Senin, 19 Mei 2008

Kontroversi Buku Yamin

SEBUAH pertemuan kecil digelar di Istana Negara. Hari itu, 29 Mei 1995, Menteri-Sekretaris Negara Moerdiono bersama satu tim kecil penyusun buku datang menghadap Presiden Soeharto. Di antara rombongan ada sejarawan Taufik Abdullah, A.B. Kusuma, dan Nannie Hudawati. "Tim buku" itu dipimpin Syafroedin Bahar, pejabat Sekretariat Negara yang belakangan pernah menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Mereka datang untuk menyerahkan sebuah buku yang selama 50 tahun-bahkan hingga kini-belum lengkap, yakni Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan terbitan Sekretariat Negara, edisi ketiga. Buku tersebut merevisi buku karya Mohammad Yamin yang terbit pada 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I. "Buku itu edisi terakhir yang paling lengkap, meski belum sempurna," kata Taufik Abdullah.

Tim perlu melapor kepada Soeharto karena pada edisi tersebut ada tambahan penting, yakni dua arsip, yang kemudian dikenal sebagai "Koleksi Pringgodigdo". Dokumen ini merupakan kumpulan catatan dua bersaudara anggota Badan Penyelidik: Abdoel Karim Pringgodigdo dan Abdoel Gafar Pringgodigdo. Berkat dua naskah tambahan itulah sejumlah koreksi atas naskah Yamin bisa dilakukan. "Bisa dibilang bagian perdebatan sudah lengkap," kata Taufik, yang mendapat tugas membuat kata pengantar. Perdebatan para pendiri negara adalah salah satu bagian rapat Badan Penyelidik.

Koleksi Abdoel Karim Pringgodigdo semula berada di Yogyakarta. Naskah itu dirampas saat tentara Belanda menduduki Kota Gudeg tersebut pada 19 Desember 1948. Naskah ini kemudian "terbang" ke Belanda dan disimpan oleh Algemeene Secretarie Nederlandsch Indie pada Algemeene Rijksarchief di Den Haag. Pada awal 1994, satu salinan bundel naskah tersebut diberikan kepada pemerintah Indonesia dan disimpan di Arsip Nasional. Keberadaan naskah tersebut diketahui berkat informasi sejarawan Belanda, Dr R.J. Drooglever.
Adapun risalah Abdoel Gafar (disebut juga sebagai "Koleksi Yamin") ditemukan petugas Arsip Nasional di perpustakaan Rekso Pustoko milik Puri Mangkunegaran, Solo. Risalah tersebut berada di keraton karena dibawa Retno Satuti, janda Rahadian Yamin, putra tunggal Mohammad Yamin, yang menjadi menantu Mangkoenagoro VIII. Bundel tersebut secara tak sengaja ditemukan seorang petugas Arsip Nasional pada 1989 saat diminta menata buku-buku dan arsip keraton. Jumlah dokumen risalah itu cukup banyak. Jika dijajarkan, kabarnya, panjangnya mencapai 11 meter.

Banyak memang muncul pertanyaan, bagaimana bisa risalah A.G. Pringgodigdo "jatuh" ke tangan Yamin. Dosen dan peneliti sejarah Universitas Indonesia, A.B. Kusuma, menduga risalah itu sengaja "disimpan" oleh Yamin. Semula, kata Kusuma, Pringgodigdo meminjamkan risalah itu kepada Profesor Dr A. Toynbee, ahli sejarah asal Inggris, yang ingin menyusun buku sejarah kemerdekaan Indonesia.

Setelah selesai, Toynbee bermaksud mengembalikannya ke Indonesia. Kebetulan waktu itu Yamin berkunjung ke London. Toynbee pun menitipkan notula tersebut. "Yamin tak pernah mengembalikan kepada Pringgodigdo. Ia memakainya sebagai bahan naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945," kata pria 73 tahun ini.

Isi kedua risalah tersebut secara keseluruhan hampir sama, yakni catatan rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar 1945 pada 11 Juli 1945. Khusus dalam risalah Abdoel Karim, ada catatan lengkap nama-nama anggota Badan Penyelidik yang berpidato serta lamanya pidato mereka pada 29-31 Mei 1945, yang selama ini dianggap misterius.
***

USAHA merekam "atmosfer" rapat para pendiri negara sepanjang 40 hari di masa-masa awal pendirian negara jelas bukan perkara gampang. Dokumen menyangkut peran masing-masing tokoh sukar dikumpulkan.

Titik penting pembentukan negara Indonesia terjadi saat Jepang pada 29 April 1945 membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan. Lembaga yang saat itu biasa disebut "Badan Penyelidik" ini terdiri atas 62 anggota inti tokoh kalangan Indonesia plus 8 orang Jepang sebagai anggota istimewa. Badan ini diketuai Dr Radjiman Wedyodiningrat, dengan wakil ketua Ichibangase Yosio dan Panji Soeroso. Di luar anggota Badan Penyelidik, ada Badan Tata Usaha yang beranggotakan 60 orang. Badan ini dipimpin oleh R.P. Soeroso dengan wakilnya, Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda (Jepang).

Badan Penyelidik mulai bersidang pada 29 Mei 1945 di gedung Cuo Sangi-in atau Dewan Pertimbangan Pusat di Jalan Pejambon, Jakarta. Sidang itu dibagi dua termin. Sidang pertama berlangsung lima hari, pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Yang dibahas dalam sesi tersebut adalah dasar negara, sebuah sesi penting karena di situlah kala itu dibahas "Pancasila", yang belakangan hari penuh kontroversi. Rapat ini diikuti semua anggota Badan Penyelidik.

Sidang kedua berlangsung pada 10-17 Juli 1945, membahas bentuk dan wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan undang-undang dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, pendidikan dan pengajaran. Pada termin ini, anggota Badan Penyelidik dipilah-pilah menjadi Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dengan ketua Soekarno, Panitia Pembelaan Tanah Air dengan ketua Abikoesno Tjokrosoejoso, serta Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Mohammad Hatta.

Di antara dua sidang resmi itu, berlangsung pula sidang tak resmi yang dihadiri 38 orang. Sidang yang dipimpin Bung Karno ini membahas rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dibahas pada sidang resmi kedua 10-17 Juli 1945. Setelah Badan Penyelidik merampungkan tugasnya, pada 7 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Panitia baru bersidang pada 18-22 Agustus 1945 atau sehari setelah proklamasi, yang antara lain berhasil memilih Presiden dan Wakil Presiden Pertama RI serta mengesahkan UUD 1945.

Adapun buku Yamin berisi kumpulan salinan stenografi dua kali sidang Badan Penyelidik plus laporan sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu Junbi Iinkai pada 18-19 Agustus 1945 tersebut. Di luar hal itu, ada juga terlampir dokumen sekitar rencana pelaksanaan demokrasi terpimpin dan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada 1959.
***
SERI buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 karya Yamin ini sejak diterbitkan telah menyulut sejumlah kontroversi. Kritik keras atas buku tersebut, terutama jilid I, datang dari Mohammad Hatta. Mantan anggota Badan Penyelidik dan wakil presiden pertama itu menyebut Yamin licik. "Karena pidato Hatta di depan sidang Badan Penyelidik tidak dimuat oleh Yamin," kata Taufik Abdullah. Menurut sejarawan ini, naskah pidato Hatta pun sampai sekarang tidak ditemukan.

Selain itu, kata Taufik, Yamin mengesankan dirinya, dalam bukunya tersebut, sebagai penyusun tunggal UUD 1945. Hatta menganggap Yamin dengan sengaja mengaburkan fakta sejarah karena memoles notula rapat Badan Penyelidik dan hanya mencuplik bagian-bagian yang menonjolkan posisinya. "Buku Yamin harus kita baca secara kritis," ujar Sri Soemantri, pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran. Apalagi, kata Sri, karya Yamin selama bertahun-tahun tidak memiliki pembanding.

Sejarah memang rawan dimanipulasi. Ini juga pernah terjadi pada awal 1981, ketika sejarawan Nugroho Notosusanto meluncurkan bukunya, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Dalam buku setebal 68 halaman yang diterbitkan Balai Pustaka tersebut, Nugroho menyatakan Pancasila dirumuskan bersama antara Bung Karno, Mohammad Yamin, dan Soepomo. Menurut mantan Rektor Universitas Indonesia tersebut, 1 Juni hanyalah hari lahir Pancasila versi Bung Karno.

"Penemuan" Nugroho ini mendapat kecaman hebat. Sejarawan Abdulrachman Surjomihardjo saat itu menyatakan kesimpulan Nugroho itu cuma pamflet politik. Ini terkait dengan posisi Nugroho yang kerap melakukan pembenaran atas setiap kejadian sejarah yang melibatkan Soeharto. Sumber Nugroho dalam melakukan penelitian itu adalah buku Yamin.

(5) Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Pengarang: Profesor Mr H Mohammad Yamin Penerbit: Sekretariat Negara; jilid pertama, tahun 1959; jilid kedua, 1960, jilid ketiga, 1960

Gugatan dari Kaleng Rombeng

BAGI Soekarno, kaleng rombeng berbau pesing adalah alat buang hajat sekaligus sarana menuangkan pikiran. Di penjara Banceuy, Bandung, 1930, tiap malam lelaki itu menjadikan kaleng itu sebagai meja sekaligus tadah buang hajat. Jika pagi tiba, ketika ia diizinkan meninggalkan sel, dibawanya kaleng itu ke kamar mandi untuk dibersihkan. Setelah itu, dengan dilapisi beberapa lembar kertas, ia pakai lagi sebagai meja untuk menulis.


Hampir setahun di Banceuy, berlembar-lembar tulisan lahir di atas kaleng pesing itu. Salah satunya adalah pembelaan yang kemudian disebut "Indonesia Menggugat".

Dalam pleidoinya itu, Soekarno berbicara tentang penderitaan rakyat setelah tiga setengah abad dihisap koloni Belanda. Ia juga berbicara mengenai pendirian Partai Nasional Indonesia dan pergerakan yang dipercayainya dapat membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme.

Bahasanya lugas, tapi nadanya menyala-nyala. Ketika membacanya dalam 19 kali persidangan di Jalan Landraad, Bandung, gedung itu sesak oleh manusia. Naskah itu bahkan sempat diterbitkan dalam selusin bahasa di dataran Eropa.

Soekarno ditahan setelah ditangkap di Yogyakarta, ketika akan mengikuti pertemuan politik partainya di Solo. Hari itu, pagi 29 Desember 1929, setengah lusin polisi Indonesia yang dipimpin inspektur Belanda mencokoknya atas nama Sri Ratu. Ditahan semalam di penjara Mergangsan, Yogyakarta, Soekarno dan dua kawannya dibawa ke Banceuy, bui Bandung-penjara tingkat rendah, kotor, dan berbau.

Divonis empat tahun penjara, Soekarno dibebaskan pada 31 Desember 1931. Gubernur Jenderal De Graeff saat itu agaknya tak tahan atas kritik pedas terhadap putusan membui Soekarno. Tapi tiga tahun kemudian Soekarno ditangkap lagi dan diasingkan ke Ende dan Bengkulu.

***

BANDUNG adalah tempat Soekarno muda membuat sejarahnya. Semula, ia hanya berniat kuliah di Bandoeng Technische Hoogeschool-sekarang Institut Teknologi Bandung-mengambil jurusan arsitektur. Tapi pergulatan batin dan pertemuannya dengan para tokoh di kota itu membuat Soekarno, setelah lulus pada 1926, berbelok ke jalur politik. Sebelumnya ia pernah mendirikan biro konsultan meski mandek karena tak ia urus.

Saat itu Soekarno sudah mendirikan Algemeene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasionalis Indonesia (PNI), yang didirikannya bersama Mr Iskak, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, Mr Boediardjo, dan Mr Soenarjo, pada 1927.

Kegiatan klub itu adalah mendiskusikan bacaan, terutama buku-buku "babon" berbahasa Belanda yang dipinjam dari perpustakaan. Bergantian mereka membacanya lalu berdiskusi dan membuat tulisan.

