Selasa, 12 Agustus 2008

Pemberontak dari Alam Permai Minangkabau

Oleh: Zulhasril Nasir 
BERDIRI di tempat tinggi, menadahkan kedua tangannya, Roger Tol, peneliti dari lembaga Belanda KITLV, berseru, �Mengapa di tempat yang indah dan subur ini lahir seorang pemberontak?� Harry Poeze, sejarawan peneliti Tan Malaka yang tegak di sampingnya, hanya membisu.
Adegan itu terjadi di Pandan Gadang, tempat lahir Ibrahim Datuk Tan Malaka, 32 kilometer dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Kedua peneliti itu baru usai meresmikan �Rumah Tan Malaka: Museum dan Pustaka�, pada 22 Februari 2008. Nagari Pandan Gadang tersuruk di Bukit Barisan, di antara lempit bukit dan sawah hijau membentang, kicau burung berlompatan di buah-buah ranum.
Nagari memberikan kemerdekaan kepada penduduknya untuk menjadi siapa saja. Tiada lapisan sosial. Yang ada hanya fungsi sosial. Pemimpin hanya didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Lelaki dan perempuan bicara dalam adat yang sama. Tan Malaka beruntung menjadi anak seorang pegawai pertanian Hindia Belanda, selangkah lebih maju dari warga lain.
Kesempatan yang diperoleh di Sekolah Rajo, Bukittinggi, tidak lepas dari kecerdasan sebagaimana yang dikatakan guru Belandanya, Horensma, di sekolah guru (Kweekschool) itu, �Rambutnya hitam-biru yang bagus sekali, bermata hitam kelam seolah-olah memancarkan sesuatu.� Berkat gurunya ini juga Tan Malaka kemudian sekolah ke Negeri Belanda, di usia 17 tahun. Di negeri penjajah itu, Tan Malaka menyerap ideologi yang menjadi titik perjuangannya sampai akhir hayat.
Nagari tidak tunduk kepada pemerintah pusat. Nagari diatur oleh tiga tungku sejarangan: kepala adat, ulama, dan cerdik pandai. Segala aspek pemerintahan Nagari, persoalan dan kemajuan masyarakat, diselesaikan melalui musyawarah oleh ketiga unsur tadi di balairung. Kedaulatan rakyat terwujud pada pemerintahan Nagari.
Pemerintahan pusat (Raja) tidak memiliki kewenangan ikut campur. Masing-masing Nagari mempunyai kedaulatan yang sama, tanpa hubungan struktural. Ketika Tan Malaka kesulitan uang di Negeri Belanda, sanak-kaumnyalah yang berpatungan mengirimkan dana (Angkoefonds). Tan Malaka menganggapnya sebagai utang, bukan sumbangan.
Tan Malaka mendahului sekolah ke Negeri Belanda daripada Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, Sjahrir, Abdul Rivai, Asaat, Ibrahim Taher, Zaharin Zain, Abdul Muis, dan Abdul Rivai. Negeri Belandalah, sebenarnya, yang membentuk wataknya: membaca, belajar, dan menderita. Dia menutupi kekurangan uang dengan mengajar bahasa Melayu, sambil berusaha menyelesaikan sekolah, dan berjuang melawan sakit bronkitis, yang bermula hanya karena tidak memiliki baju hangat pada musim dingin.
Alam Minangkabau yang subur permai dan bebas tidaklah lengkap membekali anak negerinya tanpa mengaji dan pencak silat. Mengaji dan silat adalah pembentuk kepribadian dan kepercayaan diri: tak kayu jenjang dikeping; musuh indak dicari bersua pantang dielakkan; induk cari dunsanak cari, induk semang cari dahulu.
Suatu ketika Tan Malaka mencalonkan diri untuk Tweede Kamer (parlemen) Belanda mewakili negeri jajahan. Orang sekarang mungkin tidak dapat membayangkan, dalam keadaan serba terbatas Tan Malaka melanglang buana membentuk dan membangun ideologi dalam perjalanan panjang dari Negeri Belanda, Jerman, Rusia, kemudian naik kereta api Trans-Siberia melalui gurun es hingga Wladiwostok di Timur, terus bolak-balik ke Amoy, Shanghai, Manila, Kanton, Bangkok, Singapura, Semenanjung Malaya, dan Burma.
Di kota-kota itu, sembari membangun kekuatan antipenjajahan, ia melahirkan percikan pemikiran melalui buku, brosur, di antara bayang-bayang intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda. Sepuluh tahun pada akhir kehidupannya benar-benar dia sumbangkan untuk tanah air, membangun kekuatan perlawanan rakyat melawan Jepang dan Belanda, meskipun berakhir di ujung peluru bangsa yang diperjuangkannya. Bukankah itu suatu kedigdayaan yang tidak dimiliki oleh semua orang?
Tan Malaka bukan seorang dogmatis sebagaimana Stalinis. Dia berpikir menurut dialektika. Ketika Stalin mendakwa kesatuan Islam (Pan-Islamisme) dan Khalifah sebagai bentuk kolonialisme, Tan Malaka membantahnya. Baginya, kesatuan Islam tidaklah harus berada di Asia Barat saja, Pan-Islamisme haruslah dibangun di setiap negeri muslim.
Islam, kata Tan Malaka, telah mengajarkan sosialisme dan antipenjajahan dua belas abad sebelum Karl Marx lahir. Karena itulah Pan-Islamisme harus membebaskan rakyat muslim terjajah di mana pun. Pandangan semacam ini yang kemudian menarik kaum terdidik di Minangkabau pada awal abad ke-20. Pusat kaum pelajar di Sumatera Barat pada masa itu berada di Padang Panjang (Diniyah dan Sumatera Thawalib), Bukittinggi (Parabek Sumatera Thawalib), Padang (Adabiyah Islamic School), dan sekolah sekuler Kweekschool di Ford de Kock (Bukittingggi).
Penyebab utama tumbuhnya cikal-bakal pergerakan modern kaum muda di Minangkabau adalah dibangunnya Sekolah Guru di Bukittinggi, sebagai akibat politik etis Belanda pada awal abad ke-20. Penyebab lainnya ialah kembalinya pelajar-pelajar Minang berpendidikan Kairo dan Mekah, yang mendorong berdirinya lembaga pendidikan agama secara swadaya dan berakibat tumbuhnya pemikiran baru di kalangan generasi muda Islam.
Pengaruhnya sangat terasa pada dua gelombang kedatangan alumni Kairo dan Mekah, seperti Syekh Ahmad Wahab, Syekh Ahmad Chatib, Syekh Taher Djalaluddin, Syekh Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan generasi alumni Mekah yang lebih keras, Haji Datuk Batuah, Mukhtar Lufti, dan Ilyas Jacob.
Gelombang pertama kedatangan alumni Timur Tengah sebenarnya terjadi hampir satu abad sebelumnya, yaitu pra-Perang Bonjol (1820-an). Mereka adalah Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Tuanku Piobang, Tuanku Pamasiangan�tokoh-tokoh pergerakan di belakang Tuanku Imam Bonjol. Modernisasi pemikiran Islam (ada yang menyebutnya sekularisme) yang dikemukakan Muhammad Abduh dan Kemal Ataturk lebih melekat pada generasi terakhir pada awal abad ke-20 itu. Pada masa yang bersamaan berkembang pula di Jawa dan Sumatera gagasan antipenjajahan.
Kemajuan pendidikan di Minangkabau�yang disebut sebagai salah satu suku yang tertinggi tingkat pendidikannya di Hindia Belanda (Kahin 2005, Poeze 1988, dan Naim 1979)�sebagai faktor kuatnya gerakan antipenjajahan dibanding daerah lain. Kahin menulis, �Orang Minangkabau sebagai orang-orang yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik yang dari Jawa maupun dari Eropa.� Kaum pergerakan kiri di Sumatera Barat selalu mengingatkan Perang Paderi (1820-1837) dan Perang Belasting 1908 (yang menentang pemberlakuan pajak langsung kepada rakyat), untuk menumbuhkan rasa tidak puas kepada pemerintah Hindia Belanda.
Gerakan kiri�diterjemahkan sebagai perlawanan terhadap kuasa, perlawanan rakyat, radikalisme, antikemapanan, komunisme, antipenjajahan�bukan hanya milik Tan Malaka. Ia menjadi subur dan berkembang di Minangkabau karena masyarakatnya menganut paham kesetaraan, kesamaan derajat, hak dan tanggung jawab (egaliter) sebagai wujud demokrasi Nagari.
Banyak tokoh nasional yang lahir dari alam Minangkabau, sejak prakemerdekaan sampai pascakemerdekaan, terutama hingga era demokrasi liberal (1959). Pada penelitian saya yang bertajuk Tan Malaka, Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura (Ombak, 2007), dapat dibuktikan bahwa pejuang kemerdekaan Malaya (Malaysia) sebagian besar (21 orang) adalah keturunan dan pendatang dari Minangkabau.
Mereka pendiri dan pimpinan Partai Kesatuan Melayu Malaya dan Partai Komunis Malaya. Di antaranya ialah Ibrahim Jaacob, Ahmad Boestaman, Abdullah C.D., Rashid Maidin, Shamsiah Fakeh, dan Khatijah Sidek. Mereka bukan berada di UMNO, partai kanan. Dari segala kepeloporan tersebut para pejuang kiri Minangkabau dapat dikategorikan beraliran: Islam-komunis, Islam-nasionalis, sosialis-demokrat, nasionalis kiri, dan komunis.
Kecenderungan gerakan kiri kaum muda Minangkabau tidak lain karena pembekalan alam Minangkabau itu sendiri: demokrasi, egaliter, kemajuan pendidikan, dan aktualisasi merantau. Roger Tol atau Harry Poeze mungkin mendapat jawaban�negeri yang subur dan permai itu sebenarnya melahirkan pemimpin rakyat.
Zulhasril Nasir -Guru Besar Komunikasi UI , penulis buku Tan Malaka & Gerakan Kiri Minangkabau (Ombak, 2007)

