Rabu, 11 Agustus 2021

Seluruh pembangunan Stasiun KA Bandara ditargetkan rampung pada 14 Agustus 2021


Selain KA bandara, calon penumpang pesawat juga bisa menggunakan moda transportasi lainnya, antara lain bus DAMRI dan taksi.

"Kami berharap ini dapat memberikan kemudahan kepada pengguna jasa bandara, setidaknya ada alternatif jarak tempuh, waktu, dan jenis moda transportasi," ujarnya.

Kereta Api (KA) Bandara Internasional Yogyakarta – Kulon Progo (YIA) akan beroperasi mulai 17 Agustus 2021.


Saat ini pembangunan di kawasan Stasiun KA Bandara YIA atau Stasiun YIA masih dilakukan.

PT Angkasa Pura I atau AP I (Persero) tengah membangun peron Stasiun KA Bandara seluas 4.000 meter persegi yang dapat menampung 200 orang. Progres pembangunannya telah mencapai 96 persen.

Tak hanya itu, Stasiun KA Bandara juga dilengkapi dengan overcapping peron dengan panjang 200 meter dan lebar 20 meter. Proses pengerjaannya telah mencapai 75 persen.

Baca juga: Ada Shuttle Bandara YIA ke Hotel di Yogyakarta, Harga Rp 60 Ribuan

Seluruh pembangunan Stasiun KA Bandara ditargetkan rampung pada 14 Agustus, sehingga stasiun tersebut bisa mulai melayani penumpang pada 17 Agustus.

Sebelumnya, uji coba lintasan KA Bandara YIA dengan jalur Stasiun Kedundang – Stasiun YIA oleh PT Kereta Api Indonesia atau KAI (Persero) telah dilakukan, Kamis (5/8/2021).

Uji coba tersebut meliputi pengecekan jalur lanjutan dengan lokomotif yang sebelumnya juga telah dilakukan pada 19 Juli 2021.


Baca juga: 10 Tempat Wisata di Sekitar Bandara YIA yang Bisa Dikunjungi

Komentar Lihat Foto
Dok. PT Angkasa Pura I
Kereta api di Stasiun KA Bandara YIA atau Stasiun YIA di Bandara Internasional Yogyakarta - Kulon Progo.
Direktur Utama PT AP I Faik Fahmi bersyukur bahwa uji coba tersebut berjalan lancar.

“Nantinya, Stasiun YIA akan terhubung dengan Stasiun Tugu Yogyakarta untuk mengakomodir penumpang pesawat yang menggunakan angkutan kereta api," kata Faik dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Kamis. 

Baca juga: Pantai Glagah, Tempat Wisata yang Bisa Dikunjungi usai Mendarat di YIA

Apabila sudah beroperasi, maka calon penumpang yang naik kereta dari Kota Yogyakarta hanya perlu menghabiskan waktu sekitar 36 menit untuk tiba di bandara.

Selain KA bandara, calon penumpang pesawat juga bisa menggunakan moda transportasi lainnya, antara lain bus DAMRI dan taksi.

"Kami berharap ini dapat memberikan kemudahan kepada pengguna jasa bandara, setidaknya ada alternatif jarak tempuh, waktu, dan jenis moda transportasi," ujarnya.

Minggu, 08 Agustus 2021

Sebelum Wafat, Almarhum Christianto Wibisono Menulis Surat Terbuka Perihal Cina

foto redaksiindonesia.com

Sebelum Wafat, Almarhum Christianto Wibisono 
Menulis Surat Terbuka Perihal Cina
"*Hingga hari ini dipanggil dengan nama kafir, dirusak tempat ibadahnya, didiskriminasi dalam segala perijinan dan beasiswa, dan dihalalkan darahnya untuk dibunuh*"
In Memoriam,
Christianto Wibisono
Rest in Peace

Hal : Cina

Kepada Yang Terhormat Bapak Yusuf Kalla 

Dear Pak Kalla,

Statistik yang Andai kemukakan itu saya sangat percaya kebenarannya. Mungkin Anda bingung Pak dengan statistik ini, biar saya coba bantu menjelaskan dari sudut pandang saya sebagai Tionghwa Kristen.

Walau sebetulnya Anda juga pasti tahu kisah banyak konglomerat Tionghwa Kristen atau tionghoa Kong Hu Cu Indonesia yang memulai usahanya dari nol dan berasal dari keluarga miskin!

Menurut saya Pak, penyebab kesenjangan tersebut adalah akibat perbedaan budaya yang sangat besar, antara budaya yang sangat efisien dengan budaya yang sangat boros. Biar saya jabarkan dalam bahasa sehari-hari Pak ...

1. Bagi orang Tionghwa, dalam berbisnis menjaga kepercayaan bos (supplier) dan kepercayaan customer sangat penting. Ini menyebabkan kami tidak pernah kekurangan modal ketika dagangan membesar, karena selalu disupport supplier. 

2. Rata-rata kami dididik dan mendidik anak-anak kami, anggota keluarga kami dengan disiplin dan diajari tanggung jawab, terutama secara ekonomi. Bagi seorang Tionghwa membebani keluarga secara ekonomi sangatlah memalukan. Sebagian akan mengalami tidak dipandang sebelah mata, dan perasaan terinjak-injak. Namun semua itu tidak membuat kami cuma bisa sirik dan benci Pak, tapi memicu kami untuk bangkit dan berusaha sebaik-baiknya agar tidak dihina.

3. Kami tidak banyak mengeluarkan uang untuk berdandan, bersosialisasi, beramal, saweran sekeliling supaya dipandang kaya dan dihormati.

Jika ada Tionghwa yang melakukan itu semua, biasanya mereka yang sudah di level berekonomi berlimpah atau sedikit yang maksa. 

Pelit ya ..?
Memang itu sifat dasar etnis Tionghwa yang sudah tidak begitu parah sekarang, karena akulturasi budaya dan ajaran agama yang mengajarkan untuk memberi dan menabur kepada yang membutuhkan. Karena kami sangat disiplin kepada diri sendiri, kamipun memperlakukan orang lain seperti itu. Kalau kami dari susah bisa bangkit dengan kerja keras, maka orang lain kalau susah ya salahnya sendiri. Malas dan boros, tidak bisa jaga kepercayaan dan mental krupuk. Kami tidak akan kasihan dengan orang yang malas dan bermental jelek.

4. Kami jarang melakukan kawin cerai dan berpoligami, sehingga energi dan sumber daya keluarga tidak terbuang untuk urusan ribut rumah tangga dan kami bisa terus mengejar target ekonomi kami. 

5. Tionghoa Kristen yang sungguh² beriman banyakan bayar perpuluhan dari pendapatannya ke gereja dan menurut janji Alkitab berkat Tuhan akan tercurah bagi umat yg taat. Percaya atau tidak, data statistik Anda membuktikannya toh?

Sedang Tionghwa Kong Hu Cu rata-rata banyak membantu anggota keluarganya untuk bangkit secara ekonomi, namun tidak diberi ikan tetapi kail! Dan orang yang menabur yang baik tentu akan menuai yang baik kan?

6. Kesuksesan para Tionghwa tersebut tentu secara otomatis menarik naik kaum keluarga dan kerabatnya dari generasi ke generasi. Semua suku tentu lebih mudah berkomunikasi, berinteraksi dan menanamkan kepercayaannya kepada sesama kerabat dan sukunya sendiri toh? Apa Bapak tidak begitu?

7. Pembatasan profesi suku Tionghwa dari zaman dahulu dalam segala bidang telah membuat jalur dagang satu²-nya  jalan penghidupan. Sekarang di kala bangsa ini mulai menyadari perlunya mencetak banyak enterprenueur, kami sudah melakukannya dari generasi ke generasi. 

8. Mungkin darah dan air mata kami yang telah banyak tercurah di Bumi Pertiwi saat peristiwa pembantaian dengan isu PKI dan Kerusuhan Rasial 13 Mei 1998 telah mengetuk pintu belas kasihan Tuhan kepada kami, dan sebaliknya mendatangkan kutuk bagi para pelaku dan keturunannya. 

Mohon maaf Pak ...
Saya tidak bermaksud mengutuki, saya diajar untuk mengampuni dan mendoakan pertobatan mereka.

Begitu kurang lebih analisa saya sebagai seorang Tionghwa Kristen Pak.

Mungkin Bapak bisa kasih analisa mengapa banyak orang Islam yang miskin?

Kalau boleh saya kasih masukan Pak ...
Karena jumlah orang Islam itu ratusan juta di Indonesia Pak! Ya iyalah, lebih banyak orang miskin Islam dibanding orang miskin Tionghwa lho!