Saat itu usia Soekarno baru 25 tahun. Ketika kawan-kawan seusianya sibuk bertemu kekasih, Soekarno memilih tenggelam dalam Das Kapital. "Aku ingin menyelam, menyelam dalam dan lebih dalam lagi," katanya dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Klub ini lalu kebanjiran peminat dan tumbuh menjamur di berbagai kota. Belakangan Soekarno dan kawan-kawan pada 1926 menerbitkan majalah Suluh Indonesia sebagai sarana mensosialisasikan pikiran mereka.

Artikel pertama ditulis oleh Soekarno sendiri. Judulnya, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Isinya tentang konflik antara Serikat Islam Putih pimpinan Agus Salim dan Serikat Islam Merah (Sarekat Rakyat) pimpinan Semaun dkk.

Soekarno melihat, pertikaian politik antarkelompok justru menghambat perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. "Tetapi kita yakin, bahwa dengan terang-benderang menunjukkan, kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin Indonesia semuanya insaf, persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan," demikian Soekarno menulis.

Sikap politik Soekarno muda terbangun di rumah pendiri Syarikat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto-kawan karib ayah Karno di Surabaya.

Soekarno muda dititipkan di rumah tokoh pergerakan Islam itu, ketika saat masuk Hoogere Burger School (HBS). Di rumah inilah ia dapat berkenalan dengan tokoh Pergerakan Nasional seperti Wahidin Soedirohusodo dan Soetomo. Juga para tokoh Islam seperti Agoes Salim, Abdoel Moeis, Ahmad Dahlan, Hasjim Asj'ari, dan A. Hassan, seorang tokoh Persis Bandung yang belakangan menjadi kawan korespondensinya yang termasyhur.

Di rumah Tjokro pula, Soekarno berkenalan dengan tokoh dari Marxisme dan sosialisme, seperti Alimin, Semaun Darsono, dan Tan Malaka. Tiga terakhir awalnya adalah pengurus Sarekat Islam kemudian memisahkan diri untuk bergabung dengan kelompok Marxis. Mereka selanjutnya mendirikan Partai Komunis Indonesia pada 1920, sementara Soekarno dan kawan-kawan mendirikan Partai Nasionalis Indonesia di Bandung, 1927.

Pada lahirnya Partai Nasionalis Indonesia, Soekarno mencanangkan tahun itu sebagai tahun propaganda politik. Ia tak hanya turun ke daerah, menggalang dukungan, tapi juga menerbitkan majalah Persatuan Indonesia pada 1928 sebagai ajang propanda. Majalah Fikiran Rakjat diterbitkan pada 1932 ketika Partai Nasionalis Indonesia pecah menjadi Partindo.

***

PENJARA, pengasingan di Ende dan Bengkulu, adalah tempat Soekarno lebih merenungi soal Islam. Penjara Sukamiskin, misalnya, melarang buku politik dan surat kabar masuk ke sel Soekarno. Sepanjang masa di penjara itu, satu-satunya hiburan Soekarno adalah belajar tentang agama dan menulis.

Penjara sesungguhnya memang di Ende, kampung nelayan di Flores, Nusa Tenggara Timur. Empat tahun lamanya, ia menjalani politik pengasingan akibat aktivitas politik nonkoperasi melalui Partindo.

Di pulau itulah, Soekarno menghabiskan waktu dengan membaca buku Islam. Renungan-renungannya tentang Islam muncul dalam suasana intens, terutama surat-menyurat pribadi yang dikirimkannya kepada A. Hassan. Surat-surat itu kelak masyhur disebut sebagai "Surat-surat dari Ende".

Pernah Soekarno menulis soal tabir atau hijab yang memisahkan perempuan dan laki-laki. Ia juga dengan cemerlang menulis tentang donor darah. Juga menjawab tudingan bahwa ia anggota Ahmadiyah.

Yang menarik, meski tak meyakini Ahmadiyah, ia tak menyinggung perlu-tidaknya Ahmadiyah hidup di bumi Indonesia. Tidak juga menuduhnya aliran sesat. Juga tidak merasa Islam yang dianutnya yang paling benar.

Di Ende dan Bengkulu, selain surat-suratnya ke A. Hassan dan artikelnya yang termashyur di Panji Islam, Soekarno meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama. Beberapa di antaranya dipentaskan selama ia berada di Ende. Namun "temuan" penting sesungguhnya adalah konsepsinya yang kelak dinamai Pancasila.

***

DARI seluruh masa Soekarno muda, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, menilai periode 1926-1930 adalah puncak kreativitas pemikiran Soekarno akan nasionalisme dan sikap kerasnya menentang kolonialisme. Juga kegandrungannya pada persatuan. Karakter Soekarno sebagai pemersatu dan aktivis anti-imperialis yang militan terlihat jelas di era ini. Begitu pula era sesudahnya hingga menjelang kemerdekaan, 1945. "Selama masa itulah, kita dengan mudah mengenal siapa sesungguhnya Soekarno," kata Eros Djarot, salah seorang politikus nasionalis.

Boleh jadi, karena itu pula, Di Bawah Bendera Revolusi jilid I menjadi karya Soekarno yang paling populer. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh sebuah panitia penerbitan resmi dari Departemen Penerangan yang dipimpin Mualiff Nasution, 17 Agustus 1959. Tebal 650 halaman, berisi 61 tulisan Soekarno antara 1926 dan 1941.

Menurut Asvi, butuh lima tahun bagi panitia itu untuk bekerja mengumpulkan tulisan yang tersebar di mana-mana. Semuanya masih dalam ejaan lama. Kabarnya, Soekarno sendiri yang membubuhkan judul, Di Bawah Bendera Revolusi. Soekarno pula yang menggandeng Tjio Wie Tjay alias Haji Masagung, pengusaha Toko Buku Gunung Agung, sebagai penerbit dan penyalur.

Pada 1963, buku monumental ini dicetak ulang. Hanya dalam waktu dua minggu edisi pertama terjual habis. Pada 1965, buku itu dicetak yang keempat kalinya. Dan pada 2005, penerbitan buku itu dilakukan anak-anak Soekarno melalui Yayasan Bung Karno.

Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia era 1960 di Bandung, Siswono Yudohusodo dan Suko Sudarso, mengakui buku itu menjadi buku bacaan wajib bagi anak-anak muda masa itu. Suko mengaku mengagumi buku itu karena pemikiran Soekarno yang jauh ke depan.

Suko menyebut tulisan yang digandrunginya dalam buku itu adalah artikel Soekarno di Suluh Indonesia, "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme". Tulisan ini sempat diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan diterbitkan Universitas Cornell dengan pengantar Ruth Mcvey.

(4) Di Bawah Bendera Revolusi (Jilid I) Penerbit: Panitya Penerbit, 17 Agustus, 1959 (I), 1963 (II), 1965 (IV), Yayasan Bung Karno, 2005 (V)

Hindania dan Politik Antara Dua Karang

NAMAKU Hindania! Karya pertama Hatta ini dimuat di majalah Jong Sumatra pada 1920. Sang tokoh, Hindania, alias Hindia Belanda, adalah janda kaya yang menyesal kawin dengan Wollandia-Negeri Belanda-lantaran suami baru itu mengeruk habis hartanya. Sebuah romantika patriotik karya seorang pemuda 18 tahun, pelajar rantau Minang di Prins Hendrik Handels School di Betawi.

Separuh abad kemudian, cinta Hatta kepada buku makin menjadi. Ia bukan cuma pelahap berbagai jenis bacaan, tapi juga penulis buku yang produktif. Hatta, Sebuah Bibliografi, terbitan Yayasan Idayu tahun 1988, mencatat ada 86 karya tulis, amanat, dan pidato Hatta dengan beragam topik. Sebagian ditulis di Belanda, atau sebagai hasil kuliah di sana, seperti Tujuan dan Politik Pergerakan Nasional Indonesia (1931), Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (1934), Rasionalisasi (1939) dan Mentjari Volkenbond dari Abad ke Abad (1939).

Hatta juga menulis buku-buku teks yang lugas dan terang, seperti Alam Pikiran Yunani (1941), Pengantar ke Djalan Ekonomi Sosiologi (1957), dan Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan (1954). Beberapa Fasal Ekonomi (1943) merupakan buku pengantar ilmu ekonomi dengan penjelasan mendasar seperti apa itu uang, bagaimana bank bekerja, dan dilema muslim tentang rente.

Salah satu karyanya yang ikonik adalah ketika Hatta, seorang sosialis religius, mengukuhkan sikap antikomunisnya melalui buku tipis 114 halaman berjudul Mendajung Antara Dua Karang. Ia menegaskan prinsip kebijakan luar negeri yang bertahan hingga kini: politik bebas aktif.

Mendajung Antara Dua Karang dilansir pertama kali oleh Penerbitan Negara, Yogyakarta, pada 1946. Judul awalnya Dasar Politik Luar Negeri Indonesia. Dua tahun berikutnya, Hatta membawakannya sebagai pidato pemerintah di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat-yang menjadi cikal-bakal parlemen negeri ini.

Kala itu, September 1948, Hatta baru enam bulan menjadi perdana menteri. Posisi itu sebelumnya dipegang Amir Sjarifuddin, tokoh komunis terkuat pada masa itu. Tapi kabinet Amir bubar karena ia meneken Persetujuan Renville, yang dianggap merugikan Republik.

Hatta kemudian mengajak Amir bergabung dalam kabinetnya. Tapi Amir menolak. Bahkan, melalui Front Demokrasi Rakyat-gabungan sejumlah organisasi kiri, seperti Partai Sosialis, Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia-Amir menyatakan beroposisi. Ia dan kelompoknya ingin pemerintah mengambil jalan komunis seperti Rusia. Tak tanggung-tanggung, front itu menuntut 10 dari 17 kursi kabinet. Menurut sejarawan Deliar Noer, Hatta sangat marah, "Sampai-sampai meminta para pengawalnya mengeluarkan mereka dari kamar."

Jelasnya, Hatta tak ingin melihat Indonesia terombang-ambing antara Amerika yang kapitalis dan Rusia yang komunis. Hatta memandang politik Soviet mencla-mencle. Kurang dari tiga dekade, katanya, Soviet telah tujuh kali pindah kanan, pindah kiri. "Kalau Marx menyesuaikan taktik pada keadaan, politik kita mesti begitu juga," Hatta menulis. "Kita jangan menjadi obyek pertarungan politik internasional."

Setelah tulisannya tentang tata ekonomi dunia-yang banyak mengutip Marx-dimuat di majalah bulanan Sin Tit Po pada 1938, tak sampai setahun kemudian terbit kritik sinis dari Mevrouw Vodegel Soemarmah. Ternyata penulis artikel berjudul "Apakah Hatta Seorang Marxis?" itu Tan Ling Djie, yang di belakang hari menjadi Sekretaris Jenderal Partai Tionghoa Indonesia. Ia kemudian juga aktif di Partai Komunis Indonesia.

Hatta membalas. "Tan Ling Djie lima tahun dididik sebagai propagandis komunis di Moskow," katanya, mengawali jawaban sepanjang belasan halaman. Sayang, tulisan Hatta berjudul "Ajaran Marx, atau Kepintaran Sang Murid Membeo?" itu baru dimuat di majalah mingguan Nationale Commentaren milik Dr Sam Ratulangi pada 1940 alias setahun kemudian. Penyebabnya: Sin Tit Po sudah lenyap dari pasar.

Membaca buku-buku Hatta, benarlah apa yang ditulis Profesor George McT. Kahin, bapak studi Indonesia dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang menulis buku In Memoriam: Mohammad Hatta (1902-1980). Hatta, di mata Kahin (yang telah wafat pada 2000), adalah tokoh besar yang jujur, tidak korup, dan dengan tulus mengabdikan hidupnya untuk menegakkan keadilan sosial dan membangun negara demokratis.

(2) Dasar Politik Luar Negeri Indonesia (Mendajung Antara Dua Karang) Penerbit: Penerbitan Negara, Yogyakarta (1946), NV Bulan Bintang (1976 dan 1988)

(3) Beberapa Fasal Ekonomi Penerbit: Balai Pustaka (1942), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1954)

Padi yang Tumbuh Tak Terdengar

... diktator yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistem yang dilahirkan Soekarno tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya akan rubuh seperti rumah kartu.

