Selasa, 12 Agustus 2008

Cita-cita Revolusi dari Tanah Haarlem

Tan Malaka pergi ke Belanda untuk sekolah guru. Ia pulang ke Indonesia dengan satu tekad: revolusi.
------------------------
HAARLEM, 2008. Lautan turis, penuh warna, dan berseri-seri. Para pelancong memenuhi kafe di sekitar Grote Markt yang dikelilingi bangunan bersejarah. Ada Vleeshal, pasar daging yang kini menjadi museum; Grote Kerk atau Sint Bavokerk, gereja terbesar yang menyimpan salah satu organ termegah di dunia dan pernah dimainkan Mozart ketika berumur 10 tahun; dan tentu saja, gedung City Hall, pusat administrasi Kota Haarlem.
Di Haarlem inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka menginjakkan kaki pertama kali di Negeri Kincir Angin pada akhir 1913. Tak sulit membayangkan bagaimana Ibrahim menjalani kehidupan sehari-hari sebagai siswa sekolah guru Rijkweekschool di kota kecil bagian utara Belanda ini.
Wajah Haarlem tak banyak berubah. Struktur tata kotanya masih seperti ketika Perang Dunia Pertama dimulai. Gedung-gedung bersejarah masih berdiri, dengan komposisi yang masih sama. Hanya fungsi dari bangunan-bangunan tua yang berbeda.
Tan Malaka tinggal pertama di sebuah rumah pemondokan bersama beberapa murid Rijkweekschool di Jalan Nassaulaan, yang sekarang menjadi jalan utama yang membatasi bagian kota tua dengan bagian baru yang merupakan perluasan Kota Haarlem. Rumah yang dipilih oleh direktur sekolah guru PH Van Der Ley itu masih berdiri hingga sekarang. Lantai dasarnya menjadi semacam studio pembuatan perlengkapan dapur. Dindingnya terdiri dari bata merah. Untuk mencapai sekolah guru, Tan tinggal berjalan kaki saja.
Tapi Tan tak betah di sana. Ia pindah ke Jacobijnestraat, sebuah jalan kecil di belakang Grote Markt ini berlapis batu-batu tua yang lebarnya tak lebih dari lima meter. Jalan ini biasanya hanya dilalui pengendara sepeda.
Rumah-rumah tua dan kecil yang terlihat seperti berdesak-an di pengujung jalan ini adalah tipikal rumah buruh miskin di Haarlem awal abad ke-20. �Di sebuah rumah kecil, saya mendiami kamar loteng yang sempit dan gelap,� demikian tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara. Rumah ini masih berdiri meski ringkih dimakan usia. Tapi dengan polesan yang cantik, rumah ini kini sedang berhias menjadi toko bunga dan butik nan elegan.
Berdampingan dengan rumah itu adalah Toko Buku De Vries. Toko buku inilah yang menjadi tempat yang disukai Tan selama tinggal di Jacobijnestraat. Toko buku yang dulunya menjual buku bekas itu sekarang menjual buku baru.
Loteng sempit yang diceritakan oleh Tan juga masih ada walaupun tak bisa dikunjungi karena berbeda kepemilikan dengan toko di bawahnya. Dari luar terlihat loteng itu memang sangat kecil dengan ukuran jendela yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi.
Menurut Dian Purnamasari, warga Indonesia yang tinggal di Haarlem, Jacobijnestraat dulunya adalah daerah permukiman buruh. Sekarang tempat itu merupakan daerah mahal yang akan diubah menjadi salah satu daerah chic karena lokasinya yang strategis persis di tengah kota.
l l l
Kedatangan Tan Malaka di Belanda disambut aura kemiskinan Haarlem yang sedang jatuh-bangun menghadapi depresi ekonomi. Ratusan pabrik penyulingan bir gulung tikar. Pabrik tekstil yang sempat menjadi tulang punggung kota ini juga bertumbangan. �Belum lama di Belanda, sudah terasa konflik antara jasmani dan keadaan,� kata Tan dalam tulisannya.
Dalam kondisi seperti itulah, Ibrahim memulai pendidikannya sebagai calon guru. Dia harus cepat menyesuaikan diri dengan masyarakat, iklim, serta kehidupan yang baru. Tapi yang paling sulit adalah mencerna makanan khas Eropa. �Bahan makanannya memang baik dan berzat, tapi cara pengolahnya tak keruan,� ucapnya.
Dengan uang saku yang cuma 50 gulden setiap bulan, Tan hanya sanggup tinggal bersama keluarga miskin, E.A. Snijder, di Nassaulaan 29-Rood. Baru setelah mendapat pinjaman pendidikan 1.500 gulden dari Dana Pendidikan dan Studi Hindia belanda (NIOS)�atas bantuan pensiunan mayor jenderal A.N.J. Fabius�Ibrahim mendapatkan kamar lebih baik di rumah pasangan Gerrit van Der Mij di Jacobijnestraat 7-Rood. Di sini Tan, yang dipanggil Ipi oleh kawan-kawannya, menghuni sejak 24 April 1915 hingga 11 Juli 1916.
Sayangnya, keturunan keluarga Van Der Mij tak ada lagi. Menurut catatan administrasi Haarlem, Van Der Mij meninggal pada 1916, disusul wafatnya sang istri pada 1937. Adapun anak mereka satu-satunya, Hilbrand Anthonie van Der Mij, meninggal pada 1947 tanpa keturunan.
Hampir setiap hari Tan bersepeda menuju gedung Rijkweekschool di tepi Sungai Spaarne. Jaraknya 10 hingga 15 menit bersepeda. Pada 1915, Rijkweekschool pindah ke gedung baru di Leidsevaart, yang persis berhadapan dengan kanal kecil�yang bermuara di Sungai Spaarne. Tak seperti gedung lama yang diimpit oleh jalan dan tak punya halaman, gedung baru di Leidsevaart lebih besar dengan halaman depan yang luas. Untuk sampai ke sini setidaknya dibutuhkan waktu hingga 20 menit.
Perpindahan gedung ini tampaknya jadi kebanggaan Kota Haarlem kala itu, sehingga beritanya pun terbit dalam salah satu edisi koran Panorama pada 1915. Koran ini memuat foto seluruh siswa Rijkweekschool, termasuk Tan.
l l l
Semangat Tan menempuh pendidikan sekolah guru ke Belanda tak lepas dari campur tangan G.H. Horensma. Dia berhasil meyakinkan Direktur van der Ley bahwa Tan pintar dan cerdas. �Pemuda ini banyak bakat dan energinya, tingkah lakunya baik sekali, rapi dan gairah belajarnya besar,� tutur Van Der Ley kepada schoolopziener di Distrik Haarlem.
Di sekolah, Tan dapat mengatasi masalah pelajaran. Ia berbakat dalam ilmu pasti. Ini mengherankan para gurunya, yang berpikiran bahwa orang Hindia tak pandai ilmu pasti. Dia justru amat membenci ilmu tumbuh-tumbuhan karena harus menghafalnya. �Bencinya lebih besar ketimbang benci makan roti dan keju,� ujarnya.
Guru dan teman-temannya mudah menerima Tan yang pandai bergaul sekalipun ada kendala bahasa. Dia aktif bermain sepak bola dan main biola bersama orkes sekolah. Terkadang dia memamerkan tari-tarian Minangkabau kepada teman-temannya.
Untuk urusan sepak bola, ia dikenal memiliki tendangan yang kencang. Tan bergabung dengan klub Vlugheid Wint. Kakinya sering terluka lantaran tak bersepatu. Tan juga kerap mengabaikan peringatan teman-temannya agar mengenakan jaket tebal pada saat istirahat pertandingan. Bahkan dalam kondisi sakit pun, nafsu bermain sepak bola Tan tak padam.
Dengan kualitas makan yang buruk, kamar yang tak sehat, dan tak pernah mengenakan jaket tebal, Tan mulai terserang radang paru tepat pada musim panas 1915. Sejak itu, dia tak pernah seratus persen sehat. Pada awal 1916 kesehatannya mundur lagi sehingga sulit mengikuti pelajaran di sekolah. Bahkan ujian pun dilaluinya dalam kondisi ambruk.
l l l
Pondokan di Jacobijnestraat adalah tempat berseminya pemahaman politik Tan. Dia kerap terlibat diskusi hangat antara teman satu kos, Herman Wouters, seorang pengungsi Belgia yang melarikan diri dari serbuan Jerman, dan Van der Mij. Dari diskusi itu, Tan tersadar bahwa dunia tengah bergolak. Sekonyong-konyong, sebuah kata baru mulai jadi subyek misterius bagi Tan Malaka: revolusi.
Namun dia tak langsung menjadi partisipan aktif, �Politik bagi saya adalah terra incognita,� ucapnya. Dia lebih banyak mengamati dan mendengar sambil ikut-ikutan membaca De Telegraf, surat kabar yang anti-Jerman dan Het Volk yang rajin menyerukan pesan antikapitalisme dan antiimperialisme. De Telegraf adalah koran langganan Mij. Het Volk merupakan media yang selalu dibaca Wouters.
Tan Malaka tak bisa menghindar dari perkembangan politik dunia. Perang yang berkecamuk telah mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Selain membaca koran-koran �kiri�, dia mulai lapar informasi politik. De Vries semakin rajin dikunjungi termasuk toko buku lain di ujung Jacobijnestraat. Buku karya para filsuf dan pemikir populer pada zaman itu menjadi santapannya, seperti Thus Spoke Zarathustra dan Wille zur Macht (Will to Power) karya filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche. Begitu pula The French Revolution karya Thomas Carlyle, penulis esai ternama Skotlandia. Dari buku ini Tan Malaka mengenal semboyan liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan).
�Tiba-tiba saya berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner,� tutur Tan Malaka dalam tulisannya.
l l l
Tan meninggalkan Haarlem pada 1916 dan pindah ke Bussum. Jarak Haarlem-Bussum dengan kereta api biasa ditempuh selama satu setengah jam. Di kawasan Korte Singel, Bussum, dia tinggal bersama keluarga Rietze Koopmans. Rumah keluarga Koopmans masih berdiri hingga kini dan tetap sama seperti ketika Tan tinggal di sana hingga Mei 1918.
Rumah bercat putih gading dengan struktur kayu itu dikelilingi pohon rimbun. Penghuninya yang sekarang baru setahun menempati rumah yang sangat asri itu. Mereka pun antusias ketika mengetahui rumahnya dulu ditempati seorang tokoh nasional Indonesia. Sayangnya, pasangan ini menolak menyebut nama. Menurut mereka, setidaknya ada empat keluarga yang menghuni rumah itu sebelumnya.
Kepindahan ke Bussum membuat Tan Malaka lagi-lagi tersadar, hidup tak sekadar penjajah dan terjajah. Di kota ini dia menemukan pola hidup borjuis yang berjurang luas dengan proletar. Dia merasakan perbedaan yang mencolok antara gaya hidup mewah Koopmans dan keluarga Van der Mij yang proletar.
Revolusi Komunis yang meledak di Rusia pada Oktober 1917 juga memberi keyakinan pada Tan bahwa dunia sedang beralih ke sosialisme. Berbagai gagasan baru tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia dibangun berseliweran dalam benak Tan.
Lalu datanglah tawaran dari Suwardi Surjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara agar dia mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Deventer, Belanda. Di forum inilah, untuk pertama kali, Tan membeberkan gagasan, yang selama ini bersemayam dalam pikirannya, secara terbuka.
Berikutnya Tan tinggal di Gooilandscheweg, kawasan borjuis yang awet hingga kini. Ketika Tempo berkunjung, rumah itu sepi. Penghuninya sedang tak di tempat. Tetangga kanan-kiri berjauhan. Tan menulis, daerah Gooilandscheweg memang daerah borjuis, dipenuhi rumah peristirahatan nan cantik yang jaraknya berjauhan.
Di rumah ini Tan mulai putus asa karena tak lulus ujian untuk izin mengajar sebagai guru di Belanda. Padahal dia harus mulai bekerja agar bisa membayar utangnya kepada NIOS. Pada saat yang sama, dia semakin aktif mengunjungi rapat-rapat Indie Weerbaar (Pertahanan untuk Hindia), yang sering diadakan Himpunan Hindia.
Sebagai pelajar dari bangsa terjajah, Tan Malaka akhirnya merasa sudah saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari penjajahan dan mulai membangun sistem sosialisme. Setelah gagal mendapatkan izin mengajar namun mendapat banyak pelajaran penting tentang politik selama enam tahun, Tan memutuskan pulang ke Indonesia pada 1919.
Tan pulang hanya dengan satu cita-cita: mengubah nasib bangsa Indonesia. Sayangnya, karena cita-cita ini jugalah Ibrahim harus kembali lagi ke Belanda pada 1922. Kali ini bukan sebagai pelajar, melainkan buangan politik.

