Hatta tak berani menyatakan kebenaran.

Adik sosiolog Arief Budiman ini meninggal akibat menghirup gas beracun saat mendaki gunung tertinggi di Jawa, Semeru, pada 16 Desember 1969. Ia meninggal bersama Idhan Lubis. Sebelum Gie mendaki Semeru, banyak yang bertanya buat apa dia naik gunung. Gie menjawab, pertumbuhan jiwa pemuda yang sehat harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. "Karena itulah kami naik gunung," katanya.

Gie mati muda. Tapi, menurut Daniel, Gie mewariskan semangat kepada kaum muda. Konteks persoalan yang dihadapi Gie berbeda dengan perkara yang dihadapi generasi muda setelah Gie. Tapi moral Gie berkobar hingga kini. Setidaknya itulah yang tecermin dari bukunya. Buku dengan sampul depan foto demonstrasi mahasiswa 1966 dan foto Gie di sampul belakang itu telah dicetak ulang sampai enam kali dalam kurun 1983-1993.

Catatan pernah terbit dengan sampul Nicholas Saputra bersponsor Sampoerna A Mild ketika Mira Lesmana merampungkan film Gie pada 2004. Kepala Redaksi LP3ES Widjanarko Soejono mengatakan sedang menyiapkan edisi cetak ulang kesembilan Catatan. Kali ini, Catatan kembali bergambar sampul seperti cetakan awal. Penjualan Catatan menembus 25 ribu eksemplar, tertinggi di LP3ES.

(72) Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran Penerbit: LP3ES, Jakarta (1983)

Surat tentang Kebebasan dan Cita-cita

JEPARA, 8 Agustus 1900. Rosa Manuela Abendanon dan suaminya, seorang pejabat Hindia Belanda, Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadat, dan Kerajinan, mampir ke kabupaten itu. Mereka bertemu dengan keluarga Bupati RMAA Sosroningrat, termasuk Kartini dan dua saudaranya-Roekmini dan Kardinah-dan menghabiskan dua malam bersama keluarga itu.

Sejak itu, Rosa Manuela Abendanon memperoleh gambaran seorang perempuan ningrat Jawa yang gelisah. Melalui surat-menyurat intensif, ia melihat gairah yang begitu tinggi untuk menuntut ilmu di Negeri Belanda. Juga pandangannya yang kritis terhadap sepak terjang pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif terhadap kaum pribumi di lingkungan sekitar dirinya, dan terhadap budaya aristokratik yang mengekang.

Ya, dia menulis soal kehidupan rakyat yang terbelakang dan minimnya pengajaran bagi para perempuan. Dia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terbelenggu oleh tradisi, dilarang belajar, dipingit, dan harus siap berpoligami dengan laki-laki yang tidak mereka kenal. Kartini berbicara tentang keinginannya mendobrak tradisi yang menghambat kemajuan. Dia akhirnya menyimpulkan: pendidikan mutlak perlu untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia. Pengajaran kepada perempuan, secara tidak langsung, meningkatkan martabat bangsa.

"Dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikannya, di haribaannyalah anak itu belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata," tulis Kartini dalam suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon-lebih dikenal sebagai Nyonya Abendanon.

Empat tahun korespondensi yang luar biasa itu berlangsung. Surat terakhir dikirim pada 7 September 1904, saat Kartini hamil tua. Isinya ucapan terima kasih kepada Nyonya Abendanon atas baju yang dikirimnya untuk anak Kartini yang akan lahir. Sepuluh hari kemudian, Raden Ajeng Kartini wafat.

Surat-surat itu tak cuma disimpan sendiri oleh Abendanon. Tak berapa lama setelah Kartini wafat, Jacques Henry Abendanon menggagas ide untuk menerbitkan surat-surat yang dikirim Kartini dalam bentuk buku. Dari hasil penerbitan buku, diharapkan bisa terkumpul dana untuk mendirikan sekolah seperti dicita-citakan mendiang sahabatnya itu. Maka kemudian terbitlah sebuah buku berbahasa Belanda berjudul Door Duisternis Tot Licht pada April 1911. Buku itu tidak cuma berisi surat-surat Kartini yang diterima keluarga Abendanon, tapi juga surat-surat putri Jawa itu kepada beberapa sahabatnya.

Perempuan yang lahir pada 21 April 1879 di Mayong, Jepara, itu memang tak pernah berhenti menulis. Semasa hidupnya yang singkat, dia membuat ratusan surat. Ketika jutaan orang Indonesia buta huruf pada akhir abad ke-19 itu, kemampuan Kartini dalam membaca dan mengolah tulisan terbilang istimewa. Kartini memang sempat menamatkan pendidikan di Europe Lagere School, yang memakai bahasa pengantar Belanda-suatu kesempatan yang amat langka bagi gadis pribumi.