SEOLAH meramal masa depan, Mohammad Hatta menulis kalimat itu lima tahun sebelum Soekarno kehilangan kekuasaannya. Ketika itu Hatta sudah tak lagi menduduki jabatan wakil presiden. Tak lama setelah Soekarno membubarkan Konstituante dan mengumumkan Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, Hatta pamit mundur. Itulah tanda dimulainya periode gelap dalam sejarah Indonesia, diberlakukannya demokrasi terpimpin. Sekaligus pada saat yang sama: berakhirnya duet Soekarno-Hatta.

Bagian penting dari Demokrasi Kita adalah kritik Hatta kepada Bung Karno. Berkali-kali, dalam berbagai pidato, Soekarno menolak demokrasi Barat yang ditudingnya saling serang, saling terjang (free fight democracy). Menurut Bung Karno, demokrasi ala Barat ini membahayakan persatuan. Itulah sebabnya, ia menggagas demokrasi yang ditopang empat kaki: nasional, Islam, komunisme, dan tentara.

Gagasan ini diwujudkan dengan konsep Nasakom (persatuan kaum nasionalis, agama, dan komunis). Soekarno yang gandrung akan persatuan menganggap gagasannya ini bisa menghindari pertempuran antarkelompok. Untuk mewujudkan gagasannya, ia membubarkan Konstituante-dewan perwakilan yang ia tuding hanya sibuk berkelahi sehingga gagal menyusun konstitusi pengganti Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan Soekarno membubarkan parlemen ini sebagian diambil karena desakan tentara, kekuatan politik yang perannya sangat minim dalam pentas nasional.

Inilah yang terutama dikritik Hatta. "Demokrasi bisa ditindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan," demikian Hatta menulis.

Saling serang Soekarno-Hatta sebetulnya sudah terjadi jauh sebelum Demokrasi Kita ditulis. Bung Karno, seperti dikutip Cindy Adams dalam Penyambung Lidah Rakyat, pernah berkata, "Aku dan Hatta tidak pernah berada dalam gelombang yang sama."

Hatta menyebut Soekarno sebagai orang yang tak pernah masuk ke detail, hanya bicara garis besar. Seraya mengutip hikayat Goethe's Faust, Hatta menuding Karno sebagai kebalikan tokoh Mephistopheles yang mengklaim dirinya sebagai, "... ein Teil jener Krafte, die stets das Base will und stets das Gute schafft"-bagian dari satu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk tapi selalu menghasilkan yang baik. "Soekarno kebalikan dari itu. Tujuannya baik tapi langkah-langkah yang diambilnya kerap kali menjauhkan dia dari tujuan itu," tulis Hatta.

***

PERNAH Soekarno mempermasalahkan Hatta yang mengeluarkan Maklumat Nomor X, 3 November 1945. Dalam maklumat itu Hatta menyampaikan partai-partai perlu diberi tempat untuk tumbuh.

Ide Hatta sederhana saja: partai adalah alat bagi publik untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Karena itu, kata Hatta, "Sedjauh tetap memperdjuangkan mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan, Pemerintah menjukai timbulnja partai2 politik, karena dengan adanja partai2 itulah dipimpin ke djalan yang teratur segala aliran paham jang ada dalam masjarakat."

Soekarno menyebut maklumat itu pintu ke arah perseteruan antarpartai. "Terima kasih Tuhan bukan Soekarno yang menandatangani maklumat itu," kata Soekarno dengan sinis.

Dalam ceramahnya di Institut Pertanian Bogor, Juni 1966, Bung Hatta kembali menjawab serangan Bung Karno. Hatta tak membantah bahwa sistem multipartai di Indonesia membawa ekses buruk, yakni pertarungan tak sehat partai-partai serta lahirnya pemerintahan yang lemah pada masa demokrasi parlementer (1955-1959). Tapi katanya, "Bukan dalam Maklumat Wakil Presiden 3 November 45 yang menegaskan adanya demokrasi terletak kesalahan, tetapi dalam partai-partai dan para pemimpin yang lupa daratan." Dengan kata lain, Hatta membedakan ide dengan praktek.

Partai politik yang lahir pada masa demokrasi parlementer memang menunjukkan sisi buruk demokrasi. Partai dibanjiri orang-orang yang berebut posisi, mengincar kedudukan dan pembagian rezeki. Partai berkembang biak. Anggota partai yang lama memisahkan diri dan membentuk partai baru bukan karena perbedaan ideologis tapi karena persoalan "rezeki" yang tak merata.

Dalam Demokrasi Kita, Hatta mengkritik keadaan ini. Menurut dia, partai-partai sesungguhnya belum mempraktekkan demokrasi karena keputusan di dalam partai tidak diambil dari bawah melainkan didrop dari atas.

Ketika itu negara tak menentu. Pemerintah jatuh-bangun. Kabinet tidak dianggap sebagai amanah orang ramai, tempat orang menerapkan jimat ajimumpung. Partai menjadi agen korupsi, menjadi pemberi lisensi agar uang masuk ke kas partai untuk kepentingan pemilihan umum. Akibatnya, kabinet tidak memikirkan negara. Agenda menyejahterakan masyarakat terabaikan. Rakyat mengeluhkan demokrasi: daerah tidak dipedulikan-agenda otonomi diabaikan. Tentara berang.

Di sinilah Hatta menyimpulkan bahwa demokrasi parlementer yang ultrademokratis melahirkan kediktatoran. Katanya, "Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya: diktator."

***
Demokrasi Kita pertama kali dimuat di majalah Pandji Masjarakat yang dipimpin Buya Hamka pada 1960. Tapi justru karena tulisan itu Pandji dibreidel oleh Perdana Menteri Subandrio. Buya Hamka, pemimpin redaksinya, dipenjarakan.

Buku tipis, 36 halaman, ini baru diterbitkan pada Juni 1966 setelah Soekarno jatuh. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Jaksa Agung tanggal 30 Mei 1966 mengumumkan bahwa artikel itu boleh diterbitkan dalam bentuk buku. Dijual dengan harga Rp 3 per buah, Demokrasi diterbitkan dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris.

Sejarawan Amerika, George Kahin, menyebut Demokrasi sebagai "salah satu pernyataan yang paling jelas tentang aspek-aspek terpenting dari pemikiran politik dan sosial-ekonomi Hatta". Sejarawan Taufik Abdullah menyebutnya sebagai "otobiografi intelektual", yang meringkaskan perjalanan pikiran dan pengalaman Hatta sebagai seorang patriot dan negarawan.

Buya Hamka menganggap terbitnya Demokrasi Kita adalah anugerah. "Satu obat penawar karena buku ini dikeluarkan setelah saya dibebaskan dari tahanan selama dua tahun empat bulan karena fitnah prolog Gestapo/PKI dan Biro Pusat Intelijen," tulis Hamka dalam pengantar Demokrasi Kita.l l l

Lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat, Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di Kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Ketika umurnya belum 10 tahun, pada 1908, Hatta mengalami pengalaman pahit. Ketika itu di Aur Tajungkang, Bukittinggi, sejumlah serdadu marsose dengan bayonet terhunus menggeledah orang-orang yang lewat.

Pemerintah kolonial murka karena di Kampung Kamang, 16 kilometer dari rumah Hatta, rakyat berontak: mereka menolak membayar pajak langsung. Ketika konflik meletus, 12 orang marsose tewas dan 100 penduduk ditembak mati. Razia dilakukan, orang-orang ditangkap. Termasuk di antara orang yang dicokok adalah Rais, sahabat kakek Hatta. Momen ketika Rais melambai dari jendela kereta api dengan tangan yang dirantai tak pernah hilang dari ingatan masa kecil Hatta.

Pengalaman demi pengalaman pahit menggembleng Hatta. Ia memang bukan Soekarno yang sanggup membakar massa melalui pidato-pidatonya yang memikat. Hatta lebih banyak diam: ia lebih suka menulis. Isi buku-bukunya menggambarkan spektrum minatnya yang luas: politik, ekonomi, sosial, dan sastra.

Tokoh yang disukai Hatta adalah Multatuli, nama samaran Eduard Douwes Dekker, penulis Belanda yang pernah menulis novel Max Havelaar. Satu ucapan Dekker yang kerap dikutip Hatta, dengan tepat menggambarkan sosok bekas wakil presiden itu: onhoorbaar groeit de padi, tak terdengar tumbuhlah padi. Hatta adalah padi yang tak terdengar itu.

(1) Demokrasi Kita Penerbit: PT Pustaka Antara, Jakarta (1966)

Berbagai Tinta Menulis Indonesia

JUNI 1815, Thomas Stamford Raffles pergi ke Tengger, Gunung Bromo, mencari manuskrip khazanah lokal setempat. Juni itu juga, ia mengunjungi Bali dan, dari Raja Buleleng, mendapatkan naskah Baratayuda versi Bali. Pergi ke Solo, ia dihadiahi Serat Manik Maya oleh Susuhunan Pakubuwono IV.

Selama pemerintahannya yang singkat di Jawa, Raffles memburu berbagai macam babad, kesusastraan Jawa. Sejumlah bupati-di antaranya Bupati Semarang Kiai Adipati Sura Adimanggala, Panembahan Sumenep Natakusuma, dan Bupati Tegal Aria Reksanegara-membantunya. Ahli arkeologi Belanda, Mayor Hermanus Christiaan Cornelius, menyuplai informasi dan menolong Raffles menerjemahkan lontar-lontar.

Di tengah kesedihan karena ditinggal mati istri dan atasannya, Lord Minto, Raffles pulang ke London dengan membawa 30 ton dokumen tentang Jawa. Dari situlah lahir dua jilid buku: The History of Java, sebuah buku babon 1.000 halaman lebih yang berisi pembahasan luas mengenai geografi, agrikultur, adat istiadat, sastra, agama, tumbuh-tumbuhan, ekonomi, dan statistik kependudukan Jawa.

Itulah buku yang luar biasa. Seperti Syekh Amongraga, tokoh dalam Serat Centini, Raffles menapaktilasi reruntuhan candi-candi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, serta mendeskripsikan secara teliti suasana dan anatomi candi.

Bukalah halaman tentang kunjungannya ke Candi Sewu, di Klaten, Jawa Tengah. Di hadapannya terbentang sebuah atmosfer kuno, yang menurut dia menyirap dirinya ke sebuah cita rasa arkaik yang terlupakan. Ia menatap sebuah patung penjaga, seorang raksasa gemuk, yang membawa pentungan kecil. Mulutnya bersiung. Rambutnya keriting seperti menggunakan wig. Raffles menulis, "Ekspresi wajahnya belum pernah saya temukan di India atau bagian timur lain mana pun, mukanya sangar tapi menampilkan karakter humor."

Kemampuan Raffles menggabungkan data lokal dengan buku ilmiah para ilmuwan, misalnya buku Pendeta F. Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indien (1724), dan buku Rumphius, Herbarium Amboinense (1741), sangat mengagumkan. Keistimewaan lain adalah betapa kitab Raffles itu dilengkapi dengan banyak gambar litografi patung yang mungkin kini sudah tak ada lagi di lokasi candi.

Tapi Raffles tak berbicara tentang kepedihan Jawa. Di tangannya, Hindia Belanda adalah Hindia yang elok, permai, tanpa kelaparan. Menurut John Bastin, sejarawan yang menulis kata pengantar The History of Java, dari Herman Warner Muntinghe-orang Inggris yang pernah bekerja sebagai sekretaris Gubernur Jenderal Willem Daendels-Raffles banyak mendapat informasi tentang eksploitasi dan kekerasan di Jawa.

Menurut sejarawan Denys Lombard (almarhum), sebagian besar buku yang dihasilkan penulis Barat tentang Nusantara saat itu berkelok-kelok di antara dua kutub yang meninabobokan: beku dalam keindahan warna-warni atau tempat mimpi romantis yang penuh nostalgia. Karena itu, dapat dimengerti mengapa publik Eropa tercengang ketika pada 1860 dari tangan Eduard Douwes Dekker muncul roman Max Havelaar.

Karya itu menyajikan sebuah gambaran yang lain tentang Hindia Belanda. Dari kamar loteng sebuah hotel kecil di Brussel, tempat pelariannya setelah kariernya sebagai asisten residen Lebak hancur, anak seorang kapten kapal itu melakukan kritik yang tajam. Dengan memakai nama samaran Multatuli (artinya "aku telah banyak menderita"), ia tanpa ampun membeberkan ketidakadilan sistem tanam paksa Hindia Belanda. Di Hindia Belanda, penduduk harus menyerahkan seperlima tanahnya ke Gubernemen, untuk ditanami kopi karena kopi penting bagi pasar Eropa.