Macan dari Lembah Suliki

Jejak hidup dan pemikirannya terentang dari lembah sepi Suliki di Payakumbuh, Sumatera Barat, hingga Moskow di belahan timur Eropa.
Sejak kecil dia adalah si badung yang gandrung tantangan sampai mendapat julukan si Macan. Hidup sang Macan ternyata sunyi dari romansa. Tiga kali jatuh cinta, semuanya pupus di tengah jalan: Tan tidak pernah menikah. Perhatiannya hanya untuk perjuangan.
-------------------
HAMPIR dua abad berlalu, rumah gadang di Nagari Pandan Gadang masih kukuh berdiri. Atap ijuk memang sudah berganti seng, tapi tiang kayu utama, dinding, dan lantai tak tergantikan. Jendela-jendela berkaca patri juga sebagian masih terawat. Di teras tertera tulisan �Tan Malaka�. Rumah itu terletak seratus meter dari jalan raya yang melintasi Suliki, Payakumbuh, 120 kilometer timur laut Padang.
Rumah ini tadinya didiami keturunan keluarga besar Tan Malaka. Tapi, sejak Februari 2008, rumah itu beralih fungsi menjadi museum. Buku-buku karya Tan dipajang di lemari kaca. Baju adat saat penyematan gelar, tempat tidur, dan foto-foto Tan juga ada di situ. �Barang-barang ini dikumpulkan oleh keluarga,� kata Hengky Novaron, salah satu keturunan yang kini menjadi pemangku gelar Datuk Tan Malaka.
Hampir seabad lampau, pada 1912, gelar Datuk Tan Malaka disematkan kepada remaja bernama Ibrahim. Rumah gadang itulah tempat Ibra, begitu dia dipanggil, dibesarkan. Sebuah rumah bersejarah karena pernah menjadi dapur umum pada masa perang Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia.
Ibra dilahirkan di sebuah surau�juga dijadikan tempat tinggal�yang cuma beberapa langkah dari rumah gadang. Kini surau itu tidak ada. Tanah tempat surau itu berdiri telah menjadi sawah.
Tak ada catatan resmi dan meyakinkan ihwal tanggal lahir Tan Malaka. Satu-satunya penulis yang lengkap menyebut waktu kelahirannya, yakni 2 Juni 1897, adalah Djamaluddin Tamim, teman seperjuangan Tan, dalam Kematian Tan Malaka. Ayah Tan, Rasad, berasal dari puak Chaniago, sedangkan ibunya, Sinah, berpuak Simabur. Ibra adalah sulung dari dua bersaudara. Adiknya bernama Kamaruddin, enam tahun lebih muda daripada sang kakak.
Syahdan, menurut penuturan Tan kepada Djamaluddin, leluhur Tan Malaka dari garis ibu adalah pendatang dari Kamang, Bukittinggi. Mereka meninggalkan Kamang karena tanah di sana kurang subur. Pada awal abad ke-19, mereka berkelana mencari tempat baru. Dalam perjalanan ke utara, mereka singgah di sebuah lembah. Mereka mendapati serumpun pandan besar yang di bawahnya mengalir mata air. Lembah subur inilah yang dipilih menjadi tempat tumbuh beranak-pinak.
Dari pihak ayah, Zulfikar, keponakan Tan, menuturkan bahwa leluhurnya datang dari Bonjol, utara Payakumbuh, ketika pecah Perang Paderi. �Waktu itu keluarga kami lari dan menetap di lembah Pandan Gadang,� kata putra Kamaruddin ini. Meski cuma 23 kilometer dari pusat Kota Payakumbuh, lembah ini susah dijangkau karena jalan yang rumit berliku.
Pemerintah kolonial Belanda menempatkan seorang kontrolir, pejabat setingkat camat, di Pandan Gadang. Penanda kekuasaan Belanda pada waktu itu adalah penduduk diwajibkan menanam kopi di seperlima lahan untuk diserahkan kepada pemerintah. Pada 1908 pemerintah Belanda mengganti kewajiban tanam kopi menjadi pajak.
Keluarga Ibra mendiami sebuah rumah gadang milik kaum, lengkap dengan lumbung padi, surau, dan beberapa kolam ikan. Pandan Gadang mirip lukisan-lukisan pemandangan desa yang terpajang di pasar seni. Berlatar perbukitan, dirimbuni pohon kelapa, lengkap dengan sungai dan hamparan sawah. Kehidupan warga kampung tidak terlalu sulit. Alam begitu pemurah. Sawah dipanen dua kali setahun. Air gunung siap mengaliri sawah dan mengisi empang sepanjang tahun. �Kami memang bukan orang berada, tapi semua di lembah itu adalah milik kami,� ujar Zulfikar, yang kini berusia 60-an tahun.
l l l
Ibra adalah potret bocah lelaki Minangkabau. Gemar sepak bola, main layang-layang, dan berenang di sungai. Selepas magrib dia mengaji, lalu tidur di surau. Anak lelaki, begitu kelaziman setempat, segan menginap di rumah ibunya. �Ibra seorang anak pemberani, bandel, dan nekat, tapi tak pernah meninggalkan sembahyang. Ia hafal Quran,� kata Zulfikar, mengenang kesaksian Kamaruddin.
Soal bandel dan nekat ini dikisahkan Tan dalam Dari Penjara ke Penjara Jilid I. Ketika mengunjungi ayahnya yang ditugaskan di Tanjung Ampalu, Sawahlunto, Ibra ditantang anak-anak setempat buat menyeberang Sungai Ombilin. Orang dewasa pun kewalahan menyeberang sungai selebar 50 meter itu karena arusnya deras. Tapi Ibra memenuhi tantangan itu. �Maka tewaslah napas dan hilanglah ingatan diombang-ambingkan ombak deras.�
Tubuh lemah Ibra terapung di sungai. Beruntung seorang teman bertubuh besar menyeretnya ke tepian sungai. �Setelah ingatan kembali, tiba-tiba Ibu sudah berada di depan saya dan siap memukulkan rotan sebagai pelajaran.� Baru beberapa kali kena pukul, Ibra �diselamatkan� ayahnya. Demi menghindarkan Ibra dari pukulan sang ibu, Ibra diikat Rasad di pinggir jalan dan menjadi tontonan anak-anak.
Sinah tak habis akal. Dia lantas mengadukan anaknya sendiri ke Guru Gadang (guru kepala). Akibatnya, Ibra kena hukuman yang paling mengerikan buat anak-anak ketika itu: jewer puser. Entah karena kelewat badung entah sial, selanjutnya Ibra sudah terbiasa dengan jewer puser ini. Bahkan kerap ia merasa selalu menjadi anak yang paling dipersalahkan dan satu-satunya yang dihukum.
"Sampai sekarang saya masih heran kenapa saya saja yang menjadi sasaran pilin pusar (jewer pusar) itu. Pernah dilakukan setelah saya hampir hanyut karena menyelam di bawah perahu yang menyeberang sungai. Lain kali ketika main sembur-semburan air. Pernah pula ketika permainan 'perang jeruk' yang berujung saling lempar batu. Saya dihukum seperti 'penjahat perang', dikurung di kandang ayam dan pilin pusar itu juga."
Si badung, untungnya, amat cerdas hingga terbit kagum para guru di Sekolah Kelas Dua. Mereka merekomendasikan Ibra untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Negeri untuk Guru-guru Pribumi di Fort de Kock�sekarang Bukittinggi. Ini satu-satunya lembaga lanjutan bagi lulusan Sekolah Kelas Dua, setelah menempuh pendidikan lima tahun.
Bukan perkara gampang masuk Fort de Kock. Sebutannya saja �Sekolah Raja�. Cuma anak ningrat atau pegawai tinggi yang bisa masuk sekolah itu.
Ayah Ibra hanya pegawai rendahan. Sakti Agra, dalam buku Tan Malaka Datang, menyebut Rasad bekerja sebagai mantri suntik atau vaksinator. Tapi, menurut cerita Kamaruddin, ayahnya adalah mantri yang bertugas mengatur distribusi garam�yang dimonopoli penguasa�di kampung. Yang jelas, keduanya jenis pegawai rendah yang cuma bergaji belasan gulden (f). Padahal biaya makan per bulan saja Ibra memerlukan sekitar f 8.
