Senin, 09 Maret 2009

Proklamasi tanpa Bung Kecil

JALAN Maluku 19, Menteng, Jakarta, dua hari sebelum proklamasi. Soebadio Sastrosatomo, kala itu 26 tahun, bertamu ke rumah Sjahrir. Badio, begitu Soebadio biasa disapa, adalah pengikut Sjahrir yang setia. Kelak keduanya bersama-sama mendirikan Partai Sosialis Indonesia. Siang terik. Badio haus luar biasa. Sjahrir menawari anak muda itu minum, tapi Badio menolak. Itu hari di bulan Ramadan: Badio sedang puasa.



Ada yang tak biasa pada Sjahrir hari itu: rautnya sumpek. Sebelumnya, si Bung baru saja bertemu dengan Soekarno, yang mengajaknya bermobil keliling Jakarta. Di jalan, Soekarno mengatakan tak secuil pun ada isyarat Jepang akan menyerah. Soekarno ingin membantah informasi yang dibawa Sjahrir sebelumnya bahwa Jepang telah takluk kepada Sekutu.

Sjahrir mengatakan ini sebelum Soekarno-Hatta berangkat ke Dalat, Vietnam, untuk bertemu dengan Marsekal Terauchi, Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara. Sjahrir berkesimpulan tak ada gunanya berunding dengan Jepang. Pada 6 Agustus 1945, Jepang toh telah luluh-lantak oleh bom atom Sekutu.

Mengetahui Bung Karno tak mempercayainya, Sjahrir berang. Ia menantang Soekarno dengan mengatakan siap mengantar Bung Besar itu ke kantor Kenpeitai, polisi rahasia Jepang, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, untuk mengecek kebenaran informasi yang ia berikan. Sjahrir mengambil risiko: di kantor intel itu ia bisa saja ditangkap.


Tapi Soekarno menolak. Ia yakin Jepang belum menyerah. Itulah yang membuat Sjahrir marah meski ia tak menyampaikannya secara terbuka kepada Bung Karno.

Kepada Badiolah murka itu dilampiaskan. "Sjahrir mengumpat Soekarno man wijf, pengecut dan banci," kata Badio dalam Perjuangan Revolusi (1987). Menurut Badio, itulah marah paling hebat Sjahrir sepanjang persahabatan mereka.

Soekarno tahu Sjahrir sering memakinya. Dalam biografi karya Cindy Adams, Soekarno mengatakan Sjahrir menyalakan api para pemuda. "Dia tertawa mengejekku diam-diam, tak pernah di hadapanku. Soekarno itu gila... kejepang-jepangan... Soekarno pengecut."

Sehari sebelum Badio berkunjung, 14 Agustus 1945, Sjahrir dan Hatta menemui Soekarno di rumahnya di Pegangsaan Timur 56 dan meminta Bung Karno segera mengumumkan proklamasi kemerdekaan. Soekarno berjanji mengumumkan proklamasi pada 15 Agustus setelah pukul lima sore. Sjahrir segera menginstruksikan para pemuda mempercepat persiapan demonstrasi. Mahasiswa dan pemuda yang bekerja di kantor berita Jepang, Domei, bergerak cepat menjalankan instruksi itu.

Tapi Sjahrir mencium gelagat Soekarno tak sepenuh hati menyiapkan proklamasi. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, badan yang bertugas menyiapkan kemerdekaan sesuai dengan permintaan Jepang, tak menunjukkan gelagat akan berhenti bekerja.

Panitia misalnya mengagendakan sidang pertama 19 Agustus 1945. Soekarno ketua dan Hatta wakil dalam panitia ini. "Ini akal-akalan Jepang," kata Sjahrir dalam Renungan dan Perjuangan. Sjahrir mengusulkan proklamasi tak menunggu Jepang. Proklamasi, kata Sjahrir, bentuk perlawanan terhadap Jepang. Inilah saatnya melancarkan aksi massa. "Aku penuh semangat. Aku yakin saatnya telah tiba. Sekarang atau tidak sama sekali," kata Sjahrir.

Pukul lima sore 15 Agustus itu, ribuan pemuda berkumpul di pinggir kota. Mereka siap masuk Jakarta segera setelah proklamasi. Begitu proklamasi disiarkan, pemuda akan langsung berdemonstrasi di Stasiun Gambir. Domei dan Gedung Kenpeitai akan direbut. Ternyata, pukul enam kurang beberapa menit, Soekarno mengabarkan belum akan mengumumkan proklamasi. Soekarno menundanya sehari lagi.

Kabar ini membuat ribuan pemuda pengikut Sjahrir marah. Sjahrir menduga polisi rahasia Jepang tahu rencana proklamasi. Para pemuda mendesak proklamasi diumumkan tanpa Soekarno-Hatta. Tapi Sjahrir tidak setuju. Ia khawatir konflik akan terjadi di antara bangsa sendiri.

Tapi kabar bahwa proklamasi batal diumumkan tak sempat dikabarkan ke Cirebon. Pemuda di Cirebon di bawah pimpinan dokter Soedarsono-ayah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono-hari itu juga mengumumkan proklamasi versi mereka sendiri. Mereka mengatakan tidak mungkin menyuruh pulang orang yang telah berkumpul tanpa penjelasan.

Pada 15 Agustus tengah malam, Badio menemui Sjahrir. Badio mendesak Sjahrir membujuk Soekarno dan Hatta segera mengumumkan proklamasi. Sejam kemudian, Badio menemui kembali Sjahrir. Tapi, dari Sjahrir, kabar tak enak itu didengar Badio: Dwitunggal menolak menyampaikan proklamasi meski Sjahrir telah mendesak.

Pemimpin pemuda lalu pergi. Menurut Badio, mereka bertemu di Cafe Hawaii, Jakarta. Di sini mereka memutuskan untuk menculik Soekarno. Keputusan ini juga melibatkan kelompok lain, di antaranya Pemuda Menteng 31, seperti Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni, serta dokter Moewardi dari Barisan Pelopor.

Sekitar pukul dua dinihari, Badio datang lagi ke Sjahrir. Ia mengusulkan penculikan Soekarno. Sjahrir tak setuju. Ia menjamin, besoknya bisa memaksa Bung Besar membaca proklamasi.

Badio pergi. Tapi satu jam kemudian ia kembali, membangunkan Sjahrir, dan mengabarkan bahwa sekelompok pemuda nekat menculik Soekarno-Hatta. Sjahrir meminta, apa pun yang terjadi, di antara mereka jangan bertikai. Yang paling penting, kata Sjahrir, proklamasi harus diumumkan secepatnya. Soekarno dalam otobiografinya menyebut Sjahrir penghasut para pemuda. "Dialah yang memanas-manasi pemuda untuk melawanku dan atas kejadian pada larut malam itu," kata Soekarno.

Dalam buku Sjahrir karangan Rudolf Mrazek (1994), Sjahrir disebut-sebut sebagai orang yang menganjurkan Soekarno dibawa ke Rengasdengklok, Jawa Barat-markas garnisun pasukan Pembela Tanah Air.

Ahmad Soebardjo, yang dekat dengan Soekarno, memberi tahu pemimpin Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang Laksamana Tadashi Maeda tentang penculikan itu. Maeda memerintahkan anak buahnya, Nishijima, mencari Wikana di Asrama Indonesia Merdeka. Nishijima dan Wikana bertengkar hebat. Nishijima memaksa Wikana memberi tahu tempat Soekarno-Hatta disembunyikan. Imbalannya: Maeda dan Nishijima akan membantu proklamasi kemerdekaan. Wikana setuju.

Soebardjo, seorang Jepang, dan dua pemuda lainnya-Kunto dan Soediro-lalu menjemput Soekarno-Hatta di Rengasdengklok. Pukul delapan pagi, Kamis, 16 Agustus, dwitunggal itu tiba di Jakarta. Sepanjang hari hingga malam, Soekarno-Hatta dan Maeda berkunjung ke sejumlah perwira penting Jepang. Penguasa militer Jepang mengizinkan proklamasi disampaikan asalkan tak dikaitkan dengan Jepang dan tidak memancing rusuh. Soekarno, Hatta, Maeda, Soebardjo, Nishijima, dan dua orang Jepang lain menyusun teks proklamasi di ruang kerja kediaman Maeda di Jalan Imam Bonjol 1, Jakarta-kini Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Di pihak lain, Badio dan kelompok pemuda pengikut Sjahrir pada 16 Agustus hingga tengah malam menghimpun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Mereka juga menyiapkan naskah proklamasi versi mereka sendiri. Tapi upaya ini gagal akibat tak solid. Pagi buta 17 Agustus, sebuah delegasi yang dipimpin Soekarni menemui Sjahrir di rumah.

"Pukul tiga pagi, Soekarni memakai bot tinggi dan pedang samurai menemui saya di rumah. Ia melapor teks proklamasi menurut versi kami tidak diterima," kata Sjahrir. Soekarni juga mendesak Sjahrir ikut perundingan di rumah Maeda. "Tentu saja, tidak saya terima," kata Sjahrir.

Pukul 10 pagi, didampingi Hatta, Soekarno membacakan naskah proklamasi. Adapun Sjahrir memilih tak hadir.

Kader Hingga Ujung Usia

PINTU rumah itu selalu terbuka. Setiap hari ada saja tamu yang datang, kebanyakan petani. Apih Safari, 76 tahun, pemilik rumah di belakang Pasar Hewan, Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat itu setia mendengarkan keluhan mereka. Ketika Tempo berkunjung ke sana dua pekan lalu, lima petani sedang mengadukan sengketa lahan garapan mereka.

Di Sumedang, Apih dikenal sebagai orang tua yang memperjuangkan nasib buruh tani. Ia menjadikan rumahnya markas buat petani yang mendapat perlakuan tak adil. Pensiunan guru bahasa Inggris ini mendirikan Forum Kerakyatan Indonesia serta Serikat Tani Kerakyatan Sumedang, 17 tahun lalu.

Perhatian Apih terhadap kaum kecil muncul ketika remaja. Ketika itu ia banyak bergaul dengan aktivis senior seperti Omo Darmawiredja, ketua cabang Partai Sosialis Indonesia Sumedang. Ia juga berinteraksi dengan Roesni Tjoetjoen, teman sekelas Sjahrir di Algemene Middelbare School-setingkat sekolah menengah atas-di Bandung.