Multatuli menampilkan kelicikan kepentingan Belanda tersebut lewat tokoh roman seorang makelar kopi di Amsterdam bernama Batavus Droogstoppel. Makelar kopi ini adalah lambang pemerasan.

***

MEMPERINGATI 100 Tahun Kebangkitan Nasional, kami menyajikan edisi khusus yang berbeda, yakni memilih 100 teks yang terbit mulai 1908 yang kami anggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Istilah teks dipakai di sini karena yang kami pilih tidak hanya buku, tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, juga roman dan puisi.

Dua karya di atas, The History of Java dan Max Havelaar, adalah contoh magnum opus pada abad ke-19. Keduanya berlainan watak. Yang satu menampilkan gambaran tentang keindahan Hindia-pesona alam dan candi-candi terpendamnya-sedangkan yang lain menghamparkan sebuah kenyataan tragik.

Indonesia, kita tahu, adalah sebuah proyek yang belum selesai. Imaji Indonesia agaknya selalu tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles dan sesuatu yang memprihatinkan seperti dideskripsikan Multatuli. Seratus teks yang kami pilih ini adalah teks yang kami anggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub itu untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Melaluinya dapat direkam pergolakan pemikiran, cita-cita, atau bahkan batu sandungan menuju Indonesia yang kita impikan: Indonesia yang pluralis, kosmopolit, dan modern.

Tentu ini tak mudah. Buku yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal kami disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya. Di sinilah muncul perdebatan tentang bagaimana kita menyikapi karya yang secara ilmiah luar biasa tapi tidak berbicara tentang aspek kebangsaan.

Bagaimana misalnya kita menimbang buku seperti Kalangwan, adikarya tentang sastra Jawa kuno, karya (mendiang) Pastor Zoetmulder. Juga bagaimana kita menempatkan The Island of Bali karya penulis Meksiko, Miguel Covarrubias (1937)-buku yang konon saat diluncurkan pertama kali di New York membangkitkan Balimania di kalangan seniman avant-garde Amerika. Setelah membaca Covarrubias, pada 1942 Soekarno mengirim duta budaya "Gong Gunung Sari" ke Amerika dan Eropa.

Tapi kami berkeras hati bahwa karya yang kami pilih adalah yang menyuarakan imaji kebangsaan. Termasuk di dalam karya-karya ini adalah teks-teks yang berasal dari lapangan kesusastraan, kesenian, bahkan dunia kebudayaan pop seperti komik. Komik Wiro karya Kwik Ing Hoo pada 1970-an-tentang anak rimba Indonesia yang berkawan dengan seekor monyet lalu mengembara dari Sumatera sampai Irian Jaya melawan penjajahan Belanda dan Jepang-adalah komik yang sanggup melambungkan imaji "nasionalisme" yang menyala pada anak-anak di zaman itu.

Kesulitan lain kami adalah mencari buku-buku sejenis yang diterbitkan dalam 20 tahun terakhir. Kita misalnya tak menemukan buku seperti The Malay Dilemma karya Mahathir Mohamad pada 1970-an yang, betapapun paradoksnya, tetap bisa aktual untuk membaca fenomena pluralitas di Malaysia saat ini.

***

MENDISKUSIKAN hal itu, kami mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku).

Taufik Abdullah berpendapat benih-benih konsepsi keindonesiaan sudah ada sebelum 1908. Dari penelitiannya, ia melihat hikayat-hikayat Aceh tentang kepahlawanan yang beredar di Jawa sedikit-banyak memberikan inspirasi pada tokoh-tokoh di Jawa tentang "ikatan imajiner saat itu untuk menjadi sebuah Indonesia".

Asvi Warman Adam berpendapat karya-karya kesarjanaan yang membongkar tragedi 30 September dan pembantaian Partai Komunis Indonesia adalah teks-teks yang penting. Teks-teks yang membongkar sejarah gelap suatu bangsa, menurut dia, berguna untuk menjadikan bangsa itu mampu membuat orientasi yang segar dalam perjalanan hidup ke depan.

Goenawan mengingatkan bahwa ada banyak polemik di media massa yang menarik sejak 1908. "Dari polemik kebudayaan di majalah Pujangga Baru sampai polemik antara harian Merdeka dan Harian Rakjat pada 1960-an," katanya.

Ignas Kleden secara cemerlang mengajak kami memberikan perhatian pada buku-buku mengenai atlas atau peta. "Saya kira atlas-atlas karya Adam Bachtiar sangat penting," katanya. Adam Bachtiar adalah pembuat atlas pertama di Indonesia, pada 1952. Usul Ignas itu mengingatkan kita bahwa, seperti pernah ditulis seorang kolektor peta Amerika bernama Thomas Suarez dalam Early Mapping of South East Asia, kolonialisme di Nusantara dimulai dari peta. Negara-negara Eropa saat itu, kata Suarez, bersaing mengirim para mualim unggul dan ahli kartografinya untuk secara khusus memetakan wilayah Nusantara.

Bahkan raksasa pemeta Belanda bernama Willem Janszoon Blaeu, yang pada 1608 mengukuhkan diri sebagai kartografer akbar dengan membuat sebuah peta dunia spektakuler dalam empat jilid, Het Licht der Zee-vaert, juga pernah berhubungan dengan Nusantara.

Kita ingat pada 1644 Karaeng Pattingalloang, seorang pangeran di Makassar, meminta VOC di Batavia mengiriminya peta dunia, empat atlas, teleskop, dan globe dunia karya Blaeu sebagai bagian negosiasi dari keinginan VOC memiliki kawasan penanaman kayu cendana di Makassar. Globe itu begitu besar, diameternya 130 sentimeter, spesialis dibuat Blaeu untuk Pattingalloang. Tujuh tahun semenjak dikirim dari Belanda, tepatnya Februari 1651, globe baru sampai di Sulawesi. Di Selebes, globe itu diarak beramai-ramai.

***

SEBULAN lebih diskusi demi diskusi dilakukan, untuk kemudian kami bisa yakin memilih 100 teks itu. Teks kami kategorikan bukan berdasarkan peringkat, melainkan berdasarkan jenisnya: buku, novel, puisi, maklumat, pidato, surat, catatan harian, polemik, laporan jurnalistik, peta, atlas, ensiklopedia, dan kitab undang-undang.

Jika sebuah buku diulas lebih panjang dari buku yang lain, itu bukan karena buku itu dianggap lebih baik dari yang lain, melainkan karena kami menganggap ada banyak aspek dari buku itu yang harus diungkap. Penulisan artikel juga tidak kami lakukan sendiri, tapi melibatkan sejumlah penulis yang kami anggap memiliki kapasitas.

Sejumlah teks kami pilih karena menampilkan perlawanan. Dari khazanah pidato, misalnya, ada ceramah Ki Hajar Dewantara, Seandainya Aku Seorang Belanda. Juga pidato Mochtar Lubis, Potret Manusia Indonesia, di Taman Ismail Marzuki, yang menghantam kemunafikan manusia Indonesia. Selain itu, ada polemik pembaruan pemikiran Islam dari Nurcholish Madjid atau seminar ekonomi dan keuangan yang diselenggarakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1966.

Ada juga buku yang membongkar mitos-mitos kebangsaan. Pemberontakan Petani Banten karya Sartono Kartodirdjo kami pilih karena membuktikan bahwa bukan hanya orang terpelajar yang menggerakkan sejarah, tapi juga orang kecil. Juga kami memilih tulisan-tulisan Soedjojono tentang nasionalisme dan seni rupa yang dengan brilian memaparkan bahwa seni rupa Indonesia memiliki watak modernismenya sendiri.

Tak lupa catatan-catatan perjalanan, seperti lawatan wartawan Adinegoro ke Eropa, yang membandingkan karakter kita dengan karakter orang Eropa, perjalanan keliling jurnalis Parada Harahap ke Sumatera, atau petualangan sastrawan Gerson Poyk ke pelosok-pelosok terpencil Indonesia.

Nationalism and Revolution in Indonesia karya George McTurnan Kahin kami sertakan karena Kahin memberikan sumbangan penting bagi studi tentang revolusi Indonesia. Pada musim semi 1948, Kahin sempat bertemu dengan Sjahrir, yang bersama asistennya, Soedjatmoko Mangoendiningrat, sedang berada di New York untuk sebuah acara di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dari Sjahrir, Kahin mendapat sehelai surat untuk disampaikan kepada Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Surat itulah "visa" buat Kahin untuk memasuki teritori Indonesia yang sedang dikuasai tentara. Lalu masuklah Kahin ke Indonesia dan lahirlah Nationalism and Revolution in Indonesia-buku yang tanpa malu-malu diakui Kahin sebagai wujud keberpihakannya kepada Indonesia.

Dari ranah pemikiran keagamaan, kami memilih Catatan Harian Ahmad Wahib. Renungan-renungan anak pesantren Bangkalan itu bisa jadi menjadi inspirasi bagi siapa saja kini yang mengangankan Islam menjadi agama yang kosmopolit, inklusif, dan tak canggung pada kebebasan berpikir. "Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim," tulis Wahib dalam catatannya pada 9 Oktober 1969.

Demikianlah, teks-teks pilihan kami ini mungkin belum merepresentasikan seluruh simpul pergolakan pemikiran sejarah Indonesia modern 100 tahun terakhir. Mungkin banyak yang tertinggal atau terlupakan, atau ada yang kami pilih tapi tak tepat menurut Anda. Pada akhirnya, tak ada yang sempurna dalam sebuah pilihan. Selamat membaca.