Dan ilmu ekonomi suku Tionghwa yang muktahir ada dalam diri seorang Ahok Pak, Tionghoa Kristen gila yang menyimpang dari kebiasaan sukunya yang rata-rata punya prinsip "Jangan mencampuri urusan orang lain, apa untungnya?”

Si kafir Ahok punya hati dan belas kasihan untuk membenahi perekonomian orang-orang miskin di DKI dengan visi "Penuh perutnya, dompetnya dan otaknya".

Dengan tidak mengejar pertambahan kekayaan bagi dirinya sendiri yang sangat bertentangan dengan budaya Tionghoa, di mana ekonomi keluarga itu No 1, sosial nomor terakhir.

Dan apa yang dilakukan bangsa ini kepada Ahok ?
Memenjarakannya !
Dan menggesernya dengan pejabat yang trackrecord, kapabilitas dan integritasnya belum teruji hanya karena seiman.

Nah ... dengan pola pikir dan mental yang seperti ini ya saya gak heran Pak, mengapa masih banyak orang Muslim yang miskin di tanah air. Karena mereka masih dijajah oleh saudara seimannya (para koruptor yang punya prinsip tidak apa-apa korupsi kalau buat bangun Masjid dan sumbang anak yatim piatu. Bapak tahu gak uang haram itu mengandung kutuk?)

Well, begitulah panjang lebar penjelasan saya untuk dimengerti Pak !
Mohon maaf bila tersinggung, karena kamipun sudah bukan tersinggung lagi dan merasa dibully habis sejak dari zaman kecil yg kalau lewat sering diteriaki "Cina! Cina loe!”

Seorang fotografer Hungaria, Attila Manek, secara tidak sengaja menjepret seorang ibu yang sedang membeli buah

 

Seorang fotografer Hungaria, Attila Manek, secara tidak sengaja
 menjepret seorang ibu yang sedang membeli buah

Foto yang indah👆🏻diambil oleh seorang fotografer telah menjadi klasik yang beredar selama beberapa dekade. Seorang fotografer Hungaria, Attila Manek, secara tidak sengaja menjepret seorang ibu yang sedang membeli buah & sayuran di sebuah pasar di Budapest, Hungaria pada tahun 1987, membawa bayi kecil dalam kantong plastik transparan, dan bayi itu mengunyah apel.

Dalam foto tersebut, ibu dengan rambut pendek diprofilkan & dia tampak anggun & tampak seperti Putri Diana dari Inggris, yang membuat kagum banyak orang. Namun, yang lebih menarik perhatian adalah dia pergi ke pasar sayur & membawa bayinya di dalam kantong plastik besar. Garis otot urat tampak dilengan beban berat telah membuat foto ini banyak di repost oleh netizen selama bertahun-tahun.

33 tahun kemudian, fotografer Attila Manek sekali lagi menemukan pasangan ibu & anak Hungaria. Saat itu, bayi dalam kantong plastik telah tumbuh menjadi wanita dewasa muda berusia 30-an. Fotografer dan pasangan ibu & anak itu sekali lagi ke pasar Budapest, untuk menciptakan kembali pemandangan tersebut dengan cara yang lucu.

Sang putri dengan senang hati memegang foto yang diambil oleh Attila Manek sebelumnya dan berpose untuk berfoto setelah 33 tahun. Attila Manek membagikan foto terbaru ibu & anak Budapest ini pada awal 2020 dan karyanya dengan cepat mengundang banyak komentar dari netizen: "Sangat menyentuh! Bayi kecil itu tumbuh sehat dan sang Ibu setelah lebih dari 30 tahun masih anggun dan cantik.", 
"Saya sangat menyukai pasangan ibu dan anak ini, saya melihat hubungan mereka sangat baik", "Ibu benar-benar terlihat seperti Putri Diana, dan masih memancarkan temperamen yang luar biasa."

Sebuah rana sesaat menghubungkan cerita 33 tahun terpisah, meninggalkan gambar & kenangan abadi. Ini adalah kombinasi dari humanisme hangat & teknologi fotografi👇🏻
Ini anaknya sdh besar, dan dia bawa foto yg lama







Kasus Rizieg Kerumunan (Banding) di Petamburan dan Megamendung ditolak

*Kasus Rizieg Kerumunan (Banding) di Petamburan* 
*dan Megamendung ditolak*

"*Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Rizieq memaki pemerintah seolah pemerintah itu berada di bawah levelnya dan bisa seenaknya diinjak, bagaimana dia mendoakan lawan politiknya dengan kalimat-kalimat sumpah serapah dan sadis yang biasanya dilontarkan oleh orang tak berpendidikan dan tak beradab.*"Xhardy
Aug 07, 2021
Terlalu sibuk dengan sepak terjang Demokrat yang nyinyir terus belakangan ini, membuat kita lupa ada kabar lumayan bagus terkait dengan kasus Rizieq.

Sebelumnya Majelis Hakim PN Jaktim memvonis Rizieq dengan hukuman penjara delapan bulan dalam perkara pelanggaran protokol kesehatan di acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Petamburan.

Majelis Hakim juga menjatuhi hukuman denda sebesar Rp 20 juta atau diganti dengan hukuman lima bulan penjara bila tak membayarnya.

Sementara untuk kasus hasil swab tes di RS Ummi Bogor, Majelis Hakim menjatuhkan vonis empat tahun penjara terhadap Rizieq.

Ketua Majelis Hakim saat itu, Khadwanto, menyatakan Rizieq terbukti bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan penyiaran berita bohong dan timbulkan keonaran.

Pihak Rizieq tidak terima dengan hasil putusan tersebut dan berupaya mengajukan banding.

Hasilnya?

Hari Rabu lalu, banding Rizieq dalam kasus kerumunan di Petamburan dan Megamendung ditolak Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Bahkan Ketua Majelis Hakim PT DKI, Sugeng Hiyato, malah menguatkan vonis PN Jaktim.

Menurut kuasa hukum Rizieq, Aziz Yanuar, Rizieq bersyukur dan bersabar dengan putusan tersebut. Padahal, kalau dipikir-pikir, Rizieq pasti kesal dan marah dalam hati, hehehe. Tapi memang tidak ada yang bisa dia perbuat kecuali pasrah menerima kenyataan. Hanya bisa meratapi nasib di balik jeruji besi kecuali dia manusia super yang bisa membengkokkan besi saat marah.

Aziz juga menyebut bahwa Rizieq mendoakan Majelis Hakim yang mengandaskan bandingnya itu agar diberikan keberkahan dan kesehatan. Selain itu, dia juga meminta kepada hakim agar menegakkan keadilan dalam memutus setiap perkara yang ditangani tanpa memprioritaskan kebencian.

“Janganlah kebencian kita kepada sesuatu dan seseorang menjadikan kita tidak adil,” katanya. Dia juga mengatakan, ketidakadilan dan diskriminasi hukum membuat Indonesia tidak berkah dan mengundang kemarahan Allah.

“Lanjutkan revolusi akhlak,” kata Aziz Yanuar.

Mungkin ini adalah kabar yang bisa menaikkan kadar imun sedikit lebih tinggi dari biasanya. Banding terkait kasus swab di RS Ummi belum diketahui. Semoga saja tidak berubah. Ini kunci utamanya. Kalau dua kasus di atas diterima bandingnya pun tidak masalah asalkan kasus swab di RS Ummi tidak diutak-atik lagi. Biarkan negara ini lebih tentram dan damai di saat Rizieq menenangkan diri (atau malah menimbun dendam) di balik jeruji besi.

Semoga Rizieq tetap tabah menjalani hukumannya meskipun kita semua tahu orang seperti dia tidak akan terima dengan putusan tersebut. Dia tidak seperti Ahok secara ksatria tidak lari dari masalah, tidak melarikan diri, tidak absen hadir di persidangan dan tidak ambil hak bebas bersyarat dan jalani hukuman sampai selesai full komplit.

Semoga Rizieq bisa bertobat, meskipun kita tahu orang arogan seperti dia sangat sulit bertobat, karena besar kepalanya gak ketulungan akibat terlalu lama dipuja-puji oleh pendukungnya. Bahkan baliho pun disembah. Kacau.

Semoga Rizieq paham kalau dalam politik itu, sekali kena masalah, nyaris tidak ada yang bisa membantu. Fight alone. Paling hanya dapat support doa dan prihatin saja. Sisanya, jalani sendiri sambil menangis di pojokan. Tapi orang ini gak kenal kapok. Nanti kalau sudah bebas, ada yang nawarin, pasti bakal teriak lagi mempolitisasi isu hangat lainnya. Sejatinya, Rizieq ini memang seakan hidup dari mulutnya yang menjual sensasi, kontroversi, provokasi dan hasutan berbau ujaran kebencian.

Kekesalan kita sempat hampir mencapai puncaknya sebelum pemerintah memutuskan membereskan Rizieq hingga tak sanggup berdiri lagi.