Para guru Sekolah Kelas Dua tak putus asa. Mereka tetap berjuang agar Ibra bisa sekolah ke kota benteng. Asal-usul keluarga Ibra, dari pihak ibu, dianggap cukup untuk alasan mendaftar. Tan Malaka senior adalah salah satu pendiri Pandan Gadang dan juga membawahkan beberapa datuk.
Fakta itu ditambahi keterangan tentang kecerdasan Ibra yang luar biasa, meski waktunya lebih banyak habis buat main bola dan renang. Walhasil, pada 1907 Ibra terdaftar di Fort de Kock.
l l l
Rudolf Mrazeck, penulis buku Tan Malaka, menyebut Fort de Kock adalah rantau pertama Ibra. Para tetua kampung melepasnya. Merantau adalah jiwa masyarakat Minangkabau. Seorang perantau diyakini bakal membawa nilai-nilai kebaikan yang ada di dunia luar sana. Sistem matrilineal, juga adat anak lelaki yang tidur di luar rumah, adalah sebagian instrumen yang mendorong lelaki yang beranjak dewasa segera �terusir� dari kampung.
Di Bukittinggi, Ibra berkenalan dengan budaya negeri penjajahnya. Dia belajar bahasa Belanda. Dia bergabung dengan orkes sekolah sebagai pemain cello, di bawah pimpinan G.H. Horensma. Hobi lamanya juga tak pernah hilang: main sepak bola. Sama seperti di kampung, Ibra�yang dipanggil Ipie oleh Horensma�banyak menghabiskan waktu luangnya buat sepak bola.
Horensma di kemudian hari menganggap Ipie seperti anaknya sendiri. Dia sering mengingatkan Ipie agar meluangkan waktu lebih banyak buat belajar. Tapi sia-sia. Anak pedalaman Suliki ini tetap saja gemar bermain. Untung saja, si badung memang cerdas. Dia tak perlu mengulang untuk menyerap pelajaran. Ia selalu menjadi siswa yang paling cerdas hingga Horensma begitu terkesima. Ipie juga dikenal sebagai sosok santun dan ramah.
Ketika musim liburan tiba, Ipie kembali ke Pandan Gadang. Di rumah, ia memastikan adiknya, Kamaruddin, belajar sungguh-sungguh. Ia memang tidak mengajari adiknya, �Tapi dia marah jika adiknya yang cuma satu itu mendapat nilai rendah,� kata Zulfikar. Pernah suatu ketika Kamaruddin mendapat nilai merah. Tak banyak cakap, Ipie menyeret adiknya ke empang dan berulang kali membenamkannya. �Bodoh, kamu harus belajar!�
Setahun sebelum ujian teori akhir, Ipie dipanggil pulang oleh keluarga besar di Suliki. Ia harus menerima penobatan sebagai pemangku Datuk Tan Malaka, menggantikan pemegang gelar terdahulu yang sudah uzur. Sudah menjadi adat, pelekatan gelar disertai pertunangan yang telah diatur keluarga. Tapi Ipie menolak dijodohkan. Penolakan itu mengecewakan keluarga besar. Suasana pesta pun kurang meriah.
Kembali ke Fort de Kock, Ipie tenggelam dalam pelajaran dan hobinya. Pada 1913 ia merampungkan ujian teori akhir dan ikut praktek mengajar di sekolah rendah pribumi. Entah kenapa, Ipie tidak menyelesaikan masa praktek yang tinggal satu tahun. Di sekolah rendah ini, dia mendapat kesenangan baru: mengajar baris-berbaris. Kelak, di Eropa, ketertarikan pada dunia militer mendorong Ipie melamar sebagai legiun asing tentara Jerman. Sayangnya, Jerman tidak membentuk legiun asing. Impian Tan memasuki dunia militer tak tercapai.
Horensma menyarankan agar sang datuk muda belajar di Belanda. Atas bantuan W. Dominicus, kontrolir Suliki, pemuka warga mengumpulkan f 30 per bulan untuk biaya sekolah Ipie di Belanda, Rijkskweekschool. Jaminannya adalah harta keluarga Tan Malaka. Ia harus kembali setelah tiga tahun dan membayar utang itu dengan gajinya. Kelak, utang itu tak terbayar dan dilunasi Horensma. Ipie pun cuma dua-tiga kali mencicil kepada Horensma.
Ipie menyertai Horensma ke Belanda pada Oktober 1913. Dari keluarga, hanya Kamaruddin yang melepasnya di Teluk Bayur. Menurut Zulfikar, setelah kepergian itu, Ipie putus hubungan dengan keluarga. Ia cuma dua kali menyambangi Suliki, itu pun sebentar, pada 1919 dan 1942. Satu-satunya surat yang ia kirim justru ditujukan ke Syarifah�siswi semata wayang di Fort de Kock. �Isinya ungkapan cinta, tapi tak berbalas,� kata Zulfikar.
Dari Bukittinggi, cakrawala Ibra betul-betul meluas. Dia kemudian menjejakkan kaki dan turut mengukir sejarah melalui persinggahannya di berbagai kota dunia, dari Manila sampai Rusia.

Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku

AWAL tahun 1926. Di Tanah Air, revolusi sudah �hamil tua�. Dari persembunyiannya di Geylang Serai, Singapura, buru-buru Tan menulis buku sepanjang 129 halaman agar kelahirannya yang prematur, menurut dia, bisa dicegah. Sialnya, pesan berjudul Massa Actie in Indonesia itu terlambat keluar dari percetakan. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926 sama sekali gagal menggoyang kekuasaan Belanda. Banyak pendukung terbunuh, para pemimpin dipenjarakan dan dibuang.
Targetnya tidak kesampaian, tapi Massa Actie kemudian justru disambut penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memang sedang panas saat itu; gerakan antikolonialisme menggeliat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dan seperti api kecil yang bermunculan di sana-sini, Massa Actie adalah minyak tanah yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah ringkas akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.
Di dalam Massa Actie, Tan membongkar kultur takhayul yang mendarah daging di bangsa ini, memperkenalkan macam-macam imperialisme, menunjukkan apa arti revolusi, dan menunjukkan bagaimana kekuatan rakyat bisa dimanfaatkan. Inilah semacam cetak biru bagi revolusi massa; desakan kuat dari bawah untuk mendorong perubahan. �Massa aksi terjadi dari orang banyak yang bergerak,� katanya.
Tan memperkenalkan pula kepada sesama rakyat di negeri terjajah akan pentingnya persatuan di bawah bendera Federasi Republik Indonesia; gabungan Indonesia Selatan, tempat bercokolnya Hindia Belanda, dan Indonesia Utara, alias Filipina, yang dijajah Amerika. Termasuk Semenanjung Malaka, yang ada di bawah kuasa Inggris. �Mari kita satukan 100.000.000 yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan lalu lintas seluruh benua Asia dan samuderanya,� Tan menulis.
Dan Massa Actie pun memberikan pedoman aksi bagi kemerdekaan. Satu yang hangat diingat Hadidjojo Nitimihardjo. Ia putra Maruto Nitimihardjo, Ketua Indonesische Studieclub yang bersama kelompoknya mengadakan Kongres Pemuda Indonesia pada 26-28 Oktober 1928. Menurut Hadidjojo kepada Tempo, saat itu Maruto dan aktivis lain, Sugondo Djojopuspito, menggandeng seorang pemuda bertubuh ceking berwajah tirus. Dialah Wage Rudolf Supratman.
�W.R. Supratman sudah membaca seluruh buku Massa Actie itu,� kata Hadidjojo. Muhammad Yaminlah yang memaksa Sugondo memberikan waktu bagi Supratman memainkan lagu ciptaannya di situ. Lalu bergemalah lagu Indonesia Raya, lagu yang terinspirasi dari bagian akhir Massa Actie: �Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.�

No Le Toqueis, Jawa!