(1)  Demokrasi Kita
      Penerbit: PT Pustaka Antara, Jakarta (1966)
(2)  Dasar Politik Luar Negeri Indonesia
      (Mendajung Antara Dua Karang)
      Penerbit: Penerbitan Negara, Yogyakarta (1946),
      NV Bulan Bintang (1976 dan 1988)
(3)  Beberapa Fasal Ekonomi
      Penerbit: Balai Pustaka (1942), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1954)
(4)  Di Bawah Bendera Revolusi (Jilid I)
      Penerbit: Panitya Penerbit, 17 Agustus, 1959 (I),
      1963 (II), 1965 (IV), Yayasan Bung Karno, 2005 (V)
(5)  Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
      Penerbit: Sekretariat Negara; jilid pertama, tahun 1959;
      jilid kedua, 1960, jilid ketiga, 1960
(6)  Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959
      Penerbit: Grafiti Pers Tahun terbit: 1995
(7)  Massa Actie in Indonesia
      Terbit: Desember 1926 (Singapura), 1947 (Jakarta),
      1986 (Yayasan Massa, Jakarta)
(8)  Dari Pendjara ke Pendjara
      Terbit: 1948
(9)  Madilog
      Terbit: 1943
(10) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia
       Penerbit: Dinas Sejarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa,
       Bandung, 1977, 11 jilid
(11) The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
       Penerbit: Ithaca: Cornell University Press (1973)
(12) Dualistische Economy
       Penerbit: Leiden: Van Doesburgh (1930)
(13) Seni Lukis, Kesenian, dan Seniman
       Penerbit: Yayasan Aksara Indonesia, Yogyakarta (2000).
(14) Nationalism and Revolution in Indonesia
      Penerbit: Cornell University Press (1952)
(15) Indonesian Political Thinking: 1945-1965
       Penerbit: Ithaca, New York (1970)
(16) The Religion of Java
       Penerbit: The University of Chicago Press, Chicago,
       dan The University of Chicago, Ltd., London (1960)
(17) Netherlands Indie, A Study of Plural Economy
       Penerbit: Cambridge: At The University Press dan New York:
       The Macmillan Company (1944).
(18)  Capita Selecta
       Penerbit: Bulan Bintang, Jakarta, (jilid I, 1955)
       dan Pustaka Pendis, Jakarta, (jilid II, 1955)
(19)  Indonesia in den Pacific-Kernproblemen van den Aziatischen
        Penerbit: Penerbit Sinar Harapan (1937)
(20)  Perubahan Sosial di Yogyakarta
        Penerbit: Gadjah Mada University Press, 1990
(21)  Dasar-dasar Pemikiran Tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun
       Penerbit: Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta (1973)
(22) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
       Penerbit: Djambatan, Jakarta (1971)
(23) Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini
       Penerbit: Alumni, Bandung (1983)
(24) Art in Indonesia: Continuities and Change
       Penerbit: Cornell University Press, New York (1967)
(25) An Introduction to Indonesia Historiography
       Penerbit: Cornell University, Amerika Serikat, 1965
(26) Science and Scientists in the Netherlands Indies
       Penerbit: Board for the Netherlands Indies, Surinam & Cura�ao, New York (1945)
(27) Alam Asli Indonesia: Flora, Fauna, dan Keserasian
       Penerbit: Yayasan Indonesia Hijau dan Gramedia (1986)
(28) Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan
       Penerbit: LP3ES, Jakarta (1981)
(29) NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru
       Penerbit: LKiS dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994
(30) Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban)
       Penerbit: Yayasan Idayu, Jakarta (1981)
(31) Catatan Subversif
       Penerbit: Yayasan Obor Indonesia dan PT Penerbit Gramedia (1987)
(32) Pembagian Kekuasaan Negara
       Penerbit: Aksara Baru (1978)
(33) Laporan dari Banaran
       Penerbit: Sinar Harapan (1960)
(34) Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin
       Penerbit: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (1983)
(35) Six Decades of Science and Scientists in Indonesia
       Penerbit: Naturindo, Bogor (2005)
(36) Pemberontakan Petani Benten
       Penerbit : PT Dunia Pustaka jaya, Jakarta (1984)
(37) Pedoman Etik Penelitian Kedokteran Indonesia
       Penerbit: Fakultas Kedokteran UI (1986)
(38) A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia.
       Penerbit: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program,
       Cornell University, Ithaca, New York (1971)
(39) 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976
       Penerbit: Fakultas Kedokteran UI (1976)
(40) Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga Rampai
       Penerbit: CV Rajawali, Jakarta (1982)
(41) Di Tepi Kali Bekasi
       Penerbit : Hasta Mitra Jakarta (1951)
(42) Tetralogi Pulau Buru
       Bumi Manusia (1980); Anak Semua Bangsa (1980),
Jejak Langkah (1985); Rumah Kaca (1988)
       Penerbit : Hasta Mitra Jakarta
(43) Siti Nurbaya
       Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1920)
(44) Belenggu
       Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta (1940)
(45) Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma
       Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1948)
(46) Surabaya
       Penerbit : Merdeka Press, Jakarta (1974)
(47) Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesai
       Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta (1949)
(48) Layar Terkembang
       Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1936)
(49) Salah Asuhan
       Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1928)
(50) Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
       Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1938)
(51) Jalan Tak Ada Ujung
       Penerbit: PT Dunia Pustaka Djaya, Jakarta (1952)
(52) Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei
       Penerbit: PT Gunung Agung, Jakarta (1954)
(53) Revolusi di Nusa Damai
       Penerbit: Harper & Brother (Revolt in Paradise, 1961), PT Gunung Agung (1964)
(54)  Bebasari
        Penerbit: Fasco Djakarta (Cetakan ke-2, 1953)
(55)  Burung-burung Manyar
        Penerbit: Djambatan (1981)
(56)  Sandhyakala Ning Majapahit
       Penerbit: Pustaka Jaya (1971)
(57)  Naskah Proklamasi
(58)  Indonesia Vrij 1928
       (dalam buku karya Lengkap Bung Hatta Jilid 1)
(59)  Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat
       Orasi: Menteng Raya 58, Jakarta (2 Januari 1970)
(60) Dekrit Presiden 5 Juli 1959
(61) Garis-Garis Besar Haluan Negara
(62) Pidato B.J. Habibie di Bonn, Jerman, pada 14 Juni 1983:
       Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Berkembang
(63) Seandainya Aku Seorang Belanda (Als Ik Eens Nederlander Was) .
(64) Pidato Lahirnya Pancasila
(65) Hasil-hasil Seminar Ekonomi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia 1966
(66) Pidato Nirwan Dewanto Saat Kongres Kebudayaan IV
(67) Manifes Kebudayaan
(68) Surat Kepercayaan Gelanggang
(69) Sumpah Pemuda
(70) Maklumat Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin mengenai Kemerdekaan Pers
(71) Habis Gelap Terbitlah Terang
      Penerbit : Balai Pustaka, Jakrta (1922)
(72) Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demostran
      Penerbit : LP3ES Jakarta (1983)
(73) Pergolakan Pemikiran Islam
      Penerbit : LP3ES Jakarta (1981)
(74) Polemik Manifesto Politik
      Publikasi : Harian Rakjat dan Merdeka (3-8 Juli, 1964)
(75) Perjuangan Kita
      Publikasi: Berbentuk pamflet mulai 14 November 1945.
      Pusat Dokumentasi Politik Guntur menerbitkan ulang pada 2001
(76) Melawan Melalui Lelucon
       Publikasi: Majalah Tempo 1975-1983.
       Kumpulan artikel diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo tahun 2000
(77) Polemik Soetatmo versus Tjipto
       Publikasi: Pamflet berjudul Nota van Schrieke. Dibukukan Yayasan Obor Indonesia pada 1986
(78) Polemik Kebudayaan
       Publikasi: Majalah Pujangga Baru (1935)
(79) The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States
       Publikasi: Basic Book, New York (1963)
(80) Defisiensi Vitamin B1: Artikel tentang Eijkman dan Hasil Penelitiannya
       Publikasi: Temuannya memenangkan Nobel pada 1929
(81) Student Indonesia di Eropa
       Publikasi: Harian Bintang Timoer 1926-1928.
       Kepustakaan Populer Gramedia membukukannya pada 2000
(82) Pranakan Arab dan Totoknja
       Publikasi: Harian Matahari, Semarang (1934)
(83) Masalah Tionghoa di Indonesia: Asimilasi vs Integrasi Publikasi: Mingguan Star Weekly 6 Februari 1960-25 Juni 1960.
       Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran membukukannya pada 1999
(84) Penduduk dan Kemiskinan
       Penelitian: Studi kasus di pedesaan Jawa. Diterbitkan oleh Bhratara Karya Aksara (1976)
(85) Deru Campur Debu
      Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta 1949
(86) Tirani dan Benteng
      Penerbit: Yayasan Ananda, Jakarta (1993-edisi baru)
(87) Potret Pembangunan Dalam Puisi
      Penerbit : Lembaga Studi Pembangunan Jakarta 1980
(88) Aku Ingin Jadi Peluru
       Penerbit : Indonesia Tera, Magelang 2000
(89) Wiro �Anak Rimba Indonesia�
      Penerbit: Liong, Semarang (1956)
(90) Keulana
       Penerbit: Firma Harris, Medan (1959)
(91) Matinya Seorang Petani
      Penerbit: Majalah Indonesia (1955)
(95) Tirto dan Koran Pergerakan
       Koran Medan Prijaji (1907-1912)
(96) Sepotong Sejarah Jakarta
      Kisah-kisah Jakarta
      Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta (1977)
(97) Lawatan ke Pelosok Negeri
      Catatan di Sumatera Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1949)
(98) Atlas Indonesia
      Penerbit : NV Djambatan Jakarta (1952)
(99) Ensiklopedia Indonesia
       Penerbit : W Van Hoove Ltd, Bandung (1955)
(100) Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta
        Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1952)

Selasa, 02 Oktober 2007

Kuburan: Rahasia Sumur Mati

Hamparan tanah berkerikil itu ditumbuhi labu siam dan ubi jalar. Pohon mangga dan jambu biji menaunginya di kanan-kiri. Hanya itu. Tak ada satu pun penanda yang menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua itu. Dulu, bangunan ini adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali-sebuah kota kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah.

Meski tak berbekas, banyak orang meyakini, di sepetak halaman itu pernah ada sebuah sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Comite Central PKI, dikuburkan pada 23 November 1965. Salah satunya Mustasyar Nahdlatul Ulama Boyolali, Tamam Saemuri, 71 tahun.

Pada suatu malam di tahun berdarah 1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Saat itu Tamam muda adalah aktivis Gerakan Pemuda Ansor, organisasi yang banyak terlibat dalam "operasi pembersihan". Kepada Tempo dua pekan lalu, dia bercerita bahwa dalam pertemuan itu Yasir mengumumkan pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya. "Eksekusi-nya subuh-subuh," Tamam menirukan Yasir. Se-akan meneguhkan ucapan kepada lawan bicaranya, Yasir menunjukkan jam tangan yang dia kenakan. "Ini arloji Aidit," katanya. Sewaktu didesak menceritakan bagaimana pucuk pimpinan PKI itu tewas, Yasir berujar, "Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin."

Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah puluhan tahun, cerita itu sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham. Empat tahun lalu dia memutuskan datang sendiri ke tempat yang diduga sebagai pusara ayahnya. "Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi," katanya tatkala dihubungi pekan lalu. Saat itu dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran bahwa Aidit tewas ditembak di Boyolali. Berbilang kawan dekat ayahnya dia tanyai, tapi tak ada satu pun yang tahu nasib Aidit selepas meninggalkan Ibu Kota.

Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi anaknya. Ada upaya sistematis untuk membuat peristirahatan terakhir Aidit dilupakan orang. Sumur tua itu, misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah November 1965. Kompleks gedung markas Batalion 444 juga dibongkar dan kini hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu sekarang digunakan sebagai mes pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.

Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara pro-komunis. Salah satu komandan kompinya adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang kemudian memimpin operasi penculikan sejumlah jenderal pada malam 30 September. Tahun-tahun menjelang 1965, Boyolali juga dikenal sebagai basis PKI Jawa Tengah. Dalam pemilu 1955 dan pemilihan kepala daerah dua tahun sesudahnya, PKI meraih kemenangan besar di sana.

Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di Boyolali menghubunginya dan menceritakan temuan mereka. Mereka mengetahui lokasi ini dari sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu," kata Ilham.

Tempo mendatangi lokasi itu dua pekan lalu. Dan seorang penghuni di mes Kodim membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan Aidit.

Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu. "Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya membentur batu keras," katanya. Saat bergeser beberapa meter ke samping, justru muncul pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru ditutup lagi. Si penghuni ini menolak disebut namanya karena khawatir keselamatannya terancam.

Tak sampai 100 meter dari sana, ada sebuah lokasi lain yang juga disebut-sebut berhubungan dengan Aidit. Di sanalah, konon, Wakil Ketua Majelis MPR Sementara itu ditembak mati. Pekarangan tersebut bagian dari satu rumah berarsitektur tua yang sekarang menjadi gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.

"Jadi, setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya," kata Ilham kepada Tempo. Pada 1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru. Lokasinya tak jauh dari Pasar Boyolali, yang berhadap-hadapan dengan markas polisi militer Kodim Boyolali dan gedung yang dulu digunakan sebagai Sekretariat PKI.

Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat yang banyak mengetahui ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan kisah Ilham. Bahkan, menurut dia, gedung sekolah itu dahulu dijadikan semacam kamp tahanan. Para anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.

***

Ketika akhirnya berdiri di samping pusara ayahnya pada 2003 lalu, Ilham mengaku tak kuasa menahan getaran hatinya. "Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya," katanya dengan suara tercekat. Putra Aidit itu juga mengaku memendam keinginan untuk memindahkan jenazah ayahnya ke tempat yang layak. "Tapi mungkin belum bisa sekarang," katanya pelan. "Kami harus bersabar."

Dan Soeharto pun Tersenyum


Ada di mana kamu saat pemberontakan PKI Madiun," tanya Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.

"Saya waktu itu baru saja dihijrahkan dari Jawa Barat," jawab Kolonel Yasir Hadibroto, Komandan Brigade IV Infanteri. "Kompi saya lalu mendapat tugas menghadapi tiga batalyon komunis di daerah Wonosobo, Pak."

"Nah, yang memberontak sekarang ini adalah anak-anak PKI Madiun dulu. Sekarang bereskan itu semua! D.N. Aidit ada di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana," ujar Soeharto memberi perintah.