Surat yang dia tulis itu kebanyakan ditujukan kepada para sahabat penanya, yang sebagian besar orang Belanda. Sahabat pena pertamanya adalah Stella M. Zeehandelaar, yang dikenal melalui majalah De Hollandse Lelie, majalah wanita yang waktu itu amat populer di Negeri Belanda. "Panggil aku Kartini saja," begitu tulis Kartini dalam surat perkenalannya kepada perempuan Belanda keturunan Yahudi itu.

Stella adalah anggota militan pergerakan feminis di Negeri Belanda saat itu. Ia bersahabat dengan Ir H.H. van Kol, Wakil Ketua Partai Sosialis Belanda (SDAQ) di Tweede Kamer (Parlemen). Van Kol dan istrinya kemudian juga menjadi sahabat Kartini. Sahabat pena Kartini yang lain adalah Nyonya M.C.E. Ovink, istri asisten residen yang pernah bertugas di Jepara, serta Dr N. Adriani, ahli bahasa yang gemar surat-menyurat.

Tak semua surat yang dikirimnya dipublikasikan. Stella, yang diduga punya 20 surat Kartini, hanya meminjamkan 14 pucuk. Ada pula yang enggan meminjamkan sama sekali. Buku Door Duisternis Tot Licht akhirnya hanya memuat 100 surat, dan 53 di antaranya merupakan surat Kartini untuk Tuan dan Nyonya Abendanon. Walau begitu, buku ini cukup laris untuk ukuran saat itu. Tulisan-tulisannya dibaca oleh peminat masalah kebebasan perempuan. Dalam dua tahun dicetak ulang dua kali dengan jumlah oplah 8.000 eksemplar, sampai 1976 buku itu sudah naik cetak lima kali.

Door Duisternis Tot Licht menarik juga perhatian dunia internasional. Berturut-turut majalah Atlantic Monthly di New York pernah menerbitkannya dalam terjemahan bahasa Inggris, kemudian menerbitkannya khusus dalam bentuk buku dengan Judul Letters of a Javanese, yang diterjemahkan oleh Agnes Louise Syammers pada 1920.

Di Indonesia, pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Habis Gelap Terbitlah Terang juga dipakai Armijn Pane sebagai judul ketika menerjemahkan buku itu pada 1938. Buku setebal 214 halaman itu disajikan dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Menurut sastrawan pelopor Pujangga Baru itu, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan.

Sejarawan George McTurnan Kahin, penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia, mengatakan bukan Budi Utomo pelopor pembaruan pendidikan di Indonesia, melainkan Kartini. Profesor Ahmad M. Suryanegara, dalam buku Menemukan Sejarah, menuturkan Kartini tidak hanya berjuang untuk perempuan, tapi juga untuk membangkitkan bangsanya dari kehinaan.

Pemikiran Kartini yang tertuang lewat surat-suratnya memang tak terungkap secara lengkap. "Surat-surat Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang laksana sumur yang dipenuhi gagasan-gagasan progresif yang menjangkau masa depan," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta beberapa waktu lalu.

Di samping Habis Gelap Terbitlah Terang, surat-surat Kartini muncul dalam bentuk lain. Pramoedya Ananta Toer, misalnya, menulis buku Panggil Aku Kartini Saja. Profesor Sulastin Sutrisno, guru besar dari Universitas Gadjah Mada, selanjutnya menerjemahkan versi lengkap Door Duisternis Tot Licht, yang diterbitkan dengan judul Surat-surat Kartini pada 1979. "Dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, surat-surat Kartini akan dapat dibaca oleh banyak orang," kata Sulastin saat itu.

Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya Joost Cots. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Nyonya Abendanon, tapi juga semua surat asli Kartini pada keluarga Abendanon. Termasuk surat hasil temuan terakhir, Desember 1987.

Pada buku terjemahan Joost Cots, memang ditemukan surat-surat yang tergolong "sensitif" dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Buku itu mencakup 108 surat dan kartu pos Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya, J.H. Abendanon, serta surat-surat yang dibuat Roekmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie. Seperti kata Joost Cots, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya memang sudah saatnya diungkap.