Republik dalam Mimpi Tan Malaka

Oleh: Hasan Nasbi A. 
Dr Alfian menyebut Tan Malaka sebagai revolusioner kesepian. Mungkin tidak berlebihan. Tan Malaka memang pejuang kesepian dalam arti sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan.
Sebagai pelarian dan tahanan, Tan tak pernah berhenti memikirkan nasib Negeri Hindia Belanda. Banyak gagasan yang lahir selama masa pelarian itu. Namun Tan Malaka tak punya cukup kesempatan untuk mendialektikakan gagasannya dengan tokoh-tokoh pejuang lain. Ada perbedaan waktu dan pengalaman sejarah yang membuat Tan Malaka berjarak dengan pengikut-pengikutnya yang kemudian berada dalam barisan Partai Murba. Meski tetap dijadikan idola hingga saat ini, perangai dan prinsip perjuangan Tan sungguh tak bisa diikuti oleh siapa pun. Hatinya terlalu teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu lurus untuk diajak sedikit membungkuk.
Kita bisa melihat beberapa contoh bahwa memang sulit mencari manusia yang bisa mengikuti kekerasan hatinya. Adam Malik, misalnya, adalah kader Partai Republik Indonesia yang sangat memuja Tan Malaka. Namun, di tangan Adam Malik, segala persoalan bisa menjadi superfleksibel. M. Yamin adalah pengikut Tan Malaka yang juga mendirikan Persatuan Perjuangan pada 1946. Persatuan Perjuangan adalah ikon diplomasi bambu runcing. Organisasi ini didirikan sebagai antitesis politik berunding yang dirintis oleh Kabinet Sjahrir I. Tapi, belakangan, Yamin juga menjadi anggota tim dalam Konferensi Meja Bundar pada 1949, sesuatu yang secara prinsip ditentang dalam �Program Minimum� Persatuan Perjuangan Tan Malaka.
Di tengah kesepian dan kesulitan memperoleh pengikut yang kukuh itulah ia melahirkan gagasan-gagasan yang jernih, asli, bahkan mengagetkan. Mungkin gagasan itu tak sepenuhnya bisa diikuti, tapi jelas penuh inspirasi. Soal pelaksanaannya bisa dicocokkan dengan keadaan yang berkembang.
Gagasan Tan Malaka tentang Republik Indonesia tersebar di banyak buku. Ia tak punya kesempatan untuk menuliskannya secara tuntas. Gejolak revolusi mengharuskan revolusioner seperti Tan berada dalam kancah perjuangan fisik ketimbang di belakang meja. Namun, lewat antara lain buku Menuju Republik Indonesia (1926), Soviet atau Parlemen (1922), serta Madilog (1942), kita bisa menyatukan mozaik gagasan republik yang tercerai-berai itu. Tak sulit untuk menyatukan mozaik ini, karena Tan selalu menunjukkan pola pemikirannya.
Tan memberikan perumpamaan tentang burung gelatik untuk menjelaskan republik yang ia angankan. Burung ini terlihat seperti makhluk yang lemah. Banyak yang mengancamnya. Di dahan yang rendah, dia harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam. Tapi dahan yang lebih tinggi juga bukan merupakan tempat yang aman baginya. Ada elang yang siap menyambar sang gelatik sehingga hidupnya tak merdeka. Ia hidup penuh ketakutan dan dengan perasaan terancam. Serba tak bebas. Bagi Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti ini. Bebas dari belenggu dan teror pemangsa.
Tapi, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan besar, ia akan bebas menjarah padi di saat sawah sedang menguning. Burung gelatik, yang sesaat lalu terlihat seperti makhluk yang lemah, bisa berubah drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus tiada ampun. Keringat petani selama empat bulan terbuang sia-sia. Padinya habis disantap sekawanan gelatik.
Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu dua arah: bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip Indonesia merdeka.
Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya bentuk. Ketika para pejuang lain baru berpikir tentang persatuan, atau paling jauh berpikir tentang Indonesia Merdeka, Tan Malaka sudah maju beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Brosur Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, Cina, pada 1925, tiga tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.
Tan Malaka tegas bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tak menganut trias politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malaka adalah sebuah negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah organisasi.
Tan Malaka sejatinya tak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen).
Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan sekali dalam 4, 5, atau 6 tahun. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah. Karena para anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.
Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan.
Kalau kita tarik ke zaman sekarang, mungkin Tan Malaka bisa menepuk dada. Dia akan menyuruh kita menyaksikan sebuah negara yang parlemennya dikuasai oleh wakil buruh, seperti Inggris, kemudian menyetujui penggunaan pajak hasil keringat buruh untuk berperang menginvasi negara lain.
Akhirnya, parlemen di mata Tan Malaka tak lebih dari sekadar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para jago berbicara dan berbual, bahkan kalau perlu sampai urat leher menonjol keluar. Tan Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi.
Singkatnya, keberadaan parlemen dalam republik yang diimpikan Tan Malaka tak boleh ada. Buku Soviet atau Parlemen dengan tegas memperlihatkan pendirian Tan Malaka. Sampai usia kematangan berpikirnya, Tan tak banyak berubah, kecuali dalam soal ketundukan kepada Komintern Moskow. Karena pendirian ini pula Tan Malaka sangat keras menentang Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang pendirian partai-partai. Sebab, partai-partai pasti bermuara di parlemen.
Lalu seperti apa wujud negara tanpa parlemen itu? Penjelasannya memang bisa memakan halaman yang sangat banyak. Sederhananya, negara dalam mimpi Tan Malaka dikelola oleh sebuah organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai pelaksana, sebagai pemeriksa atau pengawas, dan sebagai badan peradilan.
Anda bisa membayangkan organisasi yang berskala nasional seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bangunan organisasinya dari tingkat terendah sampai tingkat nasional bisa diandaikan seperti itu. Tidak ada pemisahan antara si pembuat aturan dan si pelaksana aturan. Di dalam organisasi yang sama pasti ada semacam dewan pelaksana harian, dan ada sejenis badan kehormatan atau komisi pemeriksa. Begitulah kewenangan dibagi, tapi tidak dalam badan yang terpisah.
Bagaimana mengontrol organisasi agar tak menjadi tirani kekuasaan? Di sinilah desain organisasi harus dimainkan. Ritual pemilihan pejabat organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu lama, agar kepercayaan tak berubah menjadi kekuasaan, agar amanah tidak berubah menjadi serakah. Kongres organisasi, dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, harus dilakukan dalam jarak yang tak terlalu lama. Waktu dua tahun mungkin ideal untuk mengevaluasi kerja para pejabat organisasi. Jika kerja mereka tak memuaskan, kongres organisasi akan menjatuhkan mereka.
Barangkali banyak pembaca yang mengatakan bangunan kenegaraan seperti di atas jauh dari demokratis. Hal itu sangat wajar. Sebab, sudah demikian lama otak kita dicekoki oleh trias politika ala Montesquieu. Jika bangunan organisasi tanpa badan legislatif dianggap tak demokratis, boleh juga kita mengatakan bahwa partai politik, organisasi kemasyarakatan, ASEAN, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan lembaga yang tak demokratis.
Di luar itu, bisa jadi pula ada yang mengatakan gagasan Tan Malaka naif dan tak bisa diikuti. Pendapat itu pun wajar. Seperti pernyataan penulis di awal tulisan ini, tak ada yang bisa dengan total mengikuti Tan Malaka. Selain terlalu lurus, Tan Malaka pasti tak bisa lepas dari belenggu zamannya. Namun tak ada salahnya kita menulis ulang semangat dalam gagasan kenegaraan Tan Malaka. Dalam Thesis, Tan meminta rakyat Indonesia tak menghafalkan hasil berpikir seorang guru. Yang penting adalah cara dan semangat berpikirnya. Ibarat seorang guru matematika, Tan tak ingin menuntut muridnya menghafal hasil sebuah perhitungan, tapi menguasai cara berpikir untuk bisa memperoleh hasil hitungan yang benar.
Hasan Nasbi A. - 
Program Manager Indonesian Research and Development Institute,

penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (LPPM Tan Malaka, 2004)