Percakapan di Markas Komando Strategis Angkatan Darat, Jakarta, itu dituturkan ulang oleh Yasir dalam Kompas edisi 5 Oktober 1980. Saat itu dia bersama pasukannya baru saja tiba di Tanjung Priok. Brigif IV sebenarnya tengah melakukan operasi di Kisaran, Sumatera Utara. Karena mendengar peristiwa G-30-S, mereka kembali.

Di hari pertemuan itu, 2 Oktober 1965, tentara telah mulai mengejar orang-orang Partai Komunis Indonesia yang dituduh terlibat G-30-S. Tapi Dipa Nusantara Aidit, Ketua Central Committee PKI, menghilang.

Yasir pun memboyong pasukannya ke Solo. Di sana dia bertemu Sri Harto, orang kepercayaan pimpinan PKI sedang meringkuk di salah satu rumah tahanan. Orang itu dia lepaskan. Hanya dalam beberapa hari Sri Harto melapor: Aidit berada di Kleco dan akan segera pindah ke sebuah rumah di Desa Sambeng, belakang Stasiun Balapan, pada 22 November.

Rencana pun disusun. Dan benar, sekitar pukul sebelas siang, Aidit muncul di rumah itu, menumpang vespa Sri Harto. Sekitar pukul sembilan malam, Letnan Ning Prayitno memimpin pasukan Brifif IV menggerebek rumah milik bekas pegawai PJKA itu. Yasir mengawasinya dari jauh.

Alwi Shahab, wartawan gaek yang kala itu sedang meliput di Solo, menulis di harian Republika, waktu digerebek Aidit bersembunyi di dalam lemari. Prayitno sendiri yang menemukannya.

"Mau apa kamu?" Aidit membentak anak buah Yasir itu saat keluar dari lemari. Prayitno keder pada mulanya, tapi segera menguasai keadaan. Setengah membujuk dia membawa Aidit ke markas mereka di Loji Gandrung.

Malam itu juga Yasir menginterogasi Aidit. Kabarnya, sang Ketua membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Isinya, antara lain, hanya dia yang bertanggung jawab atas peristiwa G-30-S. Sayang, menurut Yasir, Pangdam Diponegoro kemudian membakar dokumen itu. Entah bagaimana, koresponden Asahi Evening News di Jakarta, Risuke Hayasi, berhasil mendapatkan bocoran pengakuan Aidit untuk korannya.

Menjelang dini hari Yasir kebingungan, selanjutnya harus bagaimana. Aidit berkali-kali minta bertemu dengan Presiden Soekarno. Yasir tak mau. "Jika diserahkan kepada Bung Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan jadi lain," kata Yasir seperti dikutip Abdul Gafur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.

Akhirnya, pada pagi buta keesokan harinya, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo menuju ke arah Barat. Mereka menggunakan tiga buah jip. Aidit yang diborgol berada di jip terakhir bersama Yasir. Saat terang tanah iring-iringan itu tiba di Boyolali.

Tanpa sepengetahuan dua jip pertama, Yasir membelok masuk ke Markas Batalyon 444. Tekadnya bulat. "Ada sumur?" tanyanya kepada Mayor Trisno, komandan batalyon. Trisno menunjuk sebuah sumur tua di belakang rumahnya.

Ke sana Yasir membawa tahanannya. Di tepi sumur, dia mempersilakan Aidit mengucapkan pesan terakhir, tapi Aidit malah berapi-api pidato. Ini membuat Yasir dan anak buah marah. Maka: dor! Dengan dada berlubang tubuh gempal Menteri Koordinasi sekaligus Wakil Ketua MPRS itu terjungkal masuk sumur.

***

24 November 1965, pukul 3 sore. Yasir bertemu Soeharto di Gedung Agung, Yogyakarta. Setelah melaporkan pekerjaannya, termasuk keputusannya membunuh Aidit, sang kolonel memberanikan diri bertanya: "Apakah yang Bapak maksudkan dengan bereskan itu seperti sekarang ini, Pak?" Soeharto tersenyum.

Setelah Peristiwa G-30-S: Kawan Ketua ke Daerah Basis

Langit masih gelap saat pesawat Dakota T-443 menyentuh landasan Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Pesawat penting, dengan orang penting di dalamnya. Maka, di pagi buta itu, 2 Oktober 1965, sejumlah perwira AU bergegas ke terminal. Ada Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto, juga lima perwira AU berpangkat mayor.

"Apakah tujuan kedatangan Yang Mulia ke Yogyakarta?" tanya Komodor Udara Dono Indarto saat menyambut sang tamu di ruang VIP pangkalan.

Sosok yang dipanggil Yang Mulia itu, pria berumur 42 tahun, menjawab singkat. "Situasi di Yogyakarta panas. Saya diperintahkan oleh Bung Karno untuk mempersiapkan, karena kemungkinan Bung Karno akan ke Yogyakarta," katanya. Ia adalah Dipa Nusantara Aidit, Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS dan juga Ketua Comite Central (CC) PKI. Ia ditemani dua sekretarisnya, Walujo dan Kusno.

Lawatan orang nomor satu PKI ini ke Yogyakarta dan Jawa Tengah pada saat seperti itu tentu saja mengundang beragam tafsir. "Kawan ketua mendatangi daerah basis," kata Ngadiyanto, anggota DPRD Jawa Tengah dari PKI, soal lawatan itu. Dua daerah itu memang basis partai berlambang palu arit ini. Menurut bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo, selain untuk konsolidasi, kedatangan ini buat menyelamatkan diri. "Karena tidak banyak yang bisa dilakukan pada saat itu," kata pria yang kini 85 tahun itu kepada Tempo.

Saat itu, terkesan Angkatan Udara menangkap kedatangan Aidit ini sebagai tugas negara, bukan partai. Angkatan Udara pun menawarkan untuk mengantarkannya ke Kepala Daerah Yogyakarta Sri Paku Alam. Tapi Aidit memilih pergi ke rumah Ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI Yogyakarta, Sutrisno. Salah satu perwira di pangkalan, Mayor Sunaryo, mengantarnya dengan mobil Morris; satu mobil pengawal ikut di belakangnya. Sebelumnya, sejumlah perwira mengusulkan Aidit diantar mobil dinas Angkatan Udara. Rencana ini batal karena Dono Indarto menolaknya.

Dalam perjalanan ke rumah Sutrisno, dua kali rombongan Aidit kesasar. Awalnya ke rumah Ketua Partai Nahdlatul Ulama, lalu ke rumah Ketua Partai Nasionalis Indonesia. Tak jelas benar apakah ini sengaja atau memang karena ketidaktahuan. Dalam buku Menyingkap Kabut Halim 1965 memang diungkapkan: tak seorang pun dari para pengantar itu tahu rumah Sutrisno. Tapi kedatangan orang pusat yang tak dijemput pejabat daerah memang menjadi tanda tanya sendiri di benak orang-orang Angkatan Udara.

Menurut Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, di kota ini Aidit bertemu dengan pimpinan PKI Yogyakarta. Sempat dibahas kemungkinan membentuk kelompok bersenjata untuk mendukung Dewan Revolusi Untung, meski itu tak jadi dilaksanakan karena dianggap tidak mungkin. Pertemuan beberapa jam itu akhirnya memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Bung Karno. Pertemuan hanya berlangsung beberapa jam. Setelah itu, Aidit bertolak ke Semarang.

Wakil Ketua I CC PKI M.H. Lukman dan pemimpin PKI Jawa Tengah dikabarkan mengadakan pertemuan darurat di Semarang. Menurut Victor Miroslav Fic, pertemuan ini penting karena menghasilkan sikap politik PKI yang menyatakan Gerakan 30 September adalah masalah internal Angkatan Darat dan partai tak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itu. Tugas utama partai kini melakukan konsolidasi kekuatan untuk menangkal serangan dari lawan-lawan politik partai dan Presiden.

Seusai pertemuan, petang itu juga Aidit dilaporkan meluncur ke Boyolali. Seorang eks anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia Boyolali, Jungkung, mengaku pernah melihat Aidit di jalan raya Boyolali, justru akhir Oktober 1965. Pria 61 tahun ini awalnya dihampiri dua orang yang mengendarai VW Kodok, yang belakangan diketahui adalah Aidit dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Suyatno Atmo. "Si Mbah (panggilan untuk Aidit) menanyakan jalan menuju kantor Bupati Boyolali," kata Jungkung. Bupati Boyolali saat itu, Suwali, memang kader partai.

Pada hari yang sama, Aidit melaju ke Solo. Ia bertemu dan menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo yang juga kader, Utomo Ramelan. Dalam rapat ini, Aidit dikabarkan gagal mendapatkan dukungan kolega partainya untuk menerima hasil keputusan pertemuan Semarang.

Bertolak belakang dengan hasil Semarang, pertemuan Solo justru mendukung operasi Gerakan 30 September beserta tujuan-tujuannya. Partai juga harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan yang dipimpin Letnan Kolonel Untung, merebut kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai. Menurut Victor Miroslav Fic, perbedaan keputusan Semarang dan Solo inilah yang menyebabkan pendukung partai terbelah: golongan radikal dan moderat. Yang juga belum jelas dari rangkaian peristiwa ini adalah bagaimana Aidit bisa melakukan rapat di Yogyakarta, Semarang, dan Solo dalam waktu sehari.

Dalam keadaan genting ini, Politbiro PKI bertemu di Blitar, Jawa Timur, 5 Oktober 1965. Soal pertemuan ini memang simpang-siur. Bekas anggota CC PKI, Rewang, mengaku tak tahu soal pertemuan itu. "Oktober 1965, saya masih di Jakarta," kata Rewang kepada Tempo. Bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo tegas menyangkal adanya pertemuan itu. "Saat itu semua pengurus elite PKI masih di Jakarta dan sibuk menyelamatkan diri. Secara teknis, tidak mungkin anggota Politbiro berkumpul di Blitar," kata pria 85 tahun itu.

Menurut Victor Miroslav Fic, memang tak semua elite partai hadir. Selain Aidit, cuma ada M.H. Lukman, Wakil Ketua I CC PKI yang juga Wakil Ketua DPR Gotong-royong. Pertemuan itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September dan juga surat Aidit yang akan disampaikan kepada Presiden Soekarno.

Dalam surat tertanggal 6 Oktober yang diyakini ditulis di Blitar, Aidit menyampaikan versinya soal peristiwa 30 September. Malam itu, ia mengaku dijemput tentara berpakaian Pengawal Presiden Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet. Tapi mobil yang membawanya justru mengarah ke daerah Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, bukan Istana Negara. Dari para penahannya, ia mendapat informasi soal rencana menangkap orang yang disebut terlibat Dewan Jenderal. Informasi tambahan lainnya, Presiden dikabarkan memberi restu gerakan ini.

Keesokan harinya, masih menurut surat itu, Aidit diminta berangkat ke Yogyakarta dengan pesawat yang disediakan Wakil Perdana Menteri Omar Dhani, untuk mengatur kemungkinan evakuasi Presiden ke Yogyakarta. Kota ini dianggap tepat untuk markas pemerintahan sementara. Dalam surat tersebut, Aidit juga menyampaikan permintaan maaf karena tak bisa datang dalam rapat kabinet di Bogor karena pesawat AURI yang akan mengantarnya rusak.

Surat itu diakhiri dengan enam usul untuk menyelesaikan krisis politik akibat penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat tersebut. PKI tetap beranggapan Gerakan 30 September itu adalah soal internal di tubuh Angkatan Darat. Aidit mengaku tak tahu sebelumnya soal gerakan tersebut "sehingga tidak dapat menyalurkan potensi revolusi ke arah yang wajar". Kepada Presiden, Aidit menyampaikan usul agar peristiwa itu diselesaikan Presiden secara politik.

Aidit menyerahkan surat itu kepada Lukman dan menginstruksikan agar dia kembali ke Jakarta. Di Ibu Kota, Lukman diminta menghubungi Njoto dan menyampaikan surat tersebut untuk diserahkan kepada Presiden secara pribadi. Bila kabinet bersidang pada 6 Oktober di Bogor, Njoto diminta hanya membacakan salah satu poin yang berisi usul penyelesaian peristiwa Gerakan 30 September secara politik. Njoto memang bisa bertemu dengan Presiden. Di depan sidang kabinet, Presiden memberi Njoto kesempatan untuk menyampaikan pandangan PKI.