(71) Habis Gelap Terbitlah Terang Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1922)

Negara tanpa Rakyat?

oleh: Parakitri T. Simbolon

TIDAK SULIT membicarakan pergerakan kebangsaan kita menurut kajian sarjana asing. Pilihan sangat banyak, baik dalam bentuk, cakupan kurun waktu, maupun sudut pandang. Yang sulit adalah menemukan satu-dua perkara yang terus mengusik rasa ingin tahu setelah selesai membaca sejumlah kajian, sendiri-sendiri ataupun serangkaian, ibarat seutas benang merah yang menjelujuri permasalahan gerakan kebangsaan kita selama ini. Ini sulit, karena benang merah menuntut kesinambungan sejumlah kajian, padahal satu kajian lebih sering menolak atau mengubah kajian lain.
***

Itulah yang terjadi dengan kajian-kajian sarjana asing tentang pergerakan kebangsaan kita, yang dimulai dengan trilogi J.Th. Petrus Blumberger. Ketiga kajian Blumberger itu: De Communistische Beweging in Nederlandsch-India (1928), De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-India (1931), dan De Indo-Europeesche Beweging in Nederlandsch-India (1939).

Seperti tampak pada ketiga judul itu, Blumberger memahami pergerakan kebangsaan kita terdiri atas berbagai aliran (stroomingen) dan pergerakan nasional dianggapnya hanya salah satu aliran yang terdiri atas beberapa organisasi, seperti Perhimpunan Indonesia, studieclub, Partai Nasional Indonesia, dan Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. Aliran lain terdiri atas pergerakan ras dan etnis, agama, ekonomi, serta kepentingan umum lain (moderne geestesstromingen), yang mencakup Budi Utomo, Sarekat Islam, Paguyuban Pasundan, organisasi komunis, gerakan kepanduan, dan lain-lain.

Blumberger mengambil bahan-bahan kajiannya dari sumber-sumber resmi pemerintah Hindia Belanda. Itulah ikhtisar-ikhtisar politik dalam maklumat-maklumat pemerintah, seperti Laporan Kolonial (Koloniale Verslagen), ikhtisar pers dari Balai Pustaka, dan risalah-risalah parlemen Belanda (Kamer) serta Hindia Belanda (Volksraad). Maklum, ia bekas asisten residen.

Trilogi Blumberger pada dasarnya hanya mengolah secara sistematis sumber-sumber sejarah resmi yang ada waktu itu mengenai proses evolusi sosial Hindia Belanda. Ia memaparkan timbul dan berkembangnya cara-cara baru menghadapi pemerintah, yakni organisasi-organisasi perhimpunan dan partai serta sikap pemerintah jajahan menghadapi semua itu. Namun, terkesan juga rasa yakin Blumberger bahwa cara-cara baru itu bermaksud menimbulkan kesulitan besar (groote problemen) bagi pemerintah jajahan untuk menentukan politik masa depan.

Pada 1946 sampai 1952 terbit sedikitnya empat buku, dua di antaranya tetap mengandalkan sumber-sumber yang sedikit-banyak sama dengan yang digunakan oleh Blumberger, yang dalam semangat dan pandangan bertentangan dengan Blumberger. Keempat buku itu: J.H. Francois, 37 Jaar Indonesische Vrijheidsbeweging (1946); Alexandre von Arx, l'Evolution Politique en Indonesie (1949); D.M.G. Koch, Om de Vrijheid. De Nationalistische Beweging in Indonesia (1951); dan George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952).

Dengan caranya masing-masing, keempat kajian mengemukakan bahwa pergerakan kebangsaan kita sesuai dengan semangat zaman bahkan kewajiban moral. Itulah hak setiap bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Malah Von Arx menganggap negara-negara penjajah memikul tanggung jawab moral untuk membantu dan mendorong pergerakan kebangsaan mencapai kemerdekaan. Hanya dengan memenuhi kewajiban moral itu, perdamaian dunia bisa ditegakkan. Yang terjadi di Indonesia adalah karena penjajah melanggar kewajiban moral tersebut.

Kahin berpendirian bahwa sebagai kewajiban moral, mencapai kemerdekaan bisa dilakukan dengan revolusi bila perlu. Ini berarti, bukannya organisasi pergerakan yang menimbulkan kesulitan bagi pemerintah jajahan, sebagaimana menurut Blumberger, melainkan sebaliknya.

Pada 1953 terbitlah kajian J.M. Pluvier, Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische Beweging in Indonesia in de Jaren 1930 tot 1942. Kajian ini sebagian besar merupakan hasil pemeriksaan silang antara bahan-bahan Ikhtisar Pers Pribumi dan Cina-Melayu terbitan Balai Pustaka (Overzicht van de Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers) di satu pihak dan siaran rahasia bagi kalangan terbatas mengenai politik keamanan (Politiek-Politioneele Overzichten) oleh Kejaksaan Agung Hindia Belanda.