Euforia begitu terasa saat baliho Rizieq dirobek. Rizieq berusaha melarikan diri dan akhirnya ditahan, adalah hadiah kejutan yang luar biasa. Mendengar vonis 4 tahun penjara, adalah hadiah yang lumayan meski dirasa masih kurang.
Mendengar bandingnya ditolak, anggap saja sebagai hiburan penambah imun.
*Arsip.TOPsekali.com*

Jumat, 16 Juli 2021

Khilafahisme Ambyar Pancasila Menggelegar, Dengarkan Agar Rakyat Indonesia Sadar

Khilafahisme Ambyar Pancasila Menggelegar, 
Dengarkan Agar Rakyat Indonesia Sadar 
ARSIP.TOPsekali.com
KHILAFAHISME AMBYAR PANCASILA MENGGELEGAR
Khilafah sebagai sistem ideologi sebenarnya tidak pernah eksis dalam sejarah. Para pemimpin negara Islam yang menyebut diri khalifah pun sebenarnya tidak lebih dari raja-raja yang menjalankan sistem monarkhi (al-mamlakah).
Di negara-negara teokrasi yang didasarkan atas agama, tak ada jaminan kebebasan beragama. Selalu ada "agama-agama kelas dua" yang disubordinasi di bawah Islam. Kalaupun ada praktek toleransi, itu tergantung siapa khalifah  yang berkuasa. Ada khalifah yang toleran, tetapi banyak pula yang fanatik buta, bahkan ada yang dijuluki si gila. Terlalu banyak bukti sejarah yang menyaksikan hal itu.
Sebaliknya, Pancasila sudah teruji sesuai dengan realitas masyarakat kita yang majemuk, yang ratusan tahun merayakan "Bhinneka Tunggal Ika" 
(Berbeda-beda tetapi satu). (By Bambang Noorsena).

Jumat, 11 Oktober 2013

TAN MALAKA: BAPAK REPUBLIK YANG TERLUPAKAN
Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.

Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya �Bapak Republik Indonesia�. Soekarno menyebutnya �seorang yang mahir dalam revolusi�. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.


SUTAN SJAHRIR: PERAN BESAR BUNG KECIL
Sutan Sjahrir adalah satu dari tujuh �Bapak Revolusi Indonesia�. Dia mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan walau dia sendiri absen dari peristiwa besar itu.

Dia memilih jalan elegan untuk menghalau penjajah. Yakni melalui diplomasi: cara yang ditentang �Bapak Revolusi� lain.

Sejarah telah menyingkirkan peran besar Bung Kecil- begitu Sjahrir biasa disebut. Meninggal dalam pengasingan, Sjahrir adalah revolusioner yang gugur dalam kesepian.



NJOTO: PENIUP SAKSOFON DI TENGAH PRAHARA 
IA berbeda dari orang komunis pada umumnya. Ia necis dan piawai bermain biola dan saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak melulu �pro-rakyat� dan menggelorakan �semangat perjuangan�.

Ia menghapus The Old Man and the Sea�film yang diangkat dari novel Ernest Hemingway�dari daftar film Barat yang diharamkan Partai Komunis Indonesia. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang �kapitalis� harus selalu dimusuhi.

HATTA: JEJAK-JEJAK YANG MELAMPAUI ZAMAN
Ketika wafat pada 1980, ia meninggalkan "30 ribu judul buku" dalam perpustakaan pribadi, sebagai warisannya yang termahal.
Integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya mutiara yang langka di antara deretan pemimpin Indonesia masa kini maupun lampau. Tapi dia lebih langka lagi sebagai negarawan yang menulis.

Mari bertamasya sejarah bersama Hatta.

KARTOSOEWIRJO: MIMPI NEGARA ISLAM
Berasal dari keluarga abangan, sekarmadji maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam.

Hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan negara Islam masih bergelora di kalangan sebagian umat islam negeri ini.

G 30 S DAN PERAN AIDIT
BERTAHUN-TAHUN orang mengenalnya sebagai "si jahat". Lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok.
Bertahun-tahun terdengar kalimat-kalimat ini meluncur dari mulutnya: "Djawa adalah kunci..." "Djam D kita adalah pukul empat pagi..." "Kita tak boleh terlambat...!"
Tapi ia bukan sepenuhnya "si brengsek", sebagaimana ia bukan sepenuhnya tokoh yang patut jadi panutan.

100 CATATAN YANG MEREKAM PERJALANAN SEBUAH NEGERI

MEMPERINGATI 100 Tahun Kebangkitan Nasional, kami menyajikan edisi khusus yang berbeda, yakni memilih 100 teks yang terbit mulai 1908 yang kami anggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Istilah teks dipakai di sini karena yang kami pilih tidak hanya buku, tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, juga roman dan puisi.

Kamis, 10 Oktober 2013

Santri Kelana Ahli Tarekat

SUARA "mesin toelis" selalu terdengar setiap malam dari salah satu kamar di ujung kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Tahunnya 1934: mesin ketik masih barang langka dan mewah.

Para santri yang masih terjaga merasa terganggu. Tapi siapa berani memprotes? Sang pengetik adalah Abdul Wahid Hasyim, putra KH Hasyim Asy'ari, pengasuh pondok. Wahid baru pulang dari Mekah. Dalam usia 20 tahun, anak sulung dari sepuluh bersaudara itu diminta ayahnya membantu mengajar dan membimbing para santri. "Semua dawuh Gus Wahid ketika itu dianggap top," kata Muchit Muzadi, 87 tahun. "Ndak ada yang berani protes kalau beliau lagi mengetik."

Muchit masuk Tebuireng pada 1937 dalam usia 12 tahun. Ia lulus Salafiyah pada 1943. Pondok masih dipimpin langsung KH Hasyim Asy'ari, dibantu putranya, Wahid Hasyim. Tertarik pada suara mesin ketik, Muchit dan sejumlah santri sering mengendap-endap, mengintip Wahid Hasyim dari balik jendela kamar. Wahid tak merasa terganggu, malah membiarkan santri-santrinya meninjau dari balik jendela kaca.

Rasa penasaran Muchit terhadap "mesin" terpenuhi karena dia kenal Karim Hasyim, adik Wahid Hasyim-yang membiarkannya ketak-ketik sembarangan ketika si gus sedang mengajar. "Gus Wahid tahu saya belajar mengetik pakai mesin itu, tapi beliau diam saja," Muchit bercerita. Kamar dengan penerangan senthir, lampu minyak yang digantung, itu tiap malam tak pernah hening. Jika tak mengetik, bisa dipastikan Wahid sedang membaca. "Sejak saya menginjakkan kaki di Tebuireng, saya melihat beliau tak pernah berhenti membaca," kata Muchit.

***

PADA masa awal kelahirannya, Wahid sering sakit-sakitan. Sebagai anak lelaki pertama-empat anak terdahulu perempuan-hal itu merisaukan ibundanya, Nyai Nafiqoh. Sang ibu bernazar, pada usia tiga bulan Wahid akan dibawa ke guru ayahnya, KH Kholil, di Bangkalan, Madura.

Ketika waktu itu tiba, Bangkalan sedang disiram hujan lebat. Petir sambar-menyambar. Bukannya membukakan pintu, Kiai Kholil malah meminta tamu dan bayinya itu menunggu di halaman rumah. Karena cemas melihat bayinya kehujanan, Nyai Nafiqoh menggendong sang bayi berteduh di emper sambil berdoa.

Tuan rumah tidak kasihan, tapi malah memerintahkan membawa sang bayi kembali ke halaman. Beberapa waktu kemudian, KH Kholil meminta bayi itu dibawa pulang. "Kisah itu menjadi isyarat, kelak sang bayi akan menjadi orang besar," kata Munib Huda, sekretaris pribadi Abdurrahman Wahid, anak tertua Wahid. Munib menilai kisah itu hanya bisa ditafsirkan oleh orang-orang yang ikhlas dan linuwih. Wahid lulus dari Madrasah Tebuireng pada usia 12 tahun. Di sela-sela pelajaran agama, dia menghafal syair-syair berbahasa Arab. Setahun kemudian, dia meminta izin kepada ayahnya untuk mengembara ke sejumlah pesantren.