Ada cerita sendiri soal gagalnya Aidit datang dalam rapat kabinet di Istana Bogor. Mulanya, datang radiogram kepada komandan Skuadron Pendidikan B Mayor Udara Sugiantoro, 5 Oktober 1965. Isinya, ada permintaan agar dikirim sebuah pesawat Mentor ke Pangkalan Angkatan Udara Panasan, Solo, dan pilotnya menghadap ke komandan pangkalan.

Mayor Udara Sugiantoro melaporkan radiogram itu ke Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto. Tak lama kemudian, Sugiantoro bersama Kapten Udara Suwandi Sudjono melesat dengan dua pesawat Mentor ke Panasan, Solo. Sesampai di pangkalan, ia menghadap ke komandan pangkalan, Kolonel Udara Sunyoto. Ia pun diberi instruksi mengantar seorang pejabat, yang tak ia sebutkan namanya, ke Pangkalan Angkatan Udara Semplak, Bogor.

Atas desakan Mayor Sugiantoro yang ingin tahu siapa pejabat "misterius" itu, Kolonel Sunyoto pun buka kartu. Orangnya tak lain adalah Aidit. Tahu perkembangan Gerakan 30 September di Jakarta melalui radio, ia tegas menolak instruksi itu.

"Ini perintah," bentak Kolonel Sunyoto waktu itu.

"Saya hanya tunduk pada perintah atasan saya langsung di Akademi Angkatan Udara," kata Mayor Sugiantoro.

Suasana tegang karena keduanya sama-sama teguh pendirian. Pesawat Mentor itu pun kembali lagi ke Yogyakarta, dan tak ada penerbangan ke Bogor.

Di tengah gencarnya usaha perburuan terhadap tokoh dan simpatisan PKI yang dilakukan pasukan Soeharto, Aidit masih sempat mengeluarkan instruksi. Menurut Victor Miroslav Fic, salah satu instruksinya adalah yang dibuat pada 10 November. Dalam surat yang terdiri atas 11 item itu, Aidit menyampaikan "wasiat" setelah melihat perkembangan keadaan. Merujuk pada buku wartawan TVRI Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, mungkin surat itu ditulis dari tempat persembunyian Aidit di daerah Kerten atau Sambeng, sama-sama di Solo.

Dalam "wasiat terakhirnya" itu, Aidit mengakui kerusakan fatal pada partai akibat Gerakan 30 September, meski semua sudah diperhitungkannya. Surat itu juga mengisyaratkan kemungkinan Aidit mencari perlindungan ke RRC. Jika itu terjadi, petinggi PKI diminta menjamin kelangsungan partai, mempertahankan daerah basis di Jawa, menghindari perlawanan frontal, serta teror dan sabotase hendaknya dijalankan sistematis untuk perang urat saraf. Surat itu juga mengisyaratkan optimisme bahwa Sosro-yang diyakini sebagai nama samaran untuk Soekarno-belum meninggalkan PKI.

Dalam sidang terakhir Kabinet Dwikora, 6 Oktober, Soekarno bisa meyakinkan kabinet untuk menerima usul Aidit. Tapi perkembangan yang terjadi kemudian berujung pada kekalahan PKI. Selang 12 hari setelah "surat wasiat" itu, Aidit ditangkap anak buah Komandan Brigade Infanteri 4 Kodam Diponegoro Kolonel Yasir Hadibroto. Itulah akhir karier dan hidupnya.

Perjalanan Terakhir Aidit

1. Jakarta
Aidit bertolak dari Jakarta pukul 01.30 WIB pada 2 Oktober 1965.
Naik Pesawat Dakota T-443 dari Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma menuju Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto.

2. Yogyakarta
Tiba di bandara pada 2 Oktober 1965 dini hari.
Aidit pergi ke rumah Ketua CDB PKI Yogyakarta Sutrisno.
Bertemu dengan petinggi partai dan memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Presiden Soekarno.

3. Semarang
Aidit bergabung dengan pemimpin PKI Jawa Tengah yang mengadakan pertemuan darurat, 2 Oktober 1965.
Rapat menghasilkan sikap politik yang menyatakan Gerakan 30 September adalah masalah internal Angkatan Darat dan PKI tak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itu.
Tugas utama partai kini melakukan konsolidasi.

4. Boyolali
Aidit dilaporkan datang ke kota ini pada 2 Oktober 1965, tapi agendanya tak jelas benar.
Ada yang mengaku melihat Aidit di Boyolali justru akhir Oktober. Waktu itu, Aidit hendak bertemu dengan kader partai yang jadi Bupati Boyolali, Suwali.

5. Solo
Aidit menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo Utomo Ramelan, 2 Oktober 1965.
Rapat justru mendukung operasi Gerakan 30 September dan partai harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan Letnan Kolonel Untung merebut kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai.

6. Blitar
Pada 5 Oktober 1965, Politbiro PKI menggelar rapat.
Pertemuan itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September dan juga surat Aidit kepada Presiden Soekarno.
Bekas anggota CC PKI, Rewang, tak tahu pertemuan itu.
Bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Semaun Utomo menyangkal adanya pertemuan itu.

7. Solo
Pada 10 November, di suatu tempat di Solo, Aidit menulis instruksi ke semua CBD partai.
Pada 22 November 1965, Aidit ditangkap.

Malam terakhir: Setelah Lampu Depan Dimatikan

Jarum jam menunjuk angka 21.30.

Bocah enam setengah tahun itu merosot turun dari ranjang ibunya. Sudah pukul setengah sepuluh malam. Dentang jam dinding di ruang tengah membuatnya makin terjaga pada malam itu, Jumat Pahing, 30 September 1965.

Ilham, bocah itu, menyelinap ke ruang tamu. Ayahnya, Dipa Nusantara Aidit, tengah asyik mengobrol dengan Hardoyo, mantan Ketua Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembicaraan berlangsung serius. Wajah keduanya menegang. Beberapa kali keduanya terpaksa menghentikan pembicaraan tatkala Ilham berseliweran di ruang tamu.

Ketika Hardoyo pamit, Ilham melihat ayahnya mengantar tamunya hingga ke teras. Setelah itu, Aidit berbalik masuk rumah, mengunci pintu depan, dan menghalaunya ke kamar tidur. "Ham, larut malam begini kau belum juga tidur," kata Aidit. Ketua Comite Central (CC) PKI itu meraih tangan Ilham dan menggandengnya menuju kamar.

Ilham hafal. Jika sudah tidak ada tamu, biasanya ayahnya berganti baju dan masuk ruang kerjanya. "Kalau tidak membaca, ya menulis, sampai pagi," cerita Ilham, anak lelaki kedua Aidit yang lahir di Moskow, 18 Mei 1959, kepada Tempo.

Hardoyo bukan satu-satunya tamu malam itu. Sebelumnya, ada beberapa orang lainnya. Ilham tak ingat siapa. Tapi, seperti pernah dikatakan Hardoyo kepadanya-Hardoyo sudah meninggal pada Desember lalu-tetamu yang datang malam itu adalah orang-orang Partai, para pemimpin buruh juga petani.

Rumah Aidit memang tak pernah sepi dari tamu. Menurut cerita adik Aidit, Murad, di bagian kiri rumah ada semacam paviliun yang sengaja digunakan sebagai Posko Pemuda Rakyat. Beruntung karena posisi rumah abangnya di Jalan Pegangsaan Barat 4, Cikini, Jakarta Pusat-sekarang Kantor Partai Golkar DKI Jakarta-berada di pojok.

Para tamu pun tak ragu datang ke rumah Aidit. Sebab, ada satu tanda pasti bila sang Comandante ada di rumah dan bersedia menerima tamu: lampu serambi depan menyala. "Dia sendiri yang selalu menyalakan dan mematikan lampu itu," cerita Murad.

***

Jam terus berdetak. Tapi Ilham belum pulas juga. Dia tetap terjaga sembari membolak-balikkan badan di ranjang. Iri nian dia melihat abangnya, Iwan, dan adik kembarnya, Irfan, mendengkur nikmat.

Dia malah dikagetkan oleh deru mesin jip memasuki pelataran rumah. Terdengar derap sepatu bergegas mendekat. Dia juga mendengar derik pintu depan dibuka, menyusul beberapa saat kemudian. Dia menangkap suara ibunya bernada tinggi ketika berbicara dengan si tamu. Karena penasaran, dia mengendap-endap ke ruang depan.

Ilham tak ingat seluruh pembicaraan. Namun dia melihat ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di depan rumah. "Ini sudah malam!"

"Maaf, tapi ini darurat. Kami harus segera," jawab si tamu tak diundang.

"Sebentar. Akan saya panggilkan," ibunya menjawab kesal, berbalik dan memanggil ayahnya di ruang kerja. Ilham yang kepergok berada di ruang tengah ikut kena damprat. "Kamu, anak kecil, tidur kamu. Sudah malam begini masih kelayapan."

Ilham tak bergerak dan tetap berada di ruang tengah. Ia mendengar kedua orang tuanya berdebat. Lalu dia melihat ayahnya menemui tamu itu. "Segeralah bersiap, Bung, waktu kita terbatas," kata si prajurit.

Aidit kembali ke kamar tidur, membuka lemari baju, memasukkan beberapa pakaian dan buku ke dalam tas. Ia sempat terlihat ragu. Ilham melihat ayahnya meletakkan tas dan kembali ke ruang depan, berbicara selintas dengan penjemputnya. Lalu Aidit kembali ke kamar dan ribut dengan Soetanti. "Ibu ngotot minta ayahnya tak usah berangkat ke Istana, malam-malam," kisah Ilham. Namun ayahnya tetap pergi.

Sebelum meninggalkan rumah, Aidit mencium kening istrinya. Dia juga mengangkat tubuh Ilham dan mengusap rambutnya. Kepada Murad, dia berpesan agar mengunci pagar. "Matikan lampu depan," perintah Aidit kepada Murad.

***

Ke mana sesungguhnya Aidit pergi malam itu, dan apa saja yang dilakukan, masih belum ada satu versi jawaban yang pasti hingga kini.

Dalam kesaksian Mayor Udara Sudjono di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), dialah yang menjemput Aidit di rumahnya-bukan Cakrabirawa. Lalu Sudjono membawanya ke rumah Sjam Kamaruzzaman, Kepala Biro Khusus PKI di Jalan Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Di tempat itu, sudah menunggu sejumlah anggota Biro Khusus-biro ini dibentuk Aidit tanpa setahu pengurus pusat (CC) PKI.

Menurut Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, di rumah Sjam, Aidit melakukan cek terakhir Gerakan 30 September. Dia juga dipertemukan dengan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodro, perwira tinggi yang dekat dengan Presiden Soekarno. Kepada Pranoto, Aidit menawarkan posisi sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani. Selain itu, Aidit menyampaikan konsep Dekrit Dewan Revolusi yang harus diteken malam itu dan disiarkan pagi 1 Oktober 1965.

Setelah itu, rencananya, Aidit bertemu Soekarno di rumah Komodor Susanto di Halim Perdanakusuma. Skenarionya, Aidit akan memaksa Soekarno membersihan Dewan Jenderal, lalu memintanya mengundurkan diri sebagai presiden. Pertemuan dengan Soekarno gagal. Sebagai gantinya, Aidit mengutus Brigadir Jenderal Soeparjo menemui Soekarno, yang juga berada di Halim, namun di tempat terpisah.

Versi lain tertulis dalam surat Aidit ke Soekarno, tertanggal 6 Oktober 1965. Menurut surat itu, malam 30 September 1965, ia dijemput Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet di Istana Negara. Tapi dia malah dibawa ke Jatinegara dan Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Di Halim, Aidit ditempatkan di rumah kecil, dan diberi tahu akan ada penangkapan terhadap anggota Dewan Jenderal.

Esok harinya, Aidit mendapat kabar bahwa Soekarno memberi restu terhadap penyingkiran Dewan Jenderal. Lalu Aidit diminta ke Yogyakarta dengan pesawat untuk mengatur kemungkinan evakuasi Soekarno. Kota itu dianggap tempat yang tepat untuk markas pemerintahan sementara.