Dengan demikian, Pluvier berhasil antara lain mengubah anggapan keliru mengenai pergerakan kebangsaan kita pada 1930-1942 sebagai masa lesu, tidak berdaya, terhadap kekuasaan penjajahan yang sedang jaya-jayanya. Dengan argumen yang ketat, Pluvier mengukuhkan bahwa pergerakan 1930-1942 sama jayanya dengan pergerakan kemerdekaan 1908-1929. Dua-duanya sama-sama merupakan ungkapan Kebangkitan Timur, "het Oosters Reveil", hasil persentuhan Timur dan Barat selama 400 tahun.

Salah satu implikasi kajian Pluvier ini adalah bahwa anggapan Belanda mengenai kemerdekaan Indonesia sebagai hadiah Jepang sama sekali tidak berdasar. Implikasi lain yang tak kalah penting adalah menyangkut rahasia keberdayaan itu. Jika pada masa yang paling mematikan, seperti 1930-1942, pergerakan kebangsaan kita memang betul tidak kurang berdaya daripada masa-masa sebelumnya, akan timbul pertanyaan-pertanyaan sekitar sumber atau letak keberdayaan itu, siapa yang berperan di dalamnya, dan bagaimana keberdayaan itu tetap terpelihara sekalipun dalam masa sulit.

Pengertian dan pertanyaan yang sama rupanya timbul juga pada sarjana lain, di tempat lain, dan dalam waktu yang berdekatan. Contoh, Robert van Niel dari Russell Sage College, Amerika Serikat, The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1954/1960). Jawaban Van Niel, keberdayaan itu terletak pada the leader group of Indonesian society, sedangkan the Indonesian society itu hanyalah satu di antara empat kelompok dalam the East Indian society di samping kelompok Eropa (Belanda), Tionghoa, dan Arab. Untuk memahami keberdayaan ini, Van Niel mengupas social change selama 25 tahun pertama abad XX, khusus di kalangan the leader group of Indonesian society.

Hidup di bawah penjajahan, perkembangan Indonesian society dan the leader group-nya juga sangat dipengaruhi oleh colonial policies, practices, and attitudes. Dinamika Indonesian society dan serba perubahan pola kepemimpinannya dalam menghadapi pengaruh itu selama 25 tahun membentuk landasan sosial Indonesia merdeka kemudian.

Jawaban Van Niel ini menjadi kurang meyakinkan dengan terbitnya pada 1976 kajian Susan Abeyasekere, One Hand Clapping: Indonesian Nationalists and the Dutch 1939-1942. Setelah para pemimpin yang berhaluan nonkoperasi habis ditangkap dan dibuang, tampillah pemimpin yang berhaluan koperasi. Namun, tuntutan mereka yang paling lunak pun, seperti Indonesia berparlemen, sama sekali dianggap sepi oleh Belanda, padahal Belanda sedang berada dalam keadaan perang.

Menyedihkan bahwa para pemimpin yang berhaluan koperasi itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap sikap Belanda yang tak masuk akal itu, sampai Jepang masuk. Nasib yang sama lagi-lagi menimpa para pemimpin yang berhaluan nonkoperasi di bawah kekuasaan Jepang. Jadi semua pemimpin pergerakan tidak berhasil mencapai apa-apa dengan kekuatan sendiri, hanya dapat menyerahkan nasib pada kekuatan luar. Benar-benar bagai one hand clapping, tangan bertepuk sebelah.

Sikap para pemimpin ini sangat bertentangan dengan asas perjuangan Indonesische Vereeniging (kemudian Perhimpunan Indonesia) di Nederland yang dicanangkan pada 3 Maret 1923. Asas perjuangan itu menegaskan bahwa masa depan rakyat Indonesia (het volk van Indonesia) hanya dan semata-mata bergantung pada penyelenggaraan pemerintah yang bertanggung jawab kepada rakyat itu sendiri (dat volk zelf). Setiap orang Indonesia (Indonesiar) wajib sesuai dengan kemampuan dan bakatnya berjuang mencapai hal ini dengan kekuatan sendiri (eigen kracht en eigen kunnen), tidak bergantung pada bantuan orang lain (onafhankelijk van de "hulp" van vreemden). Asas perjuangan ini dapat dibaca oleh masyarakat luas berkat jasa Harry A. Poeze dan kawan-kawan yang menyusun buku tentang kehidupan orang-orang Indonesia di negeri penjajah, In het Land van de Overheerser I: Indonesiars in Nederland 1600-1950 dan terbit pada 1986.