Tan Vs Pemberontakan 1926-1927

Oleh: Mestika Zed 
DI pagi buta yang becek, awal 1927, kaum pemberontak di Silungkang, Sumatera Barat, akhirnya mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Banten, yang meletuskan pemberontakan pada pertengahan November 1926. Mereka menyerang kedudukan pemerintah.
Sasaran utama adalah menangkap dan membunuh pejabat pemerintah, pejabat pribumi, dan kulit putih. Mereka merusak sejumlah instalasi publik, seperti stasiun dan kantor pos. Juga berencana membakar instalasi tambang batu bara dan menyerang semua simbol rezim kolonial di kota itu.
Gerakan pemberontak itu dapat dipatahkan. Hanya sebagian kecil sasaran yang terpenuhi. Selebihnya menyisakan prahara berkepanjangan. Sampai 12 Januari 1927, lebih dari 1.300 orang ditangkap. Ratusan bom dan senjata api disita. Kebanyakan mereka dibuang ke luar Sumatera Barat, termasuk ke Digul. Ada pula yang dihukum gantung.
Pemberontakan yang gagal di dua tempat (Banten dan Sumatera Barat) pada 1926-1927 itu cukup mengguncang rezim kolonial di Batavia. Mereka pun memburu pemimpin PKI dan onderbouw-nya, juga kaum pergerakan secara keseluruhan. Sejak itu penguasa kolonial bertindak bengis dan makin represif. Setiap anasir pergerakan nasional ditindas, dan partai-partai politik yang tak mau bekerja sama dengan pemerintah dilarang. Proses ini berjalan sampai akhir 1930-an.
Orang-orang PKI menuduh Tan Malaka sebagai biang penyebab kegagalan pemberontakan. Ia dimusuhi dan dicap pengkhianat partai, Trotsky-nya Indonesia. Padahal, sejak semula Tan bukan saja tak setuju, melainkan juga berupaya mencegah rencana pemberontakan yang dirancang oleh kelompok Prambanan itu. Kelompok ini terdiri atas tokoh terkemuka PKI seperti Semaun (1899-1971), Alimin Prawirodirdjo (1889-1964), Musso (1897-1948), dan Darsono (1897-?), yang mendeklarasikan rencana pemberontakan di Prambanan, Solo, awal 1926.
Sebagai pemikir yang cemerlang dan otentik sejak masa mudanya, Ibrahim Datuk Tan Malaka memiliki cukup alasan mengapa pemberontakan harus dikesampingkan. Salah satu argumennya ialah bahwa kekuatan pergerakan belum cukup matang. Masih diperlukan pembenahan organisasi partai guna menggalang basis massa yang kuat dan meluas, bahkan di luar kelompok komunis.
Tan, sebagai pemimpin paling terkemuka PKI saat itu, menganjurkan untuk sementara waktu pemimpin-pemimpin gerakan memperkuat organisasi dan tetap melakukan aksi-aksi �pemanasan� dan agitasi di tempatnya masing-masing. Pendirian ini telah diutarakannya kepada Alimin dan kawan-kawannya.
Dari tempat persembunyiannya di Singapura, ia bahkan telah menulis pandangannya lewat sebuah risalah bertajuk Massa-Actie (1926, terbit ulang 1947). Dalam buku kecil itu ia menampik rencana kelompok Prambanan seraya menyimpulkan bahwa rencana pemberontakan itu merupakan tindakan blunder yang bisa menjadi bumerang terhadap partai sendiri, bahkan juga terhadap semua partai nasionalis. Nyatanya memang demikian. PKI, yang didirikan pada 1920, hancur, dan aktivis partai meringkuk dalam penjara atau dibuang ke Digul.
Kondisi ekonomi Hindia Belanda saat itu juga sedang membaik. Buruh cukup mudah mendapat pekerjaan, sebagian pemuda mendapat kesempatan mempelajari bahasa Belanda dan menduduki kursi yang agak empuk sebagai juru tulis. Pelengah hidup seperti bioskop, sepak bola, dan dansa hula-hula mulai digemari. Ini berbeda dengan 1942-1945, ketika sebagian besar pabrik gula tutup, kebun-kebun binasa, mesin pabrik mati, rakyat tenggelam dalam penderitaan romusha Jepang. Pendek kata, gagasan pemberontakan di tengah situasi ekonomi yang membaik itu tak bakal laku.
Namun kegagalan pemberontakan itu tak lantas membuat Tan memikirkan diri dan partainya sendiri. Baginya justru jauh lebih penting memikirkan perjuangan mencapai kemerdekaan nasional. Ini antara lain dapat diilustrasikan dari fakta berikut.
Pertama, selepas dari penangkapan pada 1922, dan kemudian diusir ke luar Indonesia, ia sudah menjadi aktivis komunis yang tak kenal lelah �menjual� gagasannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hampir tak ada negara Asia Timur dan Asia Tenggara yang tak dijejakinya. Ia juga pergi ke Moskow, jantung komunisme. Ia hidup sengsara di tempat persembunyiannya dan selalu dikejar-kejar polisi rahasia. Ia baru kembali ke Tanah Air secara diam-diam pada zaman Jepang (1942).
Kedua, baginya partai hanyalah alat untuk mencapai perjuangan, yakni kemerdekaan nasional bagi Indonesia. Selepas pemberontakan yang gagal itu, Tan Malaka keluar dari PKI dan mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di perantauan Bangkok pada 1927. Pari kemudian mati suri. Pada masa perang kemerdekaan (1947), ia mendirikan Partai Murba. Alasan keluar dari PKI lalu mendirikan Pari sangat jelas, yakni karena tak lagi sehaluan dengan rekan-rekan separtainya yang lama.
Di lain pihak ia menentang kebijakan Komunis Internasional (Komintern) di Moskow. Sejak 1920-an Moskow tampak lebih peduli memanfaatkan Komintern bagi kepentingan �hegemoni� internasional Uni Soviet ketimbang kepentingan perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. Komintern bahkan juga cenderung mencurigai Pan Islamisme sebagai pesaing internasionalnya, sesuatu yang tak bisa diterima oleh Tan Malaka.
Maka jelas kelihatan bahwa warna nasionalisme dalam diri Tan Malaka jauh lebih kental daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Kedekatannya dengan kelompok Islam sebagian karena pola asuhan masa kecilnya sebagai orang Minang; sebagian lain, karena memang kelompok Islamlah yang lebih diandalkannya sebagai mitra pergerakan ketimbang kelompok nasionalis sekuler yang menurutnya cenderung berperilaku borjuis.
Ketiga, Tan Malaka dianggap sebagai satu dari tiga tokoh nasionalis yang pertama-tama menuangkan konsepsi tentang konstruksi masyarakat bangsa yang dibayangkan (the imagined community) di masa depan. Lewat sebuah risalah berjudul Naar de Republiek Indonesia (Kanton, 1925) ia sudah membentangkan betapa pentingnya persatuan dan betapa berbahayanya perpecahan.
�Ini harus kita cegah,� tulisnya. �Akan tetapi tidak dengan [cara] memberi khotbah tentang hikmah-hikmah yang kosong. Hanya satu program yang benar-benar ingin memajukan kepentingan-kepentingan materiil dari seluruh rakyat dan dilaksanakan secara jujur, yang dapat membentuk solidaritas nasional, suatu solidaritas yang tidak hanya menggulingkan imperialisme, tetapi juga dapat menjauhkan segala gangguan untuk selama-lamanya...� (halaman 26, 28).
Meskipun tak menyembunyikan pendirian Marxisnya, Tan Malaka memilih mengabdikan diri dan intelektualitasnya sebagai nasionalis sejati yang ikut merajut gagasan tentang the imagined community itu. Pemikirannya lebih dini juga lebih radikal daripada Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928). Kemudian juga Soekarno yang menulis MIM (Menuju Indonesia Merdeka, 1933).
Dalam pemikiran ketiga tokoh ini, gambaran tentang masa depan Indonesia itu memang belum utuh. Ia baru merupakan anggitan yang masih memerlukan penyempurnaan sampai �cetak-biru� Indonesia Merdeka dapat dirumuskan, yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 beberapa dasawarsa kemudian. Dan Tan Malaka menyadari itu, sebab �aksi untuk mencapai kemerdekaan nasional ini,� tulis Tan dalam Naar de Republiek Indonesia, �akan berlangsung lama, tetapi pasti membawa kemenangan (1925: 65).
Sayangnya, Tan Malaka tak sempat melihat tahap akhir perjuangan kemerdekaan, karena ia tewas secara tragis. Ironis, karena setelah malang-melintang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri Indonesia, ia lalu �dihujat dan dilupakan� oleh bangsanya sendiri.
Mestika Zed - Sejarawan Universitas Negeri Padang

Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis

Oleh: Ignas Kleden 
TAN Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum dia menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang, dan kembali ke Indonesia. Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa pelarian yang paling lama di Tiongkok.
Selama masa itu, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya tujuh nama samaran. Di Manila dia dikenal sebagai Elias Fuentes dan Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali. Di Shanghai dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, orang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura, ketika menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng. Setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten, dan menjadi Ilyas Hussein.
Pelarian dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya, karena dia menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Ketika dia ditangkap di Manila pada Agustus 1927, koran Amerika, Manila Bulletin, menulis, �Tan Malaka, seorang Bolsyewik Jawa, ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Tagalog, Tionghoa, dan Melayu.� Dalam pelarian itu, bermacam-macam pekerjaan sudah dilakukannya.
Di Amsterdam dan Rotterdam dia berkampanye untuk partai komunis Belanda pada waktu diadakan pemilu legislatif dan ditempatkan pada urutan ketiga. Di Moskow dia menjadi pejabat Komintern dengan tugas mengawasi perkembangan partai komunis di negara-negara Selatan, yang mencakup Burma, Siam, Annam, Filipina, dan Indonesia. Di Kanton dia menerbitkan majalah berbahasa Inggris, The Dawn. Di Manila dia menjadi kontributor untuk koran El Debate. Di Amoy dia mendirikan Foreign Languages School yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup uang. Di Singapura dia menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas walau tanpa ijazah.
Sebelum dibuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh pemerintah kolonial, di Bandung, Semarang, dan Jakarta. Dalam pelariannya ke luar negeri, dia dipenjarakan di Manila dan Hong Kong. Setelah kembali ke Indonesia, dia dimasukkan ke penjara oleh pemerintah Indonesia di Mojokerto (1946-1947).
Dia mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, Dr Sun Yat-sen, yang di kalangan pengikut bawah tanah dipanggil Sun Man. Dia membaca buku San-Min-Chu-I dan berkesimpulan bahwa Dr Sun tidak sepaham dengan dia dalam teori dan metode. Menurut Tan Malaka, Dr Sun bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuh-penuhnya seorang nasionalis. Dalam metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logis. Namun kesanggupan analisisnya tinggi, kemampuan menulisnya baik sekali, dan dia seorang effective speaker. Kekuatan Dr Sun terdapat dalam dua hal lain, yaitu satunya kata dan tindakan serta tabah menghadapi kegagalan. Usahanya memerdekakan Tiongkok dari Kerajaan Manchu baru berhasil pada percobaan ke-17, setelah 16 kali gagal.
Dr Jose Rizal menjadi pahlawan Filipina dan pahlawan Tan Malaka karena ketenangannya menghadapi maut. Beberapa saat sebelum dia ditembak mati, seorang dokter Spanyol rekan seprofesinya meminta izin kepada komandan agar diperbolehkan memeriksa kondisi kesehatannya. Dengan tercengang si dokter melaporkan bahwa denyut pada pergelangan tangan Dr Rizal tetap pada ketukan normal, tanpa perubahan apa pun. Ini hanya mungkin terjadi pada seseorang yang sanggup menggabungkan keyakinan penuh pada perjuangan, ketabahan dalam menderita, dan keteguhan jiwa menghadapi maut. Di sini terlihat bahwa Tan Malaka bukanlah seorang Marxis fundamentalis, karena dia dapat menghargai Dr Sun Yat-sen, nasionalis pengkritik Marxisme, dan mengagumi Dr Rizal, seorang sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukkan sikap satria sebagai pejuang kemerdekaan.
Kritik Tan Malaka kepada Bung Karno tidaklah ada sangkut-pautnya dengan sikap Soekarno terhadap Madilog, tapi merupakan kritik yang wajar terhadap seseorang yang sangat dihormatinya. Dasar kritiknya adalah apa yang dilihatnya sebagai kebajikan Dr Sun Yat-sen, yaitu satunya kata dengan perbuatan. Menurut Tan Malaka, ketika memimpin PNI, Soekarno selalu mengajak penduduk Hindia Belanda yang berjumlah 70 juta jiwa itu untuk berjuang mencapai Indonesia merdeka dengan menggunakan tiga pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi massa yang tak mengenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi bahwa Soekarno telah banyak menderita dan dibuang ke pengasingan karena gagasan-gagasan politiknya.
Maka dia kecewa melihat Soekarno berkolaborasi dengan Jepang selama pendudukan di Indonesia. Kekecewaan ini disebabkan oleh dua latar belakang. Pertama, Tan Malaka merasa dekat dengan Soekarno, yang menerapkan aksi massa dalam perjuangan politiknya hampir sepenuhnya menurut apa yang ditulisnya di Singapura pada 1926 dalam sebuah brosur tentang aksi massa. Kedua, dia sangat terpesona oleh perjuangan kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate, absolute and complete independence (kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan penuh). Kekecewaan ini sedikit terobati ketika Soekarno-Hatta atas desakan pemuda revolusioner membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Salah satu karya Tan Malaka yang boleh dianggap sebagai opus magnum-nya adalah buku Madilog, yang ditulis selama delapan bulan dengan rata-rata tiga jam penulisan setiap hari di persembunyiannya dekat Cililitan. Buku itu menguraikan tiga soal yang menjadi pokok pemikirannya selama tahun-tahun pembuangan, dengan bahan-bahan studi yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, tapi sebagian besar harus dibuang untuk menghindari pemeriksaan Jepang. Naskah buku ini praktis ditulis hanya berdasarkan ingatan setelah bacaan dihafal di luar kepala dengan teknik pons asinorum (jembatan keledai).
Ketiga soal itu adalah materialisme, dialektika, dan logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika berbunyi: A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. Atau dalam rumusan lain: a thing is not its opposite. Sebaliknya, dialektika menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celsius.
Madilog adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide. Kalau kita mengamati hidup dan perjuangan Tan Malaka, jelas sekali bahwa sedari awal dia hidup untuk merevolusionerkan kaum Murba, agar menjadi kekuatan massa dalam merebut kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di Moskow dan Kanton karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di negara-negara jajahan harus mendukung gerakan nasionalis untuk menentang imperialisme.
Semenjak masa mudanya di Negeri Belanda, Tan Malaka sudah terpesona oleh Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang menyebabkan dia dipenjarakan berkali-kali dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang menjadikan dia seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxislah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan dibuang. Selain itu, dia pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, tapi untuk kemerdekaan tanah airnya.
Dengan demikian, hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap gagasan Madilog yang dikembangkannya. Paradoksnya: dia seorang Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Kita ingat kata-katanya kepada pemerintah Belanda sebelum dibuang: Storm ahead (ada topan menanti di depan). Don�t lose your head! Ini sebuah language game yang punya arti ganda: jangan kehilangan akal dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, dia yang tak pernah kehabisan akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri akhirnya kehilangan kepala di tanah air yang amat dicintainya.
Ignas Kleden - Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Misteri Mayor Psikopat

MENGAPA Tan Malaka ikut Mayor Sabarudin bergerilya ke Kediri? Inilah teka-teki yang sampai hari ini belum terjawab. Harry Poeze terheran-terheran, Tan yang sangat intelektual dan berpengalaman dalam sejumlah royan itu menyanggupi ajakan Sabarudin berjuang ke Kediri. �Padahal Sabarudin dikenal sebagai seorang gila, bahkan psikopat,� ucap Poeze.
Sabarudin memang pengagum Tan. Tapi, kata Poeze, ia berperilaku aneh: kadang tak terkontrol menembak tawanannya dan disebut senang minum darah musuh. Tindakan Sabarudin yang keterlaluan itulah yang menyebabkan Soengkono membubarkan batalion Sabarudin. Lantaran batalionnya dibubarkan, ia memilih jalan sendiri.
Ketika Tan mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948, Sabarudin datang dari Kediri menemui Tan di Yogyakarta. Saat itu Tan bukan ketua, tapi duduk di dewan partai. Pada hari pendirian partai itulah Tan memancangkan program kerja sama antara rakyat biasa dan kesatuan militer. Ia meminta Murba banyak mendirikan organisasi pertahanan rakyat. Ini adalah perwujudan dari ide Tan Malaka dalam bukunya, Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi).
Program Murba itu segera disambut Sabarudin. Ia mengajak Tan berkeliling Jawa Timur. Sabarudin menjamin keamanan Tan Malaka. Bukti yang ia perlihatkan: ia membawa 50 pengawal. Dengan jaminan yang menggiurkan ini, Tan berangkat naik kereta api khusus dengan 50 pengawal dari Yogyakarta ke Kediri. Di Desa Belimbing, Kediri, Tan kemudian mendirikan Markas Murba Terpendam dan mengedarkan pamflet perlawanan terhadap Sekutu dan Soekarno-Hatta yang menolak bergerilya.
Tapi ia tak menduga, bersamaan dengan serbuan Belanda ke Kediri, datang pula pasukan Batalion Sikatan. Batalion Sabarudin kocar-kacir dan �sang psikopat� entah pergi ke mana. Beberapa bulan kemudian Sabarudin tewas. �Ini kesalahan besar Tan Malaka,� ucap Poeze.