Apih berasal dari keluarga pegawai kereta api yang menyekolahkannya hingga menengah atas. Ia menikah dengan Ana Karmini, anak buruh tani di Sumedang, pada 1952. "Saya melihat mertua saya sering mendapat perlakuan tak adil," ujarnya.

Apih memutuskan menjadi anggota PSI pimpinan Sjahrir beberapa bulan setelah menikah. Waktu itu di Sumedang PSI hanya punya 12 anggota. Ia melewati masa penggojlokan untuk mendapatkan kartu anggota. Menurut dia, proses itu dilakukan untuk menghilangkan sikap feodalis, egois, dan menjadikan anggota lebih merakyat serta mampu memimpin rapat. Apih dipercaya memegang Gerakan Tani Indonesia Sumedang. "Tokoh sosialis harus pandai memimpin massa," katanya.

Menurut dia, calon anggota partai dididik dengan sistem sel sehingga aktivis di satu daerah kerap tidak mengenal aktivis daerah lain. Menurut dia, sistem itu dipilih untuk menyiapkan kader agar siap melakukan gerakan bawah tanah. Kader juga wajib membaca harian Pedoman dan majalah Siasat.

Masuk PSI pada 1952, Apih baru bisa bertatap muka dengan Sjahrir dua tahun kemudian. Ketika itu ada ceramah di Gedung Kesenian di Jalan Naripan, Bandung. Sjahrir berpidato tentang situasi politik serta persiapan menghadapi Pemilu 1955.

Usai pidato, Sjahrir dikerubung sejumlah kadernya, termasuk Apih. Tiga jam mereka beradu argumen. Mereka mencecar keputusan Sjahrir mundur dari kabinet hingga pilihan menjadi PSI sebagai partai kader. Sjahrir lalu menjawab bahwa partai itu tidak perlu banyak anggota. "Sedikit saja jumlahnya, asal paham, militan, menguasai keadaan, serta memahami teori-teori perjuangan," kata Apih menirukan Sjahrir.

Di Sumedang, hanya ada 25 orang yang memegang kartu anggota PSI. Tapi ketika rapat umum pada 1955, alun-alun disesaki pengunjung. Sjahrir berpidato. Setelah itu, ia memanggil belasan pemuda, termasuk Apih, untuk berdiskusi di rumah Omo.

Dua kali bertemu dan berdiskusi, Apih menilai Sjahrir sebagai orang cerdas, cepat menangkap pikiran lawan bicara, teliti, hati-hati, demokratis, dan senang dikritik. "Sjahrir juga sulit ditebak," kata Apih.

Kembali dari Belanda akhir Desember 1931, Sjahrir lalu menjalin hubungan dengan teman lamanya di AMS Bandung. Di antaranya Soewarni, Soewarsih, Sastra, Bondan, T.A. Moerad, Hamdani, dan Inoe Perbatasari. Di Batavia, ia menjalin kontak dengan Djohan Sjahroezah, keponakannya yang belakangan menjadi sekretaris jenderal Partai Sosialis Indonesia.

***

SJAHRIR memimpin Pendidikan Nasional Indonesia pada 1932. Ia mulai membangun kader bawah tanah di sejumlah wilayah seperti Bandung, Garut, Tasikmalaya, Sumedang, dan Cirebon. Ali Boediardjo-kader yang kemudian menjadi sekretaris pribadinya-mengatakan Sjahrir banyak melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Jawa dengan misi politik.

Sjahrir, misalnya, bisa saja mendadak muncul dan mengatakan baru dari Cirebon, Semarang, atau Surabaya dengan membawa pengalaman lucu. Menurut dia, Sjahrir cukup rinci bercerita tentang pertemuan dengan tokoh politik. ''Tapi tidak sedikit pun ia bercerita tentang hal yang mereka bicarakan,'' kata Ali suatu ketika.

Ucu Aditya Gana, mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia yang sedang meneliti pemikiran Sjahrir, mengatakan Pendidikan Nasional Indonesia tidak pernah menjadi organisasi besar. Jumlah anggotanya tidak lebih dari seribu orang. Bandingkan dengan Partai Indonesia atau Partindo pimpinan Soekarno, yang anggotanya mencapai 20 ribu orang.

Ucu mengatakan sebagian orang yang direkrut Sjahrir pada masa pendudukan Jepang dan masa berikutnya merupakan anggota elite intelektual. Mereka memperoleh pendidikan dasar dan menengah Belanda dan melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Indonesia. Kelompok terpelajar itu kebanyakan dari kalangan berpengaruh dan kaya. 'Sjahrir lebih menekankan pada gerakan kader ketimbang massa,'' katanya.

Pola pengkaderan berlangsung hingga Sjahrir kemudian mendirikan PSI pada 1948. Dalam kongres pertama pada 1952, PSI hanya memiliki 3.049 anggota tetap dan 14.480 calon anggota. Bandingkan dengan Masyumi yang mengklaim memiliki enam juta anggota. Partai Komunis Indonesia yang banyak dilumpuhkan dalam peristiwa Madiun pada 1948 memiliki anggota sekitar 100 ribu.

Ketika kongres kedua pada Juni 1955, anggota PSI bertambah menjadi 50 ribu orang. Tetapi PKI waktu itu mengklaim memiliki anggota 10 kali lebih banyak. Adapun Partai Nasional Indonesia mengaku mempunyai anggota beberapa juta orang.

Dalam pemilihan 1955, PSI hanya meraih lima kursi. John D. Legge, dalam bukunya Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, mengatakan kegiatan politik massa bukan satu-satunya tolok ukur keberhasilan partai. Pemikiran PSI bertahan hingga sekarang. "Fakta bahwa partai ini mewakili aliran moral dan politik di Indonesia," kata Legge.

Di Cirebon gerakan pemuda sosialis bertahan dan berinteraksi dengan generasi sebelumnya. Sukardi, 72 tahun, aktivis sosialis, masih menjalin komunikasi dan berdiskusi dengan pemuda seperti Mondi Suherman. Meski ada perbedaan usia yang mencolok, keduanya saling memanggil "bung". "Walaupun PSI dibubarkan, di antara kader dan simpatisan ternyata tidak pernah putus tali silaturahmi," kata Sukardi.

Rahman Tolleng, aktivis sosialis, pernah melakukan kunjungan ke Karangnunggal, Tasikmalaya. Rupanya, Sjahrir pernah datang ke daerah pesisir selatan ini. "Di beberapa rumah gambar Sjahrir masih terpampang meski yang masih hidup tinggal anak cucu para kader," kata Tolleng.

Satu di antara kader Sjahrir kini menghuni sebuah rumah mungil di kawasan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Sang kader, Koeswari, 83 tahun, memajang lukisan cat air yang bergambar Sjahrir sedang berpose menghadap ke samping. Ia tak pernah memindahkan lukisan itu sejak dipasang hampir setengah abad lalu.

Koeswari adalah kader generasi pertama Partai Sosialis Indonesia yang didirikan Sjahrir pada 1948. Ia masuk Dewan Pimpinan Partai yang dipimpin Sjahrir hasil Kongres 1955 bersama 50 orang lainnya. "Mereka semua sudah meninggal," katanya dengan mata berkaca. Ia lalu menatap lukisan Sjahrir itu. Tepat di sisinya ada foto Koeswari bersama dua aktivis partai pada sekitar 1950.

Koeswari dulu buruh perkebunan kopi dan sawit di Dampit, Malang, Jawa Timur. Tidak pernah merasakan pendidikan formal, ia belajar membaca dan menulis secara otodidak. Ia banyak bergaul dengan aktivis pemuda yang bergiat dalam pendidikan. Dari sini Koeswari mulai berkenalan dan berdiskusi dengan tokoh sosialis.

Pada usia 20, Koeswari bergabung dengan Partai Sosialis di Malang. Waktu itu kelompok Sjahrir masih bergabung dengan Amir Sjarifoeddin. Koeswari meninggalkan pekerjaannya sebagai buruh dan konsentrasi penuh di partai. Ia memilih kelompok Sjahrir ketika partai pecah pada 1948. Tanpa mengusung bendera partai, Koeswari aktif memperjuangkan nasib buruh perkebunan.

Menurut dia, Sjahrir pernah beberapa kali singgah di Malang. Tapi Koeswari belum pernah bertemu langsung dengan sang tokoh. Ia baru bertemu ketika ditarik ke Jakarta pada Juli 1953, untuk menangani buruh di Perusahaan Jawatan Kereta Api. Begitu ketemu, keduanya berdiskusi tentang gerakan sosialis di markas Partai Sosialis Indonesia, Jalan Medan Merdeka Barat. "Orangnya sangat ramah," Koeswari mengenang.

Koeswari juga sering berdiskusi di kediaman Sjahrir. Misalnya pada 1955 setelah pemilu, Sjahrir dan anggota inti PSI berdiskusi mengenai gerakan buruh. Menurut Koeswari, Sjahrir selalu mengingatkan supaya tetap semangat dalam memperjuangkan nasib buruh. Semangat itu tetap dipegang Apih dan Koeswari hingga kini, di ujung usia mereka.

Berbagi Peran dari Bawah Tanah

JACQUES de Kadt yang sedang santai di rumahnya terperangah. Seorang lelaki Indonesia berpakaian Barat masuk ke pekarangannya. Ketika itu Jepang baru tiba. Tak ada lagi sahabat dan kenalan Indonesianya yang mau mendekat, takut dikira Jepang kaki-tangan Belanda. Siapa lelaki ini?

Di beranda, lelaki itu memperkenalkan diri: Sjahrir. De Kadt segera ingat, ini mahasiswa Indonesia di Belanda, yang sepuluh tahun lalu sering berdiskusi dengannya soal politik. De Kadt adalah politikus Belanda yang "terjebak" di Bandung selama Perang Dunia II.

Sjahrir menemuinya karena mendengar De Kadt mengorganisasi gerakan bawah tanah anti-Jepang. Anggotanya pemuda Belanda dan Indo-Belanda. Sjahrir membutuhkannya untuk memperluas jejaring perlawanan terhadap penjajah dari Negeri Matahari Terbit itu.

De Kadt orang kesekian yang ditemui Sjahrir, setelah ia, bersama Mohammad Hatta, pulang dari pengasingan di Banda Neira, Maluku, awal Februari 1942. Mula-mula ia bertemu dengan Sastra, teman lama di Bandung saat masih aktif di Pendidikan Nasional Indonesia.