Filipina adalah tanah air Tan yang kedua. Pesakitan di negeri sendiri, Tan justru dielu-elukan di Manila.
-------------------------
WAJAH Quezon langsung sumringah bila berbicara tentang Tan Malaka. Dalam Apa dan Siapa Tan Malaka, Muhammad Yamin mencatat betapa bekas ketua senat dan presiden Filipina itu tersenyum lebar ketika menyebut Tan, seorang kawan lama yang memanggil negeri pinoy itu dengan nama intim: Indonesia Utara.
Tan tak pernah tinggal lama di Filipina. Tapi kehadirannya membawa angin segar bagi gerakan nasionalis yang makin mekar setelah pahlawan mereka, Jose Rizal, dieksekusi pada 1896. Saat Tan ke sana, dua dekade sudah berlalu sejak Spanyol kalah perang. Ratusan ribu hingga satu juta orang Filipina tewas saat Amerika Serikat masuk. Jadilah negeri ini koloni dengan julukan berbau rasis, �saudara kecil kita yang berkulit cokelat�.
Sepanjang 1925-1927, Tan tiga kali mondar-mandir ke Manila. Paspornya berganti-ganti: Hasan Gozali, Elias Fuentes, Estahislau Rivera, Howard Law, atau Cheung Kun Tat. Tan berpindah-pindah tempat, menumpang di teman-teman yang menghargai perjuangan dia sebagai pejuang antikolonial yang eksil dari Hindia Belanda.
Tan sendiri awalnya hanya ingin tetirah, istirahat dari kesibukan mendirikan organisasi Komintern (Komunis Internasional) biro Kanton. Lagi pula, hawa Kanton yang super dingin tak cocok bagi paru-parunya. Tapi Filipina selalu istimewa di dalam hatinya. Inilah satu simpul dari pertautan Aslia, singkatan dari Annam (Vietnam), Siam (Thailand), Burma, Filipina, Malaka (Malaysia-Singapura), dan Australia Utara. Sudah lama ia percaya negeri-negeri yang berpaut sejarah sejak 5.000 tahun lalu ini mesti bangkit dari kolonialisme dan bergabung di bawah Federasi Republik Indonesia. Gagasan itu dituangkan dalam naskah buku berjudul Aslia, yang ditulis bersamaan dengan Madilog, hampir dua dekade setelah ia ke Filipina. Sayang, naskahnya tak ditemukan hingga sekarang.
Dalam biografi Dari Penjara ke Penjara, Tan mengatakan belajar bahasa Tagalog dari Nona Carmen, putri bekas pemberontak Filipina, yang bersama ibunya mengelola sebuah asrama Filipina di Kanton. Di asrama ini ia berkenalan dengan Mariano Santos, dosen Filipina yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Lewat Apolinario, kakak Mariano yang punya posisi tinggi di Manila University, Tan mendapat tumpangan pertama. Darinya pula Tan mengenal Francisco Verona, seorang pemimpin serikat buruh, dan mulai menulis teratur di harian yang dipimpin Verona, El Debate.
Tan kemudian banyak bergaul dengan kalangan serikat buruh, wartawan, dan kaum nasionalis. Partai Komunis Filipina memang belum terbentuk hingga 1930, tapi Harry Poeze dalam Pergulatan Menuju Republik: Tan Malaka 1925-1945 mengatakan Tan bergaul akrab dengan mereka yang kemudian terlibat di dalamnya. Antara lain Crisando Evangelista, pemimpin serikat buruh kiri seperti Capadcia, Balgos, dan Dominggus Ponce dari gabungan serikat buruh Legianaros del Trabajo.
Tan senang hidup di Filipina. Teman banyak, dukungan luas, dan udaranya mirip dengan Tanah Air�meski beberapa kali ia sempat jatuh sakit. Poeze menduga di sinilah bukunya, Naar de Republiek Indonesia, dicetak kedua kalinya, meski dalam kata pengantar Tan menyebut �Kanton dan Tokyo, 1925�. �Tokyo sebagai tempat penerbitan dimaksudkan untuk menipu polisi,� Poeze menulis.
Gerak-gerik klandestin khas Tan berakhir ketika seorang pemburu hadiah menjebaknya di kantor El Debate suatu malam. Rupanya, korespondensi antara polisi rahasia Amerika, Inggris, dan Belanda sudah demikian giat mencari jejaknya enam bulan terakhir. Sehari setelah ia ditangkap, 13 Agustus 1927, Tan mengisi halaman muka The Philippine Herald dengan huruf besar-besar: �Seorang Jawa yang diduga agen Bolsyewik yang selama beberapa waktu diamat-amati polisi sehubungan dengan tersebarnya propaganda Bolsyewik di Filipina tertangkap malam lalu oleh polisi dan dinas rahasia.�
Ramailah surat kabar Filipina, yang di bawah koloni Amerika tergolong lumayan bebas, oleh berita tentang Tan. La Vangardia mengemukakan alasan Tan ditangkap: permohonan dari pemerintah Hindia Belanda. The Manila Daily Bulletin mengungkapkan hal serupa. La Vangardia dan La Opinion mengungkapkan simpati terhadap perjuangan Tan. Bahkan harian Taliba menyatakan malu Tan terancam diusir. Mereka ingin Tan diberi suaka di Filipina.
Lihatlah sebuah kartun di harian El Debate yang menggambarkan guardia civil, polisi koloni yang represif, yang berusaha menangkap Tan. Sedangkan Tan berada dalam bayang-bayang dua ikon revolusi Filipina: Jose Rizal dan Plaridel, julukan bagi Marcelo del Pillar, pahlawan kemerdekaan yang tewas dalam pembuangan di Barcelona, 1896. �No Le Toqueis!� katanya. Artinya, �Jangan Tangkap!�
Tan bebas setelah pendukungnya membayar 6.000 peso sebagai jaminan. Tapi kasusnya batal ke pengadilan karena pemerintah kolonial Amerika keburu mengusirnya dengan tuduhan paspor palsu. Bukan cuma itu, sahabat-sahabat Tan yang terpandang bisa ikut terseret.
Tan pun pergi, meski berat hati. �Karena membawa-bawa orang-orang yang memberi pertolongan dengan ikhlas dan maksud baik, saya mengalah,� katanya. Tak kurang dari Emilio Aguinaldo, pemimpin pemberontakan 1898 yang kemudian didaulat menjadi Presiden Filipina pertama, ikut menyatakan Tan sebagai �seorang patriot, pemimpin besar revolusioner, yang layak mendapat suaka�.
Seperti diungkapkan Quezon kepada Yamin, para pendukung Tan ini kemudian memberinya sangu 3.000 dolar untuk menempuh perjalanan menuju Amoy (Xiemen). Quezon mengatakan rakyat Filipina sangat hormat terhadapnya.
�Waktu dia akan ke pelabuhan, dia melewati patung Jose Rizal. Hati sangat terharu melihat dua orang pahlawan: yang satu patung telah menjadi batu, yang lain masih hidup berjiwa. Dua orang pahlawan kemerdekaan; pahlawan tuan-tuan dan pahlawan kami. Sungguhlah tuan kaya! Jadi bukakan pintu dan jendela supaya penganjur masuk dari luar!� Manuel Quezon berseru-seru.

Penggagas Awal Republik Indonesia

BERKELANA sebagai orang buangan di saat rekan-rekannya di Tanah Air berjuang melawan imperialis membuat Ibrahim Datuk Tan Malaka nelangsa. Ia kian kesal ketika permohonannya untuk kembali ke Jawa ditolak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock. Padahal keinginannya mengabdi kepada partai dan rakyat begitu menggebu-gebu.
Maka, di sela-sela tugasnya sebagai agen Komintern di Tiongkok, Tan pun menulis sebuah brosur panjang: Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dalam kata pengantar, dia menulis: �Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan terpelajar (intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat.�
Naar de Republiek terbit di Kanton pada April 1925. Tak jelas berapa eksemplar brosur ini dicetak. Yang pasti, cuma beberapa buah yang berhasil masuk ke Indonesia. Tan kembali mencetak tulisan panjang itu ketika dia berada di Filipina pada Desember 1925. Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia. Para pemuda bahkan mengetik ulang buku ini�setiap kali dengan karbon rangkap tujuh.
Para pemimpin perjuangan, termasuk Bung Karno yang kala itu memimpin Klub Debat Bandung, membaca buku Tan. �Bung Karno selalu membawanya,� kata Sayuti Melik, seperti dikutip Hadidjojo Nitimihardjo dalam pengantar edisi terjemahan Naar de Republiek.
Buku kecil ini terdiri atas tiga bab, masing-masing mengulas situasi politik dunia, kondisi Indonesia, dan garis perjuangan Partai Komunis Indonesia. Pada subbab terakhir, �Halilintar Membersihkan Udara�, Tan mengecam kaum terpelajar Indonesia yang, menurut dia, masa bodoh dengan perjuangan kemerdekaan. Tulisnya: �Kepada kaum intelek kita seruhkan.... Tak terdengarkah olehmu, teriakan massa Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras?�
Bukan cuma Soekarno yang selalu membawa-bawa Naar ke mana-mana, Muhammad Yamin juga memuja Tan. Bagi Yamin�yang kemudian bergabung dengan Tan dalam kelompok Persatuan Perjuangan�Tan tak ubahnya Bapak Bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson dan George Washington: merancangkan Republik sebelum kemerdekaannya tercapai.