Wawancara Setelah Mati

Tan Malaka bak selebritas. Kisah hidupnya dicuplik untuk kisah roman, sosoknya dipalsu dan diburu.
-----------------------
NOVEMBER 1945. Tan Malaka sedang dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Surabaya. Di dalam mobil yang ditumpanginya, dia membawa serta bahan buku Madilog. Belum sampai di tempat tujuan, terbetik kabar sudah ada �Tan Malaka� di Surabaya. Dia berorasi di hadapan para pejuang kemerdekaan. Pidatonya disiarkan stasiun radio lokal.
Begitu tiba di Surabaya, ia ditahan sejumlah aktivis, begitu juga Tan yang sudah berpidato. Soemarsono, pemimpin pemuda pejuang di Surabaya, membawa keduanya ke sebuah rumah. Menurut Harry A. Poeze, pengarang buku tentang Tan Malaka, kedok Tan palsu terbongkar lantaran penjelasannya tidak masuk akal. �Gara-gara kasus itu, hampir saja bahan Madilog hilang,� kata Tan dalam pengantar bukunya tersebut.
Kisah Tan gadungan tak cuma sekali. Pada 1949, nama Tan muncul dalam sebuah wawancara di koran lokal di Kediri, Jawa Timur. Yang menggelikan, pemuatannya terjadi setelah Tan meninggal. Menurut Poeze, jawaban-jawaban dalam wawancara juga tak sesuai dengan pemikiran Tan Malaka.
Peniruan atas Ibrahim Datuk Tan Malaka menurut Poeze, didorong kepentingan pribadi, seperti keuntungan finansial dan ketenaran, serta penjajah. Pemerintah kolonial Jepang berkepentingan menciptakan duplikat Tan Malaka. �Tujuannya, memancing orang-orang radikal keluar,� kata Poeze. Siasat ini cukup berhasil. Sejumlah orang gerakan bawah tanah ditangkap dengan pancingan itu. Namun tak ada satu pun teman dekat Tan yang masuk perangkap.
Tan Malaka pun tahu bahwa dia �terkenal� pada masa itu. Ketika Tan ke Medan pada awal 1942, seorang pedagang buku loakan mengatakan kepadanya bahwa �Tan Malaka� berada di Padang dan sedang berpidato sebagai tentara Nippon berpangkat kolonel. �Saya maklum, Jepang melakukan taktik ini untuk menipu rakyat,� kata Tan dalam biografinya, Dari Penjara ke Penjara.
Pencarian terhadap dirinya dimulai saat ia aktif di partai. Pada 1921, ia memimpin Partai Komunis Indonesia, menggantikan Semaun yang pergi ke Moskow. Sejak itu, sepak terjangnya selalu diawasi penjajah Belanda. Bahkan jaringan polisi internasional pun memburunya.
Tan juga pernah �dipalsu� dalam roman-roman berbumbu cerita spionase. Hasbullah Parindurie adalah orang pertama yang menulis kisahnya. Bahan utamanya dari Tan sendiri, berupa lima surat yang dikirim ke Adinegoro, pemimpin Pewarta Deli. Awalnya, surat-surat itu ditampilkan sebagai cerita bersambung di surat kabar itu pada Juli-September 1934 dengan judul �Spionnage-dients�. Empat tahun kemudian, Hasbullah menerbitkannya menjadi buku roman berjudul Patjar Merah Indonesia dan ia memakai nama samaran Matu Mona.
Buku ini berlatar kehidupan Tan di Thailand, Singapura, Kamboja, dan Hong Kong dalam kurun 1930-1932. Selain berbicara tentang politik, ada kisah cinta Tan yang dalam cerita itu bernama Vichitra atau Patjar Merah dengan Ninon Phao, seorang putri Thailand. Menurut Ichwan Azhari, Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Sumatera Utara, roman semacam Patjar Merah kala itu diburu pembaca. �Itu membuatnya menjadi sosok yang dimitoskan,� kata Ichwan.
Setelah itu, masih ada beberapa roman tentang Tan Malaka. Salah satunya Tan Malaka di Kota Medan karangan Muchtar Nasution, yang bernama pena Emnast. Roman yang pertama kali diterbitkan pada 1941 itu, menurut Ichwan, juga diburu pembaca. Ini berlangsung hingga awal kemerdekaan. Dengan gaya hidup Tan yang selalu menyamar, tak mengherankan jika dia menjadi legenda, sekaligus sosok misterius pada masanya.

Trio Minang Bersimpang Jalan

Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir berselisih paham tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Sama-sama egois.
----------------------------
OBROLAN tiga anak muda di rumah Darsono, tokoh komunis Indonesia, di Berlin, Jerman, pada pertengahan Juli 1922 itu berlangsung gayeng. Mohammad Hatta sengaja datang dari Belanda. Tan Malaka juga. Tan berapi-api menjelaskan komunisme yang dasarnya demokrasi tulen.
�Bukankah komunisme itu mengesahkan diktator, Bung? Karl Marx menyebut diktator proletariat,� Hatta, 20 tahun, menyela.
�Itu hanya ada pada masa peralihan,� Tan menukas. Dia melanjutkan, �Peralihan kekuasaan kapitalis ke tangan masyarakat. Kaum buruh merintis jalan ke arah sosialisme dan komunisme yang terselenggara untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Jadi bukan diktator orang-seorang.�
Hatta menceritakan kembali percakapan itu dalam Memoir (1979). Dalam buku itu Hatta setuju pada pandangan Tan, yang lebih tua tujuh tahun. Bahkan ia mengomentarinya: jika begitu Tan pasti tak setuju dengan cara otoriter Joseph Stalin memimpin Rusia. Tapi, kepada Z. Yasni yang mewawancarainya pada 1977, Hatta mengatakan bahwa dalam diktator proletariat yang berkuasa tetaplah para pemimpinnya.
Dan itulah perseteruan ideologis duo Minang ini. Hatta sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Tan percaya, jika digabung, Pan-Islamisme dan komunisme bisa menjadikan Indonesia digdaya.
Menurut Anwar Bey, bekas wartawan Antara yang menjadi sekretaris pribadi Adam Malik, Hatta dan Tan sudah seperti musuh. Kepada Bey, Hatta buka kartu kenapa ia selalu curiga dan menentang Tan. �Dia selalu menganggap kami (Soekarno-Hatta) anak ingusan,� katanya.
Hatta, kata Bey, sebetulnya sudah tak senang kepada Tan sejak di Amsterdam. Pada 1927, setahun setelah �pemberontakan� Partai Komunis Indonesia yang gagal, Hatta meminta tokoh-tokoh komunis menyerahkan pimpinan revolusi kepada tokoh nasionalis. Berbeda dengan Semaun, Ketua PKI, yang langsung teken ketika disodori deklarasi itu, Tan menolak.
Penolakan itulah yang ditafsirkan Hatta sewaktu berbicara dengan Soekarno dan didengar Anwar Bey, sebagai sikap sentimen Tan kepadanya. �Padahal, Tan Malaka hanyalah berpandangan bahwa pemimpin revolusi tak boleh dipegang orang selain komunis,� kata Bey.
Perbedaan itu melekat hingga Indonesia merdeka. Pada 23 September 1945, sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Hatta menawari Tan ikut dalam pemerintahan. �Tidak, dua (Soekarno-Hatta) sudah tepat. Saya bantu dari belakang saja,� kata Tan. Hatta menganggap penolakan itu sebagai keengganan senior dipimpin orang yang lebih muda.
Tak mengherankan ketika Soekarno keceplosan membuat testamen lisan yang isinya akan menyerahkan kekuasaan kepada Tan jika ia ditangkap sekutu, Hatta menolaknya. Ia menambah tiga nama: Sjahrir, Iwa Koesoema Soemantri, dan Wongsonegoro. �Agar mewakili semua kelompok,� katanya.
Selain dengan Hatta, Tan Malaka juga berselisih paham dengan Sutan Sjahrir, yang juga berasal dari Minang. Menurut Adam Malik dalam Mengabdi Republik (1978), pada awal-awal kemerdekaan Sjahrir menolak bergabung dengan pemerintahan karena belum yakin masyarakat Indonesia menerima sepenuhnya proklamasi Soekarno-Hatta.
Setelah yakin Indonesia merdeka secara de jure, Sjahrir�yang menganut ideologi sosial-demokrat�ikut mempertahankan dengan cara yang berbeda. Ketika Belanda akan kembali menghidupkan pemerintah jajahan Hindia, ia �merapat� ke kubu Inggris-Amerika sebagai �penguasa� baru nusantara. Sekutu memilih Sjahrir sebagai juru runding karena menganggap �Bung Kecil� itu berpikiran modern dan disukai Belanda.
Sjahrir kemudian gencar mengampanyekan politik diplomasi. Dalam kampanyenya, seperti tertuang dalam pamflet Perjuangan Kita, Sjahrir telak-telak menyatakan akan menyingkirkan semua kolaborator Jepang. Tentu saja ini menohok Soekarno-Hatta. Juga Jenderal Soedirman sebagai salah satu pemimpin tentara Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) bentukan Jepang.
Perselisihan makin runcing ketika Sjahrir menjadi perdana menteri dan mengubah sistem politik dari presidensial menjadi parlementer. Praktis ia dan Amir Syarifuddin yang berkuasa. Meski tak banyak komentar lisan, dalam Demokrasi Kita, Wakil Presiden Hatta mengecam perubahan itu. �Kabinet parlementer tak bisa bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya,� katanya.
Jenderal Soedirman lebih jengkel lagi. Ia pun merapat ke kubu Tan Malaka yang sudah lebih dulu menentang ide Sjahrir. Maka, pada akhir medio 1940, muncul tiga dwitunggal yang punya jalan masing-masing menghadapi politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan Soedirman-Tan Malaka. �Jika ulah Sjahrir itu makin mengancam persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijaksaan sendiri,� kata Soedirman kepada Adam Malik.
Soedirman dan Tan Malaka lalu mengumpulkan seluruh elemen politik di Purwokerto, Jawa Tengah. Pertemuan ini menghasilkan faksi Persatuan Perjuangan yang kongresnya dihadiri 141 wakil pelbagai kubu.
Dalam silang-sengkarut itu muncul orang Minang lain yang terkenal sebagai politisi-cum-sejarawan: Muhammad Yamin. Ia aktif di Persatuan, tapi sering jalan dengan sikapnya sendiri. Tanpa konsultasi dengan pimpinan Persatuan, Yamin gencar mengkritik secara terbuka politik diplomasi Sjahrir. Sikap frontal Yamin ini kian memanaskan situasi yang berakhir dengan mundurnya Sjahrir dari kursi perdana menteri pada 28 Februari 1946.
Situasi adem itu tak berlangsung lama. Tak lama kemudian Soekarno kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat kubu Soedirman-Tan kembali meradang. Saking marahnya, para pemuda Persatuan sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin yang akan masuk Istana Negara.
Bahkan saling tangkap pun terjadi. Amir memerintahkan tentara menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama membebaskan sandera ketika Soekarno turun tangan. Tapi konflik tak begitu saja reda, sehingga Tan terbunuh di Kediri pada Februari 1949.
Sejarawan Harry A. Poeze berpendapat, perbedaan trio Minang itu karena mereka lahir dari lingkungan yang berbeda, meski sama-sama belajar Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda. Secara adat Tan seorang raja tapi miskin secara ekonomi, sedangkan Hatta-Sjahrir kelas menengah secara ekonomi. Tan orang udik, Hatta dari Bukittinggi dan Sjahrir dari Padangpanjang dari keluarga pedagang.
Meski sama-sama dibuang, Hatta-Sjahrir masih menerima penghasilan. Sedangkan Tan tak punya pendapatan pasti dalam pelarian, hidupnya susah, dan ia berteman dengan penyakit, bahkan bergaul dengan romusha di Banten Selatan. Pasase hidup yang membuatnya kian mantap menjadi Marxis dimulai ketika mengajar di sebuah perusahaan perkebunan Belanda di Deli. Ia melihat langsung bagaimana orang sebangsanya ditindas menjalani kuli kontrak.
Berbeda dengan Hatta, kendati sering berseberangan, hubungan pribadi Tan dengan Sjahrir relatif bagus. Menurut Poeze, Sjahrir pernah dua kali menawari seniornya itu memimpin Partai Sosialis Indonesia. Seperti biasa, Tan menolak.