Meski Sastra komunis, keduanya berkawan dekat. Mereka berpisah pada 1934, setelah Pendidikan Nasional Indonesia dibubarkan polisi, dan Sjahrir diasingkan ke Boven Digul, Papua. Sastra menemui Sjahrir setelah mendengar kabar kawannya itu kembali ke Jawa dan tinggal bersama Hatta di kompleks polisi Sukabumi.

Nekat ia menyusup ke sana. Di rumah Sjahrir, ia tinggal sehari semalam. Bertiga mereka membuat rencana. Hatta akan berpura-pura bekerja sama dengan Jepang untuk melindungi teman-temannya yang berjuang melawan Jepang. Sjahrir, yang enggan membantu Jepang, memimpin gerakan bawah tanah.

"Kalau Bung Hatta ditanyai tentang Sjahrir, dia bilang Sjahrir terganggu pikirannya dan agak sinting," demikian Sastra bercerita dalam buku Mengenang Sjahrir, yang disunting Rosihan Anwar.

Di Sukabumi, Sjahrir juga sempat ditemui Amir Sjarifoeddin, yang waktu itu bekerja di Departemen Ekonomi pemerintahan kolonial Belanda. Seperti ditulis dalam buku Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, karya Rudolf Mrazek, Amir ditemani pengacara Soejitno Mangoenkoesoemo, adik Tjipto Mangoenkoesoemo. Amir menemui Sjahrir dan Hatta karena mendengar tentara Jepang akan segera menduduki Jawa.

Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Beb Vuyk, penulis Belanda dan teman Sjahrir yang dikutip Mrazek, bercerita serah-terima kekuasaan dari Belanda ke Jepang di kompleks polisi Sukabumi berjalan sangat cepat. Seusai serah-terima, komisaris Belanda di sana berkata, "Di sini juga terdapat dua pemimpin nasionalis, bagaimana dengan mereka?" Tentara Jepang menjawab, "Biarkan mereka pergi."

Tapi Sjahrir dan Hatta tetap tinggal di kompleks polisi itu. Dari sana, mereka melakukan perjalanan ke berbagai kota, termasuk menemui De Kadt di Bandung. Ini tindakan berani. Soalnya, Jepang tak segan memenggal orang yang dikira bersekongkol dengan Belanda.

Sjahrir bercerita dalam bukunya, Out of Exile, pertemuan dengan De Kadt menghasilkan program menyatukan gerakan perlawanan kelompok-kelompok prokemerdekaan. Program ini dia sampaikan kepada teman-temannya di daerah. Antara lain melalui Sastra, yang rajin mengunjunginya di Sukabumi.

Setelah Hatta mendapat perintah pergi ke Batavia, Sjahrir dan anak-anak angkatnya-Lily, Mimi, dan Ali-meninggalkan kota itu. Sejak itu, Sjahrir hidup nomaden di Jawa: pernah tinggal di Semarang, Bandung, lalu Cipanas, Bogor, sebelum kembali ke Jakarta.

Sambil berkelana, Sjahrir kembali berhubungan dengan kawan-kawan lamanya dan para kader Pendidikan Nasional Indonesia. Dengan Rusni di Priangan, Soedarsono, Sugra, dan Sukanda di Cirebon, Wiyono dan Sugiono Yosodiningrat di Yogyakarta, dan Djohan Sjahruzah di Surabaya. Melalui Soejitno, ia berhubungan dengan cendekiawan muda seperti T.B. Simatupang, Ali Budiardjo, dan Halim.

Jaringannya di Kedurus, Surabaya, yang dipimpin Sudjono dan Johan Sjahruzah, berhasil menguasai ladang minyak. Di masa kolonial, sumur minyak itu dikelola Shell Belanda. Jaringan eks anggota Pendidikan juga membangun Koperasi Rakyat Indonesia di Jawa Barat, dengan tujuan terselubung mempersiapkan rakyat menyambut kemerdekaan. Di Bandung, koperasi ini disingkat Korindo, di Cirebon disebut KRI.

Pindah ke Jakarta, Sjahrir dan anak-anaknya tinggal di paviliun rumah Hatta di Jalan Oranje Boulevard-sekarang Jalan Diponegoro. Dari situ mereka pindah ke Jalan Tegal, Jalan Dambrink, yang kini menjadi Latuharhari, lalu Jalan Jawa 61-sekarang HOS Cokroaminoto.

Pada Juli 1942, atas permintaan Soekarno, yang baru kembali dari pembuangan di Sumatera, Sjahrir, Hatta, dan Soekarno melakukan rapat di rumah Hatta. Asmara Hadi, orang kepercayaan Soekarno, ikut dalam pertemuan itu.

Des Alwi, anak angkat Sjahrir yang datang dari Banda Neira beberapa bulan setelah Sjahrir tiba di Jakarta, disuruh Hatta berjaga di pintu. "Om Hatta tak ingin ada orang lain masuk," Des bercerita. Malam itu ketiganya sepakat: Soekarno bersama Hatta akan bekerja sama dengan Jepang, dan Sjahrir tetap menyusun perlawanan di bawah tanah.

Peran itu membuat Sjahrir tak punya pendapatan tetap yang cukup. Agar tahan susah, anak-anaknya diajari hidup sederhana. Untunglah selalu ada teman yang membantu. Sastra, yang kebetulan punya tambak ikan di Garut, misalnya, jika datang selalu membawa beras dan ikan kering.

Ketika Des masuk sekolah radio, Institut Voor Electro Vak Onderwijs, uang sekolah yang sebulannya delapan gulden dibayar Hatta. Kebetulan Lily segera mendapat pekerjaan untuk membantu keuangan keluarga besar Sjahrir.

Sebagai motor gerakan bawah tanah, Sjahrir rajin menggelar diskusi. Selain di rumahnya sendiri, menurut Des Alwi, Sjahrir sering berdiskusi di daerah Manggarai, Jakarta. Peserta tetapnya antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Mr Soejitno, Ali Budiardjo, dokter Soedarsono, Zainal Abidin, Hamdani, dan dokter Toha.

Jika tidak di Manggarai, diskusi digelar di Sindanglaya, Cipanas. Ini rumah Halim, salah satu kerabat Sjahrir. Ikut dalam lingkaran diskusi Sjahrir: mahasiswa kedokteran seperti Soedjatmoko, Abu Bakar Lubis, Subianto, dan Suroto Kunto.

Untuk mengetahui perkembangan perang Jepang melawan Sekutu, Sjahrir mengandalkan siaran radio, termasuk dari BBC. Ia punya radio yang disembunyikan di dalam lemari. Agar tak kentara, radio itu sudah dibuka rangkanya dan disembunyikan di balik kain batik. "Jika Sjahrir bilang, 'Des, butuh batik,' kami sudah tahu maksudnya," tutur Des.

Pada suatu hari, karena mendapat radio baru, Sjahrir membawa radio lamanya ke Cipanas untuk disimpan Halim. Ketika dia kembali ke Cipanas untuk mengambil radio itu beberapa bulan kemudian, ternyata sudah rusak. Rupanya Halim, yang takut ketahuan Jepang, mengubur barang itu di dalam tanah. "Oom sangat kecewa karena radio itu sangat berjasa," tulis Lily dalam buku Mengenang Sjahrir.

Ketika Sjahrir mendengar dari radionya Jepang hampir kalah, dia ingin kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Tapi Soekarno memilih menunggu lampu hijau dari Jepang. Sjahrir jengkel. Maka, pada Juli 1944, ketika mendengar Tan Malaka ada di Bayah, Banten, menyamar sebagai Ibrahim, dia segera mencari Tan. Sjahrir meminta Tan Malaka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tapi tokoh komunis itu juga menolak.

Pada 14 Agustus 1945, Sjahrir mendengar dari BBC, Jepang akhirnya menyerah kepada Sekutu. Buru-buru dia menemui Bung Karno, memintanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia saat itu juga. Lagi-lagi Soekarno menolak. Ini membuat Sjahrir kecewa. Dia lalu meminta dokter Soedarsono memproklamasikan kemerdekaan di alun-alun Kejaksan, Cirebon. Maka, di Cirebon, Indonesia merdeka lebih dulu dua hari dari Jakarta.

Misi Rahasia dari De Socialist

KEPULANGAN Sjahrir ke Tanah Air pada pertengahan November 1931 terasa mendadak. Kepada rekan-rekannya di klub mahasiswa sosial demokrat di Belanda, De Socialist, pemuda 22 tahun itu hanya bilang hendak pergi ke "suatu wilayah berbahaya".

Sjahrir rupanya telah sepa-kat mengalah kepada Muhammad Hatta, ketika itu 29 tahun, senior di Perhimpunan Indonesia dan teman diskusinya di De Socialist. Meski belum menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, ia akan pulang. Hatta, yang sudah sembilan tahun di Belanda, berniat menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Rotterdam lebih dulu.

Menurut Rosihan Anwar, 87 tahun, wartawan dan simpatisan Partai Sosialis Indonesia, situasi Perhimpunan Indonesia tak lagi kondusif ketika itu. Pada Maret 1931, kelompok Abdoelmadjid dan Rustam Effendy yang berhaluan komunis kian mendominasi perhimpunan. Mereka telah mendepak Hatta dari tampuk pimpinan. Sjahrir, sekretaris perhimpunan, membela Hatta dan keluar dari organisasi bersama seniornya itu.

Keadaan genting juga berlangsung di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda menangkap Soekarno dan tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia. Bagi Hatta dan Sjahrir, penangkapan ini bakal menyurutkan semangat kaum pergerakan. "Bagi keduanya, ini sinyal bahwa keadaan di Tanah Air menghadapi masalah serius," kata Rosihan.


Lebih-lebih setelah mendengar PNI justru dibubarkan oleh aktivisnya sendiri, yang kemudian membentuk Partai Indonesia atau Partindo. Gerakan nasionalisme kultural Partindo dinilai terlalu lemah dan mengecewakan kaum nasionalis. Mereka berharap ada tokoh yang lebih berani.

Hatta dan Sjahrir saat itu sudah menjadi tokoh di kalangan nasionalis. Tulisan-tulisan mereka dari Negeri Belanda tentang "pentingnya pendidikan menuju kemerdekaan" berpengaruh besar terhadap kaum pergerakan. Terpengaruh tulisan ini, sekelompok mahasiswa dan pemuda membentuk klub studi di Bandung dan Jakarta pada Maret-April 1931.