Lalu muncullah kajian yang lain dari yang lain, karya Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (1990). Kajian ini lain dari yang lain karena dua hal. Pertama, rakyatlah yang lebih penting dan jadi sumber keberdayaan, bukan golongan pemimpin atau elite. Kedua, kenyataan ini baru terlihat setelah Shiraishi menolak cara pandang lama melihat pergerakan kebangsaan kita sebagai orthodox historiography.

Yang ortodoks melihat pergerakan sebagai garis yang bergerak lurus dari suatu bangsa yang belum bernama ke pencarian nama, "Indonesia", dan cita-cita kebangsaannya, "Indonesia merdeka": dari surat-surat Kartini dan Boedi Oetomo ke Perhimpoenan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, dan "sumpah pemuda". Cara pandang ini merupakan anak kandung perkawinan antara cara pandang dokumen-dokumen resmi Hindia Belanda dan cara pandang pascakemerdekaan yang berpusat pada Indonesia. Dasarnya adalah cara pandang J.Th. Petrus Blumberger dengan dua sistem penggolongannya, yang rasial dan organisasional. Maklum, pemerintah jajahan lebih takut kepada golongan dan organisasi daripada orang per orang.

Historiografi baru ala Shiraishi menganggap orang, rakyat yang lebih penting dan melihat pergerakan sebagai gelombang gerak rakyat ketika memperoleh kesadaran baru tentang dunia ini serta merasa dapat mengubah dunia dan mengungkapkan kesadaran itu dengan wahana serta bahasa modern. Pendeknya, pergerakan adalah gelombang gerak rakyat, yang lintas golongan dan lintas organisasi. Namun, ia menutup kajiannya dengan kehancuran gelombang gerak rakyat itu dalam perlawanan bersenjata 1926.

***

Rakyat. Tapi benarkah ada rakyat Indonesia? Siapakah mereka? Di mana kedudukan mereka dalam pergerakan kebangsaan dan kemudian dalam kebangsaan Indonesia merdeka?

Semua kajian sarjana asing yang kita bicarakan diam membisu tentang rakyat, kecuali kajian Shiraishi. Yang satu ini pun berakhir dengan kehancuran. Jadi inilah benang merah pergerakan kebangsaan kita, bukan karena ramai dibicarakan, tapi karena nyaris dilupakan. Dengan kata lain, rakyat dalam pergerakan kebangsaan kita jadi mencolok karena terlupa. "Being conspicuous by its absence," kata Shakespeare.

Memang, "rakyat" bukanlah kata asli Indonesia, tapi dipinjam dari Arab untuk menggantikan berbagai sebutan penjajah, seperti volk, inheemse bevolking, inlanders, tidak jelas kapan, tapi mungkin pada masa awal pergerakan kebangsaan kita. Di Indonesia pada umumnya sebutan yang agak dekat selalu terkurung dalam kerangka lapisan sosial, seperti wong cilik jika dilihat dari sudut jenjang kekuasaan, caca atau rumah tangga dari sudut lapisan pemilikan tanah.

Sayang, gerakan kebangsaan belum berhasil menggalang "rakyat" hingga senyata peuple menjelang dan sesudah Revolusi Prancis. Maknanya pun belum terumus sejernih peuple dalam rumusan Voltaire atau Mirabeau. Menurut Voltaire, peuple ialah penduduk yang tak punya apa-apa untuk bertahan hidup kecuali tangan. Menurut Mirabeau, mereka yang kekuasaannya tak mungkin dicabut kecuali dengan bayonet.

Ketika kekuasaan penjajah dan modal swasta dengan segala dampaknya sudah sampai ke pelosok Indonesia (Jawa), urusan dipermudah dengan tidak menghitung orang, melainkan desa dengan kepala desa atau "kebekelan" dengan "bekel"-nya. Apa yang kemudian disebut "rakyat" tidak ada kecuali dalam nama saja. Mereka praktis diperlakukan sama dengan barang atau hewan peliharaan belaka.

Pergerakan kebangsaan berhasil mencapai Indonesia merdeka, tapi gagal membangkitkan "rakyat". Dan mengikuti Van Niel tentang perubahan sosial golongan elite atau the leader group of Indonesian society sebagai landasan sosial Indonesia merdeka, maka sekarang dapat juga dikatakan bahwa negara tanpa rakyat jadi landasan Indonesia merdeka.