Dalam berbagai pengembaraan ke pesantren-pesantren, Wahid selalu menggunakan oto, sebutan mobil zaman dulu, yang disetirnya sendiri. Selain dalam usia belasan tahun sudah mahir menyetir mobil, ia piawai mengendarai sepeda motor. Pernah, suatu ketika, karena ngebut, ia dan sepeda motornya nyemplung ke kali di depan pesantren. Lebar kali itu hampir empat meter dan arusnya deras. Tapi ia tak kesulitan saat naik ke jalan. Mesin sepeda motornya tetap menyala dan tubuh serta pakaiannya tidak basah. "Ia mengaku perasaannya tidak masuk ke kali, melainkan di jalan raya," kata Imam Tauhid, mantan abdi dalem Pondok Pesantren Tebuireng. Wahid memulai pengembaraan dengan menyantri di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo, selama 25 hari, 1-25 Ramadan. Kemudian pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, yang didirikan KH Abdul Karim, alumnus Tebuireng dan kawan dekat ayahnya.

Dari Lirboyo, Wahid meneruskan pengembaraan ke sejumlah pondok pesantren di sekitar Jawa Timur. Selama dua tahun ia berpindah-pindah pesantren, kemudian pulang ke Tebuireng. Mondok berpindah-pindah merupakan tradisi nahdliyin. "Para santri sering berkelana untuk mencari barokah sang kiai," kata Munib Huda. "Jika santri mondok, makan dan minum juga ikut kiai."

Menurut Munib, di era muda Wahid, kiai di tiap pondok punya spesialisasi masing-masing. Ada spesialis ilmu fikih, tafsir, falaq, manteq, atau hukum agama. Aura dan karisma kiai masih benar-benar terasa. "Kalau sudah mondok di kiai-kiai, meskipun sebentar, sepertinya ilmu yang dimiliki menjadi peng-pengan alias dahsyat," kata Munib.

Kembali ke Tebuireng, Wahid mulai mengenal huruf Latin. Ia juga mulai membaca buku berbahasa Inggris, Jerman, dan Belanda serta mempelajari matematika, ilmu bumi, dan pengetahuan umum. Dia juga berlangganan majalah tiga bahasa terbitan Bandung. "Huruf Latin pada masa itu tak diajarkan di pondok," kata Salahuddin Wahid, salah satu putra Wahid Hasyim. Yang ingin bisa menulis Latin, belajar bahasa Inggris atau Belanda, harus belajar sendiri. "Pesantren tidak mau mengajarkan bahasa asing karena waktu itu sedang melawan Belanda."

Pada 1932, di usia 18 tahun, Wahid pergi ke Tanah Suci didampingi sepupunya, Muhammad Ilyas. Sembari menunaikan ibadah haji, mereka berdua diminta mendalami ilmu tafsir, hadis, nahwu, shorof, dan fikih. Dua tahun kemudian ia kembali ke Jombang. Kehadirannya di pondok membawa pencerahan. Dia mengusulkan kepada ayahnya perombakan kurikulum pendidikan pesantren, dari klasikal ke tutorial. Ide itu sempat ditolak, tapi kemudian bisa diterima. Hubungan pondok dengan dunia internasional juga kian luas karena Wahid bisa membantu menerjemahkan surat-surat ke berbagai bahasa. "Ayah saya yang memulai pendidikan non-agama di pesantren," Salahuddin bercerita. "Beliau berlangganan majalah, memahami sesuatu, lalu membeli buku. Semua ilmu dia pelajari otodidaktik."

Perombakan kurikulum diterima sang ayah dengan merestui berdirinya Madrasah Nizamiyah, yang tempat belajarnya di serambi Masjid Tebuireng dengan siswa pertama 29 orang. Abdul Karim Hasyim termasuk siswa pertama. Pelajaran menggunakan tiga bahasa: Arab, Belanda, Inggris.

Menurut Lily Wahid, Ilyas yang pertama kali memperkenalkan bahasa Belanda kepada Wahid. Pemahaman terhadap Belanda berubah: harus menguasai agar bisa membebaskan diri dari penjajah. "Ketika kami pindah ke Jakarta, ibu saya juga mengikuti kursus bahasa Belanda," kata Lily.

Berbeda dengan Wahid, yang tak pernah bersekolah formal, Ilyas sempat duduk di bangku Hollandsch Inlandsche School, sekolah dasar Belanda. "Wahid Hasyim produk pengajaran ayahnya, tak pernah masuk sekolah Belanda," kata Zamakhsyari Dhofier, 71 tahun, Rektor Universitas Sains Al-Quran, Wonosobo, Jawa Tengah. Wahid sengaja tak dimasukkan ke sekolah Belanda karena KH Hasyim Asy'ari takut hal tersebut memicu kontroversi di kalangan ulama, yang ketika itu melawan kolonialis Belanda. Justru Ilyas, sepupu Wahid, yang dikirim ke sekolah Belanda. "KH Hasyim Asy'ari berstrategi, dari Ilyas inilah Wahid kelak bisa belajar soal Belanda tanpa menimbulkan kontroversi," kata Dhofier.

KH Imam Tauhid, 87 tahun, abdi dalem keluarga Hasyim Asy'ari selama 32 tahun, yakin Wahid seorang wali. Ia selalu berpuasa sejak usia 12 tahun. Makan hanya sayuran, tempe-tahu jarang, ikan sama sekali tak pernah. Tiap malam ia melakukan salat tahajud. Beliau bisa berjalan tanpa menapak tanah, kata Imam. Mobil cuma ditepuk langsung mogok. Kereta api yang ditumpangi santri dari Jakarta yang hendak ke Tebuireng tapi kebablasan, cuma ditepuk tangan saja, berhenti. Dia orang khos, kata Imam.Gus Wahid tak pernah lelah berkelana sambil belajar, dan sepanjang hidupnya melakukan tirakat.

Penerus Makrifat Syekh: Mudin Penakluk Harimau

Abdul Wahid Hasyim dikenal suka mentraktir dan tidak membeda-bedakan teman. Memberontak dengan mengenakan celana panjang-bukan sarung-di pesantren.

PULUHAN santri dan warga Tebuireng berdesakan di masjid pondok pesantren. Mereka tengah menggelar pengajian yang rutin digelar setiap Jumat seusai salat isya. Suara mereka terdengar hingga ke dalam kasepuhan, yang berjarak sekitar 10 meter dari masjid. Kasepuhan adalah tempat bermukim keluarga besar Kiai Hasyim Asy'ari, pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Malam itu, 1 Juni 1914, suasana di dalam kasepuhan tak kalah ramai. Nafiqoh, istri kedua Hasyim, tengah menahan rasa sakit lantaran detik-detik kelahiran bayi yang dikandungnya makin dekat. Dia dikelilingi sejumlah kerabat dan pelayan dekat. Menjelang malam, dari dalam kasepuhan melengking tangis bayi. Nafiqoh melahirkan bayi lelaki. Air mata bahagia meleleh dari putri Kiai Ilyas, pengasuh Pondok Pesantren Sewulan, Madiun, itu. Hasyim memberi nama putranya Muhammad Asy'ari. Nama ini diambil dari nama ayah Hasyim. Ia mewariskan nama itu kepada sang bayi karena empat kakaknya semuanya perempuan. Tapi, sebulan kemudian, nama ini diganti. Asy'ari kecil sering sakit hingga tubuhnya makin lama makin kurus. Nama itu dianggap terlalu berat disandang sang bayi.

Hasyim kemudian mengganti nama putra pertamanya itu dengan Abdul Wahid Hasyim. Nafiqoh memanggil anaknya itu dengan panggilan "Mudin". Menurut Imam Tauhid, kini 87 tahun, fisik Gus Wahid-demikian ia menyebutnya-biasa saja. Imam pernah menjadi abdi dalem kasepuhan Pesantren Tebuireng selama 32 tahun. "Dia tidak cakep, tapi makrifatnya tinggi," katanya saat ditemui di rumahnya di Dusun Balongjambe, Pare, Kediri. Wahid kecil memang memiliki kemampuan yang tak sama dengan anak lain. Sang ayah tak menyekolahkannya ke Hollandsch Indische School layaknya putra seorang tokoh pada zaman itu. Hasyim memang dikenal antisekolah yang didirikan penjajah. Ia pun memilih mengajar anak-anaknya sendiri. Karena cerdas, Wahid cepat menyerap semua pelajaran yang diberikan.

"Kalau saat itu bisa dihitung, nilai IQ ayah saya pasti tinggi," kata Salahuddin al-Ayyubi, anak ketiga Wahid, yang kini memimpin Pesantren Tebuireng, dan biasa dipanggil Gus Solah. Umur lima tahun Wahid sudah belajar membaca Al-Quran. Hasyim sendiri yang mengajar putranya itu setiap seusai salat zuhur dan magrib. Untuk pengetahuan agama lain, Wahid\ belajar di Pesantren Tebuireng pada pagi hari. Karena cepatnya ia menyerap ilmu yang diajarkan, pada umur tujuh tahun ia sudah mulai belajar "kitab". Di antaranya kitab Fathul- Qarib, Minhajul Qawim, dan kitab Mutammimah. Hasyim memiliki kamar khusus untuk anak-anaknya belajar ilmu kitab itu. "Semua anaknya diperintahkan belajar di ruangan itu," kata Abdul Hakam, 68 tahun, salah seorang cucu Hasyim yang pernah tinggal di kasepuhan.