Abdoel Karim Pringgodigdo, teman Hatta yang lebih dulu kembali dari Belanda, juga teman-teman Sjahrir semasa sekolah menengah di Bandung, bergabung dengan kelompok studi ini. Menamakan diri "golongan merdeka", mereka menerbitkan jurnal Daulat Rakyat. Misi jurnal ini adalah "pendidikan rakyat".

"Nama merdeka diambil karena mereka di luar kelompok mana pun. Mereka juga menegaskan tujuan memerdekakan bangsanya," kata Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maroeto Nitimihardjo, salah satu pendiri kelompok itu.

"Golongan merdeka" mengadakan kongres di Yogyakarta pada Februari 1932. Mereka kemudian mendirikan Partai Pendidikan Nasional Indonesia dengan ketua Sukemi. Partai ini kemudian dikenal sebagai PNI Baru atau PNI Pendidikan. Begitu tiba di Tanah Air, Sjahrir langsung bergabung dengan partai baru ini.

Dalam kongres di Bandung pada Juni 1932, Sjahrir ditunjuk menjadi ketua dan Sukemi wakilnya. Beberapa bulan kemudian Hatta kembali ke Indonesia dan segera mengambil alih kepemimpinan, dengan Sjahrir sebagai wakilnya. "Agar efektif, pusat kegiatan lalu dipindahkan Hatta ke Jakarta," kata Hadidjojo.

Gerakan politik Hatta dan Sjahrir melalui PNI Baru justru lebih radikal daripada PNI Soekarno, yang mengandalkan mobilisasi massa. Meski tanpa aksi massa dan agitasi, organisasi ini mendidik kader-kader pergerakan. Menurut Des Alwi, anak angkat Sjahrir, Hatta dan Sjahrir memang mengambil alih PNI Baru ini hanya agar pergerakan nasional terus berlanjut.

Pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin partai ini. Mereka dibuang ke Boven Digul, Papua.

Berkembang di Iklim Barat

AKHIR musim panas 1929. Seorang pemuda berkulit cokelat menginjakkan kaki di Amsterdam. Baru datang dari Hindia Belanda, Sutan Sjahrir, pemuda itu, segera terpikat oleh suasana masyarakat Belanda yang begitu hidup, seakan tak pernah beristirahat. "Tak ada yang melebihi keheranan saya ketika tiba di Belanda," tulisnya dalam Renungan Indonesia. "Bulan-bulan pertama selalu terkenang."


Dia pun mereguk sepuas hati kebebasan di negeri itu. Di sana, garis pemisah antara warga negeri penjajah dan penduduk wilayah jajahannya tak terlihat sama sekali. Sjahrir tak hanya berteman dengan sesama mahasiswa asal Indonesia. Pada bulan-bulan pertama di Belanda, dia menulis surat kepada Salomon Tas, Ketua Amsterdam Sociaal Democratische Studenten Club. Perkumpulan mahasiswa sosial demokrat Amsterdam itu berafiliasi dengan Partai Sosialis Demokrat Belanda (SDAP). Sjahrir ingin mengenal perkumpulan itu lebih dalam.

"Begitu menerima surat itu saya langsung melompat ke atas sepeda, pergi mengunjungi Sjahrir," tulis Salomon Tas dalam Souvenirs of Sjahrir. Rumah Tas tak jauh dari flat keluarga Nuning Djoehana di Amsterdam Selatan-tempat Sjahrir menumpang. Kedua pemuda itu cepat bersahabat. Sjahrir bergabung dengan perkumpulan yang dipimpin pemuda keturunan Yahudi itu.

Bersama Tas, istrinya Maria Duchateau, Judith, teman Maria, dan Jos Riekerk, Sjahrir kerap berdiskusi soal politik dan mengupas pemikiran para filsuf sosialis. Dia tekun melahap tulisan Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Otto Bauer, Hendrik de Man, dan tentu saja Marx dan Engels.

Di saat lain, mereka menonton film dan teater, atau sekadar bercengkerama di bar dan kafe. Ada pula acara piknik yang disebut "Akhir Pekan Kaum Sosialis", yang diselenggarakan jurnal De Socialist. Anak muda dari berbagai ras pergi berwisata ke Amersfoort, Arnhem, Assen, atau Kijkduin di tepi laut.

Pergaulan Sjahrir pun berputar kian cepat. Tas mengaku sempat kehilangan kontak beberapa lama. Belakangan, setelah berjumpa kembali, Sjahrir bercerita kepada Tas, dalam pencarian akan perkawanan radikal, dia bergaul dengan kaum anarkis kiri. Mereka menjaga diri untuk terbebas dari sistem kapitalisme dengan menghindar dari pekerjaan yang mencari untung. "Mereka bertahan hidup dengan berbagi apa pun, termasuk alat kontrasepsi, tapi tidak termasuk sikat gigi," tulis Tas.

Namun Sjahrir tak lama bergaul dengan kelompok itu. Dia melepaskan diri tanpa kekurangan suatu apa pun. Setelah keluarga Nuning Djoehana pulang ke Indonesia, Sjahrir tinggal di rumah keluarga Tas. Kiriman uang dari ayahnya telah berhenti. Maka Sjahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transpor Internasional. Dia bisa mendapat uang saku dan bisa mengenal kehidupan kaum buruh lebih dekat.

Apa yang dilakukan Sjahrir, menurut Tas, melebihi kebanyakan mahasiswa Indonesia di Belanda. "Paling-paling mereka membaca buku tentang organisasi, tapi tak seorang pun pernah hidup di dalamnya seperti Sjahrir," ujarnya.

Kesibukan berdiskusi dan berorganisasi tak ayal membuat kuliahnya terbengkalai. Konon, karena soal itu pula, Hatta mendorongnya pulang ke Tanah Air pada 1931. "Memang ada spekulasi, selain untuk memimpin PNI Pendidikan, Hatta menyuruh Sjahrir pulang karena khawatir melihat pergaulannya yang tak teratur," ujar sejarawan Rushdy Hoesein.

Muhammad Akbar Djoehana, akrab dipanggil Aki Djoehana, membantah spekulasi itu. Dia putra Nuning Djoehana, kini berusia 84 tahun, dan menetap di Mouvaux, Lille, Prancis. Menurut Aki, Hatta meminta Sjahrir kembali ke Tanah Air karena kuliahnya sendiri belum selesai. "Sjahrir setuju pulang untuk sementara," ujar Muhammad Akbar. "Setelah Hatta menyelesaikan studi, Sjahrir akan kembali ke Belanda untuk menyelesaikan kuliahnya," dia menambahkan.

Sejarah mencatat, Sjahrir tak pernah kembali ke Belanda. Berbagai sebab membuatnya senantiasa tertahan di Indonesia. Betapapun, tulis Tas, "Kepribadian Sjahrir telah berkembang dalam iklim Barat."

Antara Tuschinski dan Stadsschouwburg

SUASANA kampus di kawasan Oudemanhuispoort alias Old Man's House, tepat di jantung Amsterdam, Belanda, pada sore dua pekan lalu itu begitu tenang. Para mahasiswa, yang baru selesai mengikuti kuliah, bergerombol di depan pintu masuk gedung yang berarsitektur klasik itu.


Menempati sebuah gedung bersejarah yang berdiri sejak 1602, Fakultas Hukum Universitas Amsterdam dikelilingi kanal-kanal dan jalan-jalan kecil berbatu. Fakultas ini merupakan impian mahasiswa dari seantero negeri, bahkan luar negeri, yang ingin mempelajari ilmu hukum. Tak aneh bila fakultas ini memiliki jumlah mahasiswa dan pengajar terbanyak dibanding fakultas lain.

Fakultas ini memiliki fasilitas lengkap. Perpustakaannya, misalnya, menyimpan jutaan buku. Suasana belajar juga sangat nyaman. Di sepanjang lorong-lorong gedung fakultas terdapat beberapa kios yang menjual buku-buku bekas berharga miring. Buku murah itu jelas amat membantu mahasiswa yang berkantong cekak.

Suasana asri kampus semacam ini, 80 tahun silam, tetap tak bisa membuat seorang pemuda berkulit cokelat, Sjahrir, betah berdiam di situ. Sejak kedatangannya ke Negeri Kincir Angin pada 1929, Sjahrir lebih banyak menghabiskan waktu di luar tembok kampus. Dunia luar, pertemuannya dengan orang dari berbagai bangsa, lebih menarik perhatiannya ketimbang kegiatan belajar dan diskusi di dalam ruang kuliah.

Pada usia yang baru menginjak 20 tahun, Sjahrir memang sudah mengecap kehidupan yang relatif modern saat bersekolah di Algemene Middelbare School di Bandung. Namun Amsterdam, kota di Benua Eropa itu, jelas lebih kosmopolitan ketimbang Bandung. Pergaulan antarmanusia di sana juga egaliter ketimbang di Hindia Belanda.

Amsterdam memang memikat pemuda Sjahrir. Maka, ketimbang mengikuti kuliah dan mengunjungi perpustakaan kampus, Sjahrir lebih sering ngelencer mendatangi pusat budaya atau tempat-tempat berkumpul mahasiswa. Salah satu lokasi yang sering ia kunjungi adalah bioskop alias Cinema Tuschinski di kawasan Rembrandtplein.

Gedung bioskop ini dibangun dengan gaya campur aduk antara Art Deco, Art Nouveau, dan aliran arsitektur Amsterdam yang sedang jadi tren pada awal 1900-an. Sampai kini gedung itu masih berfungsi sebagai bioskop komersial dan sering menjadi lokasi utama festival film, misalnya International Documentary Film Amsterdam.

Selain menyukai film, Sjahrir muda menggemari teater. Dan hanya satu blok dari Cinema Tuschinski terdapat gedung teater tua yang terkenal: Stadsschouwburg. Gedung teater ini terletak di daerah ramai Leidseplein, salah satu pusat kehidupan malam di Amsterdam. Di tempat ini Sjahrir sering menonton pertunjukan, baik sendiri maupun bersama teman.

Dari Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, Stadsschouwburg bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 20 menit. Bila naik sepeda, hanya makan waktu 10 menit. Kini di depan teater itu setiap dua menit lewat trem.

Gedung Stadsschouwburg sejatinya sudah berkali-kali runtuh dan berulang kali pula dibangun kembali sejak akhir abad ke-15. Bangunan yang kini berdiri terakhir kali "ditegakkan" pada 1894. Arsiteknya saat itu, Jan L. Springer, memilih membangun kembali dengan gaya ala Baroque Revival.