Perempuan di Hati Macan

Kisah cinta Tan Malaka sama tragis dengan hidupnya yang klandestin. Mengidamkan sosok Kartini, ditolak dua kali oleh perempuan yang sama.
----------------------------
RAPAT tetua adat Nagari Pandan Gadang, Lima Puluh Kota, berlangsung sengit. Ibrahim, yang belum genap 17 tahun, menolak gelar datuk. Padahal dia anak lelaki tertua keluarga Simabur, yang harus memangku gelar itu sebelum ayahnya meninggal. �Ibunya memberi pilihan: menolak gelar atau kawin,� kata Zulfikar Kamaruddin, 60 tahun, keponakan Ibrahim, kepada Tempo pada Juli lalu.
Ibrahim menyerah dan menerima gelar tertinggi dalam adat Minang itu. Maka nama lengkapnya menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Sebagai datuk, ia membawahkan keluarga Simabur, Piliang, dan Chaniago. Pesta penobatannya, pada 1913, digelar tujuh hari tujuh malam.
Pesta itu sekaligus penyambutan orang rantau yang baru lulus sekolah raja (Kweekschool) di Bukittinggi dan pesta perpisahan. Sebab, datuk muda itu akan segera ke Belanda. Ibrahim mendapat beasiswa sekolah guru di Rijkskweekschool, Haarlem. Hal ini berkat jasa baik guru Belanda yang mencintainya: Gerardus Hendrikus Horensma, setelah uang saweran orang sekampung tak cukup untuk ongkos Ibrahim.
Rupanya, penolakan Ibrahim terhadap perjodohan yang diatur Sinah, ibunya, ada bersebab. Telah ada gadis lain di hatinya: Syarifah Nawawi, anak keempat Nawawi Sutan Makmur�guru bahasa Melayu di Kweek yang membantu Charles van Ophuijsen menyusun Kitab Logat Melajoe (dikenal sebagai tata bahasa Ophuijsen) pada 1901.
Syarifah adalah perempuan Minang pertama yang mengecap pendidikan ala Eropa. Ada 75 murid di sana. Menurut Gedenkboek Kweekschool 1873-1908, Syarifah dan Ibrahim angkatan 1907. Jumlah murid di kelas mereka 16 orang. Syarifah menjadi kembang karena satu-satunya perempuan di sekolah yang kini menjelma jadi SMA Negeri 2 Bukittinggi itu. Dan Ibrahim satu dari tiga siswa yang melanjutkan studi ke Belanda.
Ibra dan Syarifah pun terpisah ribuan mil. Tapi itu bukan halangan bagi sang Datuk untuk terus menjalin hubungan. Ia rajin mengirim surat kepada Syarifah, yang melanjutkan studi sekolah guru di Salemba School, Jakarta. Tapi cinta itu ternyata bertepuk sebelah tangan.
Menurut sejarawan Belanda yang menulis biografi Tan Malaka, Harry A. Poeze, Syarifah tak pernah sekali pun membalas surat-surat itu. �Tan Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh,� begitu katanya kepada Poeze sewaktu mereka bertemu pada 1980. Syarifah tak menjelaskan di mana keanehan orang yang menaksirnya itu.
Syarifah kemudian menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoema, Bupati Cianjur yang sudah punya lima anak dari dua selir, pada 1916. Maka muncullah anekdot di keluarga dan di kalangan penulis sejarah Tan Malaka: Tan menjadi Marxis karena kegagalannya dalam cinta pertama. Dia menjadi amat antiborjuis dan feodal untuk melawan orang yang merebut pujaan hatinya. �Tapi ini cuma anekdot,� kata sejarawan Bonnie Triyana.
Tan kemudian mulai membuka hatinya untuk gadis lain: Fenny Struyvenberg, mahasiswi kedokteran berdarah Belanda. Dia terlihat sering datang ke pondokan Tan. Dengan Fenny, Tan kabarnya menjalin hubungan cukup serius. Fenny bahkan sempat ke Indonesia menyusul Tan. Sayang, tak ada banyak catatan dan keterangan soal hubungan mereka. Fenny keburu meninggal saat akan ditemui Poeze.
Di Rusia, sewaktu menghadiri sidang Komunis Internasional dan tinggal tiga tahun, Tan diberitakan sempat berhubungan dengan seorang perempuan sana. Menurut Poeze, ada satu koran yang menulis hubungan percintaan Tan dengan perempuan tersebut.
Tan Malaka memang selalu punya hubungan mendalam dengan perempuan di setiap negara yang ia kunjungi. Di balik cerita heroiknya berpindah dari satu negara ke negara lain dalam pelarian, selalu muncul sosok perempuan: yang menolong, yang merawat tubuhnya yang sakit, atau sekadar teman.
Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan menulis nama-nama perempuan di sekitar hidupnya. Tapi tak ada penjelasan apakah hubungan itu juga dilandasi cinta. Di Kanton, misalnya, ia menyebut �Nona Carmen�, anak perempuan Rektor Universitas Manila yang memberi petunjuk masuk Filipina, merawat, dan mengajarinya bahasa Tagalog. Di Cina, pada 1937, ada gadis 17 tahun yang ia sebut AP sering datang mengadu dan meminta diajari bahasa Inggris.
Sesudah Proklamasi 1945, Tan yang tak lagi klandestin tersiar punya hubungan serius dengan Paramita Rahayu Abdurrachman. Perempuan 25 tahun ini keponakan Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Dia tinggal di paviliun rumahnya di Cikini. Tan sering datang ke sana.
Saking lengketnya mereka, teman-teman dekatnya menganggap Paramita tunangan Tan. Padahal umur mereka terpaut 26 tahun. Kepada Poeze yang menemui Paramita pada 1980, perempuan yang tak menikah hingga meninggal pada 1986 itu mengaku mencintai Tan. Namun �pertunangan� itu tak sampai ke jenjang pernikahan.
Situasi politik membuat Tan kembali harus lari dan bersembunyi dari kejaran Kempetai Jepang. Hubungan mereka pun retak. Lagi pula, kata Paramita kepada Poeze, Tan Malaka orang yang hidup tak normal. �Dia kelewat besar buat saya,� katanya. �Dia menginginkan saya seperti sosok Raden Ajeng Kartini.�
Ironisnya, ibu Paramita tak lain teman karib Syarifah Nawawi. Minarsih Soedarpo-Wiranatakoesoema, anak bungsu Syarifah, sama-sama aktif di Palang Merah Indonesia dengan Paramita. �Ibu saya cuma bilang kenal Tan sewaktu di Kweekschool,� kata Minarsih, 84 tahun. Paramita, sebetulnya, waktu itu menaksir pemuda Hatta, yang juga sering berkunjung ke rumah Soebardjo.
Syarifah sudah menjadi janda dengan tiga anak. Wiranatakoesoema menceraikannya pada 1924 karena menganggap Raden Ayu ini tak bisa mengikuti tata krama Sunda yang amat feodal. Cinta lama Tan pun bersemi kembali. Menurut Minarsih, Tan mendatangi ibunya dan meminang, tapi lagi-lagi ditolak.
Lalu siapa perempuan yang betul-betul dicintai Tan Malaka seumur hidupnya? Syarifah? Sepertinya bukan.
Syahdan, suatu hari Adam Malik�koleganya di Persatuan Perjuangan yang menjadi wakil presiden pada zaman Soeharto�bertanya kepada Tan Malaka, �Bung, apa Bung pernah jatuh cinta?�
Tan, seperti ditulis Adam dalam Mengabdi Republik, langsung menjawab, �Pernah. Tiga kali malahan. Sekali di Belanda, sekali di Filipina, dan sekali lagi di Indonesia. Tapi, yah, semua itu katakanlah hanya cinta yang tak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan.�
S.K. Trimurti, Menteri Perburuhan pada zaman Soekarno, menyatakan itu jawaban jujur Tan Malaka. Kepada Poeze, Trimurti bercerita, Tan yang dipanggil �Macan� sewaktu di Belanda relatif �bersih� dalam urusan asmara. �Beliau belum pernah bicara soal perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan seks,� tulisnya dalam Peringatan Sewindu Hilangnya Tan Malaka (1957).
Itu pula sebabnya, ketika tetua adat Pandan Gadang �melelang�-nya dalam upacara perjodohan sewaktu ia pulang dari Belanda pada 1919, Tan menolak banyak pinangan. Setelah tak tahan mengajar di sebuah perusahaan perkebunan di Deli, si Macan menyiapkan keberangkatannya ke Semarang. Dia menyongsong hidup dan kematiannya yang�mengutip kalimat Poeze��lebih dahsyat ketimbang fiksi�.