Kendati demikian, bukan berarti Wahid tidak pernah bermain-main layaknya anak lain. Meski tergolong bocah pendiam, ia kerap bermain dengan teman sebayanya. Wahid juga kerap mengajak kakak dan adik-adiknya bermain bersama-sama. "Ia sangat perhatian sama adik- adiknya," kata Imam. Meski sebagai anak kiai, yang dianggap memiliki derajat lebih tinggi,

Wahid bermain dengan semua anak. "Dia tak pernah memilih-milih teman," ujar Imam. Gus Wahid juga suka mentraktir teman-temannya. Ia juga dikenal suka berbagi pisang goreng, makanan kesukaannya. Bila ibunya tidak membuat penganan itu, ia kerap membeli pisang goreng di warung sekitar pondok dan membaginya kepada kawan-kawannya. Tak seperti anak kebanyakan, Wahid kala itu kerap mendapat uang saku dari orang tuanya. Jika uang sakunya habis, sementara ia ingin jajan, biasanya ia menulis memo di atas secarik kertas yang kemudian ia tukarkan dengan makanan yang ia inginkan. "Nanti ayah atau ibunya yang akan membayar makanan berdasar memo itu," kata Imam.


Seperti anak-anak lainnya, Wahid kerap dimarahi ayahnya jika bersalah. Berbeda oleh sang ayah, jika yang memarahi ibunya, biasanya ia lalu menangis. Imam mengenang bagaimana sang ibu kerap menenangkannya saat Wahid kecil menangis. "Kamu jangan suka nangis, karena nanti kalau sudah besar bakal jadi menteri," kata Nafiqoh seperti ditirukan Imam. Ucapan yang kelak ternyata memang benar. Wahid juga dikenal memiliki selera makan yang tidak macam-macam. Kegemarannya adalah makan nasi putih dan kulup (sayur-mayur yang direbus). Ia tak suka makan ikan, daging, atau tahu-tempe. Meski makanannya terkesan tak bergizi, ia terhitung jarang sakit. "Tubuhnya kuat karena sering bermain sambil olahraga," kata Imam.

Saat bermain, Wahid gemar berlari ke sana-kemari. Ini pulalah yang dilakukannya saat ayahnya mengajar para santri. Dengan santainya Wahid berlari-lari dan menggelendot pada ayahnya. Tapi ia memang luar biasa. Sembari bermain seperti ini, ia menguping dan menyerap pelajaran yang disampaikan ayahnya kepada para santri itu.

Karena cepatnya ia menyerap ilmu itu pulalah, pada usia 12 tahun, setamat dari madrasah Tebuireng, ia sudah bisa mengajar. Murid pertamanya adiknya sendiri: Abdul Karim Hasyim. Sambil mengajar adiknya pada malam hari, biasanya ia belajar dan membaca buku-buku dalam bahasa Arab.

Wahid juga menyerap ilmu dari pesantren di luar Tebuireng. Ia, antara lain, pernah belajar di Pondok Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, juga Pesantren Lirboyo, Kediri. Pesantren ini dibangun teman ayahnya, Kiai Abdul Karim. Ia hanya tiga hari berada di pesantren ini. Era mencari ilmu dari pesantren ke pesantren ini dilakoni Wahid hingga usia 15 tahun. Tempo sempat menemui Kiai Haji Aziz Masyhuri di Pesantren Al-Aziziyah di Dusun Denanyar, Jombang. Ia pernah menulis biografi Wahid Hasyim, yang dimuat dalam buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia. Ia berkisah Wahid kerap berpindah-pindah pesantren karena tak menemukan pesantren yang cocok. "Ia hanya menyerap apa yang hanya dianggapnya baik, setelah itu berkelana ke pesantren lain," katanya.

Wahid juga dikenal memiliki khos (kekhususan) dalam dirinya. Menurut Imam, Wahid pernah mempertunjukkan kelebihannya itu dengan naik ke punggung harimau peliharaan ayahnya. Harimau itu dikurung di kandang di bawah pohon besar beberapa meter dari masjid kasepuhan. Imam sendirilah yang sehari-hari bertugas memberi makan harimau itu. "Harimau itu tak melawan saat Gus Wahid menungganginya," kata Imam.

Meski dikenal sebagai anak yang sopan dan patuh kepada orang tua, Wahid remaja sempat menunjukkan pemberontakannya terhadap tradisi pesantren. Saat kecil, seperti yang lain, ia dikenal hanya suka bersarung dan mengenakan blangkon, busana "sehari-hari" warga pondok. Suatu ketika, saat remaja, ia membuat geger pesantren lantaran muncul bercelana panjang. Tingkah lakunya itu membuat Hasyim berang. Hasyim menegur putranya itu. Tapi Wahid berkukuh, menyatakan memakai celana tidak melawan agama. Sang aayah pun mengalah dan membiarkan anaknya tersebut bergaya dengan caranya sendiri.

Pesantren di Sarang Penyamun

TEKAD Hasyim Asy'ari sudah bulat. Ia akan membangun pondok pesantrennya sendiri. Setelah berzikir dan berdoa, ia pun memilih kawasan Tebuireng, Jombang, untuk mewujudkan cita-citanya itu. Pada 1899-saat itu umurnya 28 tahun-Hasyim memboyong keluarganya, pindah dari Nggendang, Jombang, tempatnya selama ini bermukim, menuju Tebuireng.

Niat ini awalnya ditentang semua saudara dan teman-teman dekatnya. Bahkan ia diejek dan ditertawai kiai-kiai lain. Mereka tahu Tebuireng adalah daerah yang berbahaya dan tanpa agama. Orang menyebut Desa Tebuireng sebagai desa tanpa perikemanusiaan. Penduduk di sana punya hobi merampok dan lokasi pelacuran bertebaran di sepanjang jalan. "Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia," kata Hasyim kepada yang menentangnya kala itu. Desa Tebuireng menjadi kawasan "jahiliah" karena ada pabrik gula warisan Belanda. Para buruhnya tinggal di sekitar pabrik. Mereka gemar berjudi, hura-hura di pasar malam, dan keluar-masuk tempat pelacuran yang tumbuh subur. Penyamun juga berdatangan ke tempat ini, menyatroni para buruh berkantong tebal atau memalak mereka yang keluar-masuk tempat pelacuran.

Hasyim muda tetap nekat. Ia mendirikan pondok yang hanya terletak sekitar seratus meter di seberang pabrik. Awalnya ia mendirikan sebuah pondok beratap rumbia. Hanya berukuran 6 x 8 meter persegi, pondok itu terbagi atas dua ruangan. Hanya dua santri yang berguru di situ pada mulanya. Beberapa bulan kemudian, jumlah santri bertambah jadi 28 orang.

Meski lumayan banyak, para santri itu tak bisa hidup tenang. Selama dua tahun pertama, mereka tidur berdesakan di dalam bilik-bilik dan tak berani merapatkan ke tubuh ke dinding yang terbuat dari gedek (anyaman bambu). Saat itu sering terjadi "perang kecil" antara santri dan penduduk yang tak suka kepada mereka. Para penduduk, terutama di malam hari, sering menyerang mereka dengan menusukkan tombak dan parang dari balik dinding. "Para begundal saat itu ganas sekali," kata Imam Tauhid, 87 tahun, salah satu pelayan Kiai Hasyim yang kini masih hidup, kepada Tempo. Imam kini bermukim di Dusun Balongjambe, Pare, Kediri.

Perlahan-lahan, perang ini dimenangi Hasyim dengan para santrinya. Menurut Imam, satu per satu perampok itu angkat kaki. Lokasi pelacuran dan judi pun mereka gusur. Pesantren Tebuireng mulai kebanjiran santri hingga mencapai 200 orang. Pada 6 Februari 1906, pesantren ini mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda.

Pada zaman revolusi, Pesantren Tebuireng pernah diserbu Belanda karena dianggap membangkang. Mahmad Baedlowi, salah seorang cucu Hasyim, bercerita kepada Tempo, pesantren itu sempat berkali-kali diserang tentara Belanda. Keluarga Hasyim dan para santri terpaksa mengungsi. Belanda bahkan pernah membangun markas tentaranya di sisi utara pesantren. Kendati pesantren dibombardir pasukan Belanda, bisa dibilang mortir-mortir Belanda tak pernah mengenainya. "Bom mereka selalu meleset dan hanya meledak di sekitar pesantren," kata pria 73 tahun itu.