Gerilya di Tanah Sun Man

Meski sibuk menjalin hubungan dengan para revolusioner kiri, dia sempat menulis buku tentang Republik Indonesia.
------------------------
IBRAHIM Datuk Tan Malaka menjejak Tiongkok pada musim dingin 1923. Kala itu Dinasti Qing sudah lama terkubur. Kerajaan masih berdiri. Namun Puyi, The Last Emperor, praktis hanya �boneka�. Negeri itu larut dalam tarik-menarik antara kekuatan Asing�terutama Inggris, Amerika, serta Jepang�dan para nasionalis yang menginginkan berdirinya Republik Cina merdeka.
Bujangan 26 tahun utusan Komintern di Moskow itu tinggal di Kanton, kini Guangzhou�kota di selatan Cina yang padat. Penduduknya dua juta. Toh, bagi Tan, Kanton tak pantas disebut kota besar. Cuma ada tiga jalan utama, satu kantor pos, perusahaan listrik, dan sebuah pabrik semen yang cerobongnya menjadi satu-satunya bangunan tinggi di sana. Namun Kanton istimewa karena menjadi pusat gerakan revolusi Cina. Sun Yat-sen atau Sun Man, pemimpin Kuomintang yang pada 1912 mendeklarasikan Republik Cina, tinggal di kota ini.
Tak lama setelah menetap, Tan mengunjungi dokter Sun, diantar ketua partai komunis setempat, Tang Ping-shan. Presiden Republik Cina Selatan itu tinggal di tepian Sungai Pearl yang membelah Kanton jadi dua. Di sana, Tan juga bertemu dengan anaknya, dokter Sun Po, dan rekan seperjuangannya, Wang Chin Way.
�Berjumpa orang revolusioner di Rusia adalah perkara biasa saja,� tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, mengenang pertemuan itu. �Tapi berjumpakan revolusioner besar di Asia adalah perkara istimewa.� Dia begitu girang.
Mereka membicarakan banyak hal. Sun Man, misalnya, menyarankan agar Indonesia bekerja sama dengan Jepang melawan Belanda. Tapi Tan tak yakin pejuang Indonesia bisa bekerja sama dengan imperialis Jepang.
Demikianlah, setiap hari dia bepergian untuk membina hubungan dengan para tokoh Kuomintang dan orang-orang komunis di Kanton. Hingga pada Juni 1924 Tan mendapat perintah dari Moskow untuk hadir pada konferensi Serikat Buruh Merah Internasional di kota itu.
Dari Indonesia datang Alimin dan Budisutjitro. Konferensi enam hari ini hendak menggalang �gerakan� para pelaut dan buruh pelabuhan di kawasan Pasifik. Tan memimpin rapat pada hari kedua. Seharusnya Sun Man memberikan pidato pembukaan, tapi batal.
Pada hari terakhir, Tan didaulat menjadi Ketua Organisasi Buruh Lalu Lintas Biro Kanton yang baru didirikan. Tugas pertamanya menerbitkan majalah �merah� bagi para pelaut. Ini membuatnya pusing. Di samping sulit mencari percetakan yang memiliki koleksi lengkap huruf latin, Tan masih harus belajar bahasa Inggris.
Alhasil, The Dawn baru terbit beberapa bulan kemudian. Cetakannya sangat jelek. Karena kekurangan huruf, huruf kapital bisa muncul di mana saja. Kata �Pacific�, misalnya, tercetak sebagai �PacifiC�. Menyusul penerbitan majalah ini, Tan mencetak sebuah buku tipis berjudul Naar de Republiek Indonesia. Ini buku pertama yang menggagas sebuah negara merdeka bernama Republik Indonesia.
Kerja berat serta suhu Kanton yang teramat dingin membuat sakit paru Tan kambuh. Dia mengunjungi dokter Lee. Mengira Tan terkena tuberkulosis, dokter memberikan �suntikan emas�� terapi paling modern saat itu. Tan malah pingsan. Untunglah, setelah diinjeksi penawar racun, ia segera sadar. �Kami sangka Tuan sudah meninggal,� kata dokter itu.
Tan lalu menemui dokter Rummel, orang Jerman yang telah lama membuka praktek di Kanton. Kali ini diagnosisnya physical breakdown, kecapaian. �Sebaiknyalah Tuan pergi tinggal di tropik, di negeri panas, beristirahat,� katanya.
Mendengar nasihat dokter, pikiran Tan langsung tertuju ke Jawa. Perasaan rindu Tanah Air pun muncul. Maka, pada 29 Agustus 1924, dia bersurat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock, minta izin pulang ke Jawa. Dia juga berkirim kabar ke Moskow dalam surat tertanggal 24 September. �Mungkin beberapa hari mendatang saya akan ke berlibur seminggu ke Makau untuk kesehatan saya,� tulisnya dengan nama samaran Hassan.
Permohonannya ditolak Gubernur Jenderal Fock. Tapi ketika itu, dengan nama Elias Fuentes, Tan sudah menyusup ke Filipina untuk mendapatkan hawa yang lebih segar. Tak sampai dua tahun, dia ditangkap polisi Filipina yang berada di bawah �genggaman� intel Amerika, Belanda, dan Inggris. Pada Agustus 1927, Tan kembali ke Tiongkok sebagai orang buangan.
Turun di Amoy, kini Xiemen, Tan berkelana ke tempat-tempat lain. Ketika angkatan bersenjata Kwangtung, Cap Kau Loo Kun atawa Tentara Ke-19, bentrok dengan tentara Jepang di Shanghai pada 1932, dia ada di sana. Sebenarnya pasukan ini datang untuk membebaskan Hu Han Min yang ditangkap Chiang Kai-shek. Dua orang penting Kuomintang ini bertikai sejak Sun Man meninggal pada 1925. Namun, ketika Tentara Ke-19 tiba, Hu sudah dibebaskan. Mereka pun menyerbu markas Jepang di Szu Chuan Road, Yang Tzepoo.
Shanghai kacau-balau. Menggunakan nama Ong Song Lee, Tan menyingkir ke Hong Kong. Kejadian di Filipina berulang, polisi Hong Kong menangkapnya. Untunglah Inspektur Murphy, pemimpin polisi Inggris di daerah koloni itu, tak mau menyerahkan Tan kepada polisi Belanda.
Setelah lebih dari dua bulan menahannya di penjara, Murphy memutuskan membuang Tan ke Shanghai. Tapi, di Pelabuhan Amoy, Tan berhasil mengecoh polisi Hong Kong yang diam-diam mengawalnya dan meloloskan diri ke darat.
Tinggal di kota pulau itu, penyakit Tan kambuh. Sinse Choa, tabib lokal di Desa Chia-be, memberinya dua jenis ramuan untuk dimasak bersama bebek dan penyu. Mula-mula Tan harus menghabiskan enam ekor bebek yang digodok dengan ramuan, seminggu satu. Setelah itu, makan satu-dua ekor penyu, juga digodok bersama ramuan. Ajaib, sakit yang 10 tahun terakhir merongrongnya perlahan-lahan hilang. �Makanan mulai mudah dihancurkan dan tidur mulai nyenyak! Inilah rasanya pangkal kesehatan,� tulis Tan di buku Dari Penjara ke Penjara.
Sambil terus bersembunyi, Tan mendirikan Sekolah Bahasa Asing. Namun dia akhirnya harus meninggalkan Tiongkok untuk selamanya ketika Jepang menyerang Amoy pada 1937. Menggunakan nama Tan Min Siong, seorang Tionghoa terpelajar, dia berlayar menuju Rangoon, Burma.

Naskah dari Rawajati

DI DESA Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Jakarta, ia menyewa gubuk bambu. Pada sepetak ruang sekitar 15 meter persegi di rumah itulah, Ibrahim Datuk Tan Malaka, dari pukul enam pagi hingga pukul 12 siang, berkutat merangkum gagasan dan pikirannya.
Kelak buah pikiran itu mewujud dalam sebuah buku termasyhur: Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Tan menulis Madilog sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.
Selama bermukim di Rawajati, ia kerap menyambangi Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen�sekarang Museum Nasional� untuk mencari dan membaca naskah rujukan. Ke museum yang kini terletak di seberang Monumen Nasional itu ia sering berjalan kaki�kadang butuh waktu empat jam.
Bila hendak ke sana, Tan bangun pukul setengah lima subuh. Tiba di museum sekitar pukul sembilan, ia biasanya tak lebih dari satu jam di perpustakaan. Setelah sebentar mempelajari keadaan di kota, �Sorenya kembali jalan kaki menuju sarang saya di Kalibata,� tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara II.
Sejarawan Belanda, Harry Albert Poeze, mengatakan Madilog merupakan bentuk pikiran yang telah mengendap bertahun-tahun dalam diri Tan Malaka. Tan merangkum pemikirannya dari hasil bacaan selama pengembaraan di Belanda, Cina, hingga Singapura.
Tan tidak mencantumkan sumber rujukan dalam Madilog. Jilid pertama seluruhnya ditulis berdasarkan ingatannya. Selanjutnya, Tan menggunakan rujukan dari perpustakaan di museum yang dikunjunginya. �Tan ingin mengelakkan kesan bahwa Madilog sepenuhnya buah pikirannya sendiri,� kata Poeze.
Istilah Madilog merujuk pada cara berpikir, bukan pandangan hidup. Poeze, dalam bukunya, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945, mengatakan inti Madilog adalah penglihatan masa depan Indonesia yang merdeka dan sosialis. �Tulisan itu merupakan karya orisinal Tan,� ujar Poeze.
Selama menulis Madilog, Tan selalu berdiskusi dengan sejumlah pemuda. Dia banyak bercerita tentang kesengsaraan penduduk di bawah penguasaan Jepang. Karena aktivitasnya inilah, Asisten Wedana Pasar Minggu pernah datang dan menggeledah gubuknya.
Karena tak menemukan sesuatu, Asisten Wedana itu kemudian meminta maaf kepada Tan. Sang pejabat tak tahu Tan telah menyembunyikan kertas-kertasnya di kandang ayam.
Tan Malaka membawa naskah Madilog ke Bayah, Banten Selatan. Madilog juga dibawanya bertualang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tan baru memperkenalkan Madilog tiga tahun setelah kemunculannya.
Ia menulis, �Kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan saksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya.�

Kerani yang Baik Hati

Tan Malaka membangkitkan gerakan buruh di Bayah. Tempo menapak tilas perjalanannya.
---------------------------
PENDENGARANNYA tak lagi sempurna. Ingatannya pun telah memudar. Dia hanya menggelengkan kepala ketika ditanyai soal usianya. Parino, dalam kartu tanda penduduk, lahir di Purworejo pada Februari 1917. Sedangkan data Romusha Kecamatan Bayah mencatat nama Amat Parino kelahiran Purworejo 1924.
Parino kini tinggal di Kampung Pulo Manuk, Desa Darmasari, Bayah, Banten Selatan�sekitar 230 kilometer dari Jakarta. Dia diboyong dari Purworejo, Jawa Tengah, untuk bekerja di bagian lubang tambang batu bara. Parino tidak tahu persis usianya ketika itu. Yang diingatnya, �Saya belum menikah, tapi sudah disunat,� ujarnya sambil tertawa.
Bayah menjadi tempat berkumpul romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Parino. Di kawasan pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan bekerja sebagai juru tulis.
Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal masyarakat Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Parino lamat-lamat mengingat nama Hussein sebagai seorang kerani atau juru tulis. �Kalau enggak salah, orangnya sangat pintar,� kata Parino.
Bayah dengan luas sekitar 15 ribu hektare menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda telah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan swasta sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.
Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayaran Jepang banyak terpakai oleh kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara.
Jepang membuka tambang lewat perusahaan Sumitomo. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Pandeglang, menuju Bayah�sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju ke lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang, dan Cihara. Kini beberapa lokasi masih ditambang penduduk, sedangkan yang lain terbengkalai begitu saja.
Tan bekerja di Bayah setelah melamar ke kantor Sosial. Dia butuh penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di Bayah membutuhkan 30 pekerja�bukan romusha. Tan melamar tanpa ijazah. Dia mengaku bersekolah di MULO (setara dengan sekolah menengah pertama) dua tahun dan pernah menjadi juru tulis di Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50 pelamar.
Tan berangkat dengan kereta api dari Tanah Abang, berakhir di Stasiun Saketi. Saat itu kereta rute Saketi-Bayah belum beroperasi. Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.
Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mendapat cerita tentang asal-usul Saketi. Kata Saketi berasal dari bahasa Sunda, yang artinya 100 ribu. Konon, 100 ribu itu mengacu pada ramalan tentang banyaknya korban selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah. Jadi, kalau jarak Saketi ke Bayah 90 kilometer, ada satu nyawa melayang dalam satu meter rel.
Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta menuju Bayah dan Labuan. Tempo�bersama penulis buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poeze�menelusuri rute perjalanan Tan dari Stasiun Saketi. Kini bangunan itu telah menjadi tempat tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya, 58 tahun. Jalur Saketi-Bayah berhenti beroperasi pada 1950-an, disusul Saketi-Labuan sekitar 1980.
Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum menghuni gubuk kecil dari bambu. Dia selalu memakai celana pendek, kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang, helm tropis, dan tongkat. Dia berbicara dengan bahasa Indonesia, tapi jarang tampil di depan umum.
Tan sering menjelajahi pelosok, termasuk Pulo Manuk, enam kilometer dari Bayah. Tempat itu paling ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang, karena penyakit kudis, disentri, dan malaria mewabah di sana. Waktu itu, penyakit dan kelaparan menjadi faktor utama kematian romusha di Bayah.
Suatu saat, Tan pernah diminta mengurusi data pekerja. Dia sering berhubungan dengan romusha dan mencatat jumlah kematian mereka. Dalam memoarnya, Tan mencatat 400-500 romusha meninggal setiap bulan. Hingga akhir pendudukan Jepang, luas tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.
Keluar-masuk terowongan dan memberikan nasihat pentingnya kesehatan, Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati. Dia suka membelikan makanan buat romusha dari upahnya sendiri. �Kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang,� kata Tan suatu ketika.
Di dalam perusahaan, dia selalu mengusulkan peningkatan kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul dengan mereka, termasuk penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia mencoba berbicara mengenai kesejahteraan pekerja, tapi upayanya sia-sia.
Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250 gram beras setiap hari. Uang 40 sen hanya cukup buat membeli satu pisang. Dalam salah satu tulisannya, Rencana Ekonomi Berjuang, Tan mengatakan hitung-hitungan upah romusha hanya di atas kertas. Tulisan itu dia buat di Surabaya pada November 1945.
Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di Bayah lewat percakapan dua tokoh cerita, si Toke dan si Godam. �Seratus ton arang itu diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun digedor,� ucap si Godam. Ringkasnya, Jepang sama sekali tidak mengeluarkan bayaran romusha.
Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha. Dia menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Mereka membangun rumah sakit di pinggiran Desa Bayah, Cikaret. Tan juga membuka kebun sayur dan buah-buahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.
Peran Tan semakin besar ketika dia ditunjuk sebagai Ketua Badan Pembantu Keluarga Peta�organisasi sosial yang membantu tentara bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). Di bawah panji Badan Pembantu, Tan lebih leluasa mengadakan kegiatan kemasyarakatan, seperti pertunjukan sandiwara atau sepak bola.
Tim sandiwara dan sepak bola itu bernama Pantai Selatan. Pertunjukan sandiwara banyak bercerita tentang nasib romusha. Mereka pernah memainkan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, dan Puputan Bali.
Tim sepak bola juga pernah tampil dalam kejuaraan di Rangkasbitung. Tan menggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah�kini menjadi terminal. Ia menjadi pemain sayap. Tapi Tan lebih sering menjadi wasit. Selesai bermain, dia biasanya mentraktir para pemain.
Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Tan menjadi anggota panitia penyambutan tamu. Soekarno berpidato bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu. Setelah itu, Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia. Soekarno meminta pekerja tambang membantu berjuang dengan meningkatkan produksi batu bara.
Selesai pidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilakan hadirin bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue dan minuman untuk para tamu. Para penanya rupanya sering mendapat jawaban guyon sinis. Kepada Son-co (Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo mengejek supaya ikut kursus �Pangreh Praja�.
Tan gerah dengan suasana penuh ejekan itu. Dia pun menyimpan talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?
Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah. Menurut dia, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan.
Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarno mungkin tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan itu dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan romusha dan nyamuk malaria. Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi keburu dihentikan.
Awal Juni 1945, Tan menerima undangan dari Badan Pembantu Keluarga Peta Rangkasbitung untuk membicarakan kemerdekaan. Pertemuan itu untuk memilih dan mengirimkan wakil Banten ke pertemuan Jakarta. Tan�sebagai Hussein�didaulat menjadi wakil Banten ke konferensi Jakarta.
Pertemuan di Jakarta diadakan buat mempersatukan pemuda Jawa. Konferensi gagal terlaksana karena larangan Jepang. Tan hanya berbicara sebentar dengan kelompok pemuda angkatan baru, seperti Harsono Tjokroaminoto, Chaerul Saleh, Sukarni, dan B.M. Diah.
Kembali ke Bayah, Tan pindah tugas ke kantor pusat dan mencatat data mengenai romusha. Suatu ketika, Jepang mengumumkan rencana pemotongan ransum. Tan lalu mengemukakan keberatannya dengan berorasi di muka umum. Besoknya, Jepang membatalkan pengurangan ransum.
Di Jakarta, pidato Tan itu dikabarkan menjadi biang kerusuhan. Romusha melarikan diri dan mogok di Gunung Madur. Kempetai (polisi militer Jepang) di Bayah mulai mencari identitas Hussein. Tapi penyelidikan terhenti karena posisi Jepang kian genting. Jerman sudah menyerang dan Rusia menyerbu Jepang pada 9 Agustus 1945.
Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai longgar. Dia memanfaatkan situasi itu untuk minta izin hadir dalam konferensi pemuda di Jakarta pada 14 Agustus. Dia menjadi utusan semua pegawai pertambangan dan mendapatkan surat pengantar untuk Soekarno dan Hatta.
Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu sebentar dengan Sukarni. Dia tidak mengetahui drama penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Setelah merdeka, Tan lebih banyak tinggal di Jakarta. Akhir Agustus, dia pergi ke Bayah mengunjungi pemimpin Peta, Djajaroekmantara.
Tan Malaka ke Bayah juga punya tujuan lain, yakni mengambil naskah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Poeze mengatakan naskah itu tersimpan rapi tanpa diketahui siapa pun.
Di Bayah, kegiatan penambangan berangsur terhenti sepeninggal Jepang. Penduduk membumihanguskan Bayah saat agresi militer kedua Belanda pada 1948. Pemerintah setempat membuat tugu romusha pada 1950-an. �Rasanya dulu lebih ramai ketimbang sekarang,� kata Haji Sukaedji, 73 tahun, warga kelahiran Bayah, kepada Tempo.
Stasiun Bayah kini menjadi tanah kosong penuh ilalang....