Sobatmu Selalu, Ibrahim

Sobat yang baik, Aku sama sekali tidak lupa memberitahukanmu bahwa aku telah gagal. Tidak sampai hati aku mengirimkan kartu pos bergambar dari Zandvoort padamu. Hari ini dan kemarin aku hanya banyak bersenang-senang dengan gadis-gadis, hingga aku merasa bahwa bersedih-sedih atas kegagalan itu hanya akan jadi bahan tertawaan saja....
Semoga kau mencapai sukses. Kuatkanlah hatimu, Kawan. Jika aku masih di Zandvoort, aku akan ke H (Haarlem) pada waktu hasil ujian diumumkan.
Tabek, Ieb Parkstr. 5, Zandvoort
(disadur dari kartu pos asli berbahasa Belanda yang dikirimkan Tan Malaka kepada Dick J.L. van Wijngaarden)
----------------------------
KARTU pos itu sudah lusuh dan kecokelatan termakan usia. Maklum, usianya sudah mencapai 80 tahun. Namun kartu itu tersimpan rapi dalam sebuah album bersama puluhan kartu pos lainnya. Di balik kartu pos terdapat gambar seorang gadis Belanda berbaring di atas pasir sambil tertawa menghadap kamera. Di belakangnya terlihat pantai Zandvoort yang terkenal sebagai pantai nudis�karena sering dikunjungi kelompok yang jarang berpakaian.
Ini hanya salah satu dari sekian banyak kartu pos yang dikirimkan Ibrahim Datuk Tan Malaka kepada sahabat karibnya selama di Belanda, Dick J.L. van Wijngaarden. Dia adalah teman curhat Ibrahim dalam segala hal. Mereka pernah satu kelas dan sempat tinggal di pemondokan yang sama di Bussum sampai Van Wijngaarden harus masuk militer.
Kedekatan Ipie atau Ieb�panggilan akrab Tan Malaka�dengan Dick tergambar dalam surat-menyurat yang cukup teratur dikirimkan hampir setiap bulan, sejak Tan Malaka pindah ke Bussum pada 1916 hingga 1921 ketika sudah kembali ke Tanah Air. Isi surat Tan selalu tentang apa yang dilakukannya sehari-hari. Nyaris tidak pernah menyentuh soal-soal politik. Tan juga sering mengadu soal betapa sulitnya ujian untuk mendapatkan izin mengajar sebagai guru. Sebaliknya, surat Dick van Wijngaarden kepada Tan lebih sering berisi kata-kata pemberi semangat agar mereka berdua sama-sama tak menyerah di zaman yang sulit itu.
Van Wijngaarden menyimpan dengan rapi semua surat Tan Malaka. Sayangnya, surat-surat Van Wijngaarden untuk Tan Malaka tak satu pun yang tersisa. Hingga suatu hari datanglah surat dari Harry Poeze, peneliti dari Universitas Amsterdam, yang mengabarkan soal penelitian terhadap tokoh komunis Indonesia itu.
Van Wijngaarden langsung mewariskan semua surat Tan Malaka kepada Poeze yang sudah melakukan penelitian sejak 1970-an. �Dick bilang, siapa lagi yang bisa menyimpan dan memanfaatkan surat-surat ini kalau bukan saya,� kata Poeze kepada Tempo.
Beruntung Poeze menemukan Dick yang masih hidup dan menyimpan sebagian bukti tertulis Tan Malaka. �Van Wijngaarden yang paling banyak menyimpan surat dan kartu pos dari Tan Malaka,� ujarnya.
Sahabat Tan Malaka yang lain adalah Arie de Waard, kawan sekelasnya di sekolah guru di Haarlem. Keakraban itu terjalin ketika De Waard ditugasi direktur sekolah membantu Ibrahim memahami pelajaran sekolah. �Karena saya senang padanya, saya tak keberatan. Ibrahim diperintahkan selalu memperhatikan nasihat-nasihat saya,� demikian tutur De Waard dalam suratnya kepada Poeze.
Dengan De Waard inilah Tan banyak mendiskusikan pikiran politiknya. De Waard pun menjadi paham kenapa nilai-nilai pelajaran Tan Malaka menurun. Rupanya, Tan sedang kecanduan membaca buku-buku politik. �Mulanya susah payah saya mengajaknya untuk belajar kembali... sekarang saya tahu mengapa angka-angka rapornya menurun,� tulis De Waard.
Tapi, menurut De Waard, kebiasaan Tan mengemukakan pendapatnya tentang revolusi menghasilkan nilai positif lain. �Dia telah belajar menyatakan pikirannya dengan baik sekali.�
Selama enam tahun pertama di Belanda antara 1913 dan 1919, Tan tak hanya akrab dengan Dick dan De Waard. Sepucuk surat lain untuk Poeze dari C. Wilkeshuis menegaskan hal ini. �Ia segera diterima dalam masyarakat kelas kami. Tak ada sama sekali apa yang disebut �diskriminasi bangsa�. Kami menganggapnya sebagai orang Hindia Timur yang menarik perhatian,� tulis Wilkeshuis.
Tapi tentu saja yang paling berjasa bagi kehidupan Tan Malaka adalah G.H. Horensma, warga Belanda di Bukittinggi yang mensponsori pendidikan guru Ibrahim. Berkat dialah, Ibrahim tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang diterima di sekolah guru Haarlem.