Parakitri T. Simbolon Kolumnis, tinggal di Jakarta.

Teks 60-70

(60) Dekrit Presiden 5 Juli 1959

DEKRIT ini merupakan keputusan Presiden Soekarno membubarkan lembaga tertinggi negara Konstituante, hasil pemilihan umum 1955. Lembaga itu dianggapnya gagal menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Saat itu terjadi perbedaan pandangan ideologi yang menajam antaranggota Konstituante mengenai dasar negara, apakah berdasarkan agama atau bukan. Dekrit ini mengakhiri perbedaan itu dan dianggap sebagian kalangan sebagai penyelamatan negara.

Namun, ini bukannya tanpa masalah. Keputusan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 itu membajak demokrasi karena akhirnya memunculkan demokrasi terpimpin. Kekuasaan negara jadi terpusat dan tepersonifikasi dalam sosok Soekarno. Ide ini juga tampaknya menginspirasi Presiden Abdurrahman Wahid saat dia mengeluarkan dekrit membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 2001.

Indra Jaya Piliang, Peneliti Centre for Strategic and International Studies.

(61) Garis-Garis Besar Haluan Negara

GARIS-GARIS Besar Haluan Negara adalah produk berupa ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menjadi panduan bagi pemerintah Orde Baru dalam kurun 1973-1998. Meski dibuat Majelis, materinya berasal dari pemerintah. Karena itu, Majelis tidak independen dari intervensi penguasa saat itu. Untuk Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993, teksnya diterbitkan dalam bentuk buku saku setebal 603 halaman oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ketetapan Garis-Garis Besar ini menjadi landasan penyusunan rencana pembangunan lima tahun Presiden Soeharto. Isinya soal stabilitas politik nasional, pemerataan ekonomi, pendidikan untuk semua, dan keamanan negara. Kalau dilaksanakan, kita semua tentu sudah berada di surga. Namun, ternyata sifatnya lebih berupa retorika dan menjebak. Misalnya, kalau berbicara mengenai stabilitas politik, yang dimaksud tak lain adalah stabilitas kekuasaan penguasa. Pemerataan ekonomi malah ditafsirkan dalam bentuk iuran pengusaha. Ini menjadi bahan indoktrinasi penguasa otoriter kepada masyarakat. Sejak pemerintahan saat ini, panduan itu diganti dengan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang ditetapkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tiap tahun.

J. Kristiadi, Peneliti Centre for Strategic and International Studies.

(62) Pidato B.J. Habibie di Bonn, Jerman, pada 14 Juni 1983:
Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Berkembang

IDE pokok yang ingin disampaikan B.J. Habibie sebenarnya sederhana saja. Pidato setebal 31 halaman dengan cover berlogo burung garuda tanpa penerbit yang ditulis dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Indonesia ini intinya mengenai pengembangan ekonomi suatu negara bergantung pada pengembangan teknologinya. Ide tersebut pada saat itu merupakan sesuatu yang baru bagi negara kita. Sebab, sebelumnya, konsentrasi pengembangan ekonomi kita tak dikaitkan dengan teknologi, melainkan produksi saja. Padahal, di banyak negara, teknologi menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Jika pengembangan teknologi sebuah negara lemah, ekonominya akan kalah bersaing. Habibie mencoba mengintegrasikan konsepnya ini dengan pendirian badan usaha milik negara yang berfokus pada pengembangan teknologi, seperti PT Nurtanio (sekarang PT Dirgantara Indonesia). Sayangnya, pascakrisis, ekonomi kita masih berkutat pada sektor jasa dan bukan pada pengembangan manufaktur.

Umar Juoro, Senior Fellowship di Habibie Center.

(63) Seandainya Aku Seorang Belanda (Als Ik Eens Nederlander Was)

KI Hajar Dewantara menulis artikel tersebut di surat kabar de Expres milik Douwes Dekker, seorang intelektual Belanda yang pro-Indonesia, pada 1913. Artikel yang ditulis dalam bahasa Belanda itu menimbulkan keguncangan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ketika itu, Idenburg, sangat marah kepada Ki Hajar sehingga menjatuhkan hukuman buang tanpa lewat proses pengadilan. Ki Hajar lalu diasingkan ke Pulau Bangka.