Sampai saat ini, Stadsschouwburg masih mementaskan sejumlah pertunjukan teater, pameran foto, pameran lukisan, dan beragam kegiatan budaya lainnya. Seiring perkembangan zaman, sarana transportasi untuk mengunjungi gedung teater itu semakin mudah.

Sejak pertama kali dibangun, teater ini menjadi tempat favorit masyarakat umum dan pelajar untuk kongko-kongko. Ini lantaran program budaya yang mereka tawarkan selalu memikat. Apalagi di sekitar gedung tersebut juga banyak tempat menarik.

Di bagian kiri gedung, misalnya, terdapat Jalan Marnixstraat, yang di seberangnya ada Hotel American, yang terkenal dengan bar dan kafenya. Di bar itulah Sjahrir dan teman-temannya biasa berkumpul. Cafe Americain, yang dibangun pada 1900 dengan gaya Art Deco, merupakan tempat berkumpul mahasiswa dari kalangan borjuis dan berduit. Kafe ini bukan kedai murah.

Masih di kawasan Leidseplein, terdapat jalan-jalan kecil yang juga dipenuhi kafe. Di salah satu jalan kecil, Lange Leidse Dwaarstraat, dulu terdapat Sociaal Democratische Studenten Club. Perkumpulan yang pernah diketuai sahabat Sjahrir, Salomon Tas, itu kini sudah tak ada. Namun suasana di sekitar tempat itu sampai kini masih terasa dinamis. Banyak anak muda menghabiskan waktu di antara kafe-kafe di sepanjang jalan tersebut.

Saat pertama kali datang, Sjahrir menumpang di flat yang disewa keluarga kakaknya, Siti Sjahrizad alias Nuning Djoehana, di kawasan Amsterdam Selatan. Daerah itu dulu dihuni masyarakat kelas menengah yang makmur. Kini tempat itu sudah berubah, banyak berdiri gedung pencakar langit. Setelah keluarga Djoehana pulang ke Indonesia, Sjahrir tinggal di rumah kecil milik keluarga Salomon Tas, masih di kawasan yang sama.

Mengikuti teman-temannya, Sjahrir kemudian pindah kuliah ke Leiden, satu jam perjalanan kereta dari Amsterdam. Leiden merupakan kota ilmu yang terpandang. Sjahrir mendaftar ke Leiden School of Indology, tempat sejumlah intelektual Belanda ternama, seperti Ch. Snouck Hurgronje, C. van Vollenhoven, dan G.A.J. Hazeu, mengajar.

Pergaulan luas Sjahrir dengan kalangan cendekiawan dan aktivis politik di Leiden meninggalkan bekas sampai sekarang. Namanya ditahbiskan sebagai nama jalan-kendati jalan kecil: Sjahrirstraat. Jalan ini melengkapi jalan-jalan lain untuk mengenang sejumlah tokoh dunia, seperti Ghandistraat, Martin Luther Kingpad, Salvador Allendeplein, dan Camilo Torresplein.

Sjahrirstraat, yang terletak di pinggiran Kota Leiden, merupakan area pembangunan permukiman baru untuk kalangan pekerja dengan penghasilan menengah ke bawah. Sayang, ketika Tempo bertandang ke kawasan itu dua pekan lalu, tak ada seorang pun yang mengenali bekas Perdana Menteri Indonesia ini. "Tapi saya tahu dia pasti orang terkenal juga, karena nama-nama di jalan ini adalah nama-nama orang terkenal," kata seorang warga yang kebetulan lewat.

Sarmadji, warga Belanda asal Indonesia yang sudah lama menetap di Leiden, punya penilaian terhadap Sjahrir. "Dia hanya bergaul dengan kalangan intelektual kelas atas. Jadi dia agak berjarak dengan kalangan bawah, walaupun dia berusaha untuk mengatasi itu."

Rumah di Kaki Singgalang

SJAHRIR lahir di Padang Panjang pada 5 Maret 1909. Namun datanglah ke Padang Panjang, coba tanya masyarakat, di mana Sutan Sjahrir dilahirkan. Ternyata banyak yang tak tahu. "Katanya memang dilahirkan di sini. Tetapi tempatnya itu kami tidak tahu, mungkin karena ayahnya hanya sebentar bertugas di Padang Panjang," kata Taufik Dt. Mangkuto Rajo, tokoh masyarakat di sana.

Jawaban yang sama juga datang dari aparat pemerintah Padang Panjang. "Kami enggak tahu persis di mana Sutan Sjahrir dilahirkan," kata Zulkarnain Harun, Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata. Tempo baru mendapat ancar-ancar di mana letak rumah kelahiran Sjahrir ketika menghubungi Siti Rabiah Parvati, putri Sutan Sjahrir, yang akrab dipanggil Upik, di Jakarta. "Sekitar sepuluh tahun lalu, saya dan ibu saya berusaha mencari rumah kelahiran Ayah di Padang Panjang, dan ada yang mengatakan lokasinya di Pesantren Diniyyah Putri," kata Upik.

Tempo menuju Perguruan Diniyyah Putri. Letaknya di Jalan Abdul Hamid Hakim Nomor 30, Padang Panjang. Perguruan Diniyyah Putri adalah pondok pesantren modern khusus putri yang didirikan Rahmah El Yunusiyyah pada 1923. Pimpinan Diniyyah Putri kini, Fauziah Fauzan, 38 tahun, mengaku mengetahui ihwal rumah kelahiran Sjahrir saat duduk di bangku SMA. "Saat itu ibu saya bilang, aula kita itu dulunya tempat kelahiran Sutan Sjahrir. Ibu mendapat cerita itu dari nenek saya, Hussainah Nurdin."

Aula itu cukup luas. Namun tak ada satu pun petunjuk Sjahrir pernah dilahirkan di sana. Tidak ada foto Sjahrir yang dipajang di situ. Gedung pertemuan ini bulan lalu pernah menjadi tempat Ijtimaq MUI se-Indonesia, yang mengeluarkan beberapa fatwa, di antaranya larangan merokok dan larangan golput.

***

Sementara di Padang Panjang jejak Sjahrir tak bisa ditemui, di Nagari Koto Gadang, sekitar 15 kilometer dari Padang Panjang, masih ada sedikit kenangan fisik masa kecil Sjahrir. Memasuki Koto Gadang di persimpangan jalan ada papan penunjuk arah ke jalan-jalan yang lebih kecil, ada yang bertulisan Jalan Sutan Sjahrir, Jalan Rohana Kudus, Jalan Agus Salim, dan Jalan Datuk Kayo.

Ayah Sjahrir, Muhammad Rasyad Maharajo Sutan, berasal dari Koto Gadang sementara ibunya, Siti Rabiah, dari Natal, Sumatera Utara. Ayah Sjahrir memiliki enam istri. Siti Rabiah ibu Sjahrir adalah istri kelima. Sejarawan Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, mengatakan bahwa salah satu yang membentuk cakrawala intelektual Sjahrir tidak terlepas dari latar belakang keluarga modern ayahnya di Koto Gadang. Pada abad ke-19, di Koto Gadang, menurut Mestika Zed, Belanda membuat perkebunan kopi di lereng Gunung Singgalang dan Merapi. Sekolah-sekolah didirikan Belanda untuk mencetak tenaga kerja di perkebunan. Di Koto Gadang saat itu sudah ada tiga posisi karier pegawai negeri yang dianggap luar biasa di Hindia Belanda: angku doto (mantri), angku guru, dan angku jaksa. "Kakek Sutan Sjahrir (Lemang Sutan Palindin) dan ayah Sutan Sjahrir (Muhammad Rasyad Maharajo Sutan) adalah angku jaksa dan masuk ke kalangan elite pegawai Belanda," kata Mestika Zed.

Meski dari Padang Panjang kemudian keluarga Sjahrir tinggal di Medan, ia sering dibawa ayahnya ke rumah neneknya di Koto Gadang. Rumah nenek Sjahrir itu kini sudah lama menjadi rumah kosong. Terakhir ditinggali perajin perak. Saat Tempo ke sana tiga pekan lalu, rumah itu terkunci.

Bersebelahan dengan Jalan Sutan Sjahrir, ada Jalan Rohana Kudus. Rohana Kudus, wartawan perempuan pertama di Indonesia itu, adalah saudara tiri Sutan Sjahrir. Ia adalah putri Kiam, istri pertama ayah Sjahrir. Rohana Kudus juga anak pertama, sehingga Sjahrir memanggilnya One Rohana (kakak). Kini di rumah Rohana Kudus tinggal Adi Zulhadi, cucu Ratna, adik Rohana Kudus. Di dalam rumah yang sebagian besar masih bangunan asli itu, di ruangan tamu ada tiga foto Sutan Sjahrir yang tergantung di dinding, salah satunya foto Sutan Sjahrir di depan rumah Rohana Kudus saat sudah menjadi perdana menteri dan berkunjung ke Koto Gadang.

"Menurut cerita nenek saya, Sjahrir sering diajak ayahnya ke rumah ini, karena di sini banyak saudara perempuannya," kata Adi Zulhadi. Adi mengatakan, neneknya bercerita, saat Sjahrir datang tatkala sudah menjadi perdana menteri, rumah sangat ramai. "Rohana dan Sjahrir, katanya, sering berdiskusi tentang perkembangan politik," tutur Adi.

Anak Minang Jago Menyerang

RUMAH panggung dengan halaman luas itu telah raib. Kompleks asri dengan pohon-pohon menjulang yang dulu menjadi ciri permukiman di Jalan Mantri, Kelurahan Aur, Medan Maimun, Kota Medan itu tak lagi ada. Yang tinggal hanya barisan rumah padat yang tak menyisakan halaman.

Dulu lingkungan Jalan Mantri dikenal sebagai permukiman kaum elite. Pejabat Belanda, juga pribumi keturunan bangsawan berdiam di rumah sepanjang jalan itu. Di kompleks inilah Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia, menghabiskan masa kecilnya.

"Rumah Sjahrir dulu di situ," kata Faskinar Rochman, 68 tahun, warga Jalan Mantri. Faskinar menunjuk bangunan beton bernomor 8 dengan pagar besi biru setinggi tiga meter. Sayang, bangunan ini sama sekali tidak mirip rumah asli Sjahrir.