Setelah seabad lebih tumbuh, Pesantren Tebuireng kini berkembang pesat. Tebuireng menjadi pelopor pesantren modern. Pesantren yang kini berdiri di atas lahan 12 hektare itu terbagi atas tiga kompleks bangunan yang berdekatan: asrama putra-putri, gedung SMP dan SMA, serta sebuah universitas. Jumlah santrinya kini sekitar 1.500 orang.

Tiga pekan lalu, saat Tempo mengunjungi Tebuireng, terlihat pesantren legendaris itu tengah dibenahi. Sejumlah gedung dipugar. Menurut Salahuddin Wahid, salah satu putra Wahid Hasyim yang kini memimpin pesantren itu, bangunan asli pesantren tetap dipertahankan. Salah satu bangunan yang berkali-kali direnovasi tapi tetap dipertahankan bentuknya adalah masjid yang dibangun Hasyim Asy'ari. "Kami ingin pesantren ini terus berdiri hingga kiamat nanti," kata kiai yang biasa disapa Gus Solah itu.

Berakar dari Sultan Demak

Abdul Wahid Hasyim merupakan keturunan keluarga ulama masyhur, para perintis pesantren di Jawa. Ayahnya, KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya putri KH Muhammad Ilyas, pendiri Pesantren Sewulan, Madiun. Seperti umumnya keluarga ulama waktu itu, perkawinan merupakan perjodohan antar-anak kiai atau anak kiai dengan santrinya.

Dirunut lebih jauh, dari pihak ibu, Wahid Hasyim masih keturunan Ki Ageng Tarub I. Sedangkan dari pihak ayah, silsilah itu sampai pada Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya, raja pertama Kesultanan Pajang (1549-1582). Keduanya bermuara di Sultan Demak Raden Brawijaya VI, yang berkuasa pada 1478-1498.

Para ilmuwan memang masih ragu terhadap perihal silsilah ini karena sanad nasab itu berupa cerita oral. Tapi buku-buku yang mengulas kisah hidup ulama Jawa memakai silsilah itu untuk menerangkan pertalian darah mereka dengan pendiri kerajaan Islam di Jawa, wali-wali, bahkan hingga Majapahit.

Wahid Hasyim juga sepupu satu buyut dengan R. Ng. Haji Minhadjurrahman Djojosoegito, pendiri Jaringan Ahmadiyah Indonesia aliran Lahore. Minhadjurrahman-yang dididik secara Muhammadiyah dengan berguru kepada Ahmad Dahlan-teman debat Wahid Hasyim. Karena itulah tak aneh jika Wahid punya pemikiran terbuka terhadap golongan ini. Ia tahu persis bagaimana Ahmadiyah, baik secara pemikiran maupun nasab atau keturunan.

Wahid Hasyim

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy�ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada Jum�at legi, 5 Rabi�ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy�ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.

KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato.Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.

Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A�la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah,PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga kemudian duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).

Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr.Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain.

Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.

Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi �Majelis Syuro Muslimin Indonesia� (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan penerbitan Majalah �Suara Muslimin� yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.    

Selama zaman kependudukan Jepang KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentraldi kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdir idari: KH. Hasyim Asy�ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua.

Oleh karena KH HasyimAsy�ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945)Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman Jepang ialah, mengambil unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. �Kerja sama� dengan Jepang (pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim,dijadikan pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur�an segalayang batil pasti akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang panjang.

Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren.

Wafat dalam usia belum 40 tahun menyebabkan dunia Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik dan masyarakat baik tua maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah akan tumbuh akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul

Wahid hasyim hanya ada satu dalam sejarah ummat manuasia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya harum tidak pernah akan mati.

Selasa, 09 November 2010

Misteri Surat Untuk Sukarno-Hatta

"SAYA, sebagai perwira muda, saat itu sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam politik," kata Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Ketika itu, perseteruan antara Perdana Menteri Mohammad Hatta dan kubu Front Demokrasi Rakyat, koalisi kekuatan "sayap kiri" di Indonesia, semakin runcing sejak Agustus 1948. Sedangkan Letnan Kolonel Soeharto-menurut buku tersebut-membaca situasi, mengamati setiap kubu, dan menganalisisnya dengan cermat.

Aroma perang saudara sudah begitu pekat di udara setelah pasukan Brigade 29 yang pro dengan tulang punggung Partai Komunis Indonesia, melucuti senjata pasukan Siliwangi di Madiun, Jawa Timur, pada 19 September 1948. Presiden Sukarno dan Musso, Pemimpin Partai Komunis Indonesia saling menyerang melalui pidato maupun tulisan mereka. "Bagimu adalah pilihan antara dua: ikut Muso dengan P.K.I.-nja jang akan membawa bangkrutnja tjita-tjita Indonesia Merdeka-atau ikut Sukarno-Hatta," kata Sukarno dalam pidatonya hanya beberapa jam setelah pelucutan senjata.

Panglima Jenderal Sudirman tidak menginginkan anggota pasukan di Jawa Timur terseret konflik politik ini. Soeharto, yang dianggap netral, diutus membujuk Letnan Kolonel Soeadi, Komandan Pasukan Panembahan Senopati, supaya tidak bergabung dengan PKI. Soeharto dan Soeadi bertemu di Wonogiri, Jawa Tengah. Soeadi, yang memang condong ke PKI, malah mengajak Soeharto berkeliling meninjau kondisi Kota Madiun.

"Saya ditelepon Soeharto dari Mantingan (kecamatan di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur)," ujar Soemarsono, Gubernur Militer Madiun ketika itu. Setelah tiba di Madiun, Soemarsono mengajak Soeharto berkeliling kota untuk menunjukkan tidak ada pemberontakan di kota itu. "Menurut pidato Sukarno, bendera Merah Putih di Madiun sudah diganti bendera palu arit. Saya minta Soeharto melihat mana ada bendera merah, semuanya bendera merah putih."

Di rumah Residen Madiun yang ditinggali Soemarsono, Soeharto berjumpa dengan Musso yang sudah satu setengah bulan tiba di Indonesia. Selama berpuluh tahun, setelah pemberontakan PKI pada 1926 gagal, Musso tinggal di luar negeri. Baru kali itulah Soeharto bertemu Musso. Tokoh komunis itu mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam, dan kopiah. Mereka kemudian berbincang-bincang. Soeharto menanyakan kepada Musso kenapa pemerintah dan Front Demokrasi royal malah ikut berseteru.

+ Apakah tidak sebaiknya kita tinggalkan permusuhan dan bersatu melawan Belanda?

- Bagi saya pun demikian, Bung Harto. Saya juga datang, kembali ke Indonesia, untuk mempertahankan kemerdekaan. Tapi rupanya Sukarno dan Hatta tidak senang kepada saya, mencurigai saya.

+ Kenapa tidak diadakan pembicaraan?

- Baru saja bertemu, tapi tidak ada kesepakatan.

+ Apakah boleh saya sampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta bahwa sebenarnya Pak Musso masih menginginkan persatuan?

- Ya, tolong sampaikan. Tapi terus terang, Bung Harto, kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan.

Menurut penuturan Soemarsono, yang kini tinggal di Sydney, Australia, seusai pertemuan tersebut, dia meminta Soeharto membuat surat pernyataan bahwa situasi Madiun aman dan tak ada sinyal-sinyal pemberontakan. "Mas saja yang buat, saya tidak terbiasa," kata Soemarsono mengutip jawaban Soeharto saat itu. Soemarsono meminta Soeharto menyampaikan surat itu ke Presiden Sukarno dan perdana menteri Hatta.

Mantan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin yang sudah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia juga menitipkan sepucuk surat untuk Presiden Sukarno. Amir, kata Soemarsono, mengirim surat pribadi yang berisi permintaan agar Bung Karno turun tangan mendamaikan kedua belah pihak.

Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan menyampaikan semua pernyataan Musso kepada Panglima Sudirman yang ketika itu sudah sakit keras. "Pak Dirman yang menyampaikan hasil pertemuan dengan Musso ke Bung Karno dan Bung Hatta," kata Soeharto. Memang tak ada data sejarah menyatakan apakah pesan Musso itu sampai ke Sukarno dan Hatta. Yang pasti, perang saudara itu tak tercegah lagi. Dan Musso tewas di ujung senapan.

Soemarsono: Kami Tidak Memberontak

KINI dia 89 tahun. Tapi ia bicara dengan tegas, jelas, sesekali meledak-ledak. Ingatannya terjaga baik, ia bercerita dengan runtut dan mendetail. Keriput di wajah, tubuhnya yang terlihat ringkih, tak kuasa menghalanginya bicara panjang lebar tentang sejarah pergerakan Indonesia. Ia menilai telah terjadi pemutarbalikan sejarah, dan itu tak adil baginya.

Soemarsono, mantan Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, juga bekas pemimpin Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), menganggap Peristiwa Madiun adalah bagian penting dari sejarah hidupnya.