Saya melihat isi tulisannya sendiri sangat mengena bagi siapa saja dari semua bangsa. Sangat menghunjam. Bagaimana mungkin Belanda meminta bangsa Indonesia membiayai dan merayakan hari kemerdekaan negara itu dari penjajahan, sedangkan pada saat yang sama melakukan penjajahan terhadap bangsa kita. Ketika itu, gaung tulisannya sangat kuat bagi kalangan intelektual yang kebanyakan mampu berbicara bahasa Belanda. Artikel ini menjadi inspirasi bagi bangsa kita untuk merdeka seperti si penjajah. Cuma, kita pernah enggak ya berpikir, jangan-jangan ada daerah di Indonesia yang masih merasa diperlakukan sama seperti itu karena merasa tertinggal dalam pembangunan nasional.

Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina.

(64) Pidato Lahirnya Pancasila

SOEKARNO menyampaikan pidato lahirnya Pancasila secara lisan pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Intinya, ia menjabarkan dasar negara yang dibutuhkan Indonesia. Soekarno menyampaikan secara sistematis lima sila yang belakangan disebut sebagai Pancasila. Dalam pidatonya, ia menyebut kebangsaan Indonesia sebagai dasar pertama dan pulau Nusantara sebagai satu kesatuan, diapit dua samudra dan dua benua. Pidato itu lalu dibahas dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk kemudian dan diketuai Soekarno dan wakilnya, Mohammad Hatta. Panitia Persiapan kemudian merumuskan Pancasila dengan rumusan dan urutan yang berbeda, tapi esensinya serupa. Isinya sebenarnya tidak baru karena sudah berulang-ulang diucapkan Soekarno di berbagai kesempatan. Pidato itu lebih sebagai ringkasan idenya, yang sampai kini dipakai sebagai dasar negara kita. Pidato ini dibukukan dengan judul Uraian Pancasila, penerbit Mutiara, pada 1980.

Anhar Gonggong, Sejarawan Universitas Indonesia.

(65) Hasil-hasil Seminar Ekonomi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia 1966

SEMINAR Ekonomi, Keuangan, dan Moneter ini berlangsung di kampus Universitas Indonesia Salemba, Jakarta, diadakan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Fakultas Ekonomi pada 10 Januari 1966. Saya dan Anwar Nasution ikut sebagai panitia. Pada hari yang sama mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Istana Negara menuntut Presiden Soekarno memperbaiki kondisi ekonomi yang terpuruk. Seminar tersebut menampilkan sejumlah pakar ekonomi, seperti Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, dan Ali Wardhana. Belakangan, hasil seminar itu menjadi landasan program ekonomi Orde Baru. Hasil seminar ini dibukukan dengan judul The Leader, The Man, & The Gun terbitan Sinar Harapan 1984. Judul ini berasal dari makalah Hamengku Buwono IX, yang pada saat itu menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.

Syahrir, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

(66) Pidato Nirwan Dewanto Saat Kongres Kebudayaan IV

PIDATO Nirwan Dewanto saat Kongres Kebudayaan IV di Jakarta sungguh menggugah banyak penggiat seni saat itu. Kongres berlangsung pada 29 Oktober hingga 3 November 1991. Saking terpukaunya, Jakob Oetama, pendiri harian Kompas, yang menjadi moderator pada sesi itu, sampai mengatakan, Kebo nyusu kuda." Maksudnya, orang-orang yang lebih tua seperti dirinya sudah saatnya belajar dari yang lebih muda, yaitu Nirwan. Dalam pidatonya, Nirwan mengangkat isu arah budaya Indonesia ke depan. Selain mengembangkan semangat pluralisme dalam berkarya, menurut Nirwan, ada satu lagi yang perlu menjadi perhatian para penggiat seni, yaitu multikulturalisme. Artinya, karya seni dan penggiat seni perlu menghargai perbedaan etnis yang menjadi ciri khas budaya Tanah Air dan menilainya sebagai produk budaya yang setara. Teks pidato ini diterbitkan dalam buku berjudul Senjakala Kebudayaan oleh penerbit Bentang pada 1996.

Budi Darma, Sastrawan, Penyair, Rektor Universitas Negeri Surabaya.

(67) Manifes Kebudayaan

PERNYATAAN ini merupakan bentuk perlawanan terhadap upaya pengekangan berkarya oleh kekuasaan negara. Kami menolak politik sebagai panglima. Saat itu, Lembaga Kebudayaan Rakyat, dengan Pramoedya Ananta Toer-nya, sedang mengembangkan Realisme Sosialis" ala Stalin yang berupaya membelenggu kehidupan seni. Jika ada yang tidak mengikuti garis Realisme Sosialis" ini, seperti kata-kata Pramoedya sendiri, harus dibabat. Para penentang Manifes Kebudayaan lalu melakukan stigmatisasi untuk membungkam dan mengisolasi kami.