Menurut Faskinar, keluarga Sjahrir tak lagi menempati rumah itu. Setelah kemerdekaan, adik Sjahrir menjualnya ke seorang pedagang keturunan Cina, bernama Lee Shang. Meski tak ditemukan jejaknya, beberapa warga usia lanjut di sana meyakini Sjahrir pernah bermukim di daerah itu. Namun hal itu tidak terdokumentasi. Badan Warisan Sumatera, lembaga yang peduli bangunan bersejarah pra-kemerdekaan, juga tak memiliki data tertulis tentang hal itu. "Kita hanya mendapatkan keterangan warga," kata Asmyta Surbakti, Wakil Ketua Badan Warisan Sumatera.

Medan kota kenangan Sjahrir semasa kecil. Di daerah kelahirannya, Padang Panjang, Sumatera Barat, Sjahrir hampir tak memiliki kenangan. Usianya baru setahun ketika ia meninggalkan kota itu dan bermukim di Jambi, mengikuti tugas sang ayah, Muhammad Rasyad, sebagai jaksa tinggi. Pada usia empat tahun, Sjahrir pindah ke Medan.

Tak banyak jejak Sjahrir yang terekam di Medan. Mrazek dalam Sjahrir:Politics and Exile in Indonesia (1994) menyebut Sjahrir dikenal sebagai anak lelaki terpandai keluarga Rasyad. Nilainya selalu 9 dari ujian berkala yang dilakukan ayahnya. Ia hanya lemah untuk urusan menulis indah.

Di usia enam tahun ia masuk Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah rendah Eropa, sekolah terbaik dan modern masa itu. Saat Sjahrir duduk di bangku ELS, Bibliotheek-perpustakaan untuk bangsa Hindia berbahasa Belanda-tengah gencar mencetak buku cerita anak. Di kemudian hari, Sjahrir mengaku membaca ratusan buku cerita itu.

Sjahrir beruntung mengenyam pendidikan di tengah perkembangan politik etis. Selain mendapatkan pendidikan ELS, setiap sore lelaki kelahiran 5 Maret 1909 itu juga mendapat pendidikan Islam dari orang tuanya. Dari ELS Sjahrir, yang lulus pada 1920, melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), juga di Medan. Sayang, dua sekolah itu tak lagi ada. Sekolah MULO itu kini hanya tanah kosong yang ditumbuhi rumput. Hairul dari Badan Warisan Sumatera menunjuk lahan kosong di depan Hotel Tiara, Jalan Cut Mutia, sebagi lokasi sekolah itu. Pada 1985, bangunan yang lantas menjadi SMP Negeri I Medan itu dirobohkan. Di sinilah dahulu Sjahrir mengenyam pendidikan menengah pertamanya dan lulus pada 1923.

Tak banyak sumber yang mengulas aktivitas Sjahrir di Medan. Mrazek mencatat Sjahrir penggemar sepak bola. Dia penyerang tengah yang andal. Di Hotel Ina Dharma Deli, Jalan Balai Kota, Medan Petisah, Kota Medan, terdapat jejak Sjahrir yang lain. Di bangunan mewah yang dulunya cuma diperuntukkan bagi orang kulit putih dan bernama Hotel de Broer itu, "Sjahrir kerap mencari uang saku dengan bermain biola di sana," tulis Mrazek. Namun bukti dalam bentuk dokumen tak ditemukan. "Saya tidak memiliki pengetahuan tentang keberadaan Sjahrir di sini," kata Lintong Siahaan, pengelola hotel sepuluh lantai itu.

Gambaran tentang Sjahrir kecil memang banyak bersembunyi dalam ingatan orang per orang. Di Banda Neira, tempat pembuangan Sjahrir, Des Alwi mendengar ayah angkatnya bercerita tentang masa kecilnya. Ia pernah mencuri rambutan di rumah seorang kapiten warga Tionghoa bernama Chong Afi. Rambutan itu dipetik beserta tangkai-tangkainya dan disimpan di bawah tempat tidurnya. Namun aksi itu dipergoki sang ayah, Muhammad Rasyad, sehingga ia dihukum.

Setelah menamatkan MULO, pada 1926 Sjahrir berlayar ke Jawa dengan tujuan Bandung. Di kota ini ia menumpang di rumah saudara tirinya, Radena, di Jalan Dr. Samjudo. Ia mendaftar ke Algemene Middelbare School (AMS) jurusan Barat klasik-jurusan yang mengarahkannya jadi jaksa, sebagaimana ayahnya. Pada mulanya, Sjahrir bukan murid yang menonjol. Namun, dalam perkembangannya, ia memperlihatkan karakternya yang pandai bergaul, pemberani, dan mahir mendebat gurunya.

Menurut Des Alwi, nasionalisme Sjahrir tumbuh pertama kali, tatkala mendengar pidato Dr Cipto Mangunkusumo. Saat itu Dr Cipto, yang telah dikenal sebagai tokoh pergerakan, berpidato di satu alun-alun di Bandung. Sjahrir, yang hidup di lingkungan pro-Belanda karena ayahnya pegawai Belanda, semula kurang menyukai pergaulan dengan kaum pemberontak. Namun kawan sekelasnya, Boediono, membujuk, mengajaknya jalan-jalan serta makan sate. Dari situlah untuk pertama kalinya Sjahrir terpukau dengan semangat kebangsaan. Ia mulai aktif dalam perkumpulan pemuda kebangsaan, bahkan ikut membentuk perhimpunan "Jong Indonesie" dan majalah perhimpunan. Akibatnya, pemuda yang masih duduk di AMS itu dimata-matai polisi.

Aktif dalam politik tak membuat Sjahrir meninggalkan hobinya bermain bola dan berkesenian. Ia menjadi anggota Club Voetbalvereniging Poengkoer, perkumpulan sepak bola di tempat tinggalnya. Ia juga anggota klub sepak bola Luno, di sekolahnya. Lapangan klub di Jalan Pungkur itu kini telah berubah menjadi gedung dan rumah tinggal.

Selain itu, bersama teman sekolahnya ia mendirikan perkumpulan sandiwara bernama Batovis. Kelompok ini sering manggung di gedung Concordia, Gedung Merdeka sekarang. Sjahrir berperan sebagai penulis naskah, sutradara, sesekali menjadi pemain. Hampir tiap bulan mereka mementaskan sebuah lakon. Orang Belanda banyak menyaksikan pertunjukan ini, karena menggunakan bahasa Belanda. Ke dalam ceritanya banyak disisipkan ide kebangsaan dan kritik terhadap pemerintahan saat itu.

Sjahrir mempunyai banyak teman, termasuk pemuda dan noni-noni Belanda yang suka mengundangnya berpesta. Ia mahir berdansa waltz, fox trot, dan charleston. "Sjahrir tidak membenci orang Belanda, yang dibenci paham imperialisme dan kolonialismenya," tulis Syahbuddin Mangandaralam, dalam Apa dan Siapa Sutan Sjahrir (1986).

Satu kegiatan Sjahrir yang terkenal di kalangan pelajar AMS adalah kebiasaannya membaca Algemene Indische Dagblad (AID). Buletin yang ditulis dalam bahasa Belanda itu dipasang di jendela setiap pukul enam sore. Surat kabar itu dimaksudkan untuk pembaca warga Belanda. Karena itu ia kerap diusir polisi Belanda, yang melarang anak sekolah membaca berita tersebut. Bangunan itu hingga kini masih ada, di Jalan Braga II, Bandung.

Sjahrir bergerak hampir di semua bidang. Dalam pergerakan, ia juga mendirikan Tjahja Volksuniversiteit atau Tjahja Sekolah Rakyat, yang memberikan pendidikan gratis untuk kalangan jelata.

Sjahrir dan kawan-kawan juga mendirikan kelompok studi Patriae Scientiaeque, ajang diskusi politik. Menurut Des Alwi, Sjahrir pernah bercerita, telah menjadi tradisi di kalangan pelajar dan pemuda untuk melakukan debat tentang ide kebangsaan di setiap pertemuan. Bintangnya tentu mereka yang dikenal ulung berdebat. Di situlah ia mengasah kemampuannya bersilat lidah.

Peran Besar Bung Kecil

Sutan Sjahrir adalah satu dari tujuh �Bapak Revolusi Indonesia�. Dia mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan walau dia sendiri absen dari peristiwa besar itu. Dia memilih jalan elegan untuk menghalau penjajah. Yakni melalui diplomasi: cara yang ditentang �Bapak Revolusi� lain. Ideologinya, antifasis dan antimiliter, dikritik hanya untuk kaum terdidik. Maka dia dituduh elitis. Sejatinya, Sjahrir juga turun ke gubuk-gubuk, berkeliling Tanah Air menghimpun kader Partai Sosialis Indonesia. Sejarah telah menyingkirkan peran besar Bung Kecil- begitu Sjahrir biasa disebut. Meninggal dalam pengasingan, Sjahrir adalah revolusioner yang gugur dalam kesepian.

FILM dokumenter itu menggetarkan. Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir berdiri di depan Sidang Dewan Keamanan, Lake Success, Amerika Serikat. Ia berbicara tentang sebuah bangsa bernama Indonesia. Sebuah bangsa muda yang memiliki sejarah peradaban yang panjang. Cara bicara Bung Sjahrir tak menggelegak seperti Bung Karno, tapi runtut dan jernih. "Selama 60 tahun film ini hilang," kata sejarawan Rushdy Hoesein.

Pembaca, film langka yang sempat hilang itu diputar di kantor redaksi Tempo, di Proklamasi Nomor 72, dua bulan lalu. Walau berdurasi beberapa menit, film itu cukup menggambarkan bagaimana Sjahrir mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di Indonesia saat itu Belanda mengobarkan perang, ingin merebut kembali Indonesia.

Sjahrir berangkat ke Amerika, berpidato di mimbar Dewan Keamanan. Yang dilakukan Sjahrir mirip dengan saat pertama kali Yasser Arafat berpidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa mewakili masyarakat Palestina yang berkeinginan bebas dari pendudukan Israel. Kepada dunia internasional, Sjahrir memaklumkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang berdaulat.

Film dokumenter itu kami putar sebagai bagian penulisan edisi khusus 100 tahun Sjahrir ini. Kami membuat serangkaian diskusi, mengundang mereka yang pernah mengenal Sjahrir, seperti Rosihan Anwar, Des Alwi, Minarsih Soedarpo, Koeswari (satu-satunya anggota dewan pimpinan Partai Sosialis Indonesia yang masih hidup), Gita Prasodjo, dan Siti Rabyah Parvati atau yang akrab dipanggil Upik. Juga tokoh-tokoh yang meneliti pemikiran Sjahrir, seperti Rahman Tolleng, Sabam Siagian, Fikri Jufri, sejarawan Rushdy Hoesein, dan Ucu Aditya Gana, mahasiswa politik pascasarjana Universitas Indonesia yang tengah menyusun tesis tentang Sjahrir.