Dukungan untuk Pan-Islamisme

DI Kongres Komunis Internasional ke-4, Tan Malaka menganjurkan kerja sama dengan kaum muslim dunia melawan kapitalisme. Gagasannya tak didukung, tapi pidatonya mendapat tepukan gemuruh peserta kongres. Petikannya:
.... Pan Islamisme punya sejarah panjang. Pertama saya ingin bercerita tentang pengalaman kami bekerja sama dengan kelompok muslim di Hindia. Di Jawa kami memiliki sebuah organisasi beranggotakan buruh-buruh miskin, Sarekat Islam, yang pada 1912-1916 memiliki satu juga anggota�mungkin juga tiga atau empat juta. Ini sebuah gerakan revolusioner yang amat besar dan muncul secara spontan.
Kami bekerja sama dengan kelompok ini sampai 1921. Sekitar 13 ribu anggota kami bergabung dan melakukan propaganda di dalam. Pada 1921 itu kami berhasil mempengaruhi mereka menjalankan program kami. Perkumpulan Islam itu mendorong masyarakat desa mengambil alih kendali perusahaan-perusahaan. Semboyannya: petani miskin menguasai semuanya, proletar menguasai segalanya! Jadi SI telah melakukan propaganda yang sama dengan Partai Komunis, cuma kadangkala dengan nama lain.
Tapi karena ada kritik yang tak mengenakkan para pimpinan SI, pada 1921 terjadi perpecahan. Perpecahan ini dan hasil Kongres Komintern Kedua: berjuang melawan Pan-Islamisme, kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah. Apa yang mereka katakan kepada kaum tani muslim yang sederhana? Mereka bilang: Lihat, Komunis tidak hanya memecah-belah, mereka juga ingin merusak agama kalian! Itu luar biasa bagi para petani. Mereka kemudian berpikir: Saya telah kehilangan segalanya di dunia, apakah saya juga harus kehilangan surga? Jangan sampai itu terjadi! Beginilah cara orang muslim sederhana berpikir. Propaganda seperti ini dilakukan oleh agen-agen pemerintah dengan sukses. Maka pecahlah kami.
[Ketua sidang: �Waktu Anda selesai.�] Saya datang dari Hindia, 40 hari di perjalanan [tepuk tangan hadirin].
SI meyakini propaganda kami atau, peribahasanya, tetap bersama kami dalam perut mereka, meski dalam hatinya mereka tetap SI dengan surganya. Tapi karena kami tak mampu memberi mereka surga, mereka kemudian memboikot pertemuan-pertemuan kami dan kami tidak bisa lagi berpropaganda.
Mulai awal tahun lalu kami membangun kembali hubungan dengan SI. Dalam kongres di bulan Desember tahun lalu kami mengatakan bahwa kaum muslim yang ikut dalam kaukus dan di negara lain yang bekerja sama dengan Soviet melawan kapitalisme sangat paham agama kalian. Kami juga mengatakan, jika mereka ingin mempropagandakan agama mereka, silakan, tapi tolong lakukan itu di masjid, bukan di ruang-ruang sidang.
Dalam sebuah dengar pendapat kami pernah ditanyai: Apakah kalian muslim�ya atau tidak? Kalian percaya Tuhan� ya atau tidak? Bagaimana kami menjawabnya? Ya, jawab saya, ketika menghadap Tuhan saya seorang muslim, tapi manakala berhadapan dengan manusia saya bukan muslim, karena Tuhan sendiri bilang ada banyak setan di antara manusia! Jadi kami mengalahkan pimpinan mereka dengan Quran di tangan. Dan dalam kongres tahun lalu, melalui para anggota mereka, kami memaksa para pemimpin SI untuk bekerja sama lagi.
Ketika sebuah mogok massal pecah pada Maret tahun lalu, pekerja muslim membutuhkan kami karena orang kami yang memimpin para buruh kereta. Pimpinan SI bilang: Kalau kalian ingin bekerja sama dengan kami, maka bantulah kami. Tapi ini tidak menyelesaikan masalah. Jika nanti kami kembali pecah, pemerintah pasti akan kembali menggunakan isu Pan-Islamisme. Karena itu, soal Pan-Islamisme harus segera diputuskan.

Peniup Suling bagi Anak Kuli

Sekolah rakyat model Tan Malaka bertumbuhan di Jawa. Dia menjadikan Marxisme dan antikolonialisme sebagai dasar kurikulumnya.
-------------------------
Tan Malaka bersama staf, pengajar, dan murid-murid Sekolah Rakyat di Yogyakarta.
RAPAT para tuan besar perkebunan yang berada di wilayah perusahaan Senembah Mij baru saja dimulai. Tan Malaka mengamati belasan peserta yang hadir. Dari yang hadir itu, ia hanya kenal dua orang. Salah satunya Herr Graf, tuan besar di Tanjung Morawa, Sumatera Timur.
Tan menatap Graf, yang disebutnya sebagai musuh nomor satunya di Deli. Graf langsung menoleh ke arah lain. Selama rapat, kedua orang ini kerap beradu pandang. Tapi, begitu mata mereka bertemu, Graf dengan segera memalingkan mukanya. Demikian seterusnya.
Tan Malaka tahu, Graf-lah yang menyebarkan fitnah dan menjelek-jelekkan dirinya. Pada saat pemimpin rapat memberikan kesempatan berbicara kepadanya, Tan tak menyia-nyiakan kesempatan. Tan, yang sudah dua tahun menjadi asisten pengawas sekolah di Deli, memaparkan pentingnya pendidikan bagi para anak kuli. Menurut dia, tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.
�Anak kuli adalah anak manusia juga,� kata Tan Malaka. Dia sengaja mengeluarkan kalimat itu karena banyak tuan besar, pemilik atau pengawas perkebunan, menganggap sekolah bagi anak kuli cuma membuang-buang uang. Sekolah, di benak para tuan besar itu, bakal membuat anak kuli itu lebih �brutal� ketimbang bapaknya. Ada kekhawatiran lain. Pendidikan ini bisa menciptakan kader-kader baru Sarekat Islam, organisasi yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda.
Beberapa hari setelah rapat pada Juni 1921 itu, Tan bertemu Dr Janssen, direktur sekolahnya. Tan mengajukan permintaan pengunduran diri. Dia merasa komplotan tuan perkebunan tembakau yang dipimpin Graf sudah sangat mengganggu kerjanya. Tan Malaka mengakui ada empat perkara perbedaan dirinya dengan para petinggi perkebunan yang membuat ia menentukan sikap itu. Pertama, soal warna kulit; kedua, model pendidikan bagi anak kuli; ketiga, menyangkut artikel-artikelnya di surat kabar di Deli; serta keempat menyangkut hubungannya dengan para kuli perkebunan.
Tan melihat sumber semua perbedaan itu dari kacamata Marxisme, yakni konflik antara kaum kapitalis dan proletar. Dia menyebutnya sebagai pertentangan antara �Belanda-Kapitalis-Penjajah� dan �Indonesia-Kuli-Jajahan�. Janssen tidak mencegah keinginan Tan untuk mundur, karena dia juga akan kembali ke Nederland. Dia meminta kantor membayar gaji Tan Malaka untuk dua bulan dan menyediakan karcis kapal laut kelas satu ke Jawa.
Awalnya, Janssen-lah yang meminta Tan Malaka membantu Tuan W untuk menjadi pengawas sekolah di Deli. Tan, yang kala itu sedang menempuh sekolah guru di Belanda, tertarik dengan tawaran kerja itu.
Deli adalah kota besar dengan penduduk sekitar dua juta. Namun ada yang menyedihkan di sana. Sekitar 60 persen penduduk Deli merupakan keluarga kuli kontrak perkebunan, pertambangan minyak, dan pengangkutan. �Mereka keluarga proletaris tulen, dan Deli merupakan daerah proletaria yang sesungguhnya,� kata Tan Malaka dalam catatan hariannya. Kelas atas di Deli, menurut Tan, adalah borjuis asing dari Eropa-Amerika, disusul dari Tionghoa. Adapun borjuis Indonesia adalah Sultan Serdang dan Sultan Deli.
Selama di Deli, Tan sering berbincang-bincang dengan siswanya dan mengunjungi rumah mereka. Ini berbeda dengan Tuan W, yang cuma datang ke sekolah naik mobil dinasnya. Tan ingin mengetahui tabiat, kemauan, dan kecondongan hati masing-masing anak. Dari semua informasi yang diperolehnya, ujar Tan, diperlukan satu pusat sebagai sekolah percontohan.
Selain mengurus pendidikan, Tan Malaka juga menampung keluh-kesah para kuli kontrak. Para kuli itu umumnya buta huruf dan terjerat berbagai peraturan kontrak yang tak bisa dipahami. Tan melihat para kuli itu terbelenggu kekolotan, kebodohan, kegelapan, sekaligus �hawa nafsu jahat� permainan judi. Kisah kuli kontrak ini mewarnai artikel Tan Malaka yang tersebar di surat kabar Liberal, Medan, dan Sumatera Post, yang kerap membuat marah para tuan besar.
Pengalamannya bergaul dengan kaum proletar ini makin memantapkan Tan bergerak di sektor pendidikan. Menurut dia, �Kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan.� Ini semua, kata Tan, untuk menghadapi kekuasaan pemilik modal yang berdiri atas pendidikan yang berdasarkan kemodalan.
Pada 2 hingga 6 Maret 1921, Tan Malaka mengikuti Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta. Di sinilah ia pertama kalinya bertemu HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Semaun, dan tokoh-tokoh lain organisasi Islam tersebut. Kala itu organisasi ini sedang dilanda perpecahan, antara faksi Islam dan komunisme. Sarekat Islam Semarang yang dipimpin Semaun dan Darsono lebih berkiblat ke komunisme.
Seusai kongres, Semaun mengajak Tan Malaka ke Semarang. �Kehadirannya menguntungkan bagi gerakan rakyat revolusioner di Indonesia,� ujar Semaun dalam buku Sewindu Hilangnya Tan Malaka. Saat itu keduanya sepakat membangun sekolah rakyat bagi calon pemimpin revolusioner. Sarekat Islam memberikan gedung dan fasilitas pendidikan lainnya. Tan Malaka berjanji mendirikan perguruan yang cocok bagi kebutuhan dan jiwa �rakyat Murba�, sebutan Tan untuk kaum proletar.
Dalam brosur bertajuk �SI Semarang dan Onderwijs�, Tan Malaka menguraikan dasar dan tujuan pendidikan kerakyatan. Pertama, perlunya pendidikan keterampilan dan ilmu pengetahuan seperti berhitung, menulis, ilmu bumi, dan bahasa. Hal ini sebagai bekal dalam menghadapi kaum pemilik modal. Kedua, pendidikan bergaul atau berorganisasi dan berdemokrasi. Ini untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri, dan cinta kepada rakyat miskin. Dan ketiga, pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.
Tan Malaka menegaskan, sekolahnya bukan mencetak juru tulis seperti tujuan sekolah pemerintah. Selain untuk mencari nafkah diri dan keluarga, sekolah ini juga membantu rakyat dalam pergerakannya.
Menurut Harry A. Poeze, inspirasi mendirikan sekolah rakyat ini berasal dari Belanda dan Rusia. Tan Malaka, katanya, sempat membaca tulisan warga Rusia mengenai kurikulum sekolah komunis. Inspirasi lainnya, kata Poeze, dari pengalaman Tan ketika bertugas di perkebunan tembakau Deli. �Pengetahuan yang ia dapat disesuaikan dengan keadaan di Indonesia,� kata Poeze.
Hari pertama pembukaan �sekolah Tan�, ada lima puluh siswa datang mendaftar. Sekolah ini kemudian menggelar upacara penerimaan siswa baru yang dihadiri orang tua dan pengurus Sarekat Islam Semarang. Dua anak berusia 14 tahun tampil ke depan mengucapkan janji murid dan meminta dukungan orang tua. Para siswa yang bercelana merah kemudian melakukan defile sembari menyanyikan lagu internasional.
Penonton bertepuk tangan menyaksikan upacara ini. Banyak yang menitikkan air mata karena acara ini baru pertama kali dilakukan di lingkungan Sarekat Islam. �Mereka gembira, karena merasa mendapat bakal pahlawan,� kata Tan. Siswa baru terus berdatangan, hingga terkumpul 200 orang. Puluhan orang juga melamar jadi guru.
Sekolah berjalan pagi. Sore harinya Tan Malaka mengadakan kursus untuk mencetak guru. Peserta kursus adalah murid kelas 5 dan guru yang ada untuk dididik menjadi guru berhaluan kerakyatan. Kabar berdirinya sekolah rakyat di Semarang segera menyebar ke sejumlah daerah. Beberapa kota besar di Jawa mengajukan tawaran mendirikan sekolah sejenis di daerahnya.
Bandung akhirnya menjadi daerah kedua yang mendirikan sekolah rakyat, setelah seorang kader Sarekat Islam mendermakan uangnya. Di Kota Kembang itu 300 siswa baru mendaftar. Tahun-tahun berikutnya sekolah rakyat semakin banyak. Apalagi setelah alumni sekolah rakyat Semarang bertebaran di kota-kota besar Jawa. Menurut Tan, para murid, dengan celana merah dan lagu internasionalnya, laksana ahli peniup suling Kota Hermelin. Inilah dongeng yang mengisahkan seorang peniup suling yang mampu menyihir hewan dan anak-anak dengan serulingnya, sehingga mereka terus mengikuti sang peniup seruling.
Encyclopaedie van ned oostindie VI suplement menulis, sekolah rakyat model Tan Malaka ini lantas bermunculan. �Di antara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan barisan (Barisan Muda, Sarikat Pemuda, Kepanduan) satu dan lainnya cocok dengan sistem Komintern.� Ensiklopedia ini juga mencatat adanya kursus kilat membentuk propagandis yang aktif, yang kemudian menjadi kader organisasi.
Sayang, Tan Malaka tidak menyaksikan kemajuan sekolah rakyat yang dibangunnya. Pada 2 Maret 1922, pemerintah kolonial Belanda menangkapnya di Bandung setelah terjadi pemogokan buruh pelabuhan dan minyak. Para buruh tersebut tergabung dalam Vaksentral-Revolusioner, tempat Tan menjadi wakil ketua. Pencipta �sang peniup suling� ini pun dibuang ke Nederland.