Dia berperan penting mengkoordinasi gerak cepat empat batalion Brigade 29, pasukan ABRI yang pro-Partai Komunis Indonesia, pada dinihari 18 September 1948. Dalam beberapa jam, Soemarsono dan pasukannya melucuti pasukan Siliwangi, Brimob, dan polisi militer di barak-barak mereka sendiri.

Sebagian besar anggota Brigade 29 memang eks anggota Pesindo. Soemarsono bersama pasukan ini bertarung hidup-mati mempertahankan Surabaya dari serangan Inggris, pada 10 November 1945. "Meski bukan komandan di pasukan itu, pengaruh saya besar," kata Marsono, begitu dia biasa disapa, sambil tertawa.

Ditemui dua kali pada September lalu di rumah putrinya di Jakarta, Soemarsono, yang kini bermukim di Sydney, Australia, menceritakan kembali apa yang terjadi di Madiun dan sekitarnya pada akhir 1948. Ia tetap keras menolak peristiwa itu disebut sebagai pemberontakan.

Banyak yang menyebut Peristiwa Madiun 1948 merupakan pemberontakan PKI.

Saya menolak istilah pemberontakan untuk menyebut peristiwa yang terjadi di Madiun itu. Kami tidak berinisiatif untuk terlibat dalam bentrokan. Kami hanya membela diri.
Semua berawal dari pemogokan serikat buruh dalam negeri di Madiun pada awal September 1948. Mereka menuntut kenaikan upah dan berunjuk rasa di depan di kantor wali kota. Setelah mogok sehari, tiga orang pemimpin serikat itu hilang, diculik tentara.

Reaksi Anda?

Saya tentu bertanya kepada komandan teritorial Tentara Nasional Indonesia di Madiun, Letkol Sumantri. Dia mengaku tidak tahu siapa yang menculik. Lho kok bisa, padahal kami mendapat informasi dari anak-anak Brigade 29 bahwa ketiga aktivis buruh itu ditahan di markas Siliwangi. Saya berkesimpulan, para penculik adalah tentara gelap yang tidak melapor saat masuk Madiun. Kami putuskan bergerak untuk membebaskan pemimpin buruh yang diculik.

Apa yang kemudian terjadi?

Saya akan ditangkap. Dokter Moestopo, kawan seperjuangan saya dari Surabaya, datang menemui saya di Pabrik Gula Rejoagung. Dia kolonel pasukan Siliwangi. Begitu bertemu, dia memeluk saya dan menangis. Saya bertanya, ada apa. Dia mengaku mendapat perintah untuk menangkap saya. Tentu saya marah. Saya berkata padanya, tangkap saja, tapi apa mungkin menangkap saya tanpa ada perlawanan.

Lalu?

Setelah itu, datanglah Kepala Korps Polisi Militer Madiun, Kapten Sunardi, ke tempat saya. Dia juga memberikan informasi bahwa saya akan ditangkap. Saya bertanya: soal apa. "Bung dianggap melawan pemerintah," kata Sunardi. Staf intelijen Pesindo menyampaikan kabar serupa. Sejak itu saya lebih berhati-hati.

Anda merasa diteror?

Suatu hari, seseorang menembak saya di pekarangan rumah. Tapi tembakannya meleset, dan peluru kena pohon. Sejak itu, saya bersiap-siap. Pasti ada yang menteror. Saya siapkan pistol di mobil, meskipun saya pergi ke mana saja tanpa sopir. Mobil saya waktu itu Chevrolet tahun 1942.

Suasana Madiun saat itu?

Banyak informasi akan ada teror atas orang-orang kiri. Semua resah. Apalagi di Solo sudah ada pertempuran. Kami mendengar kabar, pasukan Brimob dan polisi militer akan melucuti Brigade 29. Kami tidak bisa tinggal diam.

Mengapa Anda merasa terdesak? Bukankah Madiun ketika itu basis PKI?

Sebenarnya keresahan sudah dimulai saat kabinet Amir Sjarifoeddin jatuh. Kabinet Hatta membuat kebijakan baru, yaitu rasionalisasi tentara. Semua laskar, yang kebanyakan anggotanya PKI, akan dikeluarkan dari militer. Kami, yang tidak pernah bersekolah formal, tidak akan pernah menjadi perwira. Pendidikan tentara Divisi Senopati, misalnya, paling tinggi ongko loro (kelas dua SD). Kami semua akan diganti dengan tentara sekolahan. Siliwangi yang akan paling diuntungkan.

Anda menuding Hatta ikut melakukan provokasi sampai terjadi Peristiwa Madiun?

Hatta jelas melakukan provokasi. Dia yakin, jika masih ada orang PKI di aparatur pemerintah, Barat tidak akan mengakui kemerdekaan Indonesia. Dia juga membebaskan Tan Malaka. Padahal semua orang tahu Tan Malaka musuh orang-orang PKI.

Jadi, Anda yakin akan adanya Red Drive Proposal?

Itu jelas. Proposal itu terkait dengan proses pengakuan de jure masyarakat internasional atas Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat meminta agar orang-orang kiri di pemerintahan disingkirkan dulu. Jika itu dilakukan, baru Indonesia akan mendapat pengakuan.

Bagaimana Peristiwa Madiun bermula?

Saya yang bertindak duluan, pada dinihari 18 September. Tepat pukul dua pagi, kami melucuti pasukan Brimob, polisi militer, dan Siliwangi. Waktu itu jatuh korban tewas lima orang. Tiga orang dari mereka dan dua orang Brigade 29.
Jadi tidak benar bahwa di Madiun ketika itu semua bendera Merah Putih diganti bendera merah palu-arit, dan ada ribuan muslim dimasukkan ke penjara. Setelah pelucutan pasukan, situasi Madiun biasa-biasa saja.

Anda tidak berencana mengganti pemerintahan Sukarno-Hatta?

Saya hanya mau melucuti lawan, supaya mereka tidak bisa menyerang kami lebih dulu. Kami hanya membela diri. Kami juga tidak punya rencana pemberontakan. Buktinya, pada pagi harinya kami kirim telegram ke Yogyakarta, melaporkan situasi di Madiun.

Siapa yang mengirim telegram?

Supardi, Wakil Wali Kota Madiun. Semula saya minta komandan teritorial, Letkol Sumantri, yang melapor. Dia tidak berani. Residen Madiun, Samadikun, tidak ada di tempat. Wali Kota Madiun juga tidak berani. Ya sudah, saya tunjuk Supardi. Saya bilang, kamu sebagai wakil wali kota lapor saja, minta instruksi dari pemerintah Hatta di Yogya, apa yang harus dilakukan.

Di mana Musso saat itu?

Ia sedang melakukan tur ke daerah-daerah. Sebelumnya, dia sempat mampir ke Madiun. Sebelum memutuskan bergerak, saya sudah menemui Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri, di sebuah penginapan. Jadi saya bertindak atas perintah Musso.

Kalau bukan pemberontakan, mengapa ada proklamasi pemerintahan Front Nasional?

Itu bukan proklamasi pemerintahan baru. Kami hanya bersiap-siap, karena ada informasi bahwa kami akan diserang. Saat itu semua wakil partai juga diajak berembuk bersama di Balai Kota Madiun. Namun, setelah Sukarno berpidato di radio menuduh kami berontak, situasinya berubah. Pak Musso marah sekali. Pidato balasannya itu tanpa teks.

(Rosihan Anwar dalam sebuah tulisan pernah menuliskan keadaan ini. "Malam tanggal 19 September 1948 Presiden Sukarno bicara di depan RRI Yogya dan meminta rakyat memilih antara Muso-PKI dengan Sukarno-Hatta. Dalam waktu dua jam Muso tampil di depan radio Madiun dan mengatakan 'rakyat seharusnya menjawab kembali bahwa Sukarno-Hatta adalah budak-budak Jepang, dan Amerika dan kaum pengkhianat harus mati'." Red.)

Apa yang Anda lakukan setelah Peristiwa Madiun?

Saya disalahkan oleh pemimpin PKI yang baru di bawah D.N. Aidit. Saya di-black out oleh partai. Semua peran saya dihapus. Saya diminta tidak disiarkan sebagai orang yang terlibat peristiwa Surabaya 10 November, misalnya. Saya diminta menyingkir karena partai mau membangun kembali basisnya. Saya lalu pergi ke Pematang Siantar, Sumatera Utara, dan menjadi guru di sana. Tapi, begitu pecah peristiwa 1965, saya ditangkap lagi oleh Orde Baru.