Cita-cita Revolusi dari Tanah Haarlem

Tan Malaka pergi ke Belanda untuk sekolah guru. Ia pulang ke Indonesia dengan satu tekad: revolusi.
------------------------
HAARLEM, 2008. Lautan turis, penuh warna, dan berseri-seri. Para pelancong memenuhi kafe di sekitar Grote Markt yang dikelilingi bangunan bersejarah. Ada Vleeshal, pasar daging yang kini menjadi museum; Grote Kerk atau Sint Bavokerk, gereja terbesar yang menyimpan salah satu organ termegah di dunia dan pernah dimainkan Mozart ketika berumur 10 tahun; dan tentu saja, gedung City Hall, pusat administrasi Kota Haarlem.
Di Haarlem inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka menginjakkan kaki pertama kali di Negeri Kincir Angin pada akhir 1913. Tak sulit membayangkan bagaimana Ibrahim menjalani kehidupan sehari-hari sebagai siswa sekolah guru Rijkweekschool di kota kecil bagian utara Belanda ini.
Wajah Haarlem tak banyak berubah. Struktur tata kotanya masih seperti ketika Perang Dunia Pertama dimulai. Gedung-gedung bersejarah masih berdiri, dengan komposisi yang masih sama. Hanya fungsi dari bangunan-bangunan tua yang berbeda.
Tan Malaka tinggal pertama di sebuah rumah pemondokan bersama beberapa murid Rijkweekschool di Jalan Nassaulaan, yang sekarang menjadi jalan utama yang membatasi bagian kota tua dengan bagian baru yang merupakan perluasan Kota Haarlem. Rumah yang dipilih oleh direktur sekolah guru PH Van Der Ley itu masih berdiri hingga sekarang. Lantai dasarnya menjadi semacam studio pembuatan perlengkapan dapur. Dindingnya terdiri dari bata merah. Untuk mencapai sekolah guru, Tan tinggal berjalan kaki saja.
Tapi Tan tak betah di sana. Ia pindah ke Jacobijnestraat, sebuah jalan kecil di belakang Grote Markt ini berlapis batu-batu tua yang lebarnya tak lebih dari lima meter. Jalan ini biasanya hanya dilalui pengendara sepeda.
Rumah-rumah tua dan kecil yang terlihat seperti berdesak-an di pengujung jalan ini adalah tipikal rumah buruh miskin di Haarlem awal abad ke-20. �Di sebuah rumah kecil, saya mendiami kamar loteng yang sempit dan gelap,� demikian tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara. Rumah ini masih berdiri meski ringkih dimakan usia. Tapi dengan polesan yang cantik, rumah ini kini sedang berhias menjadi toko bunga dan butik nan elegan.
Berdampingan dengan rumah itu adalah Toko Buku De Vries. Toko buku inilah yang menjadi tempat yang disukai Tan selama tinggal di Jacobijnestraat. Toko buku yang dulunya menjual buku bekas itu sekarang menjual buku baru.
Loteng sempit yang diceritakan oleh Tan juga masih ada walaupun tak bisa dikunjungi karena berbeda kepemilikan dengan toko di bawahnya. Dari luar terlihat loteng itu memang sangat kecil dengan ukuran jendela yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi.
Menurut Dian Purnamasari, warga Indonesia yang tinggal di Haarlem, Jacobijnestraat dulunya adalah daerah permukiman buruh. Sekarang tempat itu merupakan daerah mahal yang akan diubah menjadi salah satu daerah chic karena lokasinya yang strategis persis di tengah kota.
l l l
Kedatangan Tan Malaka di Belanda disambut aura kemiskinan Haarlem yang sedang jatuh-bangun menghadapi depresi ekonomi. Ratusan pabrik penyulingan bir gulung tikar. Pabrik tekstil yang sempat menjadi tulang punggung kota ini juga bertumbangan. �Belum lama di Belanda, sudah terasa konflik antara jasmani dan keadaan,� kata Tan dalam tulisannya.
Dalam kondisi seperti itulah, Ibrahim memulai pendidikannya sebagai calon guru. Dia harus cepat menyesuaikan diri dengan masyarakat, iklim, serta kehidupan yang baru. Tapi yang paling sulit adalah mencerna makanan khas Eropa. �Bahan makanannya memang baik dan berzat, tapi cara pengolahnya tak keruan,� ucapnya.
Dengan uang saku yang cuma 50 gulden setiap bulan, Tan hanya sanggup tinggal bersama keluarga miskin, E.A. Snijder, di Nassaulaan 29-Rood. Baru setelah mendapat pinjaman pendidikan 1.500 gulden dari Dana Pendidikan dan Studi Hindia belanda (NIOS)�atas bantuan pensiunan mayor jenderal A.N.J. Fabius�Ibrahim mendapatkan kamar lebih baik di rumah pasangan Gerrit van Der Mij di Jacobijnestraat 7-Rood. Di sini Tan, yang dipanggil Ipi oleh kawan-kawannya, menghuni sejak 24 April 1915 hingga 11 Juli 1916.
Sayangnya, keturunan keluarga Van Der Mij tak ada lagi. Menurut catatan administrasi Haarlem, Van Der Mij meninggal pada 1916, disusul wafatnya sang istri pada 1937. Adapun anak mereka satu-satunya, Hilbrand Anthonie van Der Mij, meninggal pada 1947 tanpa keturunan.
Hampir setiap hari Tan bersepeda menuju gedung Rijkweekschool di tepi Sungai Spaarne. Jaraknya 10 hingga 15 menit bersepeda. Pada 1915, Rijkweekschool pindah ke gedung baru di Leidsevaart, yang persis berhadapan dengan kanal kecil�yang bermuara di Sungai Spaarne. Tak seperti gedung lama yang diimpit oleh jalan dan tak punya halaman, gedung baru di Leidsevaart lebih besar dengan halaman depan yang luas. Untuk sampai ke sini setidaknya dibutuhkan waktu hingga 20 menit.
Perpindahan gedung ini tampaknya jadi kebanggaan Kota Haarlem kala itu, sehingga beritanya pun terbit dalam salah satu edisi koran Panorama pada 1915. Koran ini memuat foto seluruh siswa Rijkweekschool, termasuk Tan.
l l l
Semangat Tan menempuh pendidikan sekolah guru ke Belanda tak lepas dari campur tangan G.H. Horensma. Dia berhasil meyakinkan Direktur van der Ley bahwa Tan pintar dan cerdas. �Pemuda ini banyak bakat dan energinya, tingkah lakunya baik sekali, rapi dan gairah belajarnya besar,� tutur Van Der Ley kepada schoolopziener di Distrik Haarlem.
Di sekolah, Tan dapat mengatasi masalah pelajaran. Ia berbakat dalam ilmu pasti. Ini mengherankan para gurunya, yang berpikiran bahwa orang Hindia tak pandai ilmu pasti. Dia justru amat membenci ilmu tumbuh-tumbuhan karena harus menghafalnya. �Bencinya lebih besar ketimbang benci makan roti dan keju,� ujarnya.
Guru dan teman-temannya mudah menerima Tan yang pandai bergaul sekalipun ada kendala bahasa. Dia aktif bermain sepak bola dan main biola bersama orkes sekolah. Terkadang dia memamerkan tari-tarian Minangkabau kepada teman-temannya.
Untuk urusan sepak bola, ia dikenal memiliki tendangan yang kencang. Tan bergabung dengan klub Vlugheid Wint. Kakinya sering terluka lantaran tak bersepatu. Tan juga kerap mengabaikan peringatan teman-temannya agar mengenakan jaket tebal pada saat istirahat pertandingan. Bahkan dalam kondisi sakit pun, nafsu bermain sepak bola Tan tak padam.
Dengan kualitas makan yang buruk, kamar yang tak sehat, dan tak pernah mengenakan jaket tebal, Tan mulai terserang radang paru tepat pada musim panas 1915. Sejak itu, dia tak pernah seratus persen sehat. Pada awal 1916 kesehatannya mundur lagi sehingga sulit mengikuti pelajaran di sekolah. Bahkan ujian pun dilaluinya dalam kondisi ambruk.
l l l
Pondokan di Jacobijnestraat adalah tempat berseminya pemahaman politik Tan. Dia kerap terlibat diskusi hangat antara teman satu kos, Herman Wouters, seorang pengungsi Belgia yang melarikan diri dari serbuan Jerman, dan Van der Mij. Dari diskusi itu, Tan tersadar bahwa dunia tengah bergolak. Sekonyong-konyong, sebuah kata baru mulai jadi subyek misterius bagi Tan Malaka: revolusi.
Namun dia tak langsung menjadi partisipan aktif, �Politik bagi saya adalah terra incognita,� ucapnya. Dia lebih banyak mengamati dan mendengar sambil ikut-ikutan membaca De Telegraf, surat kabar yang anti-Jerman dan Het Volk yang rajin menyerukan pesan antikapitalisme dan antiimperialisme. De Telegraf adalah koran langganan Mij. Het Volk merupakan media yang selalu dibaca Wouters.
Tan Malaka tak bisa menghindar dari perkembangan politik dunia. Perang yang berkecamuk telah mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Selain membaca koran-koran �kiri�, dia mulai lapar informasi politik. De Vries semakin rajin dikunjungi termasuk toko buku lain di ujung Jacobijnestraat. Buku karya para filsuf dan pemikir populer pada zaman itu menjadi santapannya, seperti Thus Spoke Zarathustra dan Wille zur Macht (Will to Power) karya filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche. Begitu pula The French Revolution karya Thomas Carlyle, penulis esai ternama Skotlandia. Dari buku ini Tan Malaka mengenal semboyan liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan).
�Tiba-tiba saya berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner,� tutur Tan Malaka dalam tulisannya.
l l l
Tan meninggalkan Haarlem pada 1916 dan pindah ke Bussum. Jarak Haarlem-Bussum dengan kereta api biasa ditempuh selama satu setengah jam. Di kawasan Korte Singel, Bussum, dia tinggal bersama keluarga Rietze Koopmans. Rumah keluarga Koopmans masih berdiri hingga kini dan tetap sama seperti ketika Tan tinggal di sana hingga Mei 1918.
Rumah bercat putih gading dengan struktur kayu itu dikelilingi pohon rimbun. Penghuninya yang sekarang baru setahun menempati rumah yang sangat asri itu. Mereka pun antusias ketika mengetahui rumahnya dulu ditempati seorang tokoh nasional Indonesia. Sayangnya, pasangan ini menolak menyebut nama. Menurut mereka, setidaknya ada empat keluarga yang menghuni rumah itu sebelumnya.
Kepindahan ke Bussum membuat Tan Malaka lagi-lagi tersadar, hidup tak sekadar penjajah dan terjajah. Di kota ini dia menemukan pola hidup borjuis yang berjurang luas dengan proletar. Dia merasakan perbedaan yang mencolok antara gaya hidup mewah Koopmans dan keluarga Van der Mij yang proletar.
Revolusi Komunis yang meledak di Rusia pada Oktober 1917 juga memberi keyakinan pada Tan bahwa dunia sedang beralih ke sosialisme. Berbagai gagasan baru tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia dibangun berseliweran dalam benak Tan.
Lalu datanglah tawaran dari Suwardi Surjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara agar dia mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Deventer, Belanda. Di forum inilah, untuk pertama kali, Tan membeberkan gagasan, yang selama ini bersemayam dalam pikirannya, secara terbuka.
Berikutnya Tan tinggal di Gooilandscheweg, kawasan borjuis yang awet hingga kini. Ketika Tempo berkunjung, rumah itu sepi. Penghuninya sedang tak di tempat. Tetangga kanan-kiri berjauhan. Tan menulis, daerah Gooilandscheweg memang daerah borjuis, dipenuhi rumah peristirahatan nan cantik yang jaraknya berjauhan.
Di rumah ini Tan mulai putus asa karena tak lulus ujian untuk izin mengajar sebagai guru di Belanda. Padahal dia harus mulai bekerja agar bisa membayar utangnya kepada NIOS. Pada saat yang sama, dia semakin aktif mengunjungi rapat-rapat Indie Weerbaar (Pertahanan untuk Hindia), yang sering diadakan Himpunan Hindia.
Sebagai pelajar dari bangsa terjajah, Tan Malaka akhirnya merasa sudah saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari penjajahan dan mulai membangun sistem sosialisme. Setelah gagal mendapatkan izin mengajar namun mendapat banyak pelajaran penting tentang politik selama enam tahun, Tan memutuskan pulang ke Indonesia pada 1919.
Tan pulang hanya dengan satu cita-cita: mengubah nasib bangsa Indonesia. Sayangnya, karena cita-cita ini jugalah Ibrahim harus kembali lagi ke Belanda pada 1922. Kali ini bukan sebagai pelajar, melainkan buangan politik.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India