Diskusi ala Tempo itu berlangsung hangat. Dengan suguhan kacang rebus, teh hangat, dan sup ayam, para tokoh sepuh itu kelihatan antusias. Mulanya mereka ingin hadir tak lebih dari dua jam. Maklum, kondisi kesehatan perlu dijaga ketat. Tapi, ketika diskusi berjalan, semua hanyut dalam kenangan, dan mereka terus bertahan sampai malam. Bahkan, ketika diskusi dilanjutkan beberapa hari kemudian, mereka datang dan terlibat aktif. Sedemikian antusiasnya sampai bukan hanya film Sjahrir di Salt Lake yang hendak mereka perlihatkan.

Selain film yang dibawa Rushdy tadi, Des Alwi memutar film saat Sjahrir melakukan perjalanan dari Jakarta ke Yogya. Tokoh-tokoh sepuh yang hadir dalam diskusi tampak berlomba menyebut siapa saja yang mendampingi Sjahrir saat itu. "Itu Hamid Algadri menggendong putri pertamanya, Atika," kata Rosihan. Ketika dokumentasi pemakaman Sjahrir diputar, Rosihan Anwar bisa menyebut hampir semua tokoh yang mengangkut dan mengiringi peti jenazah.

***

Edisi khusus Sjahrir ini bukan edisi khusus pertama mengenai tokoh Republik yang kami buat. Kami sudah pernah menerbitkan edisi khusus mengenai Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Aidit, dan Natsir. Dibandingkan dengan negarawan-negarawan itu, "kelas" Sjahrir jelas tak kalah. Kisah hidupnya pun cukup berwarna.

Kami memperoleh bantuan tak ternilai untuk proyek ini. Rahman Tolleng, misalnya, meminjamkan satu koper penuh buku koleksinya mengenai Sjahrir. Dari dokumen-dokumen PSI, diktat-diktat, sampai tulisan-tulisan pengamat asing mengenai Sjahrir. Des Alwi menyumbangkan foto-foto Sjahrir yang sangat langka, yang dia kumpulkan selama puluhan tahun dan sengaja dia persiapkan untuk memperingati 100 tahun Sjahrir pada pekan ini.

Dari situ kami langsung bergerak. Kami mengirim reporter ke Belanda untuk menyusuri lagi kehidupan pribadi Sjahrir saat berada di negeri itu. Untuk membuat mudah pembaca, bentuk penulisan edisi ini sengaja kami susun kronologis, dari awal masa sekolah Sjahrir di Medan sampai detik-detik kematiannya di Zurich. Semua aspek kehidupan Sjahrir, pendeknya, hendak kami gali, dari personalitas sampai pemikirannya.

Personalitas Sjahrir unik. Sjahrir yang tubuhnya pendek ini, misalnya, terkenal berpembawaan tenang dan berani. Ada sebuah kisah anekdotal dari Soendoro, bekas pegawai tinggi Kementerian Penerangan Republik Indonesia di Yogyakarta. Dalam sebuah sidang di Yogya pada November 1945, Sjahrir berdialog dengan pemimpin rakyat dan pemuda. Mereka mengajukan usul menggebu-gebu tentang pertempuran 10 November di Surabaya.

Tiba-tiba di luar gedung terdengar suara tembakan. Listrik mati. Ruangan seketika gelap-gulita. Peserta sidang, yang semula garang, terkejut. Mereka merangkak ke kolong meja mencari perlindungan. Ternyata tidak ada apa-apa. Listrik menyala lagi. Terlihat hanya sang Perdana Menteri yang masih duduk tenang di kursinya, seakan tak terjadi apa-apa.

Kami juga ingin menyajikan tulisan seputar kontroversi-kontroversi yang dilakukan Sjahrir. Salah satunya perundingan Linggarjati. Sering Sjahrir, yang mewakili Indonesia dalam perundingan itu, disalahkan oleh kaum Republik karena perundingan ini dianggap merugikan Indonesia.

Namun, bila ditinjau lebih jernih, Persetujuan Linggarjati sesungguhnya memberikan jeda dan menjadi batu loncatan untuk menuju kemerdekaan penuh. Kemenangan terbesar dari perjanjian itu adalah internasionalisasi persoalan Indonesia, yang tadinya hanya dianggap urusan dalam negeri Belanda dan negara jajahannya. Sayangnya, banyak orang di dalam negeri kurang memahami capaian itu.

Hal lain yang kami bahas adalah bagaimana sebenarnya Sjahrir adalah bapak politik luar negeri bebas aktif kita. Dialah peletak dasar diplomasi kita. Untuk menembus blokade Belanda sekaligus menaikkan pamor Indonesia di mata dunia, dengan cerdik Sjahrir menawarkan bantuan beras kepada India yang sedang dilanda gagal panen. Belanda hanya bisa membuntuti kapal-kapal barang itu tanpa bisa berbuat apa-apa.

***

Satu yang paling penting adalah juga kami ingin menyajikan betapa pikiran- pikiran Sjahrir merentang panjang ke depan. Pada 1940-an, misalnya, ia sudah meramalkan dunia akan terbagi atas dua blok besar: Barat dan Timur-sesuatu yang menjadi kenyataan setelah Perang Dunia II berakhir.

Rosihan Anwar menuturkan, dalam diskusi dengan teman-temannya di Partai Sosialis Indonesia pada awal 1960-an, Sjahrir juga telah mewanti-wanti bahaya militerisme karena kecenderungan pejabat militer yang suka ikut campur urusan politik.

Sjahrir mengkampanyekan ideologi sosialisme kerakyatan yang antifasis dan antifeodal dengan menganjurkan kebebasan individu dan menghormati martabat manusia. Dalam pamfletnya yang terkenal, Perdjoeangan Kita, ia menulis, "Perjuangan kita sekarang ini tak lain dari perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita."

Itulah sebabnya kita dapat mengerti ketika Sjahrir menitikkan air mata tatkalasuatu hari dari Kereta Api Luar Biasa Pemerintah Republik Indonesia ia melihat pemudi- pemudi Ambon dan Manado diserang oleh pemuda-pemuda Indonesia. Penyebabnya, orang Ambon dan Manado dianggap pengikut Belanda. Kekerasan dan fasisme memang tak pernah ia sukai.

Sjahrir mengkritik keras para demagog politik. Sjahrir adalah pribadi yang senang dikritik dan mengajari teman-temannya untuk selalu mengkritik pendapatnya. Sikap itu terus ia bawa sewaktu mendekam di rumah tahanan Keagungan, Jakarta, 1962. Ketika itu, para tahanan politik berbincang, bagaimana sikap mereka seandainya dipanggil ke Istana oleh Soekarno. Para tahanan umumnya mengatakan tak mau datang sebelum dibebaskan. Pendapat Sjahrir berbeda: "Saya akan datang karena saya masih menganggap dia sebagai presiden saya."

Sebagai manusia, Sjahrir tentu bukan tanpa kelemahan. Kelompok yang tak suka kepadanya menuduh dia orang yang peragu dan terlalu lembek terhadap Belanda. Metode pengkaderan yang dilakukan partainya dicibir terlalu elitis. Demikianlah pembaca, liputan kali ini ingin menampilkan sosok Sjahrir sebagai manusia, lengkap dengan kekuatan dan kelemahannya. Seorang manusia yang penuh dilema. Tulisan dilengkapi kolom-kolom akademisi yang kami anggap mengerti tentang pemikiran Sjahrir. Kami berharap edisi ini menjawab mengapa Sjahrir memilih jalan sebagai sosialis.

Selamat membaca...

Selasa, 12 Agustus 2008

Tan Malaka, Sejak Agustus Itu

Oleh: Goenawan Mohamad
SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.
Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.
Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, �kami, bangsa Indonesia��apalagi sebuah �kami� yang bisa �menyatakan kemerdekaan�.
Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah �menjebol dan membangun�. Wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut �Hindia Belanda� jebol, berantakan. Dan �kami, bangsa Indonesia� kian menegaskan diri.
Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan �kemerdekaan� mereka, �Indonesia� mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu.
Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini �Hindia Belanda� kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang terjadi, �revolusi jiwa�dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka�.�.
Walhasil, sebuah subyek (�jiwa merdeka�) lahir. Agaknya itulah makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi �tulang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi�, seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek lahir sebagai sebuah laku yang �sekali berarti/sudah itu mati�, untuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero.
Dalam hal ini Tan Malaka benar: �Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.�
Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926. Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya pula, �Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.�
Itulah Revolusi Agustus.
Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai �hero� atau �pelopor�. Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.
Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus �belum selesai�, mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut �Re-So-Pim�: Revolusi-Sosialisme-Pimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya �teori�, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni �Pemimpin Besar Revolusi�.
Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya �satu partai yang revolusioner�, yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran �pimpinan�.
Bahwa ia percaya kepada revolusi yang �timbul dengan sendirinya�, hasil dari �berbagai keadaan�, menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika: di satu sisi, perlunya �teori� atau �kesadaran� tentang revolusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) �pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia�.
Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.
l l l
TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung.
Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah Banten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu berembug dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial-demokrat sejenis Yudas.
Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis �orang yang menyatakan pernah dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap Tan Malaka�dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.
Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih dulu sebelum ambil sikap.
Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang �radikal� tak cocok dengan sang �pragmatis�.
Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang �revolusi terus-menerus�. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia�yang tak punya kelas borjuasi yang kuat�revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap �borjuis� dan �demokratis�; kedua, baru setelah itu, �tahap sosialis�.
Bagi Trotsky, di negeri yang �setengah-feodal dan setengah-kolonial�, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, �tahap sosialis�.
Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal�bahkan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali Negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.
Tapi Sjahrir, sang �pragmatis�, juga benar: pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang alot. Di sini �pragmatisme� Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena �berbagai keadaan�, bukan karena adanya pemimpin dengan �otak yang luar biasa�.
Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti �berbagai keadaan� di luar dirinya? Gy�rgy Luk�cs, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis pernah dianggap menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam.
Dari sana kita tahu, Luk�cs pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia mengecam �chvostismus�. Kata ini pernah dipakai Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka yang hanya �mengekor� keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Luk�cs, revolusi harus punya komponen subyektif.
Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusioner dan �berbagai keadaan� di luar dirinya. Tapi, kata Luk�cs, di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya adalah Partai Komunis.
Tapi seberapa bebaskah �kesadaran revolusioner� itu dari wacana yang dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela, sesosok hero?
Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah �lautan borjuis kecil�. Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili �borjuis kecil� itu. Ia tak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.
Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat yang menentukan, tatkala militer dan partai �borjuasi kecil� yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.
Terkurung di bawah wacana �persatuan nasional�, agenda radikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah minoritas�yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum �Pan-Islamis��yang bagi kaum komunis adalah bagian dari �borjuasi��guna mengalahkan imperialisme.
Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda.
Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.
Jakarta, 7 Agustus 2008.