Setelah Pistol Menyalak Tiga Kali

KENDATI sudah bertahun-tahun tinggal di Belanda, Nugroho, 85 tahun, masih mengingat rumah besar yang berada paling dekat dengan jalan raya di kompleks Pabrik Gula Rejoagung di Madiun, Jawa Timur. Ia bercerita, 62 tahun lalu kompleks pabrik itu menjadi markas Badan Kongres Pemuda.


Nugroho bekerja di bagian penerangan badan itu. Ia ingat saat itu Rejoagung di bawah kendali Soemarsono yang ditugasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi Ketua Badan Kongres Pemuda Madiun.

Rumah itu pula yang pada pekan ketiga September 1948 berkali-kali didatangi orang berseragam militer. Tamu yang datang itu adalah orang-orang bekas Laskar Pemuda Sosialis yang masuk jadi tentara di Brigade 29.

Soemarsono memang sudah tak lagi bertugas di militer sejak dipecat Perdana Menteri Mohammad Hatta dari Pendidikan Politik Tentara. Oleh Hatta bintang dua di pundaknya juga dilucuti. Tapi ia masih punya pengaruh karena merupakan salah satu pentolan Pesindo.

Saban kali bekas anak buahnya datang, yang dibawa adalah kabar-kabar buruk. "Mereka melaporkan ada pasukan dengan badge tengkorak berlatih menembak dekat markas mereka," kata Soemarsono.

Lain waktu mereka melaporkan hilangnya tiga pemimpin pemogokan Serikat Buruh Daerah Autonom. Penculiknya ditengarai pasukan tengkorak tadi. Kelompok bersenjata yang sama juga dituding menembak anggota Serikat Buruh Kereta Api.

Nugroho, tukang gambar poster Badan Kongres Pemuda, bercerita saat itu situasi Madiun memang panas. "Ada tentara, ada laskar macam-macam, dan mereka sering bentrok," ujarnya. Yang paling mencolok, kata dia, adalah kelompok bersenjata dengan logo tengkorak di seragamnya.

Rentetan masalah itu mengingatkan Soemarsono akan cerita tiga perwira-Letnan Kolonel Suwardi, Komandan Angkatan Laut Solo Letnan Kolonel Achmad Jadau, dan Letnan Kolonel Slamet Rijadi yang datang dari Solo, Jawa Tengah. Ketiga perwira ini menceritakan soal penembakan dan penangkapan orang-orang kiri di daerah mereka.

Soemarsono yakin hanya dalam hitungan hari masalah di Solo bakal sampai ke Madiun. Apalagi intelijennya di Polisi Militer dan Brigade Mobil bercerita ada instruksi dari pemerintah Mohammad Hatta untuk menangkap dirinya. Bahkan Brigade 29 juga akan dilucuti oleh Brigade Mobil Polisi.

Ia makin yakin saat didatangi kawan lamanya, Kolonel Moestopo, yang menyampaikan kabar senada. Moestopo, yang saat itu sudah bergabung dengan p asukan Siliwangi, bahkan mengatakan ia diperintahkan untuk menangkap Soemarsono. "Tangkap saja. Tapi apa mungkin menangkap saya tanpa saya melawan!" Soemarsono balik menghardik.

Pada 16 September, Soemarsono menerima telepon dari Kediri. Di ujung sambungan terdengar suara Panglima Divisi Brawijaya Kolonel Sungkono. Bekas tetangga Soemarsono saat tinggal di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur, itu mengajak bicara tentang ulah pasukan Siliwangi.

"Sudah, Cak, serang saja mereka. Masak sampean dari Surabaya bisa dihantam-hantam begitu?" kata Soemarsono menirukan ucapan Sungkono. "Hadapi saja Siliwangi itu, kami sepenuhnya di belakang Madiun."

Digosok Sungkono, Soemarsono semakin panas. Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya, Rebut Kembali Madiun, Brigade 29 memiliki kekuatan sekitar lima batalion. Mantan Panglima Daerah Militer Siliwangi ini menjelaskan, pasukan yang dipimpin Kolonel Dachlan tersebut sudah bersiaga di seputar Madiun, yakni di Ponorogo, Ngawi, Magetan, Pacitan, sampai ke lereng-lereng Gunung Wilis di Kediri.

***


Di lain pihak, pada awal September kelompok-kelompok di sekitar Madiun yang berpotensi menjadi lawan Soemarsono sudah diberangus. Itu yang dialami Pesantren Takeran di Magetan yang enggan mendukung gerakan kiri di sana. Satu per satu pemimpin pondok dijemput dan tak pernah kembali.

Madiun sendiri jadi basis massa yang solid buat gerakan ini karena kota itu punya bengkel kereta api dan banyak pabrik gula. "Mereka dapat dukungan dari buruh pabrik dan serikat buruh kereta api," kata mantan Tentara Republik Indonesia Pelajar di Madiun, Yusuf Musdi.

Merasa di atas angin, Soemarsono pada 16 September berangkat meminta restu kepada Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri. Ia bercerita tentang kondisi Madiun dan kekhawatiran adanya penculikan terhadap komandan tentara yang berpihak ke Front Demokrasi Rakyat-organisasi yang menghimpun kelompok kiri, termasuk PKI.

Kepada Soemarsono, Musso bertanya tentang perimbangan kekuatan. "Tidak usah khawatir, saya kenal pasukan saya," jawab Soemarsono. Kalau begitu bertindak saja, lucuti pasukan itu," kata Musso lagi. Amir menimpali, "Bertindak saja, sebelum mereka bertindak." Pertemuan larut malam itu berakhir. Soemarsono pamit dan Musso merangkulnya. "Saya bertindak itu atas perintah Musso," ujarnya belakangan.

Namun peneliti sejarah dari Universitas Cornell, Ann Swift, meragukan klaim tersebut. Menurut dia, petinggi Front Demokrasi baru tahu setelah pelucutan selesai. Swift merujuk pada berita Madjallah Merdeka terbitan 30 September 1948, yang menyebut para aktivis Front yang kemudian tertangkap mengaku tak tahu-menahu rencana Soemarsono yang disebut "agak terburu-buru" itu.

Himawan Soetanto sependapat dengan Swift. Himawan melihat petinggi Front belum menghendaki gerakan bersenjata. Buktinya, kata dia, saat Peristiwa Madiun pecah, Musso dan Amir justru sedang bersafari di kota-kota lain buat menggalang dukungan.

Himawan yang ikut operasi Siliwangi menyerang Madiun juga menilai perhitungan Soemarsono meleset. Pasukan-pasukan yang dianggap bakal memberikan dukungan malah berbalik menggempur Soemarsono, termasuk Kolonel Sungkono.

Pada 17 September malam, suasana Pabrik Gula Rejoagung mencekam. Nugroho yang tinggal di Asrama Rejoagung diberi tahu malam itu akan terjadi sesuatu. "Kami diminta tenang dan jangan keluar," katanya.

Lewat tengah malam terdengar letusan pistol. Tar, tar, tar! Tiga kali tembakan di pagi buta itu menandai bergeraknya serdadu Brigade 29.

Soemarsono, yang mengendalikan pasukan dari Rejoagung, mengirim pasukan merangsek ke tiga titik di Madiun: markas Polisi Tentara Republik Indonesia, markas Brigade Mobil Polisi, dan basis "pasukan tengkorak" di Maospati, daerah perbatasan dengan Magetan. "Saya putuskan menyerang duluan," kata Soemarsono. "Bisa repot kalau saya harus menghadapi tiga pasukan itu sekaligus."

Kalah dalam jumlah, lawan di markas Polisi Militer dan "pasukan tengkorak" dengan cepat ditekuk pasukan Soemarsono. Namun di markas polisi yang tak jauh dari Rejoagung terjadi perlawanan sengit. Menurut Nugroho, kontak senjata di markas polisi itu terdengar sampai asramanya di Rejoagung. "Suara tembakan baru berhenti sekitar pukul empat pagi," ujarnya.

Nugroho bercerita, semua aktivis Badan Kongres baru berani keluar asrama saat hari sudah terang dan melihat barisan panjang polisi digiring pasukan Soemarsono. "Panjang sekali, saya lihat ada yang belum berpakaian," ucapnya. "Semua digiring entah ke mana."

Penyerangan rupanya meluas sampai ke tapal batas kota. Kantor polisi Gorang Gareng di perbatasan Madiun dan Magetan juga jadi sasaran. Sempat melawan, polisi akhirnya menyerah karena kehabisan peluru.

Enam jam setelah pistol menyalak di Rejoagung, Brigade 29 sukses memukul lawan-lawannya. Madiun dan sekitarnya dikuasai penuh pasukan Front Demokrasi Rakyat.

Menurut Soemarsono, cuma dua anak buahnya yang tewas. Saat pemakaman mereka, Soemarsono berseru lantang, "Van Madiun begint de victorie!" Dari Madiun kemenangan dimulai.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India