Tidak jelas mana yang lebih benar. Hingga kini pun tidak ada kejelasan apa saja yang terjadi pada Aidit setelah dia meminta Murad mematikan lampu depan sebelum meninggalkan rumah di Pegangsaan. Pihak keluarga hanya tahu beberapa tahun kemudian, bahwa Aidit pernah dibawa ke Halim. Yang lainnya, gelap.

Gerakan 30 September: Dari Menteng ke Pusaran Kekuasaan

PERISTIWA 42 tahun lalu itu tetap saja masih menjadi tanda tanya keluarga besar Aidit: apa sebenarnya peran Aidit dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu? Peran Aidit dalam "kup" 30 September 1965 memang masih misteri. Sejumlah sejarawan, juga sejumlah kalangan militer, yakin PKI dalang penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat. Karena PKI terlibat, maka Aidit pun, sebagai Ketua Committee Central, dituding sebagai otaknya.

Murad Aidit, adik kandung Aidit, berkisah. Pada "malam berdarah" itu tak ada tanda-tanda atau kesibukan khusus di rumah Aidit. "Malah saya dipesan mematikan lampu," kata Murad. Menjelang "peristiwa Gerakan 30 September" itu, Murad memang menginap di rumah Aidit di Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat. Rumah Aidit sepi. "Sampai sekarang saya lebih bisa menerima tragedi itu karena ada pengkhianat dalam tubuh PKI," katanya. Dia tidak yakin abangnya yang memerintahkan pembunuhan para jenderal.

Aidit mengawali "karier politiknya" dari Asrama Menteng 31, asrama yang dikenal sebagai "sarang pemuda garis keras" pada awal kemerdekaan. Di tempat ini berdiam, antara lain, Anak Marhaen Hanafi (pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba), Adam Malik, dan Sayuti Melik (pengetik naskah Proklamasi). Para penghuni Menteng 31 sempat menculik Soekarno dan memaksa si Bung memproklamasikan kemerdekaan Indonesia-sesuatu yang kemudian ditolak Bung Karno. Di kelompok Menteng 31, Aidit sangat dekat dengan Wikana, seorang pemuda sosialis.

Aidit disebut-sebut juga berperan dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Pascapemberontakan yang gagal itu, ia sempat dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogya. Ketika terjadi agresi Belanda, ia kabur dari penjara dan tinggal di Vietnam Utara. Tentang kepergiannya ke Vietnam ada pendapat lain. Ada yang menyebut bahwa sebenarnya ia hanya mondar-mandir Jakarta-Medan.

Yang pasti, pada pertengahan 1950, Aidit, yang saat itu berusia 27 tahun "muncul" lagi. Bersama M.H. Lukman, 30 tahun, Sudisman, 30 tahun, dan Njoto, 23 tahun, ia memindahkan kantor PKI dari Yogyakarta ke Jakarta. Bisa dibilang, dalam kurun waktu inilah karier politik Aidit sesungguhnya dimulai.

Momentum konsolidasi partai terjadi ketika meletus kerusuhan petani di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, 6 Juni 1953. Kerusuhan yang digerakkan kader PKI itu menjatuhkan kabinet Wilopo. Kesuksesan ini memompa semangat baru ke tubuh partai tersebut.

Bersama "kelompok muda" partai, Aidit menyingkirkan tokoh-tokoh lama partai. Pada Kongres PKI 1954, pengurus PKI beralih ke generasi muda. Tokoh partai semacam Tan Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Pada kongres itu, Aidit dikukuhkan menjadi Sekretaris Jenderal PKI. Aidit lantas meluncurkan dokumen perjuangan partai berjudul "Jalan Baru Yang Harus Ditempuh Untuk Memenangkan Revolusi".

Aidit juga membangun aliansi kekuatan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk memperkuat PKI. PNI dipilih karena, selain sama-sama anti-Barat, juga ada figur Soekarno yang bisa dipakai mengatasi tekanan lawan-lawan politik mereka. Puncak kerja sama terjadi pada masa Sidik Djojosukarto memimpin PNI. Saat itu disepakati bahwa PNI tidak akan mengganggu PKI dalam rangka membangun partai.

Menurut Ganis Harsono, seorang diplomat senior Indonesia dalam otobiografinya, Cakrawala Politik Era Sukarno, strategi ini berhasil "menyandera" Bung Karno. Ada kesan bahwa Bung Karno berdiri di depan PKI, sekaligus memberi citra PKI pendukung revolusi Bung Karno dan Pancasila.

Kerja keras Aidit membuahkan hasil. Pada Pemilu 1955, PKI masuk "empat besar" setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Di masa ini PKI menjadi partai komunis terbesar di negara non-komunis dan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Cina.

PKI terus maju. Pada tahun itu juga partai ini menerbitkan dokumen perjuangan "Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan". Bentuk pertama, perjuangan gerilya di desa-desa oleh kaum buruh dan petani. Kedua, perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh di bidang transportasi. Ketiga, pembinaan intensif di kalangan kekuatan bersenjata, yakni TNI.

Pada 1964, PKI membentuk Biro Khusus yang langsung dibawahi Aidit sebagai Ketua Committee Central PKI. Tugas biro ini mematangkan situasi untuk merebut kekuasaan dan infiltrasi ke tubuh TNI. Biro Chusus Central (demikian namanya) dipimpin Sjam Kamaruzzaman. Tak sampai setahun, Biro Chusus berhasil menyelusup ke dalam TNI, khususnya Angkatan Darat.

Pada Juli 1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Bung Karno memburuk, suhu politik Tanah Air makin panas pula. Sebuah berita dari dokter RRC yang merawat Presiden datang: Bung Karno akan lumpuh atau meninggal dunia. Di Jakarta bertiup rumor menyengat, muncul Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung Karno.

Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, disebutkan bahwa Aidit kemudian menyatakan, gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak ingin didahului Dewan Jenderal. Gerakan itu dipimpinnya sendiri. Ada pun Sjam ditunjuk sebagai pemimpin pelaksana gerakan.

Saat diadili Mahkamah militer, Sjam mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus 1965. Dalam pertemuan itu, ia diberi tahu bahwa Presiden sakit dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan bila Bung Karno mangkat. Menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia meninjau "kekuatan kita".

Sejak 6 September 1965, Sjam lantas menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya). Di rapat ini hadir Letnan Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa) dan Mayor Udara Sudjono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim Perdanakusumah). Rapat terakhir, 29 September 1965, menyepakati gerakan dimulai 30 September 1965 dengan Untung sebagai pemimpinnya.

Dalam wawancara dengan majalah D&R, 5 April 1999, A. Latief menyatakan, Gerakan 30 September dirancang untuk menggagalkan upaya kup Dewan Jenderal. "Kami dengar ada pasukan di luar Jakarta yang didatangkan dalam rangka defile Hari Angkatan Bersenjata dengan senjata lengkap. Ini apa? Mau defile saja, kok, membawa peralatan berat," kata Latief. Karena merasa bakal terjadi sesuatu, para perwira tersebut, yang mengaku terlibat karena loyal pada Soekarno, memilih menjemput "anggota" Dewan Jenderal untuk dihadapkan ke Soekarno.

Menurut Latief gerakan itu diselewengkan oleh Sjam. "Rencananya akan dihadapkan hidup-hidup untuk men-clear-kan masalah, apakah memang benar ada Dewan Jenderal," katanya. Tapi, malam hari, saat pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Dul Arief, anak buah Untung, akan berangkat menuju rumah para jenderal, tiba-tiba, ujar Latief, Sjam datang. "Bagaimana kalau para jenderal ini membangkang, menolak diajak menghadap Presiden," kata Dul Arief. Sjam menjawab, para jenderal ditangkap. Hidup atau mati.

Keesokan harinya, Dul Arief melaporkan kepada Latief dan Jenderal Soepardjo bahwa semua telah selesai. "Mula-mula mereka saya salami semua, tapi kemudian Dul Arief bilang semua jenderal mati. Saya betul-betul kaget, tidak begitu rencananya," kata Latief yang mengaku tidak kenal dengan Aidit.

Aidit sendiri belum pernah memberi pernyataan tentang hal ini. Ia ditangkap di Desa Sambeng, dekat Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 1965 malam, dan esok paginya ditembak mati. Sebelum ditangkap pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto, Aidit dikabarkan sempat membuat pengakuan sebanyak 50 lembar. Pengakuan itu jatuh ke Risuke Hayashi, koresponden koran berbahasa Inggris yang terbit di Tokyo, Asahi Evening News.

Menurut Asahi, Aidit mengaku sebagai penanggung jawab tertinggi peristiwa "30 September". Rencana pemberontakan itu sudah mendapat sokongan pejabat PKI lainnya serta pengurus organisasi rakyat di bawah PKI. Alasan pemberontakan, mereka tak puas dengan sistem yang ada. Rencana kup semula disepakati 1 Mei 1965, tetapi Lukman, Njoto, Sakirman dan Nyono-semuanya anggota Committee Central-menentang. Alasannya, persiapan belum selesai. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Letkol Untung dan sejumlah pengurus lain pada Juni 1965, disepakati mulai Juli 1965 pasukan Pemuda Rakyat dan Gerwani dikumpulkan di Pangkalan Halim Perdanakusumah.

Pertengahan Agustus, sekembalinya dari perjalanan ke Aljazair dan Peking, Aidit kembali melakukan pertemuan rahasia dengan Lukman, Njoto, Brigjen Soepardjo, dan Letkol Untung. PKI mendapat info bahwa tentara, atas perintah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Achmad Yani, akan memeriksa PKI karena dicurigai mempunyai senjata secara tidak sah. "Kami terpaksa mempercepat pelaksanaan coup d'etat," kata Aidit. Akhirnya, dipilih tanggal 30 September.

Dalam buku Bayang-bayang PKI yang disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999), diduga Aidit tahu adanya peristiwa G-30-S karena ia membentuk dua organisasi: PKI legal dan PKI Ilegal. Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi. Sjam bertugas mendekati tentara dan melaporkan hasilnya, khusus hanya kepada Aidit. Hanya, ternyata, tak semua "hasil" itu dilaporkan Sjam.

Tentang besarnya peran Aidit dalam peristiwa 30 September ditampik Soebandrio. Menurut bekas Wakil Perdana Menteri era Soekarno ini, G-30-S didalangi tentara dan PKI terseret lewat tangan Sjam. Alasan Soebandrio, sejak isu sakitnya Bung Karno merebak, Aidit termasuk yang tahu kabar tentang kesehatan Bung Karno itu bohong. Waktu itu, kata Soebandrio, Aidit membawa seorang dokter Cina yang tinggal di Kebayoran Baru. Soebandrio dan Leimena, yang juga dokter, ikut memeriksa Soekarno. Kesimpulan mereka sama: Bung Karno cuma masuk angin.

Soebandrio dalam memoarnya, Kesaksianku Tentang G-30-S, menyesalkan pengadilan yang tidak mengecek ulang kesaksian Sjam. Menurut Soebandrio, ada lima orang yang bisa ditanya: Bung Karno, Aidit, dokter Cina yang ia lupa namanya tersebut, Leimena, dan dirinya sendiri. Menurut Soebandrio, pada Agustus 1965 kelompok "bayangan Soeharto" (Ali Moertopo cs) sudah ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi untuk mendorong PKI mendahului memukul Angkatan Darat.

Njoto membantah pernyataan Aidit. Menurut Njoto, "Hubungan PKI dengan Gerakan 30 September dan pembunuhan Jenderal Angkatan Darat tidak ada. Saya tidak tahu apa pun, sampai-sampai sesudah terjadinya," katanya dalam wawancara dengan Asahi Evening News. Keterangan Njoto sama dengan komentar Oei Hai Djoen, mantan anggota Comite Central. "Kami semua tidak tahu apa yang terjadi," kata dia.

Presiden Soekarno sendiri menyatakan Gestok (Gerakan Satu Oktober)-demikian istilah Bung Karno-terjadi karena keblingernya pemimpin PKI, lihainya kekuatan Barat atau kekuatan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme), serta adanya "oknum yang tidak benar".

Misteri memang masih melingkupi peristiwa ini. "Menurut kami, PKI memang terlibat, tapi terlibat seperti apa?" kata Murad. Setelah puluhan tahun tragedi itu berlalu, pertanyaan itu belum menemukan jawabannya. Setidaknya bagi Murad dan anggota keluarga Aidit yang lain.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India