Warisan Tan Malaka

Oleh: Asvi Warman Adam 
MENGAPA Tan Malaka tidak berhasil membesarkan Partai Murba? Jawabnya jelas, karena ia ditembak mati di Kediri tiga bulan setelah mendirikan partai itu. Pilihan hari pembentukan partai itu, 7 November 1948�bertepatan dengan hari revolusi Rusia�tentu tak sembarangan. Murba muncul setelah Partai Komunis Indonesia tersingkir pasca-Peristiwa Madiun, September 1948. Karena itu Murba dicitrakan sebagai partai komunis baru atau semacam pengganti PKI.
Itu pula yang kemudian menyebabkan keduanya bukan hanya bersaing sebagai organisasi kiri melainkan bermusuhan. Pertikaian paham mengenai pemberontakan PKI 1926/1927 antara Tan Malaka dan Musso berdampak panjang. Ketika Musso pulang ke Indonesia pada 1948, program politiknya memiliki berbagai kesamaan dengan Tan Malaka. Namun, ketika ditanya wartawan apakah mereka akan bekerja sama, Muso menjawabnya sinis. Bila ia punya kesempatan, katanya, yang pertama dilakukannya adalah menggantung Tan Malaka.
Sejak awal sudah terjadi perdebatan apakah Murba akan dijadikan partai kader atau partai massa. Namun yang jelas partai ini lahir dalam kancah revolusi karena dikembangkan sambil bergerilya. Ada Chaerul Saleh di Jawa Barat dengan Barisan Bambu Runcing. Sukarni dan kawan-kawan yang menyebar dari Yogya ke Jawa Tengah, dan Tan Malaka sendiri di Jawa Timur yang bergabung dengan batalion yang dipimpin Mayor Sabarudin. Ketiga upaya itu akhirnya gagal. Chaerul Saleh ditangkap, lalu diperintahkan Presiden Soekarno untuk studi ke Jerman. Dan sebelum gerakan kelompok Tan Malaka terkristalisasi, terjadilah agresi militer II Desember pada 1948.
Setelah Tan Malaka tewas, Murba masih memiliki banyak tokoh seperti Iwa Kusumasumantri, Chaerul Saleh, Adam Malik, Sukarni, Prijono. Walaupun terdiri dari pemuda yang bersemangat, dalam organisasi mereka kurang andal. Kisah dan nama besar Tan Malaka dijadikan legenda, tetapi pemikirannya tidak dijabarkan dalam bentuk aksi. Mesin (pengkaderan) partai di berbagai sektor tidak jalan. Partai tidak memiliki penerbitan serius, kecuali Pembela Proklamasi yang terbit 20 edisi. Upaya mendekatkan Murba dengan PKI seperti dirintis Ibnu Parna dari Acoma (Angkatan Communis Muda) ditolak elite PKI. M.H. Lukman menulis �Tan Malaka Pengkhianat Marxisme-Leninisme� (Bintang Merah, 15 November 1950).
Pemilu 1955 adalah pengalaman pahit sekaligus kehancuran partai (yang kemudian tidak pernah bangkit lagi). Murba hanya beroleh 2 dari 257 kursi yang diperebutkan. Dalam pemilu selanjutnya partai ini bahkan tak berhasil masuk parlemen.
Demokrasi terpimpin memberikan peluang bagi Murba. Soekarno menjadikannya penyeimbang posisi PKI. Kongres Murba kelima, Desember 1959, dihadiri Presiden. Chaerul Saleh dan Prijono masuk kabinet, Adam Malik dan Sukarni menjadi Duta Besar di Moskow dan Beijing. Puncaknya, Tan Malaka diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1963.
Pertentangan antara Murba dan PKI menajam. Ketika PKI semakin kuat, Murba bekerja sama dengan militer dan pihak lain menjegal dengan membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Namun BPS dibubarkan Bung Karno. Sukarni dan Syamsudin Chan ditahan pada awal 1965. Murba dibekukan dan kemudian dibubarkan pada September 1965 karena dituduh menerima uang US$ 100 juta dari CIA untuk menggulingkan Presiden. Pada 17 Oktober 1966 Soekarno merehabilitasi partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.
Pada awal Orde Baru, Adam Malik menjadi Menteri Luar Negeri dan kemudian Wakil Presiden. Namun posisinya ini tidak berpengaruh bagi Partai Murba.
Dalam pemilu pertama era Orde Baru, Juli 1971�dua bulan setelah wafatnya Sukarni, tokoh partai ini�Murba beroleh 49 ribu suara (0,09 persen pemilih). Tetapi kegagalan utama Murba disebabkan oleh stigma rezim Orde Baru terhadap seluruh golongan kiri. Orde Baru menabukan sosok Tan Malaka. Gelar pahlawannya tak pernah dicabut, tetapi namanya dihilangkan dari buku pelajaran sejarah di sekolah. Dalam pemilu selanjutnya Murba berfusi dengan Partai Demokrasi Indonesia. Setelah Soeharto jatuh, Murba, yang menyebut dirinya �Musyawarah Rakyat Banyak� itu, ikut pemilu pada 1999. Sayang, mereka hanya mendapat 62 ribu suara (0,06 persen pemilih).
l l l
Tan Malaka membentuk jaringan revolusioner yang hebat dalam perjuangannya, tetapi bukan partai yang awet. Ia merantau 30 tahun, dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hong Kong, Singapura, Rangoon, sampai Penang.
Meskipun sempat memimpin Partai Komunis Hindia Belanda pada 1921, Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI pada 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Murba dalam berbagai hal bertentangan dengan PKI.
Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok pada 1 Juni 1927. Walaupun bukan partai massa, organisasi ini hidup selama sepuluh tahun pada saat partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati. Pari dianggap berbahaya oleh intel Belanda, dan para aktivisnya diburu. Kemudian tibalah saatnya Tan Malaka berselisih jalan dengan Komunis Internasional (Komintern). Bagi Komintern, Pan-Islamisme sebuah bentuk imperialisme, padahal gerakan ini menentang imperialisme, kata Tan Malaka.
Setelah melanglang buana dua dekade, pascakemerdekaan, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang-surut. Ia memperoleh testamen Bung Karno untuk menggantikan bila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas. Namun sejak 1946 Tan Malaka menentang diplomasi yang merugikan Indonesia. Sebagai pemimpin Persatuan Perjuangan yang terdiri dari 142 organisasi sosial politik, ia menuntut agar perundingan baru dilakukan bila Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen. Posisi ini membuat Tan Malaka berhadapan diametral dengan Perdana Menteri Sjahrir sehingga di kalangan sosialis pun narasi tentang Tan Malaka bernada negatif (lihat Kilas Balik Revolusi, karya A.B. Lubis, 1992).
Bila Tan Malaka dikategorikan sebagai penganut Trotsky, apakah Persatuan Perjuangan itu merupakan front bersatu untuk revolusi permanen? Tampaknya tidak. Motivasi organisasi-organisasi itu hanyalah menolak dominasi Partai Sosialis dalam kabinet. Setelah tawar-menawar kekuasaan gagal, Persatuan Perjuangan menjadi raksasa berkaki tanah liat. Tan Malaka ditangkap pada Maret 1946 dan tetap ditahan sampai September 1948. Ironis, ia dipenjarakan di dalam negeri dua setengah tahun�lebih lama daripada waktu ditahan pihak Belanda, Inggris, Amerika, dalam pergerakan selama puluhan tahun pada era kolonial. Dalam situasi krusial, Tan Malaka tidak bisa mempengaruhi jalannya revolusi. Pengikutnya juga banyak yang ditahan, terutama setelah peristiwa 3 Juli 1946.
Soekarno mengakuinya sebagai seorang guru, dalam hal pengetahuan revolusioner dan pengalaman. Entah kebetulan atau kurang beruntung, Tan Malaka yang sudah berjuang puluhan tahun di mancanegara tidak punya peran sama sekali saat proklamasi. Posisi terhormat itu ditempati Soekarno-Hatta. Meski Harry Poeze punya dokumentasi yang menunjukkan bahwa Tan Malaka berada di belakang gerakan pemuda, seraya memobilisasi massa mengikuti rapat akbar di Ikada pada 19 September 1945. Ada beberapa foto yang membuktikan kehadiran Tan Malaka di lapangan Ikada, Jakarta. Di dalam foto Tan tampak berjalan seiring dengan Bung Karno (tinggi mereka berbeda, Soekarno 172 sentimeter sedangkan Tan Malaka 165 sentimeter).
Soekarno memanifestasikan kekagumannya pada Tan Malaka dalam sebuah Testamen Politik yang isinya kemudian diperlemah oleh Hatta. Tetapi Tan Malaka tetap bergerak di bawah tanah dan ragu untuk tampil secara terbuka. Mungkin ini disebabkan pengalaman pribadinya yang lebih dari dua puluh tahun dikejar-kejar dan (hidup) dalam ilegalitas. Seperti dikatakan orang-orang dekatnya, Tan Malaka sulit kembali sebagai orang �normal�. Tan Malaka baru muncul ke permukaan pada Januari 1946, ketika melihat diplomasi pemerintah sangat merugikan Indonesia.
Gagasan Tan Malaka tetap relevan untuk menjawab ancaman dan tantangan zaman masa kini. �Dari dalam kubur suara saya terdengar lebih keras daripada di atas bumi,� kata Tan Malaka ketika akan ditangkap polisi Hong Kong pada 1932. Tan Malaka tidak mewariskan partai, tetapi ia meninggalkan pemikiran brilian yang dapat diserap partai mana saja di Tanah Air.
Asvi Warman Adam - Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India