Pengaruh yang muncul dari Manifes adalah memberikan kesadaran bahwa berseni dan bersastra merupakan bagian dari perjuangan emansipasi. Itu dapat dilakukan jika seniman memiliki kebebasan berkreasi, bukan justru menjadi sekadar alat kekuasaan. Manifes sebenarnya tidak mempersoalkan paham kebangsaan, tapi lebih pada menyuarakan humanisme universal. Manifes ditandatangani 20 seniman pada 17 Agustus 1963. Teksnya yang terdiri atas empat paragraf lalu terbit di majalah Sastra pada September 1963.

Goenawan Mohamad, Sastrawan.

(68) Surat Kepercayaan Gelanggang

INI adalah buah pemikiran sastrawan 1945 yang kemudian dimuat dalam majalah Siasat pada 22 Oktober 1950. Pernyataan satu halaman ini keluar saat terjadi polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Ki Hajar Dewantara. Sutan Takdir berkiblat ke Barat sebagai arah pengembangan budaya nasional dan menyerapnya sebanyak mungkin. Adapun bagi Ki Hajar, pengembangan budaya nasional bertumpu pada puncak-puncak kebudayaan daerah. Pernyataan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang ini justru berupaya mencari jalan tengah. Salah satu pernyataannya, misalnya, Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia." Ini artinya membuka diri terhadap budaya dari luar dan pada saat yang sama menghargai perbedaan budaya yang ada di dalam negeri. Paham kebangsaan harus dapat menghargai keberagaman dan kebebasan berekspresi. Sayangnya, pada kondisi sekarang ini justru terjadi gangguan terhadap keberagaman, misalnya upaya pelarangan Ahmadiyah dan ancaman menggugat lagu kritis kelompok musik Slank soal korupsi di parlemen.

Sitok Srengenge, Redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam.

(69) Sumpah Pemuda

SUMPAH tiga paragraf yang dibacakan dalam Kongres Pemuda Kedua, Ahad, 28 Oktober 1928, di gedung Oost-Java Bioscoop, Jakarta, itu mengentak kesadaran para pemuda dari beragam latar belakang etnis. Sebelumnya, mereka terkotak-kotak dalam kelompok pemuda yang bersifat kesukuan. Sumpah ini lalu menginspirasi kaum muda dan ujung-ujungnya mengkristal menjadi upaya bersama mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sekiranya tidak ada sumpah ini, bisa jadi Negara Kesatuan Indonesia tidak terbentuk saat Belanda pergi. Yang mungkin terjadi malah terbentuknya negara kecil yang terpisah-pisah.

Sekarang, semangat ini memang tidak begitu bergaung lagi karena sudah banyak pemuda yang melupakannya. Padahal keinginan menegakkan hak asasi manusia, antikorupsi, dan disiplin seharusnya menjadi semangat para pemuda saat ini. Uniknya, beberapa gerakan separatis di Tanah Air menjadi bentuk protes para pemuda terhadap ketidakadilan negara di wilayah mereka masing-masing. Ini dibukukan dengan judul Bunga Rampai Soempah Pemoeda, diterbitkan PN Balai Pustaka pada 1978.

Dradjad H. Wibowo, Anggota DPR.

(70) Maklumat Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin mengenai Kemerdekaan Pers

MAKLUMAT ini dikeluarkan pemerintah yang baru terbentuk beberapa bulan. Dikeluarkan pada Oktober 1945, maklumat ini menunjukkan komitmen negara dan pemerintah muda saat itu untuk melindungi pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Pemberitaan yang merdeka akan mampu mencerminkan pikiran masyarakat. Nah, pikiran atau pendapat umum inilah yang seharusnya menjadi dasar sebuah pemerintahan bekerja. Dengan demikian, yang berkuasa bukan beberapa orang saja.

Maklumat ini juga menunjukkan para pendiri negara ini sudah memiliki pandangan jauh ke depan. Kemerdekaan pers berfungsi menjaga agar kekuasaan tidak sewenang-wenang. Sayangnya, kemerdekaan pers ini, meski telah sejak awal berdirinya negara ini disuarakan, baru belakangan terasa, terutama setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru. Jadi, menurut saya, meskipun banyak orang mengatakan saat ini kebebasan pers sudah kebablasan, saya tidak sepakat. Maklumat ini ada di buku Sejarah Pers Indonesia karangan Soebagijo I.N. terbitan Dewan Pers 1977.

Bachtiar Aly, Guru besar ilmu komunikasi Universitas Indonesia.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India