Bertemu Para Bolsyewik Tua

Mewakili Partai Komunis Indonesia dalam Kongres Komunis Internasional di Moskow. Minta sekolah lagi tapi ditolak.
---------------------------
BAGI aktivis komunis 1920-an, Vladimir Lenin, Josep Stalin, dan Leon Trotsky bukanlah nama biasa. Mereka �dewa� komunisme yang menggerakkan kaum revolusioner dunia dari Moskow. Tan Malaka beruntung bisa bertemu dengan mereka.

Komunis muda van Hindia ini tiba di Moskow pada Oktober 1922, dari Jerman. Dia sering mengunjungi pabrik, berkenalan dengan para buruh, dan cepat akrab dengan para Bolsyewik di Negeri Beruang Merah itu. Kamarnya, di salah satu bekas hotel di Moskow, menjadi tempat singgah para pemuda dan pelajar.
Ketika Komunis Internasional (Komintern) sibuk mempersiapkan kongres keempat, Tan�yang melapor sebagai wakil Indonesia�diajak ikut rapat-rapat persiapan. Tapi dia hadir sebagai penasihat, bukan anggota yang punya hak suara.
Kongres Komintern ke-4 akhirnya berlangsung pada 5 November-5 Desember 1922. Di sini Tan bertemu dengan para pemimpin revolusi Asia, termasuk Ho Chi Minh dari Vietnam.
Tan beruntung, semua wakil Asia mendapat kesempatan bicara lima menit. Giliran Tan jatuh pada hari ketujuh. Di sanalah, dalam bahasa Jerman patah-patah, dia menyampaikan gagasan revolusioner tentang kerja sama antara komunis dan Islam.
Kata Tan, komunis tak boleh mengabaikan kenyataan bahwa saat itu ada 250 juta muslim di dunia. Pan-Islamisme sedang berjuang melawan imperialisme�perjuangan yang sama dengan gerakan komunisme.
Menurut dia, gerakan itu perlu mereka dukung. Namun dia tahu keputusan ada di tangan petinggi partai, para Bolsyewik tua. Karena itu, di akhir pidato dia berkata, �Maka dari itu saya bertanya sekali lagi, haruskah kita mendukung Pan-Islamisme?�
Tan berbicara lebih dari lima menit. Mungkin karena pidatonya yang membangkitkan semangat, diselingi sedikit humor, ketua sidang cuma mengingatkan dia sekali dan membiarkan dia terus berpidato.
�Kongres memberi tepuk tangan yang ramai pada Tan Malaka, seolah-olah telah memberi ovasi padanya,� tulis Gerard Vanter untuk harian De Tribune. �Itu merupakan suatu pujian bagi kawan-kawan kita di Hindia yang harus melakukan perjuangan berat terhadap aksi kejam.�
Esoknya, giliran Lenin angkat bicara. Ruang pertemuan penuh sesak. Datang terlambat, Tan naik ke panggung dan duduk di tepinya, berharap bisa mendengarkan Lenin dari dekat. Tapi, sebelum Lenin tiba, panggung �disterilkan�.
Seorang pengawal Lenin menarik tangan Tan sangat keras, sehingga ia terjerembap. Toh, menurut Harry Poeze, dalam bukunya, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik jilid I, Tan tetap terkagum-kagum mengikuti pidato Lenin.
Gagasan Tan mendapat dukungan penuh delegasi Asia. Tapi kenyataan itu tak terlalu disukai oleh Karl Radek, pemimpin Komintern yang membawahkan urusan Asia.
Setelah Kongres usai dan para utusan kembali ke negeri masing-masing, Tan bingung harus ke mana. Dia tak ingin kembali ke Belanda. Balik ke Indonesia pun tak mungkin.
Tan sempat meminta Komintern menyekolahkan dia, tapi ditolak. �Belum terbuka kursi profesor buat Saudara,� ujar seorang temannya, mengolok-olok.
Untuk mengisi waktu luang, Radek meminta dia menulis sebuah buku. Bahan-bahan untuk menulis dipesankan dari Belanda. Tan dibebaskan menulis apa saja, yang penting tentang Indonesia.
�Saya pusatkan saja isi dan corak buku itu kepada sejarah dan statistik,� tulis Tan dalam bukunya, Dari Penjara ke Penjara. Buku itu akhirnya terbit pada 1924, dengan judul Indonezija; ejo mesto na proboezdajoesjtsjemsja Vostoke atawa Indonesia dan Tempatnya di Timur yang Sedang Bangkit.
Pemerintah Rusia mencetak lagi buku itu sebanyak 5.000 eksemplar pada 1925. Tapi Tan tak sempat menunggu �kelahiran� buku yang dia tulis dalam bahasa Rusia itu. Pada akhir 1923, dia sudah berada di Kanton, Cina, sebagai wakil Komintern untuk Asia Timur.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India